Masukan nama pengguna
Aku memegang sebuah surat yang baru saja kuterima entah siapa pengirimnya, surat itu tidak memiliki nama pengirim, hanya tertera sebuah kalimat di bagian depan amplop berwarna coklat muda itu, "Teruntuk Sena, bukan kekasihku."
Aku bahkan tidak tau siapa yang mengantarkannya ke depan pintu apartemen milikku. Aku menemukannya tergeletak begitu saja di lantai, bersisian dengan sandal jepit.
Aku menerima amplop coklat muda itu pukul setengah enam sore, ketika matahari mulai melukiskan warna jingga pada langit yang akan ditinggalkannya. Aku menerima amplop coklat muda itu ketika aku baru saja bangun dari mimpi burukku. Mimpi yang benar-benar buruk.
Sebenarnya sejak tadi aku tidak sabar untuk segera membuka amplop yang berisi surat itu, tetapi ketika mataku tertuju pada langit yang berwarna keemasan aku lebih tertarik untuk melihatnya. Karena jingga itu mengingatkanku pada seseorang, seseorang yang telah lama aku nantikan sejak semesta membiarkan dia berjanji untuk menemuiku. Dia berjanji untuk menemuiku enam tahun setelah kami berpisah.
Biar ku jelaskan terlebih dahulu, namanya Setya. Seorang pria dengan rambut sedikit berantakan, wajahnya berkulit putih namun tidak juga terlalu putih, matanya sedikit sipit, rahangnya tegas. Dan astaga, aku baru menyadari bahwa dia juga bergigi gingsul.
Aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih berusia empat belas tahun. Sejak pertama kali aku melihatnya, ada sebuah perasaan yang hadir begitu saja tanpa bisa ku cegah. Awalnya aku pikir itu hanyalah cinta monyet seperti yang teman-temanku katakan. Tapi ternyata tidak, perasaan itu tumbuh dengan cepat didalam hatiku bahkan aku tidak bisa mengontrolnya, dan itu adalah hal buruk yang seharusnya kubuang jauh-jauh dari hidupku.
"Haii, Sena apa kabar? "
Dia menyapaku ketika kami tidak sengaja bertemu di perpustakaan kota. Aku sedang berjalan di lorong perpustakaan hendak pulang, kemudian Setya tiba-tiba saja ada di sampingku.
"Eh, iyaa baik kak"
Jawabku, sedikit kikuk. Gemuruh terdengar di dadaku, sepertida ribuan kupu-kupu yang terbang dari perutku, kemudian naik mengelilingi jantungku, kemudian jantung itu berdetak cepat sekali, suaranya sangat berisik sampai yang ku dengar hanya suara itu. Dunia seakan sunyi tanpa suara apapun selain detak jantungku.
Pertemuan ini adalah pertemuan kesekian kalinya dan aku masih saja tidak bisa mengontrol debar didada.
"Sena, Senaaa. Kamu gapapa?"
Tangan Setya melambai-lambai didepan mataku. Astaga Sena, jangan bikin malu gitu dong. Yok bisa yok terlihat biasa saja, jangan bengong gitu saking terpesonanya.
"Hehehe, iyaa gapapa kak."
"Kamu mau pulang?"
Ya tadinya sih berencana mau pulang, tapi kalau ada kamu pulangnya nanti saja. Aku membatin, sembari berusaha mengalihkan pandanganku dan kembali melanjutkan langkah ku yang sempat terhenti.
"Iyaa, ini mau pulang."
"Yasudah, bareng saja pulangnya."
Eh? Memangnya tidak apa-apa? Aku bertanya dengan diriku sendiri, pertanyaan itu lebih tepatnya tertuju pada jantungku. Sepertinya berlama-lama berada di dekat Setya akan membuat jantungku meledak.
"Eh, tidak usah kak. Aku pulang sendiri saja."
"Gapapa, searah juga kan pulangnya? Lagi pula ini sudah sore Sena. Biar saya antar saja yaa."
"Aku bisa pulang sendiri kok, kak. Lagian, keseringan diantar pulang jadi nggak enak. Hehe."
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Iyaa, Setya memang beberapa kali mengantarku pulang jika dia bertemu denganku di manapun.
"Di enakin aja. Adik kecil nggak boleh pulang sendirian, nanti di culik. Apalagi sore-sore gini."
Katanya dengan suara lembutnya, akhirnya aku mengiyakan ajakannya. Kami berjalan beriringan hingga tempat Setya memarkirkan sepeda motor miliknya. Langit senja sore itu menjadi saksi betapa bahagianya adik kecil itu.
Dengan kesadaran penuh, aku terus menyadarkan diriku bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada siapa saja. Itu hanya sebuah kebetulan yang tercipta karena keberuntungan, keberuntunganku untuk berada di dekat seseorang yang membuatku bahagia. Aku harus sadar bahwa, diantar pulang bukan berarti perasaan yang aku miliki berbalas.
Sejak saat itu, kami sering berkirim pesan. Saling bertukar kabar, menceritakan tentang kesibukan kami masing-masing, terkadang bercerita tentang hal-hal random yang tidak penting. Semakin hari membuat aku merasa bahwa hubungan kami yang sebenarnya tidak memiliki nama ini adalah sebuah hubungan yang spesial.
Seperti suatu hari aku menerima sebuah pesan dari Setya.
"Sena, hari ini pulang sekolahnya bareng saya aja yaa."
Sebenarnya aku tidak kuasa menolak ajakannya, tentu saja aku sangat bahagia jika Setya menjemputku. Tetapi sedikit ada rasa gengsi yang hadir didalam diriku.
"Eh, nggak usah kak. Lagian bukannya dirimu sibuk kuliah? "
Iyaa, aku dan Setya terpaut empat tahun, jadi ketika aku menginjakkan kaki di bangku SMA, Setya sedang kuliah.
"Hari ini tidak ada kelas Sena, jadi saya jemput saja."
Aku mengiyakan ajakan Setya, dan sekarang ketika jam pulang sekolah telah tiba ketika aku baru saja sampai di depan halte, Setya sudah lebih dulu ada disana. Mengenakan kemeja hitam polos, juga jelana jeans hitam, sepatu converse dan tas yang juga berwarna hitam.
"Kok hitam-hitam begini sih? "
Aku bertanya sambil tersenyum padanya, Setya yang tengah duduk diatas sepeda motornya sedikit tertawa.
"Kenapa? Saya keren yaa? "
Katanya, sambil mengedipkan matanya.
"Eh, enak saja. Siapa juga yang bilang gitu?"
Aku sedikit salah tingkah.
"Sena, jujur saja gapapa kok."
Setya semakin tertawa melihatku salah tingkah, mungkin wajahku sudah terlihat seperti kepiting rebus. Merah.
"Saya punya sesuatu buat kamu."
Ia merogoh ransel hitam miliknya. Belum sempat aku bertanya apa sesuatu yang dia maksud, Setya telah mengeluarkan setangkai mawar merah yang dibungkus dengan plastik bening.
"Eh? Dalam rangka apa? Buat aku? "
Aku bertanya kikuk, tidak terbayangkan bagaimana bentuk wajahku saat itu. Salah tingkah, malu, tapi juga bahagia. Sangat bahagaia.
"Maaf yaa sedikit layu."
"Iyaa. Gapapa. Cantik sekalii."
Kataku, menerima bunga mawar itu dengan perasaan penuh bahagia. Bunga itu adalah mawar pertama kali yang aku terima selama hidupku. Sedikit lebay memang, tapi begitulah kenyataannya.
"Iyaa, seperti Sena."
Lengkap sudah bahagiaku saat itu, setangkai bunga mawar merah dari seseorang yang aku cintai.
*
Ah, iyaa. Kembali ke masa sekarang, enam tahun berlalu sejak Setya memberikan setangkai mawar merah itu untukku. Kembali pada amplop coklat muda itu. Aku membawanya masuk ke dalam apartemen, ketika senja benar-benar tenggelam.
Aku menyandarkan punggungku di sofa yang berada tepat disamping jendela, diluar sana barisan lampu-lampu kota seperti titik-titik putih kecil, sangat indah. "
"Teruntuk Sena, bukan kekasihku."
Aku menarik napas perlahan, membuka amplop itu. Ada selembar kertas yang terlipat menyatukan kedua ujungnya. Jantungku berdegup kencang, aku tidak tau siapa pengirim surat itu, tapi membaca bagian atas surat itu cukup membuat aku merasa tidak nyaman, akan ada sesuatu yang terjadi.
"Hanya sedikit kata sebelum aku pergi."
Kalimat itu terletak pada bagian paling atas dari isi surat dengan kertas yang juga berwarna coklat muda.
Sena, adik kecil yang manis.
Bagaimana kabarmu?
Kemarin aku melihatmu baik-baik saja, kuliahmu lancar bukan? Aku dengar kamu sudah menyelsaikan kuliah itu Sena? Yang katamu kemarin berat, kamu sudah menyelesaikannya dengan baik yaa?
Beberapa tahun terakhir waktu memang tidak mengizinkan kita bertemu Sena, aku memiliki kesibukan yang lumayan menguras waktuku. Kamu tahu tentang kedai kopi milikku Sena? Ah, lama sekali kita tidak berbincang tentang banyak hal yang aku lakukan, juga yang kamu lakukan.
Sena, adik kecil yang selalu kutunggu kebahagiaannya.
Beriringan dengan banyak hal yang terjadi, aku hanya selalu menginginkan kamu bahagia dengan apapun yang menjadi inginmu, Sena. Tapi kita sama-sama tau bahwa semesta selalu membawa takdir yang sesuai dengan keinginan Tuhan, bukan keinginan kita. Dengan begitu, kita tidak bisa memaksa semua hal yang kita mau akan tercapai bukan?
Sena, yang matanya selalu berbicara
Saya menyadarinya, sangat menyadarinya. Melihat dari sorot matamu yang indah, caramu menatap saya, senyum yang mengembang setiap kali kita bertemu, waktu yang kamu luangkan untuk saya, semua hal yang kamu lakukan pada saya sangat menjelaskan bahwa ada perasaan itu darimu Sena. Bahkan hanya dari sorot matamu, saya mengerti bahwa kamu mencintai saya kan?
Sena, Saya tidak mengingkari jadi. Karena tidak pernah berjanji bukan?
Saya tidak pernah berjanji bisa menemanimu sampai kapanpun, pun Saya tidak pernah berjanji untuk bisa mencintaimu Sena.
Sena, adik kecil yang telah dewasa dengan pemikirannya
Saya minta maaf jika selama ini membuat kamu menunggu, Sena. Maaf atas sikapku yang membuat kamu merasa perasaanmu berbalas. Ada banyak hal yang tidak bisa saya sampaikan, Sena.
Sena, yang hatinya saya harapkan selalu berbunga
Sena, jadilah bunga yang selalu mekar, selalu menawan dan indah. Seperti bunga mawar.
Sena, aku tidak pernah memintamu menunggu bukan?
Aku tidak pernah memintamu menunggu hingga aku mencintaimu, aku tidak pernah memintamu menungguku kembali karena rumah tempatku pulang bukan dirimu, Sena.
Teruntuk Sena, bukan kekasihku.
Besok aku akan menikah, Sena. Dengan seseorang yang memilihku dan seseorang yang kupilih.
*
Langit pada akhirnya menghitam seluruhnya. Senja telah meninggalkannya, menyisakan pekat yang tidak dapat didekap. Kisah itu berakhir disini.