Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,153
Banjar Banyu 3022
Aksi

Lehman tercenung menatap awan hitam yang berarak di atas sana. Tubuh lelaki paruh baya - berbaju hitam lusuh dengan ikat kepala compang-camping itu, tergolek di atas kursi malasnya. Kursi malas berbahan logam berhias karat dan warna suram yang menyelimuti hampir seluruh permukaannya.

Angin khas daerah rawa yang sejak pagi bertiup sepoi-sepoi, kini mendadak menderu-deru, dan tiupannya kian lama kian kencang; bahkan dalam jangka waktu yang tak seberapa lama kemudian, tiupannya sanggup membuat sebagian atap-atap rumah yang terbuat dari lembaran seng bekas itu terhempas kesana-kemari, mencipta suara khas yang sanggup menjadikan hati miris dan trenyuh dengan alasan yang jelas dan sudah pasti itu.

Tiba-tiba kedua bola mata Lehman terpaku pada selembar almanak yang menempel di dinding rumahnya. Almanak yang dicetak oleh Pemerintah Nekropolis Banjar Banyu, yang pusat pemerintahannya terletak di salah satu delta sungai di kawasan Pulau Borneo. Hari ini adalah hari ke-265 di tahun 3022. Dan kerinduan Lehman untuk tinggal dan menetap di lereng Pegunungan Meratus tak pernah pudar. Dia ingin segera tiba di sana!

Dengan kemajuan teknologi di zaman ini, Lehman sebenarnya bisa saja menuju ke kawasan pegunungan tersebut dengan mudah. Tapi otoritas setempat tidak bersedia menerima kehadiran orang luar yang tidak mau memanfaatkan fasilitas gerbong kereta api yang mereka sediakan. Alasannya cukup sederhana dan masuk akal. Mereka ingin mempertahankan Meratus sebagai gerbang harapan terakhir di kawasan tenggara Borneo ini.

 

***

 

"Selamat pagi warga Nekropolis Banjar Banyu, Pian sabarataan sedang mendengarkan siaran radio digital milik Pemerintah Nekropolis Banjar Banyu." demikian suara seorang penyiar wanita mengawali siarannya.

Lehman menyimak siaran radio pagi itu dengan seksama. Saking antusiasnya mendengarkan siaran tersebut, cuping kedua telinga lelaki ini tampak bergerak-gerak teratur.

Lehman mengusap-usap keningnya yang sudah dihiasi kerutan-kerutan di sana-sini, sembari memperbaiki letak posisi ikat kepalanya. Dikencangkannya ikat kepala itu meskipun Lehman tidak merasakan gejala pening di kepalanya.

"Waduh, kenapa-bagaimana-di mana ulun akan berlindung, bila malam ini badai hujan sungguh datang dan meneror kawasan Banjar Banyu yang tak pernah sepi dari bencana alam ini?” pekik Lehman tertahan.

Lehman berseru seolah-olah menggedor-gedor kesadarannya sendiri, sembari memaki dan tersenyum kecut pada sesosok wajah yang berada dalam bingkai foto di hadapannya.

“Oh, kakek buyutku, kenapa pian biarkan semua ini terjadi di masa depan? Bencana alam yang kini datang silih berganti dan bertubi-tubi ini, sebenarnya kedatangannya sudah diramalkan semasa engkau bertahta dan berkuasa!”

Lehman mendengus geram. Namun batinnya perlahan menjadi sejuk tatkala dalam pikirannya melintas kembali kerinduan untuk segera mendiami lereng Pegunungan Meratus – salah satu kawasan yang saat ini paling menjanjikan di antara sederet nama perbukitan dan pegunungan di dataran Borneo!

Meratus, adalah nama pegunungan yang sudah dikisahkan Solomon Muller di tahun 1800-an, tatkala Borneo dan wilayah lainnya di Nusantara ini masih dikuasai kolonialisme Walanda. Goenoeng Ratoes Meratoes yang berarti seratus gunung atau seratus puncak, yang konon menurut Muller, setiap puncaknya memiliki namanya masing-masing. Selain Muller, di masa-masa itu ada banyak warga asing lainnya yang pernah menjelajahi kawasan yang memiliki kekayaan alam dan hayati yang tak terperi ini. Sebut saja Anton Nieuwenhuis, Schwaner, hingga Anna Lowenhaupts Tsing.

Sejurus kemudian Lehman tampak memainkan selembar kertas berwarna kecokelatan yang panjangnya seukuran telunjuk jarinya. Pada salah satu sisinya tertulis demikian, “Tiket Kereta Api Tujuan Meratus. Melintas di kawasan tinggal pian sabarataan pada hari ketiga di awal tahun 3023. Persiapkan diri pian, jangan sampai tertinggal!

Diputar-putarkannya selembar kartu itu, lalu dilemparkannya ke atas seperti seorang anak kecil yang tengah bermain kartu bergambar. Kertas cokelat itu melayang-layang di udara selama beberapa detik, sebelum akhirnya meluncur ke arah genangan air rawa yang terbentang di hadapannya.

Sontak Lehman tersadar. Sekonyong-konyong tubuhnya yang kurus kering itu bergerak lunglai seraya sesegera mungkin meraih kartu cokelat yang telah tercelup sebagian ke dalam air. “Busyeet!!!,” Lehman menggerutu.

Dikibas-kibaskannya kartu cokelat yang sebagian telah basah itu. Dia tersadar bahwa sisa hidupnya mungkin akan sangat bergantung pada selembar kertas lusuh tersebut.

Betapa tidak, 30 hari yang lalu Lehman mendengar dari siaran radio digital milik Pemerintah Nekropolis Banjar Banyu yang menyebutkan bahwa beberapa wilayah delta di sekitar tempat tinggalnya lenyap tersapu banjir bandang yang terjadi tiba-tiba. Dan konon delta-delta itu tak pernah kembali muncul ke permukaan. Entah bagaimana nasib para penghuninya kini, tak pernah ada pemberitaan yang pasti dari stasiun radio yang sama.

 

***

 

“Ini bukan tentang ramalan masa depan. Namun kejadian ini adalah buah perbuatan manusia yang sengaja merusak alam dan berdalih demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini bukan tentang ramalan masa depan, meskipun penyesalan kemudian harus dialami oleh anak cucu yang tidak pernah tahu menahu tentang perbuatan leluhurnya yang jelas-jelas tercela dan tak peduli pada kelestarian alam dan kehidupan alam semesta. Dan kejadian ini bukanlah ramalan yang menjadi kenyataan, namun merupakan kenyataan pahit yang harus diterima generasi ini akibat keserakahan kakek nenek buyutnya yang hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan pundi-pundi kekayaan yang pada hakikatnya tak pernah mereka bawa ke liang lahat!”

Lehman mengernyitkan dahinya membaca cuplikan kalimat dari buku digital di hadapannya. Buku itu berjudul “Hikayat Banjar Banyu”. Lelaki paruh baya itu kemudian mendehem, usai mematikan pancaran cahaya laser dari sebuah alat yang ada di genggaman telapak tangan kanannya. Alat pemindai bacaan super canggih yang tersedia di zaman itu.

Kali ini almanak menunjukkan hari ke-277 di tahun 3022. Lehman mencoba memperbaiki posisi duduknya di atas sebuah kursi malas yang mengapung di atas genangan air berwarna cokelat keemasan. Kursi malas berbahan logam berhias karat dan berwarna suram yang sangat dicintainya.

Banyuuuuuu, banyuuuu…. !!!” sebuah teriakan terdengar dari salah satu tetangganya.

Lehman tidak bergeming dari kursi malasnya. Dia hanya tersenyum masam, sembari menatap tajam ke arah bingkai foto yang memuat sebuah senyuman manis untuknya. Bingkai foto yang konon memuat wajah kakek buyutnya.

Aihhhh, kakek buyut, pian dasar tega membiarkan anak cucu pian mengalami semua ketidakpastian ini! Entah sudah berapa nyawa hilang selama ini akibat keserakahan pian di masa itu? Gegara pian jua generasi kami ini jadi pengungsi di tanah sendiri. Kemana pun kami pergi sekarang ini, bala bencana selalu mengintai! Nasib ja lagi, hidup serasa di ujung tanduk!”

Di saat berikutnya Lehman terlihat sibuk menaikkan beberapa barang berharga ke atas laci-laci atap rumahnya. Dengan bersusah payah dinaikinya sebuah tangga kayu yang telah tersandar bertahun-tahun di salah satu sudut rumah tua itu. Rumah yang sudah ditinggali oleh puluhan generasi sebelum Lehman.

Bukan sekali ini saja Lehman melakukan ritual itu. Sejak kanak-kanak dirinya sudah terbiasa melihat Abah Mamanya melakukan hal serupa di masanya. Bahkan Lehman masih ingat betul, di suatu ketika dia dan adik-adiknya pernah dimasukkan ke dalam laci-laci tersebut untuk menghindari terjangan banjir bandang yang arusnya cukup deras kala itu.

Laci-laci tersebut berada di atap lantai tiga rumahnya. Meski dari tahun ke tahun air yang pasang akibat banjir bandang selalu mengalami kenaikan, namun hingga hari ini Lehman masih merasa lega karena laci-laci itu belum pernah tersentuh air banjir.

Akhir 3021 lalu, debit tertinggi air banjir yang pernah menggenang baru mencapai garis batas antara lantai dua dan tiga. Meski begitu Lehman tetap merasa khawatir karena di antara barang berharga itu, terselip selembar karcis cokelat kereta api jurusan Pegunungan Meratus.

Di luar sana awan hitam tampak bergelayut manja di antara sambaran petir yang saling bercengkerama di luasnya cakrawala. Angin bertiup kian kencang tatkala Lehman mulai merebahkan tubuhnya dalam sebuah bilik sederhana yang letaknya bersisian dengan laci-laci di atap lantai tiga itu. Sementara hujan turun dengan derasnya menghantar tumpahan air ke atas bumi.

 

***

 

Pagi itu fajar menyingsing di ufuk timur membawa kabar baik tentang hujan badai yang baru saja reda. Tubuh Lehman yang terbujur kaku sejak semalam, kini mulai bergerak-gerak. Kedua bola matanya mengerjab-ngerjab, disusul gerakan tulang pipinya yang naik turun seolah-olah hendak mengekspresikan sesuatu di wajahnya.

Saat mulai membuka matanya, Lehman mendapati genangan air yang kini sudah hampir menyentuh batas antara lantai dua dan tiga rumahnya. Lehman hanya menggeleng-geleng. Di saat lainnya Lehman meraih sebuah bingkai foto dari tumpukan barang yang kemarin disusunnya di laci-laci atas lantai tiga.

Lagi-lagi foto kakek buyutnyalah yang diambilnya. Entah mengapa sepertinya Lehman begitu tertarik dengan foto itu. Foto berbingkai kayu dengan motif kanas yang warna aslinya telah pudar dimakan zaman.

Waktu berjalan begitu cepat, dan matahari pun kian meninggi. Seiring berjalannya waktu, debit air di dalam rumahnya mulai merangkak naik sedikit demi sedikit. Hati Lehman mulai kecut. Wajahnya menjadi pucat pasi seakan tak bergairah lagi.

Dari lubuk hatinya yang terdalam Lehman berdoa dan memohon kepada Sang Khalik agar air banjir segera surut.

Dan diam-diam, Lehman sudah tak sabar menanti kedatangan hari itu. Hari ketiga di awal tahun 3023.


Sumber gambar: ILUSTRASI BANJIR BANDANG (https://canva.com)

 

 

Daftar Istilah :

-      pian sabarataan: Anda semua

-      ulun: saya

-      pian: Anda

-      Walanda: Belanda

-      dasar tega: memang tega

-      gegara: gara-gara

-      abah mama: ayah bunda

-      kanas: buah nanas

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)