Cerpen
Disukai
0
Dilihat
864
Selepas Hujan
Sejarah

Rawaya melangkah ringan di sepanjang peron sambil menenteng payung biru besar dan bersenandung. Pagi itu, kelabu merata di cakrawala. Angin semilir berembus, menyapu tiap jengkal permukaan kulit dengan hawa dingin. Lelaki itu tersenyum. Datangnya hujan selalu mengingatkannya pada kota kelahiran serta pertemuan pertamanya dengan gadis itu.

Lelaki itu pun berhenti, berbaur bersama lautan manusia yang menunggu datangnya kereta. Ia menghela napas panjang seraya terpejam. Meski dunia telah banyak berubah, aroma petrikor masih sama. Harumnya yang samar berhasil membawanya terbang ke masa lalu, jauh—jauh sebelum Indonesia berdiri, sebelum Baron van Imhoff* pergi ke selatan Batavia guna melakukan ekspedisi, bahkan sebelum tragedi bubat terjadi.

Lebih dari seribu tahun lampau, perseteruan berlangsung antara dua kakak- beradik akibat keserakahan. Kudeta Sang Manarah penguasa Galuh terhadap ayahnya, Rakai Panaraban yang bertakhta di Mataram ikut menyeret Sang Banga, Tohaan ri Sunda*. Malang tak dapat dihindari, Rakai Panaraban mati di tangan Sang Manarah sehingga tiga perempat Jawadwipa dipaksa tunduk di bawah kekuasaanya, kecuali Sunda.

Sang Banga tentu tak tinggal diam. Peperangan tak terelakkan. Keringat, air mata, dan darah kawula tertumpah. Rawaya yang masih berumur enam belas ikut turun ke medan pertempuran, berharap setelah mendapatkan luka sebagai momento perang, ia mampu menjelma menjadi seorang kastria. Akan tetapi, ia bukanlah siapa-siapa, hanya seorang sudra; kasta terenda di mana jika dirinya mati, ia dapat dengan mudah digantikan oleh orang lain.

Rawaya mendengkuskan tawa. Satu alaf telah berselang dan ia masih tak bisa menahan geli kala mengingat betapa naif dirinya dulu.

Waktu itu, di antara derasnya hujan, dinaungi atap rumbia, di antara prajurit-prajurit Sunda kelelahan dan bersimbah darah, gadis itu datang seperti hujan yang mengguyur padang gersang. Bersama dengan ayahnya yang merupakan seorang disi* kepercayaan Sang Banga, dengan sigap si gadis memeriksa dan mengobati luka-luka mereka.

Rawaya begitu terpana melihat betapa cekatan gadis itu. “Boleh kutahu namamu?”

Si gadis menjawab tanpa berhenti bekerja. “Kenapa kau ingin tahu?”

“Aku hanya ingin mengenal penyelematku. Apakah itu salah?”

“Harshita.” Si gadis dengan sengaja mengusap luka sayatan di perut Rawaya kuat-kuat.

Rawaya meringis kencang, tapi hal itu tak memadamkan senyum di wajahnya. “Jika aku berhasil dalam pertempuran ini, apakah kau akan menungguku?”

Gadis itu menatap dengan matanya yang jernih. “Jika kau bertemu lagi denganku setelah ini, itu adalah takdir kita. Maka dari itu, jangan sampai mati,” tandasnya cepat. Ia berniat pergi untuk memeriksa prajurit lain.

Kata-kata gadis itu bagai mantra yang membuat motivasi hidup Rawaya meningkat. Sayangnya, kekhawatiran masih tetap ada. “Bagaimana ... bagaimana jika aku tak bisa lagi bertemu denganmu?”

Si gadis berbalik. “Tungguhlah di sini, bila hujan reda, kau bisa bertemu denganku.” tegasnya sebelum berlalu.

Rawaya makin terjatuh. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga kagum atas keberanian si gadis yang rela bekerja di tengah situasi mencekam seperti ini. Bukankah perempuan seharusnya diam mengurus rumah?

Dengung dari pengeras suara stasiun seketika menyadarkan Rawaya dari lamunan. Pengumuman kereta akan segera tiba terdengar. Rangkaian gerbong-gerbong kereta datang tak lama kemudian.

Bagai ombak ganas, manusia-manusia berjejalan, saling sikut, saling dorong agar bisa masuk. Rawaya memilih untuk mengalah. Tak masalah jika ia tertinggal. Ia akan menunggu kereta berikutnya. Beberapa detik sebelum pintu gerbong tertutup, seorang bapak memanggilnya. Well, ia cukup beruntung hari itu. Masih ada sedikit tempat lowong untuknya berdiri di pinggir, tepat di sebelah bapak tadi. Ia pun melangkah tanpa beban ke dalam.

“Selamat pagi, kami informasikan, saat ini Anda berada di commuter line tujuan akhir stasiun Bogor.” Pengumuman dari masinis terdengar. Kereta pun begerak menuju tempat

yang dinantikan.

Di luar, guntur mulai menyambar. Gerimis perlahan turun dan makin lama makin lebat. Lelaki itu meringis karena teringat jalan cerita cintanya yang begitu tragis. Mereka bertemu ketika hari hujan, pun harus terpisah saat rinai mengguyur bumi.

Di akhir pertempuran, Sunda akhirnya meraih kemenangan atas Galuh berkat srategi cerdas Sang Banga. Rakyat bersuka-cita. Namun, tidak dengan Rawaya. Seperti yang sering dikatakan para cendikia, peperangan hanya akan mendatangkan kerugian; tak peduli kau ada di sisi pihak yang kalah ataupun sang pemenang.

Hari itu, di bawah derasnya hujan, ia mendapat kabar jika Harshita mati tertusuk panah kala menyelamatkan seorang prajurit yang terluka.

Rawaya pun jatuh berlutut, menengadah, dan melaung. “Di mana aku bisa mendapatkan keadilan, jika Kau saja tak bisa memberikanku keadilan? Sang Hyang Kersa*, kau bedebah! Tunjukkan padaku bahwa kau bisa membawa kembali gadis itu!”

Petir tiba-tiba menyambar.

Rawaya terbatuk sekali karena menahan tawa. Ia lantas bergeser untuk memberikan kesempatan bagi penumpang lain keluar-masuk sewaktu kereta berhenti di stasiun pemberhentian. Dan, ya, begitulah bagaimana akhirnya ia dikutuk menjadi abadi. Terkadang ia merasa alasannya menjadi kekal di dunia ini begitu konyol. Well, bukankah dirinya persis karakter utama drama Korea tragikomedi yang tengah digandrungi? Rawaya terkekeh.

Bila ditanya apakah ia menikmati keabadian? Bohong jika ia menjawab tidak. Sudah pasti ia merasa sangat gembira. Ia bisa melakukan apapun yang ia inginkan; memiliki waktu yang tidak terbatas untuk menumpuk emas dan kekayaan, mempelajari hal-hal baru, atau mengejar impian yang tak pernah ia dapatkan karena kemiskinan. Akan tetapi, hal itu cuma terjadi di seratus tahun pertama. Sisanya terasa hampa ketika satu per satu orang yang ia sayangi pergi, meninggalkannya hanya dengan kesepian yang tak bertepi.

Kerugian lain menjadi abadi adalah sulit baginya untuk menetap di satu tempat dalam jangka waktu lama. Manusia mudah curiga dan kerap ingin mencampuri urusan orang lain. Maka, untuk menghindari tuduhan-tuduhan dari mulut-mulut tak bermoral, ia akan pindah dari satu daerah ke daerah lain secara berkala. Namun, seperti kata pepatah, sejauh apapun ia pergi, pada akhirnya dia akan senantiasa menemukan jalan untuk kembali. Seperti hari ini, ia bermaksud menjenguk kota kelahirannya sekaligus menagih janji yang sudah seribu tahun lebih ia lewatkan.

Lantaran lelah harus berpindah-pindah, sebuah pernah sekali ide melintas di benaknya. Bagaimana kalau ia melakukan operasi plastik? Namun, ide itu langsung masuk ke dalam daftar hitam. Tidak. Tidak. Ia tak ingin wajahnya hancur karena pisau dokter.

“Sesaat lagi, kereta Anda akan tiba di stasiun akhir Bogor.” Pemberitahuan melalui pengeras suara kereta kembali terdengar.

Tak lama kereta yang ditumpangi Rawaya berhenti. Malas berdesakan, lelaki itu sengaja membiarkan seluruh penumpang turun terlebih dulu sebelum beranjak menuju pintu keluar stasiun.

Rawaya merapatkan mantel yang dipakainya lalu membuka payungnya. Ia sengaja berhenti di depan kumpulan angkutan-angkutan kota yang memadati pintu keluar. Lebatnya hujan tak mematahkan semangat para supir saling berteriak mengajak penumpang. Rawaya mendengkuskan tawa. Bogor tak pernah berubah, hanya orang-orangnya saja yang datang dan pergi silih berganti. Selama lebih dari seribu tahun ia hidup, Bogor akan selalu jadi tempatnya berpulang kala merindukan bagaimana hidup menjadi manusia.

Lelaki itu lalu melangkah menyusuri trotoar stasiun. Jalanan di hari hujan selalu sepi. Kala melihat rel kereta yang berjajar, ia jadi teringat, ia absen saat pembangunan stasiun ini dimulai. Kapan itu berlangsung? Sekitar akhir abad sembilan belas, mungkin. Di tahun-tahun itu ia masih berada di daerah Kalimantan.

Ia melanjutkan langkah. Hujan masih turun dengan lebat. Kakinya yang terlindung sepatu loafers hitam melintasi genangan-genangan air, membawanya menemui beberapa belokan dan lampu merah. Rawaya berhenti tepat di kebun raya. Sama seperti stasiun Bogor, ia tak memiliki kenangan apapun ketika Lands Plantentuin te Buitenzorg ini pertama kali berdiri. Rasanya seperti melewatkan kelahiran anak sendiri.

Namun, ia boleh berbangga hati lantaran ia turut andil dalam peletakkan batu pertama pembuatan istana Bogor. Secara harfiah. Sebenarnya cukup menggelikan jika diingat. Di tahun 1744, seharusnya ia pergi menyebrangi pulau menuju Sumatra, hanya saja ia terlambat bangun dan tertinggal rombongan orang-orang Belanda. Berhubung dirinya memiliki tubuh kekar khas pekerja kasar, salah seorang mandor menjadikannya sebagai pemecah batu yang akan digunakan sebagai pondasi bangunan ini.

Rawaya berjalan lagi setelah beberapa saat tergelak. Sesudah menyusuri jalan Bojong Neros serta menyebrangi sungai Cibalok, sampailah ia di jalan Merdeka. Dirinya berada di sana sewaktu Indonesia berhasil memproklamirkan diri sebagai sebuah negara. Rakyat turun ke jalan, berpesta merayakan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa itu layaknya dejavu. Rawaya seperti diingatkan lagi momen di manakawula berpesta pora atas kemenangan Sunda dari Galuh.

Hujan deras berganti gerimis kecil. Perjalanannya pagi ini berakhir tepat di depan Istana Batu Tulis. Di bawah payung yang terbuka, Rawaya berdiri di seberang bangunan itu. Ia menatap lama dengan sorot mata merindu. Tepat di tempat itu, lebih dari seribu tahuun yang lalu, Pakwan pernah berdiri. Di tempat ini pula pertempuran yang melibatkan Sunda dan Galuh terjadi.

Matahari di ufuk timur perlahan mengintip. Gerimis yang tadi turun berangsur reda. Rawaya menatap langit lantas menutup payungnya. “Harshita. Aku datang,” sapanya pada angin.

Rawaya berencana untuk pergi karena hujan kini telah berhenti sepenuhnya. Akan tetapi, tatkala ia berbalik, di belakangnya seorang gadis berpayung merah. Rawaya terkejut.

“Harshita?” Lelaki itu tergagap. Segala rasa yang dipendam selama seribu tahu lebih mencoba mendobrak keluar.

Gadis itu, dengan matanya yang jernih, menatap Rawaya penuh tanda tanya. “Kau tahu namaku?”

Rawaya menggeleng. “Anggap saja ini pertemuan pertama kita.” Ia mengangsurkan tangan, mengajaknya berjabatan. “Nama saya Rawaya.”

Dengan bingung gadis itu menanggapi. “Saya Harshita.”

Senyum lebar Rawaya terkembang. Ia yakin, cerita cintanya yang berakhir tragis dulu akan berubah di masa kini. “Salam kenal, Harshita.”

END

=====

1. Gustaaf Willem baron van Imhoff (Mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda)

2. Tohaan ri Sunda = Gelar raja di Sunda

3. Disi = Ahli obat dalam Bahasa Sunda kuno

4. Sang Hyang Kersa = Dewa tertinggi dalam kepercayaan Sunda Wiwitan

5. Pakwan = Ibukota Kerajaan Sunda

P/S: Cerpen ini pernah saya ikutkan di lomba yang diselenggarakan pemkot Kota Bogor dan berhasil meraih juara 1. Prompt lomba itu adalah kearifan Kota Bogor

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)