Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,665
Lelaki dari Teluk Kelayan
Aksi

Teluk Kelayan, di suatu senja, di tepian Sungai Martapura. Gumpalan awan putih, berlapis-lapis di cakrawala barat. Ruas-ruasnya indah, bertabur semburat sinar surya yang hampir melenggang ke batas garis bumi, seolah hendak menjangkau tubuh ringkihku yang terduduk di atas kursi malas. “Kursi malas Teluk Kelayan,” demikian banyak orang memberikan julukan padanya.

Kuseruput segelas kopi hitam tak bergula. Rasanya pahit, namun nikmat menyeruak di kerongkonganku. Aliran cairan hitam ini kemudian bergulir ke bagian rongga dadaku. Ada suasana hangat yang kemudian memeluk jantungku, hingga menciptakan rasa nyaman di dalam perutku. Perut yang sejak tiga hari terakhir tak pernah terisi makanan, meski hanya oleh sebutir nasi.

Kuhisap dalam-dalam sebatang rokok yang terselip di sela-sela jemariku. Pikiranku melayang jauh melintasi tahun-tahun yang telah berlalu. Di tahun 1925, kala itu usiaku baru seperempat abad. Aku seorang pemuda belia dengan badan tegap dan otot yang mengular di beberapa bagian tubuhku. Dengan postur tubuh demikian, namaku cukup dikenal oleh pejabat kolonial dan masyarakat di Banjarmasin. “Amang Pendekar,” demikian mereka menyebut namaku.

Seorang pemuda tiba-tiba ada di hadapanku. Dia tersenyum, menepuk pundak kananku sambil berkata-kata, “Kai, pian tidak salat dahulu, kah?”

“Oh, baik. Kita salat Magrib bersama-sama, Riq!” sahutku.. Dia cucu keduaku. Fariq bin Burhan, nama lengkapnya.

Setelah menjalankan ibadah salat, kami kemudian menikmati santap malam bersama di teras rumah yang menghadap kearah siring sungai. Sang chandra menghiasi langit malam dengan cahayanya yang hampir sepenuh purnama. Suara jeritan burung walet terdengar meraung-raung bersahutan berkumandang dari gedung yang berdiri di seberang sana. Sesekali kedua mataku tertegun, menatap lekat-lekat bangunan tua berlantai dua itu. Di masa Hindia Belanda, gedung tua itu menjadi salah satu kantor perusahaan Borsumy yang ada di kota seribu sungai ini. Setiap pagi, puluhan orang laki-laki dan perempuan muda begitu bersemangat, keluar masuk gedung itu. Mereka mengadu nasib, mencari peruntungan untuk mengisi periuk nasi di rumahnya masing-masing. Di sekitar gedung itu pun tak kalah ramainya. Suasana pasar tradisional di tepian sungai yang selalu ramai dikunjungi orang-orang dari segala penjuru kota.

Aku masih ingat, di kantor perusahaan itu ada seorang perempuan asli Banjar bernama Galuh Tantri. Dia juru tulis yang menjadi primadona banyak laki-laki, termasuk aku yang pernah berhasil merebut cintanya.

 

***

 

“Riq, bangun, Nak!” bisikku ke telinga Fariq yang masih terlelap dalam dengkurannya. Kugoyang-goyangkan tubuhnya perlahan, sembari berulang kali membisikkan namanya berulang kali.

Setelah beberapa saat menunggu, Fariq akhirnya terjaga dan segera terduduk di tepi tilam.

“Jadikah kita berburu buaya subuh ini, Kai?” tanyanya spontan.

Aku hanya mengangguk. Di pinggangku bergelantung sebuah mandau berukuran sedang. Di zaman perang kemerdekaan, mandau ini telah banyak menghilangkan nyawa tentara Belanda. Mandau ini warisan turun-temurun dari leluhurku yang berasal dari kawasan Mandomai, Kalimantan Tengah. Aku adalah cucu Datu Rajam, yang jauh-jauh datang ke Banjarmasin dan mendiami salah satu anak Sungai Martapura, di seberang kawasan Teluk Tiram. Datu Rajam adalah orang yang mendirikan Kampung Bagau, yang kejayaannya kini hanya tinggal kenangan saja. Aku juga menggenggam sebilah tombak, yang sejak muda selalu kubawa kemana-mana. Tombak ini juga warisan dari leluhurku, dan konon sudah melintasi banyak daratan dan sungai di Pulau Kalimantan ini.

Jam di dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari, ketika Fariq mulai menyalakan mesin motor perahu klotok yang bersandar di tepi siring Teluk Kelayan. Aku segera melangkah tertatih, dipapah oleh cucu pertamaku yang bernama Farid.

Kai, hati-hati di jalan,” ucapnya berpesan seraya menyerahkan bungkusan sesajen yang terdiri dari lamang, pisang mahuli, telur ayam, dan kopi.

Aku hanya mengangguk. Dengan agak gemetar, kuterima bungkusan sesajen itu dengan hati-hati, lalu kuletakkan tak jauh dari ruang kemudi.

Sementara itu, Fariq telah duduk di ruang kemudi. Perlahan namun pasti, perahu klotok yang membawa kami berdua beringsut meninggalkan kawasan Teluk Kelayan. Sebuah radio tua menemani perjalanan kami. Iringan lagu-lagu Banjar terdengar sayup-sayup, kadang muncul dan kadang menghilang, tertiup angin dingin khas hamparan sungai yang sedang kami susuri.

Kai, mengapa kita harus berburu buaya subuh hari begini?” Sebuah pertanyaan dari Fariq memecah kebisuan kami.

Segera kuhampiri cucuku yang berada di kursi kemudi, agar percakapan kami dapat berlangsung dengan lebih nyaman. Maklumlah, suara mesin klotok ini lumayan terdengar berisik di telinga.

“Riq, kamu tentu sudah mendengar kabar terakhir beberapa pekan ini, bukan?! Kemunculan beberapa ekor buaya di kawasan Pelambuan dan Pemurus Baru, telah meresahkan warga!”

Kai benar! Beberapa hari terakhir aku juga membaca berita-berita itu di medsos. Warga di sekitar lokasi munculnya buaya-buaya itu tampak resah dan ketakutan.” sahutnya. Lebih lanjut Fariq berujar, “bahkan, beberapa warga yang sehari-harinya berprofesi sebagai nelayan di kawasan tersebut, lebih memilih untuk memancing atau menjala ikan di kawasan sungai yang lebih jauh.”

Perahu klotok pun terus melaju. Suara mesinnya masih menderu-deru memecah ombak ruas sungai yang kami susuri. Dari Teluk Kelayan, klotok kami menyisir kawasan RK Ilir melalui Sungai Martapura, lalu menerobos wilayah perkampungan Teluk Tiram, hingga akhirnya sampai di kawasan Basirih, sebelum akhirnya kami menuju muara Sungai Martapura yang berpotongan dengan Sungai Barito.

Mendadak pintu di kepalaku seperti ada yang mengetuk-ngetuk. Sejurus kemudian kedua mataku terpejam, dan sekonyong-konyong kuucapkan beberapa bait mantra untuk berdialog dengan buaya gaib penunggu Sungai Barito ini. Di saat yang lain, tubuhku terasa begitu ringan dan rohku melayang-layang di langit-langit atap klotok. Sementara ragaku masih terduduk kaku tak bergeming, hanya beberapa jengkal dari posisi duduk Fariq yang masih mengemudikan klotok perlahan.

Beberapa saat kemudian, muncul cahaya kuning kemilau dari pusaran air sungai yang berbuih. Cahaya itu berputar-putar mengelilingi pusaran air yang berpilin. Sesosok makhluk berwujud buaya kuning muncul ke permukaan air.

“Amang Pendekar, apa yang engkau lakukan subuh hari begini?” tanya sosok buaya itu kearahku. Lirikan kedua matanya menunjukkan rasa tak senang.

Aku tersenyum. Kudekati sosok buaya gaib di hadapanku ini, lalu kuusap-usap kepalanya dengan lembut.

“Aku tidak punya niat buruk. Aku hanya ingin mencari tahu, mengapa selama beberapa bulan terakhir ini, muncul beberapa ekor buaya di lokasi yang berbeda. Buaya-buaya itu sudah meresahkan warga di sekitar kampung yang berdekatan dengan lokasi kemunculan mereka.”

Buaya gaib itu mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang dan berduri. Setelah menggeram beberapa saat lamanya, dia menjawab pertanyaanku dengan penuh wibawa, “Oh, aku juga telah mendengar laporan yang sama dari para pengawalku. Buaya-buaya itu dari tempat yang jauh, tepatnya dari Pantai Pagatan. Mereka hadir di kota seribu sungai ini atas undanganku.”

“Ada keperluan apa gerangan, sehingga mereka harus muncul di hadapan warga kota ini?” tanyaku menelisik.

“Mohon dimaafkan segala perbuatan dan tingkah mereka yang telah membuat resah banyak warga di sini.”

Aku hanya tersenyum mendengar penjelasannya. Tiba-tiba ada sebuah kegelisahan yang menggelayut di benakku.

“Apakah ada di antara mereka yang terluka? Menurut cerita yang disampaikan cucuku, beberapa warga sempat memburu buaya-buaya itu. Bahkan ada yang sempat melemparkan tombaknya kearahnya!” ucapku tercekat.

Buaya ajaib di hadapanku tak segera menjawab. Air mukanya mendadak muram. “Salah satu di antaranya tewas,” jawabnya lirih.

Mendengar ucapannya, hatiku dapat ikut merasakan dukacita yang mereka alami. Lamat-lamat, sekumpulan bayangan masa laluku kembali berkebat silih berganti di angan-angan. Yah, dulu aku pernah menjadi seorang jagal buaya di banyak sungai di kota ini. Sebagai seorang pemuda yang terobsesi ingin cepat kaya dan terkenal, aku pun kemudian berburu buaya di setiap aliran sungai yang kususuri.

Maklumlah, di masa itu harga kulit buaya sedang mahal-mahalnya. Sehingga aku pun kemudian tergiur untuk memburu buaya-buaya itu setiap hari. Dalam sepekan, aku bisa membunuh satu hingga dua ekor buaya. Sehingga cita-citaku untuk menjadi cepat kaya pun dapat segera terkabul, hanya dalam waktu setahun.

Di saat tersadar dari lamunanku, rohku sudah berada kembali di dalam ragaku. Aku terbangun gelagapan, seperti seorang anak kecil yang bernafas tersengal setelah sesaat sebelumnya hampir tenggelam.

Fariq segera memegangi pundakku, “Kai, Kai, apakah Kai baik-baik saja?”

Aku hanya mengangguk dan berusaha menguasai diriku. Segera kuraih sesajen yang tadi kuletakkan tak jauh dari ruang kemudi. Setelah kurapal beberapa bait mantra, aku pun melemparkan isi sesajen ini satu per satu ke dalam riak-riak air bening di sisi kiri dinding perahu klotok.

“Riq, kita kembali ke Teluk Kelayan, ya!” kataku memberi aba-aba, tanpa penjelasan apa-apa.

Fariq pun segera memutar haluan perahu klotok yang membawa kami berdua.

***

 

Aku terjaga dari tidurku. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 siang. Tubuhku yang sudah renta ini terasa begitu lelah, setelah tadi malam rohku melakukan perjalanan spiritual menuju alam sebelah.

Kai, sudah bangun?” sapa Farid sambil menyodorkan segelas kopi hitam kearahku.

Kai ngopi dulu, pasti nikmat setelah semalaman kita begadang berburu buaya!,” ucap Fariq menimpali.

Kedua cucuku itu pun duduk nyaris tak berjarak denganku. Belasan menit berlalu begitu saja, tanpa ada perbincangan yang terjadi di antara kami.

Di saat yang lain, kedua mataku tiba-tiba terpaku pada sebuah bingkai foto hitam putih lawas, yang terpajang di salah satu sudut kamar ini. Tanpa kusadari, air mata pun berderai di pipiku.

Kai, menangis?” kata Farid dan Fariq hampir bersamaan.

Aku memang menangis. Foto lawas yang barusan kupandangi memuat gambar diriku semasa muda bersama Galuh Tantri, yang kala itu tengah mengandung anak pertamaku.

“Kenapa Kai menangis?” tanya Fariq sejurus kemudian.

Farid pun menimpali, “Apakah karena subuh tadi Kai tidak berhasil membunuh buaya yang meresahkan penduduk itu?”

Aku hanya menggeleng. Rasanya berat menjelaskan gundah gulana yang tiba-tiba menggelayut berat di dada rentaku ini.

“Bukankah tadi malam Kai berhasil bertemu dengan buaya gaib yang tinggal di Sungai Barito?” suara Fariq membuyarkan kesedihanku.

Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah subuh tadi Fariq mampu melihat dengan mata batinnya, peristiwa yang kualami? Apakah itu menjadi pertanda, bahwa tugasku sebentar lagi harus berakhir di dunia, karena aku telah menemukan penggantiku sebagai pemelihara buaya gaib?

Sementara kakaknya hanya terdiam keheranan, sembari mencerna makna kata-kata adik semata wayangnya itu.

Jika seandainya waktu bisa diulang, mungkin aku tak akan pernah memilih jalan untuk menjadi seorang penjagal buaya. Julukan “Amang Pendekar” yang kusandang kala itu, memang sempat membuatku bangga dan besar kepala. Apalagi dalam waktu sekejab, aku mampu mewujudkan segala keinginan dan mimpi-mimpiku.

“Jika seandainya Kai tak pernah membunuh buaya di masa muda dulu, barangkali Nini-mu akan panjang umur dan dapat melihat kalian berdua,” pungkasku sebelum berlalu dari hadapan mereka.

 

 

Daftar istilah bahasa Banjar:

- amang : paman

kai : kakek

pian : Anda

- mandau : senjata tradisional suku Dayak

- klotok : jenis perahu kayu yang dilengkapi mesin motor, salah satu jenis transportasi tradisional untuk menyusuri sungai

lamang : sejenis makanan yang terbuat dari ketan, biasanya dimasak secara tradisional dengan bambu

pisang mahuli : sejenis pisang berbentuk kecil berwarna kuning keemasan

doa salamat : doa memohon keselamatan dalam bahasa daerah setempat

nini : nenek

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)