Masukan nama pengguna
Malam kian larut dan Hendrik belum bisa terpejam barang sejenak, bukan karena kopi yang ia habiskan di jam tiga sore dalam diskusi bersama rekan-rekannya dari Venatoria[1] untuk menyusun rencana perburuan di Cikepuh, daerah berburu favoritnya, bukan juga karena alkohol yang ia tenggak bersama para tentara di pesta dansa De Harmonie[2]; dia sudah terbiasa akan hal itu. Ini semua berkat mimpi buruk yang sama menghantuinya nyaris setiap malam. Dalam mimpinya, ia tengah berlari tanpa henti di hutan dan diserang sekumpulan gagak hitam. Dukun pribumi yang ia temui atas paksaan kawannya menerangkan bahwa kemalangan akan segera menimpanya.
Godverdomme! Lelaki itu tertawa geli. Ia heran kenapa ia sekarang mempercayai takhayul layaknya pribumi. Lagi pula, perang itu sudah lama berlalu dan ia sama sekali tidak asing dengan hal-hal semacam itu, walau pun dia hanya seorang fotografer.
Hendrik kemudian mengambil arlojinya yang tergeletak di nakas. Jam dua belas malam lebih tiga belas menit.
Di kamar yang remang-remang, dia turun dari ranjang dan menyambar kotak rokok dari meja kerja, lalu berjalan menuju jendela. Kain gorden abu-abu yang berat dan tebal ia singkap. Daun jendela ia buka lebar. Anjing-anjing penjaga menyalak-nyalak bersamaan dengan suara ting dari korek gas yang ia nyalakan.
Hendrik menyesap dalam-dalam hingga ujung rokok di antara bibirnya membara. Sejenak lelaki itu membiarkan asap rokok itu bersarang dengan harapan hal itu akan membersihkan segala kegelisahan yang bergumul dalam rongga dada. Asap putih kemudian meluncur dari hidung dan mulutnya, membentuk sebuah sekat kasatmata yang seakan-akan memisahkan dirinya dengan jalanan Noordwijk[3] yang dihiasi dengan kelap-kelip lampu di sisi kiri dan kanan jalan.
Ia menghabiskan batang rokok pertama dengan cepat. Ketika rokok kedua dinyalakan, kepalanya telah kosong melompong. Ia mengamati jalanan lengang, yang sesekali dilewati polisi penjaga, dari kamarnya di lantai dua tanpa banyak berpikir. Tadinya ia ingin menghabiskan sisa malam di sana, tetapi gigitan nyamuk yang semkin banyak mampi di kulitnya membuatnya terganggu. Apalagi dengung yang mengitari telinganya terdengar bak cemoohan.
Lelaki itu pun mengumpat dan mendengkus keras. Ia lalu membuang puntung rokoknya ke jalan, lalu menutup jendela dengan gerakan cepat.
Karena jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta menuju Sukabumi, Hendrik memutuskan untuk melupakan keinginannya untuk tidur. Dia kemudian menyalakan lampu minyak kecil, menarik kursi kerja dan mengambil buku catatannya dan pena dari laci meja.
Selama beberapa saat Hendrik tak kunjung menulis, walaupun di hadapannya sudah ada buku catatan terbuka yang menunggu diisi. Lelaki itu tegelak dan merasa sangat bodoh karena tiba-tiba saja otaknya macet.
Derit kursi yang menggesek lantai kayu terdengar saat ia bangkit. Ia pun berjalan ke meja rias di sudut kamar, tempat di mana ia meninggalkan jenewer oleh-oleh pesta dansa semalam, mengambil alkohol isinya tinggal setengah itu, lalu membawanya ke meja kerja. Setelah menyesap seteguk jenewer, ia bersiap untuk menulis dan ini adalah tulisan pertamanya mengenai tragedi itu.
Maandag 15.07.1907
Semua ini terjadi berkat ultimatum yang dibawa oleh F. A Liefrinck, salah seorang anggota Dewan Hindia Belanda mengenai kasus “Sri Kumala” ditolak oleh Badung dan Tabanan.
Tanggal 14 September 1906, aku bersama pasukan bersenjata yang dipimpin Jenderal van Tonningen tiba di Sanur. Dalam misi kali ini, pertama-tama kami harus melumpuhkan tiga istana pemerintahan milik Kerajaan Badung, yaitu Puri Gede Kesiman, Puri Agung Denpasar, dan Puri Agung Pemecutan.
Lima hari kemudian, kami bergerak menuju Puri Gede Kesiman. Namun, setibanya di sana, kami tidak menemukan apa-apa. Istana itu telah ditinggalkan. Kami mendapat kabar bahwa I Gusti Ngurah Gede Mayun, penguasa yang menjaga istana ini telah terbunuh oleh pejabat Kerajaan Badung yang membelot dan menolak perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Kami berjalan di antara kemegahan istana yang kosong. Karena tidak menemukan apa yang kami cari, para pasukan membawa seluruh harta yang tertinggal, termasuk berbagai pedang cantik dengan dekorasi Portugis dan Arab, prasasti batu, arca-arca dewi, beserta koin emas yang jumlahnya banyak sekali.
Tembakan meriam sebanyak 200 kali kemudian dilepaskan sebelum kami bergerak menuju Denpasar.
Hendrik menjeda tulisannya untuk meneguk dua kali jenewernya di gelas balon hingga tandas.
Pagi hari tanggal 20 September 1906 kami akhirnya tiba di Denpasar, pusat pemerintahan Kerajaan Badung. Sebelumnya, kami sempat dihadang pasukan rakyat di Desa Semerta. Perlawanan mereka sangat hebat sehingga korban dari pasukan kami cukup signifikan. Namun, kami berhasil memukul mundur mereka.
Setelah satu jam beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan, kami melihat rombongan pasukan Kerajaan Badung mendekat ke arah kami. Mereka bahkan tidak terlihat gentar ketika pasukan altileri kami menembaki mereka.
Sesampainya di persimpangan Jero Belaluan, rombongan pasukan Badung itu menyerang. Mereka berlari kencang sambil menghunus keris dan tombak, di belakangnya beberapa meriam mengikuti. Aku begitu terkejut mendapati bahwa dalam pasukan itu juga terdapat wanita dan anak-anak. Mereka semua terlihat pantang mundur dan telah siap mati.
Keterkejutan kami tak hanya sampai di situ. Setelah pasukan itu mendekat, Jenderal van Tonningen memberitahu jika pasukan itu dipimpin oleh Raja I Gusti Ngurah Made Agung langsung. Kami tadinya mengira mereka adalah penduduk yang diutus raja untuk menghadang kami.
Aku melihat raja, para pangeran, serta para pengikutnya itu mengenakan pakaian berwarna merah dan hitam. Gagang keris-keris mereka terbuat dari emas berhias permata. Rambut mereka diikat rapi dan ditaburi minyak wangi. Para wanita memakai pakaian yang indah beserta selendang putih.
Hendrik berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar tatkala mengingat kembali pertempuran itu. Para pribumi itu melawan dengan apa pun yang mereka miliki. Mereka berperang dengan jiwa yang tak takut mati.
Jenderal van Tonningen kemudian berulang kali memberi peringatan pasukan Badung itu untuk berhenti. Namun, rombongan raja, keluarga, dan pengikut setianya tetap bergerak maju.
Karena tidak ingin memgambil risiko, Jenderal van Tonningen memerintahkan altileri untuk kembali menembaki pasukan pimpinan Raja I Gusti Ngurah Made Agung itu.
Aku yakin mereka tahu bahwa peluru kami akan merenggut nyawa mereka. Namun, mereka tidak peduli dan terus maju, seolah-olah mereka tengah menyambut kematian ibarat kawan lama.
Satu per satu pasukan Kerajaan Badung itu tersungkur dan gugur, termasuk Raja I Gusti Ngurah Made Agung.
Lelaki itu berhenti menulis. Tangannya gemetar. Ia menuang lagi jenewer dan meminumnya hingga habis. Cairan itu membakar tenggorokannya. Dirinya terus minum sampai tidak ada jenewer yang tersisa di botol.
Dia lalu mengusap wajah. Ia kemudian menyalakan rokok dan membiarkan asap memenuhi paru-parunya. Ia ingat setelah penembakan itu pasukan Jendral van Tonningen kembali melanjutkan operasi hingga tiba di sebuah lapangan kecil. Di sana lah kengerian yang tidak pernah ia bayangkan terjadi.
Mayat-mayat menumpuk bagai gunung. Pria dan wanita menikam dirinya sendiri beserta anak-anak mereka. Jerit kesakitan orang-orang yang tengah meregang nyawa membahana di mana-mana.
Perjalanan kami menuju Puri Agung Denpasar bukan tanpa hambatan. Beberapa kali kami dihadang oleh perlawanan pasukan Kerajaan Badung dari desa-desa sekitar yang datang tanpa henti dengan hanya bermodal keris, batu, dan tombak. Pandangan mereka penuh kemarahan dan tak gentar. Namun, kami berhasil melewati mereka semua tanpa kesulitan.
Setibanya di Puri Agung Denpasar, Jenderal van Tonningen memerintahkan pasukannya untuk mencari mesiu dan senjata Raja Badung yang tersisa.
Hendrik tersedak asap dari rokoknya. Ia terbatuk beberapa kali, lalu meludah di asbak. Walaupun begitu, ia tidak berhenti menulis.
Di salah satu bangunan di dalam puri yang bernama bangunan Kaniyamata, kami menemukan jenazah seorang putri yang terbaring di balai-balai. Dia adalah Putri Kaniyamata. Saudari tiri Raja I Gusti Ngurah Made Agung.
Putri itu terlihat sangat cantik dengan balutan pakaian serba putih. Di tubuhnya tersemat perhiasan yang indah. Salah satu tentara yang memeriksanya berkata jika putri itu mati dengan keris yang menghunjam perutnya.
Belakangan aku baru tahu jika putri itu bunuh diri dengan menyuruh pelayan setianya menusukkan keris ke tubuhnya setelah ia mendengar kabar kematian raja.
Pada jam tiga sore, pemeriksaan kami terhadap Puri Agung Denpasar selesai. Kami kemudian berangkat menuju istana terakhir, yakni Puri Agung Pemecutan.
Setibanya kami di Puri Agung Pemecutan, istana telah terbakar. Aku mendengar jika I Gusti Ngurah Pemecutn, sang penguasa istana, sengaja memerintahkan bawahannya untuk membumihanguskan istana setelah ia mendengar gugurnya Raja I Gusti Ngurah Made Agung.
Dalam penyerangan, kami menghadapi perawalanan yang sangat hebat dari kekuatan Kerajaan Badung yang tersisa.
Kami semua harus berhati-hati karena rombongan pasukan terakhir Kerajaan Badung ini adalah seorang pangeran yang baru berusian 12 tahun! Meskipun ia nyaris tampak tak sanggup memikul tombaknya yang besar dan panjang, tapi api perlawanan yang berkobar di matanya tak bisa dideskripsikan.
Kapten van Woudenberg yang berada di sampingku memerintahkannya untuk berhenti menyerang dan menyerah. Awalnya sang pangeran ingin menuruti perintah itu, tapi salah satu pengikutnya terus mendesaknya untuk terus maju.
Jenderan van Tonningen tidak punya pilihan. Tembakan dari artileri kami membuat sang pangeran dan pengikutnya menemui ajal yang mereka cari sendiri.
Keinginan untuk mati sepertinya telah merasuki orang-orang Badung yang tersisa. Para wanita melemparkan koin emas kepada kami sebagai tanda permintaan agar mereka ditembak mati. Jika kami tidak mengikuti keinginan mereka, mereka tak segan untuk bunuh diri. Seorang pria tua berkeliling di antara mayat, membunuh mereka yang masih hidup sebelum akhirnya mengakhiri nyawa sendiri.
Seperti halnya rakyat, raja dan pengikutnya baik wanita maupun anak-anak yang berjumlah seratus menghadang kami dan semua bunuh diri, seakan-akan mereka tengah berlomba-lomba guna menunjukkan kesetiaan mereka dengan melindungi raja sampai mati.
Di Puri Agung Pemecutan kami mengambil meriam yang digunakan VOC, berbagai senjata, perhiasan, dan beberapa peti yang berisi kepeng[4].
Hendrik meletakkan pena yang digunakannya lalu bersandar di kursi. Ia merenggangkan punggungnya sembari menatap langit-langit kamar beserta lampu yang tergantung di sana. Ia jadi membayangkan jika dirinya adalah salah satu dari rakyat Badung.
Oh, dia adalah orang yang realistis dan lebih memilih untuk melarikan diri ketimbang harus mati konyol hanya demi melindungi orang-orang yang mungkin tak ingat namanya. Ia pun terkekeh geli.
Dasar orang-orang gila itu. Entah kegilaan apa yang merasuk ke kepala mereka.
Selama beberapa waktu Hendrik terdiam. Keadaan kamar terasa sangat sunyi. Yang terdengar hanyalah tik-tik-tik bunyi jam dan anjing-anjing yang masih menggonggong di luar.
Lama ia dalam posisi itu sampai akhirnya sebuah pemikiran ganjil terlintas di benaknya.
Ini mungkin lebih dari seekor ikan haring[5]. Sesuatu yang pastinya mustahil dipahami dengan logika orang Eropa seperti dirinya. Orang-orang Badung rela menumbalkan diri layaknya hanya itu satu-satunya harga yang paling pantas guna membayar kehormatan mereka. Tidak ada kompromi. Tidak ada jalan tengah. Mereka memilih mati dari pada hidup dalam kehinaan.
Entah dari mana Hendrik mendapat semangat baru untuk melanjutkan tulisannya. Ia pun duduk tegak dan kembali mengambil pulpennya.
Setelah Badung berhasil ditaklukan, pada tanggal 27 September 1906, Jendral van Tonningen memerintahkan pasukan untuk segera ke Puri Tabanan, pusat pemerintahan Kerajaan Tabanan. Sebelum kami tiba di sana, seorang pembawa pesan mengatakan bahwa Raja I Gusti Ngurah Agung dari Tabanan mengajukan permintaan untuk bertemu pihak Jendral van Tonningen.
Tanggal 28 September 1906 pagi, Raja I Gusti Ngurah beserta rombongannya tiba di Baringkit. Pihak pemerintah Hindia Belanda meminta kepada raja untuk segera menyerahkaan diri.
Raja I Gusti Ngurah dari Tabanan pun menyanggupi karena mereka pun tak memiliki pilihan lain. Terlebih setelah sekutunya, penguasa Kerajaan Badung telah gugur. Raja I Gusti Ngurah dari Tabanan berserta Pangeran Ngurah Gusti Anom, putra mahkotanya memilih mengasingkan diri ke Lombok.
Akan tetapi, rencana yang telah kami susun berantakan karena rupanya perlawanan raja dari Tabanan pun tak kalah besar. Raja I Gusti Ngurah dari Tabanan memilih memotong urat nadinya, sementara sang pangeran tewas setelah menenggak racun.
Setelah kematian raja Tabanan, kami membawa sejumlah keris pusaka dan perhiasan emas juga perak dari Puri Tabanan. Sedangkan anggota keluarga raja Tabanan lain tetap diasingkan ke Lombok.
Hendrik tersenyum takjub saat mengingat perlawanan raja Tabanan dilanjutkan oleh adik perempuannya yang bernama Sagung Wah.
Sagung Wah berhasil melarikan diri sebelum diboyong ke Lombok mencoba menyerang balik pasukan Hindia Belanda. Namun, seperti yang sudah bisa diprediksi, dia pun gugur di medan perang.
Lelaki itu menguap lebar. Ia melirik ke jendela dan baru mengetahui jika malam telah berganti pagi. Tanpa membuang waktu ia kembali fokus pada tulisannya.
Selama kurang lebih satu jam ia tenggelam dalam tina pena dan kertas hingga akhirnya menegakkan punggung dan tersenyum puas. Ia melihat lagi pada buku catatannya, mengangguk-angguk, dan bergumam, sesekali mencoret hal yang tidak perlu, kemudian berseru, “Hoera[6]!”
Ia pun bangkit berdiri dan berjalan menuju lemari besar di sebelah meja rias. Ia mengeluarkan baju-bajunya dari sana lalu dengan teliti melipat dan memasukkannya ke dalam koper. “Oh, harusnya ini bukan pekerjaanku,” keluhnya jengkel.
Usai membereskan pakaian ia pun menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi. Bagi orang Eropa yang baru pertama kali datang ke Hindia Belanda, mungkin mandi dua kali sehari di pagi dan malam hari adalah pekerjaan yang aneh. Dia pun dulu sempat mencemooh, tapi mengingat betapa panasnya Hindia Belanda, dirinya baru sadar, mandi dua kali sehari bukan pekerjaan yang sia-sia.
Butuh waktu tiga puluh menit baginya untuk mandi dan bersiap. Sambil berkaca di depan cermin besar ia merapikan jas dan rompi yang dikenakannya. Tak lupa ia juga menyisir rambut dan kumis lebatnya. Ia lalu melihat arloji dan menghitung mundur.
Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu.
Tepat di hitungan satu, seseorang mengetuk pintu. Hendrik segera membuka pintu dan menyambutnya.
“Hai, Kawan. Kau sudah siap?” tanya pria yang baru datang sambil melepas topi bowler.
“Ya, bisa kau lihat, Franz. Pakaianku sudah tersimpan rapi di koper dan kamera-kameraku masih ada di kantor. Aku tak mungkin membawa kamera saat berburu, kan? Aku sedang tidak ingin bekerja,” seloroh Hendrik.
“Baiklah. Ayo, kita berangkat. Kita bisa sarapan di stasiun nanti.”
Hendrik mengangguk. Ia menarik kopernya dari atas ranjang dan meletakkannya di luar kamar. “Tunggu sebentar. Sepertinya aku melupakan sesuatu,” katanya pada Franz. Lelaki itu masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil buku catatannya yang masih berada di atas meja kerja. Ia melihat sekali lagi tulisannya dan tiba-tiba merobek lembaran terakhir dan melipatnya hingga kecil.
Franz yang melihat kelakukan kawannya hanya diam dan tak berkomentar. Terlebih ketika Hendrik menaruh lipatan kertas itu ke dalam gelas balon kosong bekasnya yang kosong.
“Ayo,” ajak Hendrik sembari memakai topi fedoranya. Tanpa mengunci pintu, ia pergi meninggalkan kamar penginapan yang menjadi tempatnya beristirahat selama di Batavia beberapa hari ke belakang. “Menurutmu, apa yang membuat orang-orang Badung dan Tabanan berani mati, Franz?”
Frans melemparkan tatapan tidak tertarik kepada Hendrik. “Oh, kau masih mau membicarakan hal itu? Kau bilang kau ingin melupakannya. Saranku tidak berubah, Kawan; Lupakan itu atau kau akan menjadi gila.”
Hendrik sekonyong-konyong tertawa. Franz menatap bingung. Pasalnya Hendrik tidak akan selalu terlihat murung saat membicarakan soal itu penyerangan di Badung dan Tabanan beberapa bulan silam.
“Apakah kau percaya aku sudah bisa melupakan hal itu?” tanya Hendrik. Nadanya terkesan bercanda.
“Tidak.”
Hendrik tergelak lagi. “Baiklah. Untuk kali ini saja, aku bertanya padamu. Aku janji tidak akan bertanya lagi. Jadi, aku butuh jawabamu segera soal apa yang membuat Badung dan Tabanan berani mati.”
“Kau yakin bertanya hal itu denganku?” tanya Franz sangsi.
“Tentu!”
Butuh beberapa detik bagi Franz untuk menjawab. “Mereka hanya sekumpulan orang yang penuh takhayul.”
“Bukankah mereka orang-orang yang berani?” sambar Hendrik yang memancing dengkusan Franz.
“Omong kosong!”
“Lalu bagaimana menurutmu dengan sikap Dewan Hindia Belanda?” Pertanyaan ini diajukan Hendrik saat mereka berdua telah berada di depan delman sewaan Frans yang akan mengantar mereka ke stasiun.
“Dengar, Hendrik. Hukum harus tetap ditegakkan. Orang-orang Badung itu telah mencuri isi kapal padahal mereka sendiri yang telah menandatangani perjanjian untuk tidak menjarah kapal karam. Mereka bersalah. Lagi pula, coba kau pikir, berkat permasalahan Sri Kumala, prinsip Pax Neerlandica[7] akhirnya bisa diterapkan pemerintah di Bali,” jelas Franz sambil menepuk-nepuk bahunya.
Hendrik mengangguk dan tersenyum. “Kau benar,” ujarnya. Ia kemudian memerintah si kusir untuk menaikkan kopernya ke delman.
Tak lama kemudian, delman yang membawa Franz dan Hendrik berjalan meninggalkan penginapan. Kedua lelaki itu duduk berdampingan dan sesekali terlibat percakapan ringan.
***
Tidak lama sepeninggal Hendrik dan Franz, seorang pemuda kleine-Indo[8] yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih penginapan masuk ke kamar yang sebelumnya ditempati Hendrik. Pemuda itu bekerja dengan serius dan cekatan, mulai dari merapikan selimut dan sprei yang berantakan, menyapu lantai, sampai mengumpulkan asbak yang penu puntung rokok di meja kerja.
Sewaktu ia hendak mengambil gelas balon di meja, matanya menangkap sesuatu. Ada lipatan kertas di gelas itu.
Pemuda itu memandangi kertas tersebut beberapa saat. Walaupun ia tahu ini bukan urusannya, tetapi rasa penasarannya begitu besar. Dengan ragu, ia menoleh ke pintu untuk memastikan pintu tertutup rapat sehingga tidak ada seorang pun yang melihat sebelum membuka lipatan kertas itu.
Maandag 15.07.1907
Apa yang terjadi di Badung dan Tabanan adalah salah orang-orang yang tak bertanggung jawab. Itu semua berawal dari tipu daya dan keserakahan pihak Hindia Belanda.
Andai aku bisa, maka aku akan memohon ampun kepada semua orang yang telah mengorbankan nyawa atas dosa-dosa yang kami perbuat dulu.
Tertanda,
H.M van Weede
=====
[1] Perkumpulan berburu di Hindia Belanda
[2] Tempat hiburan elit di Batavia khusus untuk orang Eropa
[3] Sekarang Jalan Juanda, Jakarta
[4] Koin Cina
[5] Pribahasa Belanda: Daar steekt in dan een enkele panharing, yang berarti: Ada lebih banyak hal yang tidak terlihat oleh mata
[6] Hore!
[7] Kebijakan kolonial Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara di bawah kesatuan pemerintahan mutlak di bawah pimpinan pemerintah pusat kolonial di Batavia
[8] Orang campuran Eropa-pribumi dari kalangan miskin
P/S: Cerpen ini saya ikutkan ke Ubud Writer Festival, tapi ternyata itu bukan rezeki saya. Ya, nggak apa-apa lah, ya.