Masukan nama pengguna
"Mau kemana, Lis?" tanyaku karena melihat Lisa yang tiba-tiba berbalik meninggalkanku.
"Ambil kacamata!" teriak Lisa.
Aku duduk di bangku yang sudah lama menetap di depan teras ruang kelasku. Siang ini, aku dan Lisa rencananya mau ke kantin bareng untuk membeli makanan. Kudengar, dari beberapa murid kelas sebelah katanya ada menu baru di sana. Lisa kembali menghampiriku. "Ayok."
Aku dan Lisa menuju kantin sekolah. Sesampainya di sana kami segera mencari tempat duduk. "Aku yang memesan atau kamu?" tanya Lisa padaku.
"Aku ikut-ikut aja Lis," ucapku seadanya.
Lisa mengangguk. Ia kemudian pergi memilih untuk memesan. Aku duduk dengan manis sembari menunggu Lisa kembali. Suasana di kantin ini cukup ramai kurasa. Aku penasaran menu baru apa yang lagi hits dibicarakan.
Lisa kembali dengan sebuah nampan berukuran sedang di tangannya. Aku penasaran, aku penasaran! Lisa kemudian duduk dan meletakkan makanan tersebut di meja kami. Aku tercengang kaget. Jadi, menu baru itu hanyalah roti? Dengan toping coklat padat dan meleleh di atasnya. Ohhh aku tidak begitu menyukai coklat. Kalau tahu begini lebih baik tidak akan kupesan.
"Ayok Van kita cicipi. Aku juga udah pesan es teh," tutur Lisa padaku.
"Ini menu barunya?" tanyaku masih penasaran.
Lisa mengangguk. Kulihat dia memulai duluan mencicipi roti coklat itu. "Emm, Van lihat deh di dalamnya ada cream juga."
"Haha iya itu bagus." Aku tidak yakin mau mencicipinya.
"Ayok coba Van ena-."
"Permisi." Seseorang menyela.
"Ah iya terimakasih," ucap Lisa pada orang itu.
"Ini es tehmu." Lisa melanjutkan kembali memakan rotinya. Sudahlah. Sudah ada di depan mata jadi terobos saja. Aku akhirnya mencicipi menu yang katanya baru itu. Astaga ... padahal hanya sebuah roti. Di toko dekat rumahku juga roti seperti ini banyak! Satu gigitan pertama. Dan yah, bisa dibilang untuk rasa aku akui cukup memanjakan lidah. Tidak terlalu buruk juga. Baik, roti ini kuberi nilai 70 dari 100.
"Hey si kembar!!" Seseorang tiba-tiba mendatangi meja kami dengan sangat tidak sopan.
"Tidak bisakah kau lebih sopan?! Dan apa maksudmu memanggil kami dengan sebutan itu?" tanyaku kesal.
"Memangnya apa yang salah dengan sebutan itu? Bukankah kalian sama-sama memakai kacamata? Jadi, tidak salah aku memanggil dengan sebutan itu," celetuknya dengan seringai.
Ingin rasanya kutonjok wajah sok coolnya. Bukan cool yang kulihat tapi justru rasa jijik padanya. Satu sekolah bahkan sudah mengetahui laki-laki ini tidak beres. Ia sering membuat onar dan melakukan semuanya sesuka hati. Aku heran kenapa murid seperti dia masih dipertahankan di sekolah ini. Apa mungkin, karena orang tuanya berada? Jadi mereka melakukan hal tercela seperti ... menyuap mungkin hahaha.
"Hey lihat kembaranmu, dia sampai menatapku seperti itu haha." Ia terus mengoceh tak jelas.
"Sudah kubilang jangan menyebutku SEPERTI ITU!" aku membentaknya dengan keras.
"Van, jangan emosi. Tenang-tenang ayok duduk kembali." Aku heran kenapa Lisa bahkan tidak merasa terganggu sedikit pun.
Setelah kubentak tadi, laki-laki itu akhirnya mengenyahkan dirinya dari pandanganku dan Lisa. Itu lebih baik atau dia akan dapat yang lebih dari ini.
"Kenapa para murid sekarang memanggil kita seperti itu, Lis?" Aku benar-benar heran. Padahal kami berdua punya nama masing-masing.
"Lagian yang dibilang anak itu benar juga. Kurasa," ujar Lisa.
Apanya yang benar? Jangan bilang hanya karena aku dan Lisa memakai kacamata, mereka seenaknya memberikan sebutan yang aneh. Kurasa mereka semua sudah gila. "Siapa juga yang ingin dipanggil seperti itu," ucapku sinis.
"Hahaha, Van sudah santai saja. Tidak usah difikirkan," ucapnya santai.
"Aku gak suka Lis," ujarku masih kesal.
"Yah sudah terserah kamu. Mana uangmu? Aku mau membayar roti."
"Berapa harganya?"
"20.000 Ribu dengan es tehnya," ucap Lisa dengan santai.
Aku tersontak langsung kaget. Ini pertama kalinya aku jajan di kantin dengan budget sebanyak ini. Apa-apaan menu ini?!!
"Kamu yang benar aja, Lis? Masa roti ini harganya 15.000 Ribu?! Aku cuma bawa uang 15.000," ucapku mengeluarkan uang 15.000 Ribu dari saku baju.
"Sudah tak apa. Biar sisanya aku yang bayar." Lisa tersenyum.
"Thanks. Lis," ujarku tak enak.
"Iyahh. Aku bayar dulu."
Aku melepas sebentar kacamata ingin membersihkan sedikit debu-debu yang menempel pada lensanya. Sekilas kulihat ke depan dengan mataku tanpa kacamata. Aku bahkan tidak bisa membedakan lagi pot bunga di seberang sana. Ini benar-benar menyedihkan.
"Halo," sapa seseorang padaku.
Cepat-cepat kembali kukenakan kacamata, melihat siapa yang tadi menyapa. Dia menyunggingkan senyuman. Seumur-umur melihat orang senyum tepat di depanku baru pada Lisa. Tapi, ini ....
"Ada apa, ya?" tanyaku sebenarnya tidak minat.
"Boleh, minta nomor hpmu atau ... username sosmed mungkin?" jelasnya membuat alis sebelahku naik.
Aku berspekulasi sendiri.
"Untuk apa? Aku bukan artis," ucapku, tiba-tiba ia tertawa.
"Ayok Van," ajak Lisa tiba-tiba.
Kami berdua mengenyahkan diri dari sana.
"Aku gak mau pake kacamata lagi. Ini benar-benar susah Lis! Mau makan atau apapun itu semuanya jadi susah! Aku menyesal dulu bermimpi jadi gadis berkacamata." Ocehku langsung.
"Kamu yakin? Nanti jalan nabrak-nabrak loh? Minus kamu, 'kan parah. Sudah ayok bangun dan nih pakai kacamatanya lagi." Lisa bahkan menyemangatiku.
"Ngomong-ngomong tadi itu siapa?" Lisa menyikut lenganku.
"Aku gatau dia tiba-tiba datang minta nomor hp."
"Wah, dia naksir kamu kayaknya, Van." Aku tertegun.
Sejenak tertawa karena apa yang diucapkan Lisa benar-benar lucu, maksudku tidak mungkin seperti itu .
"Kamu tau gak dia siapa?" ujar Lisa lagi, aku menggeleng.
"Dia anak kepala sekolah," ungkap Lisa tapi tidak membuatku terkejut, terheran-heran atau kata sejenisnya. Ya, karena menurutku biasa saja.
"Dia baru aja masuk hari ini makanya mukanya kayak baru gitu, 'kan" ya?" Lisa lantas tertawa. Jangan-jangan dia yang suka beneran dengan anak kepala sekolah itu.
Sesuatu hinggap di lensa kacamata, benda kecil yang bisa dilihat oleh mata telanjang tapi saat berada di kacamata, pandanganku seketika buram. Tiba-tiba anak laki-laki yang tadi sempat meminta nomor hpku, sudah berada di sisi sampingku.
"Kamu minus berapa?" tanyanya lagi tiba-tiba.
Aku rasa yang dibilang Lisa sepertinya tidak benar, anak kepala sekolah yang kutahu tidak cerewet seperti itu, kebanyakan cool dan pendiam. Begitu yang kutahu dari cerita wattpad semalam.
"Aku gak cantik, yang cantik temenku satunya, nih!" Langsung kusodorin Lisa dan pergi meninggalkan mereka berdua di sana.
Aku tidak menyesal membiarkan sahabatku yang harus berbicara dengan anak kepala sekolah ganteng itu.
"Kamu kayaknya cantik kalau pakai kacamata"
Ahhh ... Ingatan itu kembali lagi.
Nyatanya menjadi pribadi yang memakai kacamata bukanlah hal yang mudah. Rasanya aku merindukan mata normalku. Tapi terlambat, Tuhan sudah mengabulkannya.