Masukan nama pengguna
Hari merdeka dari berpuluh ribu hari merdeka lainnya, para pemegang keputusan itu melepas kepuasan kesekian kalinya. Gedung-gedung pencakar langit, tempat mereka menapak segala jejak keputusan itu, terlihat kokoh di telapak kaki bocah-bocah yang berlarian di lapangan, menunjuk-nunjuk tempat ketinggian itu, suatu hari mereka akan di sana.
Satu dari mereka menerawang makanan-makanan lezat yang hangat dari gedung tinggi itu, satunya lagi menerka bagaimana harum ruangan yang biasa tak ia dapat dari tubuh jarang mandinya, ada lagi yang bertanya-tanya bagaimana gedung itu bisa berdiri setelah pasti badan mereka yang kesakitan dari tidur semalam? Baginya, tanah beralas carton, atau kayu yang mendekap tidur mereka setiap malam, serupa memberikan kesakitan untuk mereka yang di dalam gedung, masih bisa-bisanya membangun gedung setinggi itu? Namun, tidak untuk salah satu dari mereka yang belum berpendapat, giliran bocah itu, baginya mereka memang sudah berbeda dari orang-orang yang selalu memberi, sedang mereka selalu menerima, rasa-rasanya itu sudah perbedaan yang jelas. Mereka ini memang berbeda.
Semuanya lalu tak bergeming. Benar juga.
Gerombolan anak sekolah yang lewat dengan sahutan-sahutan hari kemerdekaan, terus menggema di telinga bocah-bocah itu.
Apa itu merdeka?
Sore hari dirutinitas seperti biasa, rapat yang telah berakhir menyisakan kesibukan masing-masing. Notulis yang masih berdiskusi dengan pimpinan rapat, peserta yang basa-basi tentang hasil rapat sebelumnya, yang kembali ke ruangan ada yang sudah mengerjakan tugas selanjutnya, barangkali mereka akan lembur bahkan. Dan peserta yang berbasa-basi masih berkeliaran di depan area ruang rapat, kali ini berganti desus tentang cleaning service yang beberapa kali terciduk membawa makanan sisa. Beberapa desusan bermaksud empati, ada juga yang tak peduli. Sang cleaning service lebih membiarkan itu terjadi.
Di lapangan yang mulai meredup cahaya langitnya, bocah-bocah yang sebelumnya berlarian, menunjuk-nunjuk gedung, tertawa lepas pada laju larinya siapa yang paling lambat, akhirnya berakhir dengan kepenatan masing-masing. Petang itu, seperti biasa, mereka menanti laki-laki yang selalu menemui mereka menggunakan jas--suatu hari mereka pernah menanyakan nama bajunya. Laki-laki itu akhirnya datang, disambut keantusiasan bocah-bocah seperti biasa. Namun, mereka justru menanyakan apa yang sedari tadi mereka pendam.
"Tuan, apakah kami merdeka?"
Laki-laki itu menatap lekat lengan jasnya, pelan-pelan melepas jas pinjaman dari mendiang temannya. Menatap gedung tinggi tempat ia bekerja, lalu makanan yang ia dapat untuk bocah-bocah itu.