Cerpen
Disukai
9
Dilihat
1,387
KESALAHAN MELAHIRKAN SEBUAH PENYESALAN
Thriller
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kisah dalam cerpen ini adalah perjalanan perubahan dan pertumbuhan karakter dalam sebuah keluarga yang diliputi oleh konflik, cinta, dan pengampunan.

Sebuah dosa dapat membuat seseorang bisa belajar dari kesalahan, lalu kesalahan apakah yang diperbuat oleh karakter sehingga cahaya hadir setelah berbuat dosa? Baca selengkapannya!



BAB 1. BUKAN BENTAKAN, TAPI KASIH YANG MENYENTUH HATI

  

Sejak kecil, Robi tumbuh dalam didikan keras dari ayahnya. Setiap kali ia meminta uang jajan, sang ayah selalu menolaknya, bahkan membentaknya seolah Robi bukan darah dagingnya sendiri. Padahal, Robi adalah anak kandung pertamanya.


Ibu Robi, Bu maria sering mendapat perlakuan buruk dari suaminya. Saat Bu Maria meminta uang belanja lebih, Pak syafi pasti menggerutu, “Buat apa lagi, Bu? Uang yang kuberi kemarin kau gunakan untuk apa saja, sih!?” ucapnya kasar. 


 Hati Bu Maria retak, tak bersuara, tetapi luka itu menggema hingga relung jiwanya. Dia tak berdaya untuk melawan suaminya, karena baginya, seorang istri tidak pantas melawan suami meski tuturnya tajam dan berhati beku.


Sementara, Robi ketakutan di balik pintu kamar–melihat ibunya dibentak oleh ayahnya. Setelah ayahnya pergi, Robi menghampiri ibu yang sudah menangis tersedu-sedu. Bu Maria memeluk erat Robi sembari mengatakan,

 

 “Anakku, jika kau sudah besar kelak, jangan pernah kau menyakiti istrimu, ya, Nak. Biarlah cukup Ibu yang merasakan sakit ini.


“Iya, Bu. Sekarang Ibu jangan menangis lagi. Aku akan selalu menjaga Ibu,” ucap Robi sambil menghapus air mata ibunya.


Hati Robi hancur ketika menyaksikan penderitaan sang ibu. Setelah Bu Maria merasa tenang, Robi pun pergi ke rumah temannya.


“Bu, Robi keluar dulu, ya. Ada kerja kelompok di rumah teman,” pamitnya dengan berat hati. Ternyata setelah menuju ke rumah temannya, Robi melihat ayahnya nongkrong di warung sambil bermain catur dan minum alkohol. Robi pun terkejut, hatinya berdetak kencang sekaligus kecewa.


  “Ayah, seharusnya kau tidak bersikap kasar pada Ibu, kau lebih mencari kesenangan diri daripada memikirkan kebahagiaanku dan Ibu,” ucap Robi dalam hati. Namun, Robi tak berani mengatakan perkataan itu pada ayahnya, karena saat itu Robi masih terlalu muda dan tak sanggup melawan ayahnya yang tubuhnya kuat dan kekar.


Sesampainya di jalan, salah satu tetangga saling berbisik pelan–meratapi nasib Robi dan ibunya. “Kasihan, ya, si Robi. Dia harus menyaksikan kelakuan ayahnya yang gak becus itu.”


 Robi pun hanya termenung sambil menahan malu, karena sering dighibahi oleh tetangganya. 

**** 

Suatu hari, Robi terlibat pertengkaran dengan anak tetangga. Dipenuhi emosi karena kerap dibully setiap hari, Robi kehilangan kendali dan memukul anak itu hingga terluka. Apalagi, anak tersebut sempat melontarkan hinaan menyakitkan tentang orang tua Robi—membuatnya tak bisa menahan amarah.


Ketika kabar itu sampai ke telinga Pak Syafi, ayah Robi, ia langsung murka tanpa mau mendengar penjelasan. Tanpa belas kasih, ia menghakimi Robi habis-habisan. Tubuh Robi bahkan sempat dibenturkan ke dinding, dihukum bukan dengan didikan, melainkan dengan kekerasan.


Setelah Bu Maria melihat putranya tergeletak di lantai, dia langsung melawan suaminya dan akhirnya terjadilah pertengkaran diantara mereka.

 

“Bapak …! Kenapa dengan Robi, apa yang kau lakukan, tega-teganya kau memukul putra kita!” ucap Bu Maria kesal.


Robi pun menangis ketakutan dan memanggil ibunya, kemudian Bu Maria memeluk Robi erat sambil memegang bahunya. Setelah diperiksa, bahu Robi menjadi memar karena benturan keras. Namun, ayahnya sedikitpun tidak peduli justru dia tetap menghakimi istrinya dan menganggapnya tidak mampu mendidik anak.


“Lihat anakmu ini, dia memukul anak tetangga. Jadi, inilah balasan yang setimpal untuknya!” ucapnya dengan mata tajam sembari memandang ke arah Robi dan ibunya.

 

Setelah Bu Maria mengajak Robi ke dapur dan memberinya minum, Robi mulai merasa tenang. Usai menyantap makanan yang disiapkan ibunya, Robi pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar penjelasan itu, Bu Maria mengerti dan segera mengajak Robi untuk pergi meminta maaf kepada temannya.

 

“Nak, dengarkan Ibu! Meski temanmu yang bersalah terlebih dulu, sikapmu itu terlalu berlebihan, Nak. Ayo minta maaf kepada temanmu! Ibu akan mengantarmu,” perintah Bu Maria sembari menenangkan putranya.


“Bu, untuk apa aku minta maaf, dianya yang menghina Ayah dan Ibu, kan. Aku tidak mau, Bu.” Dengan tegas Robi menolak perintah ibunya.


  “Nak, apapun yang mereka perbuat padamu, kita tak perlu membalas dendam. Biarlah mereka menerima balasannya sendiri. Tuhan maha adil, Nak.” Dengan lembut Bu Maria memberikan arahan yang mulia kepada putranya.


 Setibanya di rumah temannya, Robi memberanikan diri menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada orang tua temannya itu. Ia mengatakan bahwa anak mereka telah menghina ayah dan ibunya. Robi merasa tak terima orang tuanya dicaci maki—hal itu membuat emosinya memuncak. Ia pun mengakui bahwa karena itulah ia terpaksa membalas dengan pukulan. Dalam hatinya, ia berharap tindakan itu bisa membuat temannya jera dan berhenti membully-nya.


Namun, setelah Robi menjelaskan apa yang terjadi, dia pun meminta maaf kepada teman dan orang tuanya.

“Tante, saya minta maaf karena telah membalas sikap anak tante dengan kekerasan, apakah dia ada di rumah, Tante?” 


“Tidak, Robi. Shahri belum pulang sejak kemarin, dia sedang menjenguk neneknya yang sedang sakit. Kamu jangan khawatir. Besok saat Shahri pulang, Tante akan sampaikan padanya.” Bu Rima akhirnya memaklumi kesalahan Robi bahkan meminta maaf atas sikap anaknya.


Akhirnya, setelah mendengar nasihat Bu Maria, Robi menyesal karena selama ini telah mencontoh sikap ayahnya yang keras dan penuh amarah. Ia mulai menyadari, seharusnya ia meneladani ibunya—sosok yang lembut, sabar, dan selalu memaafkan.


Bu Maria bukan hanya seorang ibu, tapi juga istri yang shalihah. Meski diperlakukan dengan kasar oleh suaminya, ia tetap ridha, setia, dan terus memaafkan setiap luka yang ditinggalkan.

 

Sesampai di rumah, Bu Maria mengakui di hadapan suaminya seraya menyesali bahwa selama ini mereka kurang memberikan arahan dan tauladan yang baik kepada anak mereka.


“Robi, ayo istirahat dulu sana!” perintah Bu Maria, lalu menghampiri suaminya di ruang keluarga.


“Baik, Bu.” Dengan patuh Robi pun masuk ke kamarnya.


“Bagaimana, Bu. Apa Robi sudah meminta maaf kepada temannya?” tanya Pak Syafi.


“Sudah, Pak. Dia meminta maaf kepada orang tua Shahri, sayangnya temannya itu sedang pergi. Sekarang semua sudah diselesaikan, kok,” kata Bu Maria.


“Ya sudahlah. Semoga lain hari Robi tidak mengulanginya,” harap Pak Syafi.


“Oh ya, Pak. Sebenarnya, kita juga punya andil. Selama ini kita kurang memberikan Robi teladan yang baik, bukan? Jadi, wajar kalau dia kurang arahan,” ucap Bu Maria dengan harapan suaminya menyadari kesalahannya.


 Pak Syafi pun berpikir sejenak sambil mengenang sikap buruknya selama ini.


“Kamu benar, Bu. Bapak-lah yang harus meminta maaf kepada Robi. Seandainya dari dulu Bapak tidak khilaf, mungkin Robi menjadi anak yang baik. Maafkan Bapak, Bu!” 


 “Sudahlah, Pak. Mendengar penyesalan Bapak hari ini, Ibu sudah merasa lebih tenang. Ibu hanya memohon pada Bapak, berilah perhatianmu kepada Robi selayaknya ayah yang baik.


Setelah Robi mengalami hal tersebut, Pak Syafi baru menyadari bahwa selama ini dia telah salah dalam bertindak kepada keluarganya. Ia merasa perbuatan Robi adalah cermin dari sikapnya yang kurang baik. Sejak itulah Pak Syafi berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati dalam bertindak kepada siapapun.


Sesaat kemudian, Pak Syafi menghampiri Robi di kamarnya. Dia ingin mengakui kesalahannya selama ini, karena telah mengabaikannya. Namun, setelah mencoba mendekati Robi, rupanya anak itu telah terlelap dengan senyuman di wajahnya. Dengan mata berlinang, Pak Syafi mengucapkan kata maaf di hadapan Robi.


 “Robi, Ayah minta maaf, ya. Selama ini Ayah terlalu sering mengabaikanmu. Sekarang Ayah sadar, Sayang. Ayah berjanji mulai hari ini dan seterusnya, Ayah akan menyayangimu lebih dari apapun.”

 Sesaat kemudian, Pak Syafi berdiri dan hendak keluar dari kamar Robi, tiba-tiba Robi menarik tangannya agar tetap menemaninya. “Ayah, jangan pergi! Tetaplah bersamaku. Aku rindu pelukan Ayah.”


“Nak, istirahatlah! Robi pasti lelah, Kan? Besok kita bicara lagi,” jawab Pak Syafi sambil mengelus rambut putranya dengan lembut.


 BAB 2. SAAT CUMI HITAM MENGAJARKAN HATI

 Suatu hari, Bu Maria sedang memasak cumi hitam kesukaan suaminya. Sementara itu, Robi baru usai menikmati perjalanan di alam mimpi. Saat matahari menembus jendela kamarnya, matanya terimbas cahaya fajar sehingga terbangun dan tak sempat melanjutkan perjalanan dalam mimpinya yang indah.


Sesaat kemudian, setelah Robi membersihkan diri, tiba-tiba perutnya berbunyi memberikan tanda bahwa sudah saatnya sarapan pagi. Robi pun bergegas menuju ke ruang makan sambil membuka penutup makanan di atas meja. Saat melihat semangkuk kuah hitam, dia pikir, ada seseorang yang sengaja menaruh air kotor di meja, akhirnya tanpa ragu Robi langsung membuangnya di tong sampah.


Sementara itu, Bu Maria pergi ke pasar untuk membeli bahan dapur. Sekembalinya ke rumah, ia langsung menuju ruang makan dan meletakkan sepiring buah yang baru saja dibelinya. Saat membuka tudung saji, ia terheran-heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Ke mana perginya cumi hitam yang tadi kusajikan?”


 Sesaat kemudian, Robi masuk dari pintu belakang sambil membawa piring kotor bekas cumi hitam. Bu Maria pun bertanya, 


“Robi, apa yang kau lakukan, habis makan cumi, ya. Itu cumi kesukaan ayahmu. Kemana sisanya, Nak? Ayah, kan belum makan!” tanyanya, ia mulai curiga–jangan-jangan Robi telah membuangnya.


Setelah Robi mengetahui bahwa kuah hitam yang dibuangnya tersebut adalah cumi milik sang ayah, dia merasa gugup dan takut ibunya marah. Namun, setelah ditanya, dia jawab dengan alasan yang gak masuk akal.


“Ibu, maafkan aku, pikirku cumi itu air kotor dan orang jahat sengaja menaruhnya di meja?!” 


“Robi … ! Jadi, kamu membuang cumi hitam itu!” Bu Maria terkejut marah.


“Maaf, Bu. Robi pikir itu bukan makanan,” ucap Robi sambil menggaruk kepalanya seakan-akan ada serangga yang hinggap.


Bu Maria pun akhirnya terdiam sambil kembali ke rumah tetangga untuk membeli lagi cumi-cumi tersebut. Dia pikir, jika suaminya terbangun dan menanyakan masakan cuminya, dia bakal kena amarah, karena tidak mematuhi permintaannya.


Sebelum pergi keluar, Bu Maria berpesan, “Robi, jika ayahmu bangun dan menanyai Ibu, tolong bilang saja Ibu sedang memesan cumi ke rumah Bu Maryam, ya!” perintah Bu Maria.


“Baiklah, Bu. Tapi, tolong jangan cerita tentang cumi yang ku buang, ya! Robi takut Ayah marah.” Dengan harap Robi memohon agar ibunya tidak memberitahu kesalahannya.


Tak lama kemudian, Pak Shafi pun terbangun dan membersihkan tubuhnya, kemudian menuju ke ruang makan. Sementara Robi sedang mengupas buah di meja.


“Ayah sudah bangun! Robi kupasin buah, ya!” tawarnya.


  “Ibumu kemana, Rob?” tanya sang Ayah.


“Ibu sedang pesan cumi buat Ayah. Sebentar lagi pulang,” jawab Robi polos.


 “Jam segini belum masak cumi, trus Ayah makan dengan apa!” Pak Shafi emosi karena perutnya sudah melilit kelaparan.

 

Tak lama kemudian, Bu Maria datang membawa cumi matang.


“Eh, Bapak sudah bangun! Ini, Pak. Cuminya udah siap!” kata Bu Maria sambil menuang nasi dan cumi di atas piring di depan suaminya.


“Wah, kesukaan Bapak, nih, Bu!” ujar Pak Syafi sambil menelan ludahnya.


“Robi, kamu mau cumi, ini ambil!” Dengan ramahnya Pak Syafi menyodorkan semangkuk cumi hitam.


“Nggak, Ayah, Robi gak suka, entar mulut Robi jelek lagi!” tuturnya polos.


 “Haha, Robi. Cumi itu makanan laut yang paling bagus nutrisinya!” terang Bu Maria sambil tertawa geli.


“Yaudah, biar Ayah aja yang ngabisin!” kata Pak Syafi.


Bu Maria pun tertawa sambil memandang raut wajah suami dan anaknya dengan penuh kasih. Setelah sekian lama tak bercanda tawa, saat itu suasana mereka tidak seperti hari sebelumnya yang penuh dengan luka dan kecewa.


Seusai sarapan, Robi bersiap pergi ke sekolah dan ayahnya hendak pergi kerja. Robi akhirnya berani memanggil ayahnya dan minta diantar ke sekolah. Selama ini, Robi tidak pernah minta antar ke sekolah. Sejak Pak Syafi mengakui kesalahannya padanya, anak itu tidak lagi merasa sungkan ataupun takut. 


“Ayah, tunggu! Bolehkah Robi ikut ayah sampai ke sekolah?” tanya Robi sedikit ragu.


Pak Syafi pun terdiam sejenak, pikirnya, “mulai sekarang aku harus memberikan perhatian penuh pada putraku.”

 

“Baiklah, ayo cepat naik!”


“Hore …! Ibu, Robi diantar Ayah ke sekolah!” Dengan girangnya Robi berlari menghampiri motor ayahnya.


Sesampai di sekolah, teman-temannya bertanya siapa yang telah mengantarnya, karena selama ini ayahnya tidak pernal mengantarnya. Dengan wajah berseri-seri Robi menjawab bahwa dia bersama dengan ayah tercinta.


“Robi, Ayah berangkat kerja dulu, ya. Nanti saat waktunya pulang, ayah akan jemput Robi lagi!” pamit Pak Syafi.


“Benarkah! Makasih, Ayah. Robi akan tunggu!” kata Robi merasa senang.Sesaat kemudian, bel sekolah berbunyi menggema di seluruh sudut kelas. Robi sangat antusias masuk ke kelasnya. Hari itu pelajaran yang diberikan guru adalah Bahasa Indonesia, materi yang sangat Robi sukai.

Saat Pak Guru memberikan sebuah tugas mengarang, Robi memutuskan untuk menulis kisah kehidupannya sendiri. Dia mau membuktikan kepada dunia bahwa ayahnya yang selama ini dikenal sebagai orang yang tak bertanggung jawab, kini telah berubah menjadi ayah yang lebih baik.


“Robi, Tugas hari ini adalah membuat cerpen mini yang dapat menginspirasi diri sendiri dan orang lain. Kamu siap, lalu judul apakah yang akan kamu ciptakan?” tanya Pak Ridha, wali kelas 6.


“Saya sudah menyiapkan judulnya, Pak. Setelah naskahnya selesai, saya akan katakan pada Bapak,” jawab Robi antusias.


“Baiklah, Robi. Selamat berkarya!” kata Pak Ridha.

  

Pak Ridha pun memberikan kesempatan selama satu minggu untuk menyelesaikan tugas mereka.


Setelah dua jam kemudian, pelajaran pun berakhir dengan baik. Robi dan teman-teman bersiap kembali ke rumah mereka. Sebelum keluar dari sekolah, Robi tetap duduk di depan kelas sambil menunggu jemputan ayahnya. Tak lama Pak Ridha melihatnya duduk termenung sendiri dan akhirnya menghampiri Robi dan bertanya, “ Robi, kenapa belum pulang, Nak?”


“Saya masih menunggu Ayah, Pak. Katanya mau menjemputku,” jawabnya sambil tersenyum.


“Oh, ya sudah. Bapak masuk ke kantor dulu, ya.”


Tak lama kemudian, Pak Syafi pun datang dan masuk gerbang sekolah sambil mencari Robi. Setelah melihat ayahnya, dia berlari menghampirinya.


Sesampai di rumah, mereka merasa lapar, kemudian memanggil Bu Maria agar disiapkan makanan.


“Bu, kami pulang! Ayah, perutku lapar, nih, kemana Ibu, ya!” ucap Robi dengan polos 


“Iya, Ayah juga lapar, Rob. Mungkin Ibu di taman belakang kali, coba di periksa!”


Namun setelah Robi memeriksa ibunya di taman. Dia tidak menemukannya.


BAB 3. HARTA TAK DIBAWA, IMAN YANG DIJAGA.

Sementara itu, Bu Maria pergi ke rumah temannya karena membuat janji di hari sebelumnya. Bu Maria berencana membuka kedai bakso di pinggir jalan. Sebelum memulai bisnisnya, dia perlu belajar resep kepada temannya, Bu Rohmi.


Bu Rohmi adalah seorang wanita baya yang semenjak masih muda, dia paling ahli dalam memasak berbagi resep. Mulai dari resep keluarga bahkan resep yang biasa disajikan di beberapa restoran di kota kelahirannya.


Bu Maria dibimbing untuk membuat resep bakso dan akan dijualnya di pinggir jalan, dekat rumahnya. Bu Maria berharap bisa membantu kebutuhan keluarga. Sejak suaminya salah jalan, Bu Maria jarang mendapatkan nafkah yang layak sehingga dia perlu mencari penghasilan tambahan.


 Namun, pada awalnya Bu Maria tidak memberitahu suaminya bahwa dia memiliki rencana berjualan. Pikirnya, agar suaminya tidak melarangnya sehingga khawatir berakhir dengan pertengkaran. 


Sejak dahulu, setiap Bu Maria memiliki rencana dan meminta izin kepada suaminya, mereka masih harus berdebat panjang sehingga suaminya berpikir, Bu Maria tidak bersyukur atas nafkah yang diberi oleh suaminya. 


Tak lama setelah Bu Maria menguasai resep yang diajarkan oleh Bu Rohmi, Bu Maria mencoba mempraktekkan saat memasak makanan untuk keluarganya.“Pak, sarapan sudah siap!” ujarnya penuh perhatian.


“Masak apa hari ini, Bu. Aromanya sepertinya lezat!” kata suaminya dengan bibir bergetar ingin segera mencicipi.


 Setelah Pak Shafi menikmati hidangan, dia memuji masakan istrinya dengan penuh kasih.


 “Bu, kok tumben masakan ini lezat, kamu belajar dari siapa?” tanya Pak Syafi.


“Iya, Bu. Pentolnya kenyal banget!” tambah Robi, dia ingin menambah porsi. “Bu, tolong aku minta lagi, dong!” katanya, makannya makin lahab.


“Wah, anak Ibu tumben makan lahab hari ini! Robi, seandainya Ibu jualan bakso, setuju, gak!” Bu Maria mencoba memancing pendapat suaminya melalui anaknya.


Setelah Bu Maria mengucapkannya, Pak Syafi pun berpikir, “Kalau aku mendukung rencana istriku, aku gak perlu bingung lagi cari pekerjaan tetap,” gumamnya, dia bergegas menyetujui saran istrinya.


“Oh, rencana yang baik itu, Bu. Dengan berjualan, kita bisa mendapat penghasilan tambahan, kan?” 


“Apa! Bapak setuju dengan rencana Ibu?” tanya Bu Maria penuh harap.


Pak Syafi pun mengangguk sambil memberikan sarannya, “Tapi, Bu. Dari mana kita dapatkan modalnya?” tanyanya, lalu dia menyarankan agar menggadaikan kalung hadiah pernikahan dari mertuanya.


“Bu, gadaikan saja kalung itu! Jika sudah dapat untung, kita bisa tebus lagi nanti!” ucapnya sambil menggenggam mesra tangan Bu Maria.


Bu Maria pun menggenggam erat kalung di lehernya sambil berkata, “Apa boleh, Pak! Ini, kan, kalung pemberian neneknya Robi, Pak…”


“Udah, gak pa apa, Bu. Maafkan Bapak. Saat ini belum bisa membantu Ibu. Uang belanja yang Bapak berikan kemarin itu, Bapak pinjam ke teman.” Dengan terpaksa Pak Syafi berterus terang. 


“Apa! Jadi, Bapak gak punya kerjaan atau …” Bu Maria terkejut, akhirnya, menyetujui saran Pak Syafi untuk menjual kalungnya.


“Baiklah, Pak. Ibu akan jual saja kalung ini. Besok, tolong antar Ibu, ya?”


“Baiklah, Bu. Kalau begitu Bapak keluar sebentar, ya. Ada janji dengan teman. Katanya sih, dia mau menawarkan pekerjaan.” Pak Syafi pun bergegas pergi.


Saat Pak Syafi sampai ke rumah temannya, dia bertemu dengan segerombolan pecandu narkoba. Dia pikir, temannya akan menawarkan pekerjaan yang layak untuknya, tetapi dipaksa menjual produk terlarang. Namun, dia menolaknya, karena tidak ingin kembali ke jalan yang salah. Sementara itu, teman yang lain mengancam Pak Syafi, jika tidak bersedia mematuhi perintah para pecandu tersebut, mereka mengancam akan menyakiti keluarganya. 

 

“Apa yang harus kulakukan! Jika aku menuruti perintah mereka, istriku pasti kecewa lagi, tapi jika aku menolaknya, keluargaku akan terancam,” pikir Pak Syafi, bingung atas keputusannya.


“Ayolah, Syafi! Kamu bersedia, kan, memenuhi perintah kami,” tanya salah satu pecandu itu.


Pak Syafi akhirnya terpaksa mematuhi mereka. Namun, sebelum itu dia perlu berpamitan kepada istrinya dengan alasan bekerja di luar kota dan akhirnya, ia pun pulang dengan hati cemas.


“Baiklah, aku terima penawaran kalian, tetapi aku tidak bisa mengerjakannya di kota ini. Utus saja pembeli tersebut agar menemuiku di luar kota. Aku akan tinggal di kota seberang selama transaksi itu berlangsung,” ucap Pak Syafi berpura-pura antusias, padahal hatinya sungguh berat mengerjakan pekerjaan haram tersebut. 


Setelah sampai di rumah, dia meminta izin kepada istrinya untuk berangkat ke luar kota. 


“Bu, Bapak minta maaf, ya. Ada teman mengajakku kerja di luar kota. Ibu gak pa apa, kan, jika ditinggal untuk beberapa hari saja?” tanyanya suaranya sedikit gemetar.


 “Memangnya pekerjaan apa, Pak! Kok tumben Bapak keburu pergi?” Apa gak cukup bantu Ibu saja menjual bakso?” tanya Bu Maria sedikit cemas.


"Maunya Bapak seperti itu, Bu. Tetapi bagi Bapak, ini adalah kesempatan emas agar kita bisa menambah penghasilan keluarga kita. Apalagi Robi sebentar lagi masuk jenjang SMP, pasti butuh uang lebih, kan!”


“Baiklah, Pak. Terserah Bapak saja. Semoga pekerjaan itu bisa menjadi penghasilan tetap untuk kedepannya. Ibu hanya bisa mendoakan saja.” Bu Maria pun menyetujui keputusan suaminya tanpa curiga sedikitpun.


Akhirnya, Pak Syafi pun pergi menemui temannya, lalu mereka langsung menuju ke suatu tempat yang telah disepakati oleh para pecandu itu. Sejam kemudian, mereka bertemu di sebuah gedung tua bekas kebakaran di masa lampau.


“Kang Syafi, mari, kita sudah ditunggu oleh Bandar itu. Kang Syafi harus memenuhi apa pun yang mereka perintahkan. Akang siap!” Dengan antusiasnya, teman Pak Syafi, Kang Yanto memberi peringatan.“Siap, Kang. Saya akan mematuhi mereka,” jawab Pak Syafi, hatinya mulai merasakan cemas.


Sebenarnya Pak Syafi tidak ingin melakukan semua itu. Namun, tak berdaya. Dia merasa bersalah kepada keluarganya, karena sekali lagi menipu hati nuraninya sendiri. 


Sesampai di gedung tua, mereka bereaksi melakukan transaksi haram tersebut. Dalam suasana sepi, mereka berbisik pelan sambil membuat kesepakatan bersama bahwa Pak Syafi harus menyerahkan barang tersebut pada orang yang dimaksud.


Di tengah-tengah keheningan malam, Pak Syafi mulai bereaksi sendiri sambil membawa sekotak makanan dari restoran yang baru saja ia kunjungi. Namun, di bagian kotak paling bawah berisikan barang haram tersebut. Setelah sang pembeli datang, Pak Syafi menerima sejumlah uang yang disimpan dalam koper hitam.


“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak Syafi. Lain waktu saya akan memesan kembali,” kata pembeli itu 


 “Baik, Akang. Kalau begitu, saya terima uangnya dan harus segera pergi,” ucap Pak Syafi dengan gugup.


 Setelah Pak Syafi menerima uangnya, dia pun segera pergi ke mobil Pak Yanto. Mobil itu diparkir sedikit jauh dari tempat mereka bertransaksi. 


“Bagaimana, barangnya sudah mereka terima?” tanya Pak Yanto.


 “Iya, Kang. Ini kopernya.” Pak Syafi dan Pak Yanto pun langsung membuka koper tersebut.


Setelah mereka kembali ke gudang dimana bandar itu bersembunyi, Pak Syafi pun menerima sejumlah upah hasil dari pekerjaannya. Namun, setelah Pak Syafi kembali ke kontrakannya, dia tidak bisa menyimpan uang tersebut. Jadi, terpaksa dia berikan kepada siapa pun yang berlalu lalang di daerah kontrakannya.


 Kini, tiga hari telah berlalu. Pak Syafi kembali ke keluarganya dengan tangan hampa. Dia tidak bisa memberikan hasil pekerjaan haram tersebut kepada istri dan anaknya. Dengan terpaksa, Pak Syafi memberikan alasan kepada istrinya bahwa uang hasil jerih payahnya telah dijambret oleh perampok di tengah jalan.


 “Bu, Bapak pulang!” “Ayah …! Ibu, Ayah sudah kembali. Pasti Ayah bawa banyak uang, kan, Bu?” tanya Robi sambil berlari menyambut ayahnya.“Bagaimana, Pak? Pekerjaannya berjalan lancar?” tanya Bu Maria tersenyum.


 “Maafkan Bapak, Bu. Sebenarnya, Bapak habis dirampok. Semua uangnya ludes tak tersisa!” jawabnya sebagai alasan.


  “Ya Tuhan! Tapi, Bapak nggak terluka, kan?! Dimana-dimana luka Bapak?!” Bu Maria panik sambil memeriksa seluruh tubuh suaminya.


 “Tidak, Bu. Nggak ada luka sama sekali, kok. Ibu nggak usah panik-lah.” “Yaudah, Pak. Lain kali, Bapak nggak usah kerja keluar, ya. Cukup bantu Ibu saja jualan bakso!” saran Bu Maria.  


Pak Syafi pun mengangguk setuju dan berjanji tak akan pernah lagi menjauh dari keluarganya. Dalam hatinya ia merenung,

"Rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan. Lalu, mengapa aku harus terpengaruh oleh ajakan orang lain? Padahal, istriku sendiri dengan tulus telah berusaha membuka usaha demi keluarga kami."


   Sejak saat itu, Pak Syafi setia mendampingi istrinya mengelola kedai bakso di rumah mereka. Bersama, mereka membangun usaha kecil itu hingga akhirnya sukses. Tak ada lagi jalan gelap yang mengintai—hanya cahaya harapan dan kebersamaan yang tumbuh di tengah keluarga mereka. 

Tamat!




   

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)