Flash
Disukai
0
Dilihat
273
Humor Narendra
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Maaf, Sekar memintaku menjemputnya dan anak-anak. Itu jawaban saya untuknya. Bukan tanpa sebab saya membatalkan janji bertemu dengannya. Penyebabnya adalah: keluarga—dan Agni.

*

Ada momen memikat, mengikat dan terus lekat dalam ingatan saya. Momen itu terjadi setelah sekian lama kami berdua berjumpa lalu sering bertemu. Lembang, di sanalah momen itu terjadi. Bagi saya mudah untuk membuat janji bertemu dengannya, karena dia adalah angin, dan saya adalah .... Ah, sebenarnya saya malu untuk menceritakannya. Namun sungguh, semenjak momen itu terjadi, saya lebih mengenal siapa dia sebenarnya. Dan bukunya yang masih ada pada saya, adalah saksi akan peristiwa itu.

Lembang yang dingin, bagi saya adalah hangat karena keberadaannya. Dia menggamit jemari tangan kanan saya, mengajak untuk kembali ke mobil setelah kami berdua puas berkeliling kota, makan penganan khasnya, lalu menikmati keindahan malam Lembang dari sisi jalan.

“Berapa lama kamu di kota ini?” Gamitan tangannya berayun perlahan memecah laju embusan angin dingin Lembang. “Satu? Dua ..., atau tiga hari?” Tolehannya menghantarkan senyum.

“Andai semua urusan kantor di sini berjalan lancar, besok sore saya sudah kembali.” Senyum saya menebar membalas tolehan wajahnya. “Kenapa bertanya begitu?”

“Ah, tidak, tidak apa-apa.” Agak cepat ayunan gamitan tangannya. Saya dapat merasakan satu rasa yang barangkali dirasakannya saat dia berkata begitu. Jengah. Dan ada rona wajah tersipu jelas saya lihat ketika pendaran lampu kendaraan melintas menyorot terang ke wajahnya.

Suara mobil mencicit menyahuti kunci pintu mobil otomatis yang saya tekan. Dia melepaskan gamitannya sambil menunggu saya membukakan pintu mobil untuknya.

“Silakan masuk, Nona Windy.”

Ada semburat ekspresi wajahnya yang sukar ditebak, ketika “Nona Windy” terucap dari bibir saya.

Pintu mobil saya tutup bersama rasa takzim setelah dia sudah terduduk nyaman di kursi penumpang.

“Hidupkan saja mesin mobilnya, biarkan kebersamaan sejenak di sini.”

“Mmm ..., ingin curhat?” tanya saya terlontar berbarengan seatbelt kursi kemudi mengendur.

Dia menunduk. Ujung tangkai telunjuk kanannya seperti melukis kerisauan di atas halaman muka buku di pangkuannya.

“Ada apa, Win?”

Jeda memangkas waktu.

“Aku bukan ‘nona’ dan juga bukan ‘nyonya’.” Ucapannya terlontar bersama ketegasan dagunya yang terangkat. Sejurus dia mengerling berusaha mencuri ekspresi wajah saya.

Itu satu kejujurannya yang memikat, dan tetap lekat di ingatan saya. Sebagai lelaki dewasa, saya merasa terhormat mendapatkan kejujuran dari seorang pere—mm, wani .... Ya! Merasa disanjung olehnya.

Saya tersenyum kepadanya seraya berharap kerisauannya pergi terhalau senyum. “Lantas, apa itu jadi beban rasamu, Win?” Dia bergeming. Bibirnya mengatup. Saya tetap tersenyum, melanjutkan, “Maaf deh ya, ‘Nona Windy’ yang saya ucap barusan itu, enggak—enggak ada tendensi apa-apa. Itu murni dari saya yang menurut kamu juga humoris.

”Nih, lihat ekspresi wajah saya. (Meniru-niru mimik wajah Jim Carrey.)

“Nih, pose narsis saya. (Mengangkat lengan kanan, telapak tangan kanan menempel di belakang kepala, ketiak tampak, dan berkata-kata konyol: 'Bang, nikahi Hayati, Bang'.)

“Dan ..., nih, favorit kamu, Win. (Mimikri Indro Warkop ‘gile lu Don’ dan Don-nya saya ganti: Win.)"

Geligi Windy tampak putih terlihat di antara tawanya di saat saya meminta maaf ala saya—dengan humor, tentunya.

Itulah momen yang mengikat erat antara saya dan Win, entah dalam bentuk hubungan seperti apa. Hanya yang pasti, hatinyalah yang boleh menafsirkan.

Lalu seketika kabin mobil menjadi hening.

“Kamu jahat!” Ekspresi kepura-puraannya jelas saya lihat. Dan benar saja, dia menjentik puncak hidung bangir saya, dan berganti wajah tersenyum manis.

“Ke penginapan?”

Dia mengangguk.

Setiba di penginapan, sebelum sempat saya membukakan pintu mobil untuknya, dia sudah berkata, “Enggak usah!” Dan sebelum genap kedua kakinya menjejak dari pintu mobil yang terbuka, dia menatap tajam, dan berkata, “Ingat! Aku masih perawan—meski bukan ‘nona’ juga ‘nyonya’.” Dia tersenyum seraya ujung tangkai telunjuk kanannya meniti turun di ruas hidung saya.

Saya pun menjelengar.

Dia lantas turun bergegas dari mobil, berjalan memunggungi saya dan bukunya yang tergeletak di kursi penumpang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)