Cerpen
Disukai
5
Dilihat
14,156
Ibu untuk Asara
Drama

Rasa seharusnya adalah hati yang berdebar tak karuan, pikiran bergelayut kekasih pujaan, kemudian pejaman mata yang dimabuk bayangan meski dalam temaram. Tapi sebaliknya. Seperti rasa bersalah, tapi apa benar? Sosok gadis muda yang sederhana dalam penampilan sabannya dibalut jilbab segiempat, parasnya manis, wajah bulat yang disungging senyum menjadi alasan aku memvonis gadis yang juga berkulit cerah itu. Tutur santun dan lembutnya, entahlah jika hatiku justru tak banyak mendambakannya.

Meski siang tadi, anggukan pelan beserta senyum manisnya telah menjadi jawabannya untukku. Disusul ucapan, “Iya, Mas.” Aku tersenyum. Bukan karena melihat wajahnya yang tersipu, atau jawabannya yang tak menolakku. Melainkan, pada bayangan wajah gadis kecilku yang tempo hari memintaku agar, menjadikan gadis itu Ibu untuk anakku.

***

Tak ada pesta, atau ratusan undangan. Lagi-lagi ia tersenyum ketika mendengar hasil diskusi kami-lebih tepatnya permintaanku-untuk pernikahan kami yang tak perlu digelar pesta mewah, cukup akad yang membuat kami terpenting sudah sah. Lagi-lagi senyum dan anggukannya itu, telah menjadi jawaban kesetujuannya. Meski akhirnya aku menanyakan perihal itu.

“Bukan karena teman kampus?”

“Kenapa dengan teman kampus?” ia kembali tersenyum. Kini aku menjadi heran, untuk sebuah pertanyaan yang dijawab pertanyaan. “Lalu?” lanjutku.

Ia masih tersenyum, tatapannya beralih pada jalanan, tepat depan cafe yang kami gunakan untuk temu membahas pernikahan. Setelah tempo hari lamaranku diterima, lamaran yang juga bukan pada tempat romantis, atau ia yang kusulap menggunakan gaun kirimanku, atau bukan juga lilin yang menghias sekitar, diiringi tundukan para pelayan restoran yang menyambut. Bukan juga. Di ruang kerja yang tak lagi banyak suara anak-anak menjadi hiruk pikuk suasana seperti biasa, sebab mereka semua sudah pulang, seperti anakku yang sudah tertidur dalam mobil. Di sanalah kemudian aku mewujudkan keinginan putriku.

“Fani, jadilah Ibu untuk anakku!”

Sempurna! Kata itu lancar aku lontarkan. Memang bukan karena aku yang lihai dalam berkata, sebagai dosen bahasa yang kemudian jarang luput dalam berucap singkat. Ah, bukan! Sebab gadis muda itu, Fanisa, yang kuketahui berawal dari empati kepada putriku, Asara, lalu menjadi begitu dekat, ia kemudian membuatku yakin jika pastinya tak akan menolakku. Benar saja. Meski aku sendiri belum berkeinginan untuk mengetahui lebih gelagat kemauannya yang menerimaku karena apa, atau memang karena sudah begitu sayang dengan Asa saja?

“Mas Fian?”

“Ya?”

Fani kembali menatapku, dengan tatapan yang tak tertuju langsung padaku, melainkan sedikit menunduk.

“Kenapa dengan teman kampus? Bukannya lama-lama juga tahu?”

“Atau karena malu? E, dengan duda satu anak sepertiku, juga kita yang berjarak 9 tahun ini?” aku menyahut.

Fani spontan mendongakkan wajahnya padaku, lalu menunduk kembali dengan senyumnya, sambil menggeleng pelan. Menurutku saja, jika ia sebenarnya juga bisa malu, dengan pasangan yang tertaut 9 tahun, aku 29 tahun ia 20 tahun. Terlebih, aku dosen di universitasnya.

“Justru awalnya aku yang mengira itu, sebagai mahasiswi meski beda fakultas, aku mengerti, intinya aku memahami kehendakmu berkaitan atau tidaknya dengan privasimu, Mas.” Tutur Fani seraya memberikan jeda untuk kata terakhirnya.

Ia memang belum lama kuminta untuk memanggilku dengan panggilan ‘Mas’. Beberapa hari sebelum melamarnya, ketika ia yang kesekian kali mengantarkan pulang Asa atas permintaan rengekan putriku. Sekalian saja aku yang menginginkan niat lebih, menyuruhnya agar tak lagi memanggilku dengan panggilan Pak.

Oh, dan jawabannya tadi cukup santun juga. Aku tersenyum, lagi-lagi bukan untuk jawaban kesetujuannya. Melainkan, pada bayangan wajah gadis kecilku yang memintaku agar, menjadikan gadis ini Ibu untuk anakku.

***

Kali ini tiba-tiba saja aku tak melihat senyumnya lagi, pertama kalinya. Benarkah sebenarnya aku salah? Sebuah pintu yang bertuliskan huruf balok berwarna pink, terbaca “Asara Alfifa”, sudah kubukakan sebagai tempat tidurnya. Pada malam paska pernikahan kami siang tadi, Fani menghilangkan raut senyumnya ketika pintu kamar Asa kubukakan untuknya, karena ia bukan tidur di kamarku.

“Bukannya kita sudah suami istri?”

Fani membalikkan tubuhnya setelah sedikit lama menatap pintu kamar Asa.

“Kenapa Mas lakuin ini?”

“Ada masalah?”

“Mas yang ada masalah?”

“Masuklah, sekarang kamu Ibu untuk anakku.”

Aku menghela napas panjang, tak kutatap lama genangan yang sudah tertahan di mata Fani. Aku, Fiandri, Ayah Asara yang kini sudah berhasil mewujudkan keinginan putriku. Bayangan senyum dari wajah mungilnya kemudian berkelibatan di pikiranku. Berharap akan bersemayam terus seiring kemauannya yang menginginkan sosok Ibu telah terwujud.

Prak!

Suara gerobak mainan yang tumpah ketika aku membuka pintu kamar. Siapa lagi jika bukan putriku Asa yang sering membawanya kemana-mana di dalam rumah. Kulihat mainannya yang menjadi berserakan, lego, masak-masakan, dan... sebuah figura yang tak asing dalam pandanganku. Foto sosok wanita yang membawa Asa bayi dalam pangkuannya. Mungkin itulah foto pertama dan terakhir Asa dengan Mamanya, sebelum akhirnya Mamanya meminta perpisahan itu. Bahkan dengan Asa sendiri yang sebenarnya tak diinginkan kehadirannya dalam pernikahan kami yang merupakan perjodohan. Bagiku, awal mengenal cinta bersama seorang wanita menjadi pupus begitu saja seiring ia yang tak menginginkan cinta denganku, juga tiada cinta untuk putrinya sendiri. Sekarang aku yang tak menginginkannya, hanya untuk putriku, ia harus bahagia.

***

“Ayah pasti cocok, namanya aja mirip. Jodoh, Yah. Ayah berjodoh.”

Apa, menikah?

Bagaimana dengan yang dulu?

Bagi Fiandri, dosen muda yang terkenal dingin dan cuek itu, menikah bukanlah sekadar cinta dan kesiapan. Ia sendiri tak memiliki keduanya, tapi pernah menjalani pernikahan meski langsung berakhir dalam sebelas bulan. Kesiapan yang selama ini Fian menerawangnya ketika ia yang lulus cumlaude, langsung mendapat beasiswa S2, lalu menjadi dosen seperti yang didambakannya, menemukan sosok tepat dari waktu tepat yang telah ia siapkan, lalu bahagia dengan kesuksesannya. Ternyata tak sesuai ketika perjodohan yang dilakukan orang tuanya.

Saat itu, Papa Fian yang merasa tak akan memiliki waktu hidup lama lagi, berharap menuntaskan wasiat mendiang sahabatnya untuk menjodohkan anak mereka. Ah, seperti perjalanan drama kehidupan yang pernah terjadi. Hingga tak ada pilihan lain untuk Fian, saat itu yang ia lihat hanya masa kritis Papa, dan seorang wanita tinggi, berparas cantik, telah menerima panggilan Papanya di rumah sakit. Baginya, itu seperti liku pahit yang membuat Fian memang harus menjalaninya. Tak ada pilihan lain untuk menolak permintaan orang dalam masa kritis dan wanita yang sudah menerima panggilan sang Papa. Terlebih, pernah terbesit bahwa sinyal takdir seperti memberi tanda agar Fian menghendaki. Bahwa Fian bisa menjalaninya dengan wanita yang sudah menerima panggilan Papanya itu, kemungkinan mereka memang bisa siap-siap saja dalam pernikahan nanti.

Meski ternyata, tidak.

Sebulan setelah pernikahan, Papa Fian kembali sakit dan menemui panggilan Sang Khalik. Setelah itu juga, gugatan cerai diminta istri Fian karena sudah merasa menjalani wasiat orang tua mereka. Yang saat itu, istrinya sendiri juga tak ada pilihan lain sebab sebelum Ayahnya meninggal, hanya permintaan perjodohan yang diminta. Fian benar-benar tak menyangka akan terjadi seperti itu. Ia mengira cinta bisa pelan-pelan dibangun, seiring mereka yang telah menerima perjodohannya. Ternyata istrinya tetap meminta perceraian. Namun, perceraian itu gagal ketika diketahui istrinya tengah hamil. Fian berusaha meyakinkan jika buah cinta itu adalah sinyal takdir lagi yang mengatakan mereka memang akan berjodoh selamanya, membangun keluarga dengan cinta yang pasti akan didapat. Fian tak peduli, meski posisinya seperti mengemis cinta, baginya saat itu, perjuangan memang perlu. Tapi usahanya itu tak bertahan lama. Saat kelahiran putri mereka, yang Fian beri nama Asara Alfifa, tak membuat keputusan istrinya untuk mengurungkan niat perceraiannya. Justru semakin membulat, bertambah ungkapan istrinya yang sebenarnya juga tak menginginkan anak mereka terlahir. Fian semakin tak menyangka, saat itu juga ia langsung membeci wanita yang melahirkan putrinya itu. Mengerti bahwa memang tak sepantasnya ia dan putrinya nanti akan hidup bersama wanita berhati api. Fian menghendaki perceraian itu. Berakhirlah pernikahan mereka yang baru berumur sebelas bulan.

***

“Ya, Yah? Biar Bu Fani jadi Ibu Asa?”

Ah, meski permintaan putriku sudah terwujud. Tapi permintaannya itu masih terbawa mimpi. Aku terbangun dari tidurku, hari sudah sangat cerah, saat kulihat arjoli yang kuletakkan di meja samping tempat tidur, ternyata sudah pukul tujuh. Hari ini masih masa cutiku, sengaja aku bangun lebih siang karena acara pernikahan kemarin-meskipun hanya akad-cukup memberi penat. Hari ini sebenarnya tak ada yang berbeda jauh seperti rutinitas biasa, hanya saja tak ada lagi asisten rumah tangga yang setiap pagi datang untuk memandikan Asa dan membersihkan rumah, juga menyiapkan sarapan. Hari ini, Asa sudah sangat cantik dengan balutan dres Sofia dan bando pink yang ada di rambut sebahunya. Dan, sarapan yang sudah siap di meja makan. Nasi goreng, dan telur goreng yang sudah diiris-iris. Tentu saja bukan Mbak-mbak biasanya, sekarang bertambah Fani yang menjadi bagian di rumahku, begitu juga ia yang jelas mengerjakan semua ini.

“Ibu mana?”

“Ayah?”

Asa menatapku dengan semringah, ia meletakkan mainan legonya yang ingin ia susun menjadi kotak. Rambut lurusnya terayun-ayun saat terkibas angin dari jendela, wajah mungilnya begitu bulat, manis sekali.

“Katanya mau salat duha. Oh ya, kenapa Ibu tidur di kamar Asa, Yah?” tanya Asa begitu cepat. Aku hanya tersenyum, seraya mengelus pipi tembamnya.

“Ayah nggak marahan, kan? Kata temen-temen, Ayah Ibunya kalo marahan ga tidur bareng, padahal Ayah ‘kan sudah suami istri?”

Aku terbelalak mendengar ucapan polos putriku. Entah aku harus menganggapnya sebagai celoteh saja, atau protes yang harus kuatasi. Asa, ia memang selalu kritis untuk setiap pertanyaan. Tapi keadaan ini mungkin bisa perlahan memberi pemahaman untuknya sendiri.

Aku lalu bermaksud menemui Fani, memberi tahunya untuk tak lagi mengajar di taman kanak-kanak tempat Asa sekolah. Ia bisa fokus kuliah dan menemani Asa ketika di rumah. Sekali lagi, bukan hati yang berdebar tak karuan karena bahagianya, atau bayang-bayang Fani yang memenuhi relungku. Aku masih belum bisa mendefinisikan rasaku untuknya. Satu-satunya tebakan yang mendekati adalah, ini rasa bersalah. Sebagai laki-laki yang belum sembuh dari masa lalunya. Tapi harus menghadirkan seorang lain untuk mengatasi suatu masalah dihidupnya.

Setibanya di kamar Asa, pintu memang tak tertutup semua. Setelah pelan membuka pintu begitu lebar, aku melihat Fani yang terduduk menggunakan mukena. Sesuatu lalu menyita pandanganku, ia sesenggukan, terlihat jelas dari bahunya yang posisinya membelakangi pintu kamar. Aku mendekat.

“Tapi hamba begitu yakin, Ya Allah. Hamba begitu menyayangi anaknya, awal mengira bahwa mungkin anaknya memang perantara hamba berjodoh dengan Mas Fian. Tapi ternyata seperti ini, sama sekali tak tahu bila niatnya mempersunting hanya untuk dijadikan Ibu untuk anaknya. Hiks.” Lirih doa Fani, sesenggukannya masih begitu jelas.

Aku mematung di belakang Fani. Sungguh, tak berniat menyakiti hati gadis ini. Terlebih, ia masih memiliki masa depan panjang sebelum aku yang akhirnya hadir dihidupnya. Di mana Fian yang dulu? Sebelum mengenal wanita berhati api itu, aku memang tak sedingin dan cuek dengan banyak orang, terlebih dengan wanita atau mahasiswiku. Mungkin ini memang saatnya aku harus bangkit, masa lalu bukanlah menjadi alasan aku meninggalkan jati diriku yang lebih baik.

Fani lalu mengakhiri doanya, ia melepas mukena, ternyata ia belum menyadari kehadiranku. Terlihat ia begitu terkejut ketika berdiri dan membalikkan badannya.

“Mas Fian, sejak kapan kesini?”

Aku memaksa untuk tersenyum, pemandangan di depanku cukup menyayat perasaan yang kini memang lebih peka semenjak kedatangan Fani dihidupku dan Asa. Pandanganku tertuju pada mata sembab Fani, jelas mengatakan bahwa tangisannya bukan hanya pagi ini, benarkah semalaman ia juga menangis? Laki-laki seperti apa kamu Fian? Bahkan di awal pernikahan, kamu sudah membuatnya terluka.

“Semenjak kamu mengadu kepada Allah.”

Fani menunduk, aku lalu mendekat. Memegang dagu halusnya, lalu aku mendongakkan wajah Fani.

“Kamu wanita baik, maafkan aku.”

Air mata kembali mengalir dari sudut mata Fani, aku menganggap itu air mata kebahagiaan.

“Aku bisa jelasin sikapku, maafkan aku, kita mulai bersama!”

Gadis berwajah dan bermata bulat di depanku ini, lalu mengangguk dengan senyum simpulnya. Senyum yang biasa aku lihat, pagi ini sudah terpancar kembali. Fani, ia lebih dari sekadar Ibu untuk anakku, ia bidadariku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)