Cerpen
Disukai
9
Dilihat
6,834
Langit Tak Pernah Ingkar Janji
Drama

Pagi itu, langit di atas Jenggala menggigil sunyi. Kabut menggantung malas, seolah enggan menyaksikan satu lagi takdir anak manusia yang dikoyak oleh tangan sesama, bukan oleh manusia durjana. Di dalam kamar sempit sebuah asrama, Gilang terbaring bungkam. Tubuhnya dingin, lebam-lebam menghitam, dan matanya yang dulu berpendar, seolah menyimpan bara ketika menghafal dogma suci, kini tinggal sepasang kaca beku. ia diantarkan puluhan warga desa yang nestapa, bagaimana tidak!!. Dulu dianggap sebagai matahari kecil yang siap mengganti peran-peran penuntun jalan.

Ibunya, Bu Ningrum, masih tertelungkup di sudut ruangan, dengan mukena putihnya yang basah oleh peluh dan air mata, tak jua kunjung berhenti. Ia memeluk peci kecil anaknya seolah itu kepala Gilang yang masih hangat. Tangisnya tidak meledak. Ia hanya gemetar, seperti bumi yang dilanda gempa tanpa suara.

“Gilang… anakku… Ibu titipkan kau untuk jadi manusia hebat, bukan untuk dikafani secepat kilat…”

***

Beberapa bulan sebelumnya, Gilang merupakan anak yang paling tekun datang ke surau kampung. Tempat favoritnya di saf paling depan, menyimak sabda hikmah, meski tak jarang ia tertidur di pangkuan ayahnya karena lelah membantunya di ladang. Ketika mendapat kesempatan untuk belajar ilmu agama, seluruh dusun bersyukur. Mereka berpikir, “Akan lahir seorang cendikia agama dari perut kampung ini.”

Namun yang tak mereka tahu. Kepergian Gilang ke pondok bukan sekadar perjalanan mencari ilmu, melainkan perjalanan terakhirnya menghadap Sang Ilahi. Ia menjadi korban bisu dalam permainan angka-angka fantastis yang dikumpulkan sang pengelola yang serakah. Di balik tembok pondok yang menjulang tinggi dan berderet rapi, tersimpan sebuah dunia yang tak seindah bait-bait kitab yang mereka baca. Ia adalah bayang-bayang ambisi semu dan nafsu akan materi, bukan dari niat suci mencetak makhluk insani. Asrama pondok palsu bukanlah sekadar kamar tidur yang disiapkan untuk para santri, melainkan sebuah panggung bisu di mana luka-luka tersembunyi berkelindan dengan bisik-bisik kesakitan.

Tak ada pembinaan jiwa, tak ada pengawasan ketat pada akhlak dan karakter. Yang ada hanya rutinitas palsu yang disulap jadi rutinitas agama, demi menutupi kosongnya niat dan ketulusan. Penghuni pondok bukanlah murid yang dibimbing untuk tumbuh menjadi cahaya peradaban.

***

Abah Gome, panggilan akrab bagi pemilik pondok pesantren, menyampaikan pendapatnya di hadapan Konsultan Hibah Bidang Peningkatan Infrastruktur dan Mutu Pesantren.

“Mohon maaf Pak Ridla, proyek miliaran ini adalah peluang emas. Dengan dana itu, kami bisa memperbesar pondok, menambah fasilitas... dan tentu saja, mengangkat nama pesantren di mata masyarakat.”

Rida yang mengenakan jas rapi, dengan santai menjatuhkan tubuhnya ke kursi empuk berlapis berudu. Sepatu fantopelnya bergema di atas lantai, sementara deretan gigi grahamnya beradu dalam ritme yang teratur. tersenyum sinis, menarik napas panjang

“Jangan lupa, kau dan aku punya janji yang sama. Enam puluh untuk pondokmu, empat puluh untukku. Sepakat, bukan?”

Abah Gome mengangguk lekas. Sebuah senyum kecil menyelinap di sudut bibirnya, seakan menyembunyikan dosa dalam canda.

“Tentu, Pak Doktor. Kami pun ingin mendirikan pesantren, sekadar menimbun laba. Tapi tanpa ‘dukungan’ dari atas, jalan kami serupa sungai kering.”

Sang Konsultan menyeringai, suaranya lirih tapi menusuk.

“Anggap saja ini investasi spiritual. Kau beri aku bagian, aku bukakan gerbang yang tertutup. Izin? Hanya secarik kertas. Yang penting, arus uang mengalir tanpa hambatan.”

Abah Gome tertawa hambar, lalu berbisik nyaris getir.

“Kita bilang ini untuk pendidikan. Tapi siapa peduli jika rupiah mengendap lebih deras ke kantong kita dibanding nilai-nilai yang diajarkan?”

Konsultan meledak dalam tawa dingin.

“Yang peduli hanya mereka yang hatinya masih dicekik nurani. Kita? Kita hanya bermain cerdas. Selama para santri tetap berdatangan, selama rakyat masih percaya, kita tak akan berhenti.”

***

Hari pertama Gilang menginjakkan kaki di asrama itu, tempat yang kelak terbukti bukan rumah ilmu, melainkan panggung kebohongan, langit tampak muram, seakan ikut menyaksikan lepasnya seorang anak dari pelukan orang tua yang menggenggam harap dan doa. Ibu dan ayahnya berpamitan dengan mata basah, menitipkan Gilang kepada lembaga yang mereka kira akan menjadi taman surga kecil di bumi. Mereka percaya seperti ratusan wali santri lainnya bahwa tempat itu penuh berkah. Sekitar duaratus santri tinggal di sana, entah karena tertipu janji-janji manis, atau terjebak dalam nasib yang senyap dan tak terbantah.

Namun tak satu pun dari mereka bersuara. Lidah-lidah mereka seakan dikunci oleh rasa kagum yang diwariskan dari kepercayaan orang tua. Di mata luar, pondok itu tampak teduh: pengurus bersorban rapi, tilawah mengalun dari pengeras suara seperti dzikir langit, dan pengajian digelar dengan khidmat, seolah ilmu dan iman bersanding tanpa cela. Tapi semua itu hanya hiasan luar. Kamuflase. Tirai suci yang menggantung di depan luka yang tersembunyi. Sebuah sandiwara rapi yang menutup aroma busuk di balik dinding asrama.

***

Gilang disambut oleh Gus Yusuf, putra dari Abah Gome, seorang santri senior yang lebih piawai bersandiwara ketimbang berdzikir. Tatapannya menelusuri tubuh Gilang dari kaki hingga ubun-ubun, lalu dagunya terangkat tinggi, seperti hendak menunjukkan siapa yang berkuasa di balik tirai suci itu

“Namamu siapa?” tanyanya, suaranya tajam, seperti ingin menusuk lebih dulu sebelum menyambut.

“Gilang, Gus.”

“Tahu peraturannya?”

“Sholat, ngaji, taat pada ustadz…”

Yusuf tersenyum miring. “Dan taat pada pengurus. Termasuk gue.”

Di halaman kecil pesantren, saat angin sore menggeser bayang-bayang pohon mangga, pandangan Gilang dan Sinta, santriwati jelita yang kerap disebut bunga pondok, berpapasan. Sinta menundukan muka seraya senyum tersungging, Hanya sekejap, namun cukup untuk membuat waktu seolah berhenti. Sayangnya, sepasang mata tajam milik Gus Yusuf menangkap percikan itu. Sejak itulah, aroma cemburu dan kuasa mulai berbaur, mengintai Gilang dalam diam.

Bagi Gus Yusuf, bukan hanya soal pandangan mata itu yang membuat darahnya mendidih, tapi karena Sinta adalah wilayah terlarang, simbol kehormatan sekaligus harga dirinya sebagai pewaris pondok. Ia telah lama menyimpan hasrat diam-diam pada Sinta, santriwati yang kerap ia jaga dengan sorot mata yang merayap. Maka ketika Gilang, bocah baru yang bahkan belum hafal tata letak asrama, berani menyulam isyarat di balik sorot mata Sinta, itu bukan sekadar pelanggaran, tapi penghinaan.

Sejak saat itu, hidup Gilang perlahan berubah menjadi teka-teki penderitaan. Ia harus menyikat kamar mandi dengan sikat gigi, tidur paling akhir, bangun paling awal. Tiap kesalahan kecil dibalas dengan tamparan atau injakan di dada. Tubuhnya yang ringkih sering dijadikan samsak kemarahan oleh Yusuf dan kelompoknya.

Namun Gilang tak pernah mengadu. Ia masih saja percaya, sabar itu bagian dari jihad. Sampai malam terakhirnya, ketika Yusuf menuduhnya melaporkan perundungan kepada ustadz. Gilang menyangkal, tapi Yusuf tak mau tahu. Tubuh mungil itu digantung pada batas kasur dan dinding. Dipukul dengan sajadah yang dililit sabuk. Kepalanya dihantam kitab kuning yang seharusnya menjadi cahaya.

Dan ketika Yusuf kehabisan tenaga memukul, Gilang telah kehilangan nyawanya.

***

Kabar kematian Gilang menyebar lebih cepat daripada doa tahlilnya. Wartawan, polisi, aktivis, semua berdatangan. Tapi Bu Ningrum hanya duduk di depan makam anaknya, menciumi batu nisan seakan ingin memeluk tubuh yang tak lagi bisa dipeluk.

“Kenapa tak kau bilang, Le? Kenapa semua luka kau simpan sendiri?” bisiknya dengan suara parau.

Yusuf ditangkap. Abah Gome digiring ke balik jeruji, terjerat perkara penggelapan dana umat. Sementara sang konsultan, bagai bayangan licin, menghilang entah ke mana, lenyap ditelan gelap. Semuanya terbuka, dan langit tak lagi bermuram Durja.

Pondok itu habis dikuliti kritik, dicabut izinnya, tercabik martabat yang dulu diagung-agungkan. Tapi luka di dada Bu Ningrum tak bisa disapu hanya dengan permintaan maaf yang lirih dan terlambat. Ia datang ke ruang sidang dengan langkah perlahan, tubuh diselubungi pakaian hitam duka. Di tangannya, selembar kertas gemetar tertiup angin AC bertuliskan:

" Saya hanya tak ingin ada ibu lain yang menangisi anaknya di liang kubur karena kekerasan disembunyikan atas nama-nama suci yang dikotori. Semoga langit tak ingkar janji, Mereka harus dijeruji"

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)