Masukan nama pengguna
"Tambangan balarut sayang, basambung bengkok nang di haluan mangayuh, tabungkuk-bungkuk nang di balakang koler, duduk maungut, Bakayuh tambangan sayang, basambung bengkok" (lirik lagu Nasib Tambangan karya S. Salfass)
***
Sore itu Ahmad Rusdy baru saja menemani Ibunya untuk berziarah ke makam Ayahnya yang telah berpulang 5 tahun silam. Sepulang ziarah, Ahmad termenung di bilik kamarnya. Secangkir teh hangat tersaji di atas sebuah meja yang terletak di sudut kamar.
Dari sebuah radio tua, lamat-lamat terdengar lagu Banjar lawas yang berjudul "Nasib Tambangan" yang pernah populer di zamannya.
Irama Melayu keroncong yang mengalun syahdu, seolah-olah hendak meninabobokan Ahmad yang masih tenggelam dalam permenungannya. Bayang-bayang Ayahnya tampak begitu dekat di pelupuk mata. Dan Ahmad ingat betul, di salah satu batu nisan Ayahnya tertulis kalimat yang berbunyi demikian, "Pengemudi Jukung Tambangan [1] Sejak Zaman Perang".
Jika dicerna, bunyi kalimat pendek itu cukup menarik perhatian siapa saja yang berziarah ke makam Ayahnya. Dan kalimat itu ditulis berdasarkan pesan wasiat Ayahnya sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Ahad, 7 Juni 2017.
"Bah, Abah [2]..., seandainya Abah masih ada, tentu sore ini kita akan sama-sama menikmati secangkir teh hangat di kamar ini," seru Ahmad membatin sembari menatap foto diri Ayahnya yang berwarna hitam putih yang tergantung di dinding kamarnya.
"Mad, uuy Ahmad," seru Ibunya dari ruang makan. "Ikam [3] sedang apa di situ? Ayo sini, temani Mama di ruang makan." kata Ibunya melanjutkan.
"Iya, Ma! Ulun [4] ke situ, nah!" sahut Ahmad sambil meraih secangkir teh hangat yang sejak tadi belum sempat disentuhnya. Ahmad segera menghampiri Ibunya yang duduk di salah satu kursi meja makan sederhana di ruangan itu.
Ahmad segera duduk di samping Ibunya, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja makan. "Ada apa, Ma? Ada yang ingin Mama sampaikan kepada ulun?"
Selama beberapa detik, Ibunya hanya diam termenung seraya menatap wajah Ahmad dalam-dalam. "Tidak ada hal penting, Mad. Mama hanya ingin ditemani minum teh di sini."
Ahmad hanya mengangguk kecil. Dan keduanya pun terlibat perbincangan selanjutnya hingga hari menjelang malam.
***
Siang itu cuaca terasa sangat panas. Di atas langit sana, matahari bersinar dengan teriknya. Sebagian langit disaput awan mendung berwarna hitam pekat.
"Ahmad, ikam tidak merasa kepanasan, kah?" tanya Ibu kepada Ahmad yang tengah menatap sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding di ruang tengah.
Bingkai foto itu berwarna merah. Di bawah gambar Ayahnya yang sedang berdiri di sisi kanan jukung tambangan. Di situ tertulis keterangan foto, "Ripani bin Sadikun (Pengemudi Jukung Tambangan Sejak Zaman Perang). Lahir :1929. Wafat: 7 Juni 2017.
Ibu kemudian menghampiri anak semata wayangnya ini. Perempuan berusia 75 tahun itu pun kemudian berdiri di samping Ahmad. Kedua matanya ikut tertuju pada bingkai foto berwarna merah itu. "Andai Abahmu masih ada, tentu kita bertiga akan berdiri bersama-sama di tempat ini."
Wanita tua itu lalu melanjutkan kata-katanya, "Ikam masih ingat bukan kebiasaan yang sering kita lakukan bersama? Saat menatap bingkai foto berwarna merah ini, pasti Abahmu akan menceritakan pengalamannya di masa gerilya dahulu."
Ahmad mengangguk tanda setuju. "Benar Bu, Abah pasti akan bercerita suasana perang gerilya yang heroik itu. Pengalaman Abah sebagai anggota pasukan yang membantu di Divisi IV ALRI Kalimantan banyak sekali".
"Iya Mad, Abahmu memang pernah menjadi bagian dari pasukan pimpinan Bapak Hassan Basry yang terkenal itu. Meski pekerjaan sehari-hari Abahmu hanya seorang pengemudi jukung tambangan, namun perannya cukup berarti untuk mendukung kemenangan tentara kita melawan Belanda pada masa itu." sahut Ibunya sambil tersenyum bangga.
***
Pagi itu Ahmad tampak sibuk membersihkan kamar kerja mendiang Ayahnya. Meski dalam keseharian Ayahnya bekerja sebagai pengemudi jukung, namun Ayahnya mempunyai pekerjaan sampingan yang istimewa. Sampai di usia lanjutnya, Ayahnya tetap rajin menulis untuk beberapa surat kabar lokal dan nasional.
Saat membuka-buka salah satu map berisi arsip-arsip Ayahnya, Ahmad menemukan potongan berita di salah satu surat kabar lokal. Dalam berita itu terpampang foto Ayahnya yang menerima penghargaan sebagai veteran perang kemerdekaan. Dan penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Soeharto pada tahun 1984 di Istana Negara Jakarta.
Tiba-tiba Ibu masuk ke dalam ruangan itu dan mendapati Ahmad yang tengah memandangi foto mendiang Ayahnya. Salah satu foto yang ikut membuatnya bangga sebagai seorang istri veteran perang kemerdekaan.
"Mad, waktu ikam masih kecil, Abahmu sering mengajak Mama dan ikam pergi ziarah ke makam kawan-kawan seperjuangan Abah. Bukan hanya ziarah ke makam Bapak Hassan Basry yang ada di bundaran Liang Anggang saja, tapi juga ke kota-kota lain sampai ke Kaltim dan Kalteng." tutur Ibu Ahmad terbata. Kedua matanya menerawang jauh menatap langit-langit kamar.
Ahmad hanya tercenung. Setelah usianya sekitar 6 tahun dan mulai dapat memahami kejadian yang dialaminya dengan baik, Ayahnya sudah mulai jarang pergi ziarah ke makam kawan-kawan seperjuangannya.
"Iya Ma, semangat Abah luar biasa. Kesetiaannya terhadap bangsa dan negara ini luar biasa. Sebagai anaknya, ulun bangga sekali dengan Abah. Sayang sekali Abah kemudian jatuh sakit sehingga tidak memungkinkan lagi untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh." sahut Ahmad menimpali cerita Ibunya.
Sejurus kemudian Ibunya melanjutkan kalimat-kalimatnya. Dengan setengah terisak wanita tua itu berucap pelan kepada Ahmad demikian, "Mad, Mama ingin menyampaikan pesan wasiat Abahmu."
"Pesan wasiat apa, Ma?" tanya Ahmad penasaran. Sebab selama lima tahun terakhir Ibunya tidak pernah menyinggung tentang pesan wasiat dari Ayahnya.
"Ahmad, Mama memang baru diizinkan Abahmu menyampaikan pesat wasiat ini di tahun kelima sejak Abahmu berpulang. Dan tepat di hari ini ikam sudah berusia 21 tahun. Usia yang sudah matang."
Dan keduanya pun kemudian saling berpandangan selama beberapa saat. Ahmad dan Ibunya sama-sama terdiam sekian detik lamanya. Keduanya hanya bertatapan saja, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
Hingga pada suatu ketika, Ibu Ahmad kembali membuka pembicaraan, "Ahmad, sebuah wasiat yang perlu ikam tahu adalah warisan jukung tambangan peninggalan Abahmu."
Ahmad masih terdiam tak mengerti. "Warisan jukung tambangan dari Abah?"
"Benar Mad, Abahmu mewariskan sebuah jukung tambangan untukmu. Manfaatkan dan rawatlah dengan baik jukung itu." sahut Ibunya.
Ahmad masih mencoba menerka keberadaan jukung tambangan warisan Ayahnya. Sebab hingga detik ini Ahmad merasa tak pernah melihatnya.
Mendadak Ibunya tertegun. "Mama bisa memahami kebingunganmu saat ini. Pasti kamu saat ini mempertanyakan keberadaan jukung warisan almarhum Abahmu."
Ahmad hanya mengangguk tanda setuju.
"Ahmad, sebenarnya kamu sudah pernah melihat jukung itu. Bahkan setiap tahunnya kita selalu menaikinya untuk pergi berziarah ke makam Datu kita di Lok Baintan." ucap Ibunya memberi penjelasan.
Ahmad masih bingung dan belum berhasil memahami penjelasan Ibunya. Hingga di suatu ketika Ahmad mendadak teringat sesuatu, "Ulun baru ingat, Ma. Jadi yang Mama maksud dengan jukung warisan Abah adalah jukung tambangan yang selama ini dipergunakan Paman Iyan untuk mengangkut penumpang dari Banjarmasin ke Pasar Terapung Lok Baintan. Benar begitu, Ma?"
Mamanya hanya mengangguk mengiyakan. Belum sempat Mamanya menjelaskan lebih lanjut, lagi-lagi Ahmad menimpali dengan sebuah pertanyaan.
"Bagaimana nasib Paman Iyan bila jukung yang sehari-harinya dimanfaatkan untuk mencari sesuap nasi bagi keluarganya kemudian harus diserahkan kepada ulun?"
Ibu Ahmad bisa memahami maksud anak tunggalnya tersebut. "Begini Ahmad, perlu ikam ketahui bahwa sebenarnya Paman Iyan itu adalah kakak sepupumu. Mamanya adalah istri pertama Abahmu yang sudah meninggal sejak lama, tepat di saat Paman Iyan lahir ke dunia ini."
"Maksud Mama, Paman Iyan juga anak Abah Ripani bin Sadikun?" kata Ahmad penuh tanda tanya.
Lagi-lagi wanita tua itu mengangguk seolah hendak membenarkan kata-kata Ahmad barusan.
Selanjutnya Ibu menceritakan semuanya kepada Ahmad. Dari kisah tersebut Ahmad mengetahui bahwa selain bersaudara sepupu dengan Paman Iyan, dirinya juga punya kakak sepupu yang sudah meninggal sesaat setelah dilahirkan. Dan Ibu dari almarhum kakak sepupunya itu pun telah berpulang akibat perdarahan hebat, sehingga nyawanya tak berhasil diselamatkan.
Usai mendengar penuturan Ibunya, Ahmad menghela napas panjang. Sebuah keyakinan kini bergaung di kepalanya. Dan suara-suara itu berkata bahwa Ahmad Rusdy dan saudara-saudara sepupunya adalah anak-anak pewaris jukung tambangan.
Sumber gambar: COLLECTIE TROPENMUSEUM (https://www.wikiwand.com/ms/Jukung_tambangan)
Daftar istilah :
[1] jukung tambangan = perahu tradisional khas Kalimantan Selatan
[2] Abah = Ayah
[3] ikam = kamu
[4] ulun = saya, aku