Masukan nama pengguna
"Aku sudah berusaha untuk bisa memahamimu, memahamimu dari semua sisi yang paling aku tahu. Tetapi barangkali itu tidak cukup untuk membuatmu mengerti bagaimana aku. Bagaimana aku tumbuh menjadi seseorang yang paling tidak ingin kehilanganmu."
Setidaknya itu yang ingin aku katakan padamu untuk terakhir kalinya, sebelum kamu benar-benar meninggalkanku.
"Oh, jadi ini yang namanya Arina ?"
Pesan masuk yang aku terima untuk pertama kalinya darimu, lima tahun yang lalu. Ketika aku duduk dibawah kilauan cahaya bianglala, berwarna merah, hijau, jingga, ungu silih berganti menerangi sorot mata indahmu. Yaaa, kamu tepat berada didepan mataku.
"Cantik." Itu katamu. Seakan cahaya bianglala menjadi pisau tajam yang menghujam dadaku, terasa ada sesak, gemuruh seolah akan menguap namun terasa hangat dalam waktu yang bersamaan.
"Oh, jadi ini yang namanya Karang?" Kataku, membalas pesan singkat darimu.
Seakan waktu menyeret kisah ini tanpa kita sadari, kisah yang menyatukan dunia kita yang berbeda. Kamu dengan petikan gitar dan alunan musik yang mewarnai setiap langkahmu. Aku dengan ribuan kata-kata yang masih saja berhamburan meski aku sudah berulang kali menyusunnya.
Kata-kata yang setiap kali berhasil ku susun dengan lumayan baik, kamu akan dengan suka rela membacanya. Dengan iringan petikan gitar, kamu jadikan senandung yang mengalun indah.
"Arina, percayakah jika mimpi-mimpi yang berhasil kita tata dengan rapi, akan terwujud satu per satu dengan pasti ?"
Kamu bertanya padaku ketika kita sama-sama melangkahkan kaki menuju tepian sungai yang membentang didepan sana.
"Aku akan percaya jika suatu saat mimpiku terwujud ketika kita tetap bersama."
"Memangnya apa mimpimu ?"
"Mimpiku adalah melihatmu menggapai mimpi-mimpi mu yang banyak itu, dan aku berada di sampingmu."
"Itu mimpi yang tidak ada habisnya Na."
"Kenapa ? Bukannya mimpi memang harus begitu ?"
"Kalau begitu mimpimu tidak akan terwujud Na."
Aku terdiam. Entah apa yang ada didalam pikiranmu dan entah apa yang ada didalam pikiranku. Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
"Arina ?"
"Hey, Naa. Arinaa?"
Aku tersenyum kepadamu. Kamu, Karang yang selalu khawatir jika aku terdiam.
"Kalau begitu, mimpiku adalah merangkai cerita tentangmu. Agar kamu tetap berada disini menjadi tokoh utama dalam cerita itu."
"Jadi artinya aku tidak bisa pergi agar mimpimu bisa terwujud ?"
"Yaaa, Karang yang kukenal memang secepat itu mengerti aku."
Kita berdua tertawa, namun tawamu terasa berbeda.
"Tidak Naa, mimpi yang harus kamu wujudkan adalah kembali pada lembaran yang menantimu."
Sebuah melodi indah terdengar dengan nada yang sangat pelan, namun aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Aku mencari keberadaanmu yang tiba-tiba menghilang dari hadapanku.
Sungai yang memantulkan lampu-lampu kota berubah, menjadi kumpulan kubus berwarna-warni. Terkadang ia berganti menjadi hampa, tidak ada apa-apa.
Melodi itu semakin lama semakin nyaring, semakin lama semakin menghentak keras seakan memaksaku pergi.
"Karang, mimpi yang ingin sekali aku wujudkan adalah menulis cerita tentang dirimu kemudian kamu bersedia membacanya. Itu saja."
Aku terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhku. Langit-langit kamar seakan khawatir melihatku terduduk lemas diatas kasur usang. Seluruh yang ada didalam kamarku seakan menatapku iba, karena memimpikan hal yang sama berulang kali. Selepas kepergian Karang.