Masukan nama pengguna
Sebagai kader utama Partai Gagak, Kamis tak pernah gagal menyisir semua kejadian dengan kecermatan matanya. Ia tak sekedar kader melainkan seorang laten Partai Gagak yang dikaruniai penglihatan dan pandangan tajam dan jernih, sebening kaca.
"Enak jadi orang bodoh apa pinter? Enak punya mata tajam dan jernih atau mata buram serta buta? Jangan mengangguk-angguk saja kayak curut kelolodan karet!" Kamis histeris. Ia tersedu-sedu, air matanya berleleran. Lalu Kamis tercekat. Ia menelan asin air matanya.
"Wahai Kamis, patriot berhati begawan yang selalu ceria dan bijak kayak dewa, ono opo kok nangis seolah gagal nyaleg?" timpal saya menghibur.
"Orang-orang Gagak paham, eh gagal paham. Bulan dan matahari itu solid. Tak pernah tenggelam, kroak apalagi sembunyi! Memahami hal sepele saja selalu luput, buta. Mau dibawa kemana masa depan bangsa ini?"
"Oh, bukannya bulan dan matahari selalu terbit dan tenggelam? Kadang memang tak tampak bahkan menghilang?" gugat saya.
"Itu dia. Cara pandangmu salah. Orang terlanjur yakin pada kesalahan masal!"
"Maksudnya?"
"Bulan dan matahari itu tak pernah berubah, utuh. Matamu tak salah. Cara mikirmu saja yang keblinger!"
"Lalu kamu nangis histeris, kenapa?"
"Karena saya pintar. Saya dikaruniai pengetahuan. Orang bodoh nggak mikir makanya bahagia. Karena tidak tahu maka semuanya biasa, seolah benar. Saya menangis karena melihat kesalahan makin masal dan tak jadi soal. Saya menangis karena mikir."
Menyaksikan sedu-sedannya, saya mikir dan membuka kamus ilmu pengetahuan tentang bulan dan matahari. Benar, keduanya tak pernah benar-benar timbul dan tenggelam. Posisi kita di bumi membuat seolah mata kita melihat bulan dan matahari tampak hilang kadang kroak.
Saya memeluk Kamis. Ikut menangis. Ah, andai saya bodoh dan tak mikir. Tetapi Kamis telah meracuni saya. Saya sedih karena berpikir.