Cerpen
Disukai
1
Dilihat
11,353
Diary Senyum Harry
Drama

Hari pertama, Harry berkeliling kota Jogja sekalian mencari inspirasi. Naik trans Jogja. Suatu hal yang sering Harry lakukan ketika ide mampet di otak. Perjalanan tak menguras tenaga dan sedikit keluarkan uang.  

   Lama menimbang, Harry putuskan naik trans Jogja. Tak menunggu lama, bus datang.

“Wah, hanya ada tiga penumpang,” gumam Harry.

   Di pemberhentian selanjutnya, naiklah seorang ibu bersama anaknya yang baru berumur enam tahun. 

“Syukurlah, nambah dua.” Si anak duduk di dekat Harry. Sementara, ibunya hanya berdiri mengawasi. 

Di traffic light, trans Jogja berhenti. Harry melihat si anak berusaha sekuat tenaga membuka jendela bus. Tapi jendela tak bisa juga dibukanya. 

“Bu, jendelanya enggak bisa dibuka,” tanya si anak lugu.

“Nak, jendelanya enggak bisa dibuka.”

“Nanti kalau jendela dibuka, AC-nya bisa keluar,” sahut ibunya tidak kalah lugu. 

Entah mengapa, si anak percaya begitu saja omongan ibunya dan langsung duduk tenang. Sementara, Harry tersenyum simpul mendengar bualan si ibu kepada anaknya itu.

“Ada-ada saja.” 

***

Hari kedua, Harry kembali berkeliling kota Jogja. Tapi hujan menunda keberangkatan perjalananku. Harry agak menyesal. Tadi tak berangkat lebih pagi. Harry pun mencoba mengambil hikmah.

Di meja makan, tersaji tempe buatan ayah dan sayur lodeh. Rasa lapar berkecamuk di perut. Memaksa Harry melahap habis tempe dan sayur lodeh bercampur nasi. Ayah tampak senang melihatnya.

   Sore, hujan mulai reda. Perjalanan Harry mencari inspirasi pun dimulai. Naik trans Jogja, seperti biasa. Setengah jam kemudian, turun di sembarang halte. Panggilan ibadah terdengar memanggil. Entah datang darimana. Karena begitu banyak masjid di situ. Harry pilih satu masjid yang terdekat,

Tapi suasana di dalam masjid sepi, tak ada orang alias kosong melompong. 

“Mungkin shalatnya sudah selesai.” Harry lalu berwudlu dan segera melaksanakan shalat. Diteruskan berdoa. 

Ketika khusyuk berdoa, tampak takmir masjid datang dan langsung mengkumandangkan panggilan ibadah.

“Lho, jadi tadi itu belum Shalat tho,” sontak Harry dengan rasa terkejut yang menyeruak di hati. Mau tidak mau harus melaksanan shalat lagi tapi kali ini berjama’ah. 

***

Hari ketiga, tak ada acara kemana-mana, Tapi ada waktunya harus keluar rumah. Teringat ada barang yang harus dibeli. Harry memutuskan pergi ke minimarket tak jauh dari rumah. 

“Mas, mau beli susu satu sachet?” Harry langsung bertanya. Karena tak mau susah-susah mencarinya.

“Tidak ada susu sachet-an di sini.” 

“Yang ada, susu cair atau susu siap minum,” jawaban pegawai minimarket membuat jakun Harry di tenggorokan naik turun. Bukan apa-apa, hanya terbayang susu siap minum itu membasahi kerongkongannya.

“Ah, pasti nikmatnya.” 

Karena sedang menjalankan puasa senin kamis, Harry jadi salah tingkah. Harry lalu membeli botol kecap, roti semir dan plester. Kemudian segera membayar di kasir.

“Sudah, Mas, hanya ini saja. Susu cairnya tidak jadi?” Harry menggeleng. Tak lupa memasang senyum di bibir sambil berlalu pergi.

***

Hari keempat, Hape atau handphone memang sudah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Semua sepertinya membutuhkan hape. Walaupun itu pertanda tak baik karena kita bisa menjadi sangat tergantung pada barang elektronik berupa hape. Tapi dibalik itu, ada sisi humoris juga.

Kali ini cerita dialami Ayah Harry yang tinggal sendirian di rumah. Ibu sudah berangkat berdagang batik di Pasar Beringharjo sedari pagi. Sementara Harry baru pergi jalan-jalan mencari inspirasi.

Di rumah, sore itu selesai menanak nasi, Ayah Harry menonton televisi. Rasa ngantuk mulai melanda Ayah Harry. Lalu diputuskan mematikan televisi. Tak lupa mengunci pintu depan rumah. 

“Biar aman,” pikir Ayah Harry. 

Baru setelah itu, Ayah Harry merebahkan diri di kamarnya. Dan beberapa saat kemudian, tertidur pulas.

   Tiga jam sudah berlalu. Tiba-tiba, hape Ayah Harry yang ditaruh di meja dekat tempat tidur berdering membuatnya terbangun.

Lho bojoku telepon, mesti dikon methuk iki.”   

Ayah Harry mengangkat telepon hape-nya. 

Halo, aku tak ganti klambi dhisik. Ditunggu wae neng biasane, mengko tak pethuk,” 

Sopo sing akon menthuk. Lha wong, aku wis neng ngarep omah,” sahut Ibu Harry di ujung telepon. Ayah Harry terperanjat kaget. Lalu bergegas menuju ke pintu depan. Dilihatnya, Ibu Harry sedang berdiri di depan pintu yang terkunci.

   Ayah Harry segera membukakan pintu yang terkunci.

“Untungnya bawa hape,” kata Ibu Harry. Ayah Harry hanya geleng-geleng kepala.

Yo lagi iki, diceluk bojo dhewe nganggo hape. Pancen jamane wis canggih tenan,” sahut Ayah Harry. 

Harry yang mencuri dengar cerita sang ayah yang kembali diungkit pada malam harinya hanya tersenyum.

“Lumayan dapat inspirasi menulis.” lalu menuliskannya di diary.

------------------------------------

Lho bojoku telepon, mesti dikon methuk iki: Lho istriku telepon, mesti disuruh jemput ini.

Halo, aku tak ganti klambi dhisik. Ditunggu wae neng biasane, mengko tak pethuk: Halo, aku ganti baju dulu. Ditunggu saja di tempat biasanya, nanti dijemput.

Sopo sing akon menthuk. Lha wong, aku wis neng ngarep omah: Siapa yang suruh jemput. Lha wong, aku sudah di depan rumah.

Yo lagi iki, diceluk bojo dhewe nganggo hape. Pancen jamane wis canggih tenan: Ya baru ini, dipanggil Istri pakai hape. Memang jamane wis benar-benar canggih.

***

Hari kelima, Penipuan dengan menggunakan sms yang mengatasnamakan Tante, Kakak, Adik dan Ayah untuk mengirimkan pulsa memang sedang marak belakangan ini. Hampir seluruh masyarakat pernah mendapatkan sms bernada penipuan seperti ini. Tak terkecuali keluarga Harry.

   Mulai dari Harry sebagai anak tertua, Delima dan Kenanga kedua adikku hingga Ayah Harry, sang kepala keluarga. Bahkan Ibu Harry juga pernah mendapat sms bernada penipuan tahun lalu. Tapi yang membedakan adalah cara merepon sms bernada penipuannya. 

Bagi Harry yang sudah tiga kali mendapatkan sms bernada penipuan yang mengatasnamakan Tante, Bapak atau Adik, biasanya akan mengambil sikap mengacuhkannya. Setali tiga uang denganku, Ibu Harry juga melakukan hal yang sama.

   Lain respon yang diambil oleh Delima dan Kenanga. Begitu mendapatkan sms bernada penipuan yang mengatasnamakan “Ayah”, keduanya langsung memberitahukan kepada sang ibu. Sebaliknya, respon yang diambil Ayah Harry ketika mendapatkan sms bernada penipuan yang mengatasnamakan “Ayah” berbeda. 

   Seperti ketika Ayah Harry sedang bersantai di rumahnya beberapa hari lalu. Ayah Harry mendapat sms dari nomor yang tak dikenalnya. Ayah Harry lalu membuka smsnya. Ternyata isinya bernada penipuan.

“Ayah baru ada urusan pemting di kantor polisi, ini Ayah pakai nomor baru.” 

“Tolong kirim pulsa duapuluh ribu ke nomor ini,” begitu bunyi smsnya. 

Ayah Harry bukannya mengacuhkan atau memberitahu yang lain, malah membalas smsnya. 

“Ayahnya siapa?”

“Lha wong, Ayah sudah lama tidak ada,” begitu bunyi balasan sms dari Ayah Harry. Tidak lama kemudian, Ayah Harry mendapatkan sms balasan. 

“Sama, dab,” begitu bunyi balasan smsnya. 

Tapi kali ini, Ayah Harry memilih mengacuhkannya.

“Dasar, penipu kurang kerjaan”, batin Ayah Harry sambil mengelus dada. Harry yang mengetahuinya hanya tersenyum. Dapat inspirasi lagi. Asyik!!

***

Hari keenam, angkringan di pinggir jalan dekat rumah Harry memang lain dari angkringan biasanya. Karena selalu ditinggal penjualnya ketika tiba waktu shalat. Mas Pri (40), penjualnya memang dikenal religius dan taat beribadah.

Suatu hari menjelang waktu Maghrib, Harry hendak jajan di angkringan Mas Pri. Tapi si penjualnya tak ada di situ. 

“Ooo dia pasti baru shalat Maghrib.” pikir Harry. Lalu daripada balik ke rumah, kuputuskan sekalian saja nunggoni (menunggui) angkrinngan yang kebetulan sedang sepi. 

Di saat menunggu, datang seorang pembeli. Celingukan mencari Mas Pri, si penjual, minta dibuatkan kopi. Harry lantas memberitahu kalau penjualnya sedang shalat. Pembeli itu pun bilang akan kembali lagi nanti. 

Setelah menunggu lama, Mas Pri, si penjual akhirnya datang. Lalu Harry segera memesan. 

“Teh pamas satu, Mas.” pesan Harry. 

“Aduh, maaf Mas, gulanya habis.” sahut Mas Pri membuat Harry kaget. 

“Saya beli gula dulu, masnya tunggu sebentar di sini ya. “ pamit Mas Pri. Harry mengangguk pelan. Lalu kembali harus nunggoni angkringan.

***

Hari ketujuh, Harry baru saja selesai menulis di dalam kamar. Tiba-tiba Harry merasa haus.

Ketika keluar kamar hendak mengambil minum, tiba-tiba ada seekor lalat terbang di depan wajah Harru. Lalu tiba-tiba hinggap di atas bibir.

Merasa risih Harry coba mengusirnya tapi seekor lalat itu malah terhirup masuk ke dalam hidung. Harry kaget lalu berusaha mengeluarkan dengan menghembuskan nafas sekencang-kencangnya. Tapi belum berhasil.

Harry memakai cara lain. Yakni memasukkan jari telunjuknya ke dalam hidung untuk mencungkil lalat keluar. Cara ini berhasil. Lalat berhasil dikeluarkan dalam keadaan mati.

Ayah Harry yang baru dari kamar mandi heran melihat Harry asyik memperhatikan lalat mati di jari telunjuk.

“Lalatnya kenapa?” tanya Ayah Harry. 

Harry tersenyum lalu menjawab, “Tadi terhirup masuk ke hidung.” Ayah Harry hanya geleng-geleng kepala, tak percaya mendengarnya. 

***

     Hari kedelapan, Harry membeli kalender baru. Mau tak mau ia harus membelinya di toko-toko dekat rumah saja agar tak perlu keluar banyak uang.

     Harry menuju ke toko pertama. Di sana, tokonya ternyata tak menjual kalender baru. Lalu menuju ke toko kedua. Di sana juga sama, tak menjual kalender.

     Akhirnya, Harry menuju ke toko ketiga. Ia berharap tokonya menjual kalender baru agar tak perlu pergi ke tengah kota untuk membelinya.

“Mbak, ada kalender baru?” tanya Harry kepada Mbak penjaga tokonya.

“Enggak ada, Mas.” jawab si mbak.

     Harry sedih mendengarnya. Lagi-lagi toko yang disambanginya tak menjual kalender baru. Melihat wajah Harry yang tampak sedih, si mbaknya jadi kasihan.

“Kalender yang itu mau gak?” kata si mbak sambil menunjuk kalender meja yang terpajang di atas mejanya.

"Kan dipakai Mbaknya." kata Harry.

"Kalau Masnya butuh kalender baru, gak apa-apa silakan." sahut si mbak.

“Mau, berapaan Mbak?” tanya Harry.

“Gratis, Mas.” jawab si mbak membuat Harry senang mendengarnya. Lalu segera membawanya.

            Dalam perjalanan kembali ke rumah, Harry tak henti bersyukur; “Maunya kalender dinding, eh dapatnya kalender meja. Tapi gak apa-apa, yang penting gratis.”

***

     Hari kesembilan, Harry ingin cukur rambut karena rambutnya sudah gondrong. Tapi lantaran barbershop dekat rumah sudah lama tutup, ia ingin memakai jasa barbershop panggilan yakni Tono Barbershop yang diketahuinya dari internet.

     Harry memberitahu sang ibu. Tapi setelah tahu tarif cukur rambut yang dipatok cukup tinggi, sang ibu awalnya tak setuju.

    Lalu setelah beberapa hari, sang ibu berubah pikiran karena rambut sang anak yang semakin panjang dan tampak acak-acakan lantaran tak pernah keramas dan juga disisir. Harry lantas berkirim WA kepada Tono Barbershop.

    Akhirnya disepakati hari Jum'at siang, Tono Barbershop akan datang ke rumah Harry untuk cukur rambut.

     Pada hari yang ditentukan, Harry sudah mempersiapkan kursi yang akan dipakainya di teras rumah. Ketika melihat kedatangan Tono Barbershop dan seorang teman dari barbershop, ia sedikit kaget.

     "Ini asisten saya, Gandi." Tono Barbershop memperkenalkan temannya. Harry mengangguk paham. Lalu dimulai persiapan untuk cukur rambut.

     "Difoto dulu ya, Mas." kata Tono Barbershop. Harry yang sudah duduk di kursi, bersiap hendak dicukur rambutnya hanya mengangguk. Gandi teman Tono Barbershop lalu memfoto Harry dari berbagai angle. Selesai memfoto, Tono Barbershop segera mencukur rambut Harry sambil sesekali mengarahkan temannya untuk mengambil foto dirinya dan Harry. Dari dalam rumah, sang ibu tersenyum simpul memperhatikan kejadian di teras rumah.

     Selesai mencukur rambut dan kepala Harry, Tono Barbershop tak lupa menyuruh Gandi temannya untuk memfoto. Harry tak keberatan karena ia merasa sudah ganteng ketimbang sebelum dicukur. Lalu membayar tarif yang sudah ditentukan.

     Setelah Tono Barbershop dan temannya pergi, Harry segera membereskan kursi dan menyapu lantai teras. Sang ibu menghampiri anaknya dan berkata, "Bagaimana rasanya cukur rambut sambil difoto-foto, Har?" Harry tersenyum lalu menjawab, "Asyik, Bu. Malah jadi koyo Artis." Sang ibu tertawa kecil mendengarnya.

***

     Hari kesepuluh, Ibunya Harry ingin menjahit pakaian tapi tak punya jarum. Lalu meminta Harry untuk membelikannya di toko dekat rumah.

     Berangkatlah Harry ke toko dekat rumah.

"Mbak, mau beli jarum." kata Harry sesampainya di toko. 

"Mau kretek atau yang filter, Mas." sahut si mbak pemilik tokonya. Harry jadi bingung sejenak.

"Maksud saya jarum buat jahit, Mbak." ujar Harry.

"Ooooo... ." sahut si mbak lalu mengambil bungkusan jarum jahit.

"Tiga ribu, Mas." kata si mbak kemudian. Harry mengangguk lantas membayarnya. Lalu bergegas pulang.

     Sampai di rumah, Harry memberikan bungkusan jarum jahitnya kepada sang ibu yang segera menyiapkan benang dan pakaian untuk dijahit.

Melihat sang ibu hendak nyluropke benang (memasukkan benang ke dalam lubang jarum), Harry mencegahnya.

"Biar aku saja, Bu." cegah Harry.

"Kamu yakin bisa." sahut sang ibu sambil memberikan jarum dan benangnya.

"Yakinlah, Bu. Kan mataku lebih awas." ujar Harry sedikit sombong lalu memerima jarum dan benangnya. Sang ibu manggut-manggut.

     Harry mencoba memasukan benang ke lubang jarum. Percobaan pertama gagal. Dicoba yang kedua, kali ini ujung benangnya dijilat. Tapi masih gagal. Ia tak mau menyerah. Dicoba lagi, dicoba lagi sayangnya tetap saja gagal.

     Sang ibu kasihan melihat Harry yang belum juga bisa memasukkan benang ke dalam jarum lantas meminta kembali benang dan jarumnya. Dengan berat hati, ia memberikan kembali.

     Sang ibu segera memakai kacamatanya. Lalu hati-hati memasukkan benang di lubang jarum. Dan langsung berhasil di percobaan pertamanya. Harry melongo kaget melihatnya.

"Mata tuwo jebul lebih awas ya." sindir sang ibu. Harry malu mendengarnya.

***

Hari kesebelas, Harry punya warung bakmi langganan. Penjualnya seorang ibu paruh baya. Tapi beberapa bulan lalu, si penjual bakmi meninggal. Harry sedih mendengarnya. Lalu pergi melayat.

     Setelah Shalat Jenazah, Harry langsung pulang. Ia tak ikut mengantarkan ke pemakaman. Karena ada urusan keluarga.

     Pas lihat ada tayangan kuliner bakmi di tivi, Harry keingetan warung bakmi langganan itu. Ia pun mengajak Bagus sahabatnya. Sepanjang perjalanan menuju warung bakmi langganannya, Harry menceritakan kebaikkan penjual bakmi langganannya yang sudah meninggal kepada para pelanggan setia termasuk dirinya. Bagus hanya bisa manggut-manggut mendengarnya,

     Sampai di warung bakmi langganannya, Harry dan Bagus segera duduk dan memesan bakmi kepada si mbak, salah satu kerabat mendiang penjual bakmi yang meneruskan warung bakminya.

     Selesai makan, keduanya hendak membayar. Saat membayar, Harry kaget melihat sosok mirip mendiang penjual bakmi yang dikenalnya. Bulu kuduknya merinding.

"Jangan-jangan hantunya penjual bakmi." pikir Harry dengan wajah berubah pucat. Bagus heran melihatnya. Tapi ia enggan bertanya.

     Hampir saja, Harry berteriak hantu tapi niat itu bisa dicegah si mbak.

“Itu kembarannya penjual bakmi yang sudah meninggal, Mas.” kata si mbak pelan. Harry menghela nafas lega. Wajahnya tak pucat lagi.

“Kok aku gak pernah tahu ya?" 

"Dia lama tinggal di luar kota, Mas." Harry manggut-manggut. 

    "Dulu waktu melayat, kok gak ketemu ya.” kata Harry.

“Dia datangnya agak siangan, Mas.” timpal si mbak. Harry mengangguk pelan. Kemudian membayar dan segera pergi bersama Bagus, naik sepeda motor.

     Karena masih penasaran dengan wajah Harry yang pucat tadi akhirnya memutuskan bertanya, “Kok tadi muka pucat, ada apa lho?”

“Tadi aku kira si penjual bakminya hidup lagi, eh jebul kembarannya.” jawab Harry. Bagus tertawa kecil mendengarnya.

***

     Hari kedua belas, Harry pergi ke ATM yang ada di dalam minimarket, untuk mengecek saldo dan sekalian ambil honor tulisan kalau ada.

“Eh siapa tahu sudah ada transferan honor menulis.” Harry membatin ketika sampai di minimarket.

     Harry lantas masuk ke dalam minimarket, menuju ke mesin ATM di pojokan ruangan. Lalu masukkan kartu ATM, ketik password dan tekan nominal uang yang mau diambil.

     Eh tiba-tiba di layar monitor ATM terpampang tulisan, "Mesin ATM Saat Ini Tidak Bisa Mengeluarkan Uang." Harry mencoba lagi. Hasilnya sama.

“Dasar ATM pelit.” gumam Harry kesal. Kemudian memutuskan langsung pulang.

     Sampai di rumah, Harry dengan bersunggut-sunggut kesal menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ibu dan adiknya. Tak lupa, ia menyebut ATM-nya pelit karena tak mau keluarkam uang.

     “Itu bukan ATM-nya pelit tapi baru rusak.” jelas sang adik. Harry mengangguk-angguk.

“Lha kalau gak di situ, ambil uangnya di mana lagi?” keluh Harry yang kepingin ambil uang.

“Lho di dekat situ kan ada ATM Bersama.” beritahu sang adik.

“Kenapa baru bilang sekarang?” kata Harry sambil tepuk jidatnya sendiri.

“Kan Kakak gak tanya.” sahut sang adik.

“Sudah sekarang kamu balik ke sana lagi, Plo. Siapa tahu ATM-nya gak pelit eh gak rusak.” perintah sang ibu. Harry tersenyum mendengarnya.

     Lalu menuruti perintah sang ibu. Harry balik lagi tapi bukan ke minimarket melainkan ke ATM yang ada di dekat situ. Dan benar kata sang ibu, Harry bisa narik uang dari ATM.

***

Hari ketiga belas, Harry pergi membeli nasi ayam untuk sang ibu di warung makan dekat rumah. Selesai membeli nasi ayam, ia lanjut ke toko sembako tak jauh dari warung makan.

     Di toko sembako, Harry membeli sejumlah kebutuhan pokok.

“Semua berapa, Mas?” tanya Harry.

“Semuanya dua puluh lima ribu.” jawab si mbak pemilik toko sembako. Harry lalu merogoh saku celananya. Tapi ia kaget karena uang tinggal lima belas ribu.

     “Perasaan tadi di warung makan, ada kembalian sepuluh ribu. Apa jatuh ya.” pikir Harry.

“Mas, kalau uangnya kurang boleh ngutang dulu kok.” kata si mbak mengkagetkan Jon Koplo.

“Duitnya mungkin jatuh di warung makan, sebentar ya saya ke sana dulu.” sahut Harry. Si mbak memperbolehkan.

     Lalu Harry kembali ke warung makan. Sampai di sana, ia memberitahu pemilik warung makannya kalau tadi kembalian sepuluh ribunya tadi jatuh, dan tanpa banyak tanya, langsung diganti.

     Setelah dari warung makan, ia kembali ke toko sembako, membayar sisa kekurangannya. Kemudian bergegas pulang ke rumah.

     Di rumah, Harry memberikan nasi ayamnya kepada sang ibu.

“Wah nasi ayamnya enak, Plo. Harganya berapa?” tanya sang ibu.

“Sepuluh ribu, Bu.” jawab Harry. Tiba-tiba, ia jadi teringat kalau ia tadi bayar pakai uang pas. Buru-buru, ia ambil duit sepuluh ribu di celengan. Kemudian segera pergi ke warung makan. Sang ibu geleng-geleng kepala melihatnya sambil meneruskan makannya.

***

     Hari keempat belas, Ibunya Harry merasa air di galon air mineral rasanya tidak seperti biasa. Lalu memberitahu sang anak, Harry.

     “Har air di galon kok agak bau ya.” kata sang ibu.

“Mungkin airnya, Bu. Kan dimasak dulu, bukan beli.” sahut Harry.

“Gak masalah kalau itu, kan selama ini baik-baik saja kok, Har.”

“Berarti galonnya, Bu. Kan belum ganti galon dari enam bulan lalu.”

“Bisa juga, Har.” Harry mengangguk pelan.

     “Atau bisa saja dispansernya, kan sudah lama gak dibersihkan, Bu.”

“Iya betul juga, Har. Biar Ibu nanti yang bersihkan.”

“Gak usah, Bu. Biar aku saja yang bersihkan. Kan Ibu capek seharian, sudah masak dan berberes rumah.”

“Jangan lupa dibersihkan sampai bersih ya, Har” Harry mengangguk. Kemudian menuju ke dapur untuk membersihkan dispenser.

 Setelah dispanser selesai dibersihkan, ia memberitahukannya kepada sang ibu.

“Wah iya, dispansernya jadi bersih.” kata sang ibu saat melihat dispanser yang selesai diberikan anaknya. Harry senang dapat pujian. Lalu sang ibu meminta Harry untuk menuangkan galon air mineral yang baru ke atas dispanser. Ia menurutinya.

     Saat galon air mineral dituangkan di atas dispanser, sang ibu dan Harry melihat air yang keluar banyak dari bawah dispanser. Lalu dengan sigap, Harry segera menurunkan galonnya.

     “Kok bisa bocor ya, Har. Kamu apain tadi dispansernya?” tanya sang ibu.

“Kan Ibu bilang dibersihkan, ya aku cuci sampai bersih, Bu.” jawab Harry membuat ibu kaget.

“Har… Har dispanser kok dicuci. Ya rusak.” sahut sang ibu sambil geleng-geleng kepala. Sedang Harry hanya menunduk diam.

***

     Hari kelima belas, Ibunya Harry hendak pergi belanja ke pasar. Sebelum berangkat, ia berpamitan kepada Harry, anaknya.

     “Har, ibu pergi ke pasar dulu ya. Kamu jaga rumah.” pesan sang ibu. Harry yang sedang asyik main game di hape hanya mengangguk pelan.

     Beberapa menit setelah sang ibu pergi, Harry kebelet buang air besar. Langsung menuju ke kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur, masih di dalam rumah.

     Selesai menuntaskan hajatnya, Harry langsung buka pintu kamar mandi. Ia tak lantas beranjak keluar, malah tertegun sejenak, seolah ada yang sesuatu sedang diingat-ingatnya.

“Kok sepertinya ada lupa ya.” batin Harry sambil berpikir.

     Saat matanya tertuju ke bawah, Harry kaget.

“Lho manukku...” pekiknya tertahan. Lalu reflek menutup kembali pintu kamar mandi. Segera diambil celananya di cantolan baju. Kemudian dipakainya.

    Pintu kamar mandi dibukanya perlahan. Lalu melangkah keluar.

“Untung rumah baru sepi, jadi gak ada yang lihat.” gumam Harry sambil menghela nafas lega.

     Ketika sang ibu pulang belanja dari pasar, Harry menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Sang ibu menyahuti, “Untung kejadiannya di dalam rumah, bukan di toilet umum ya, Har.” lalu tersenyum simpul. Sedangkan Harry langsung mrenggut.

Yogyakarta, 19 Oktober 2022

IG; @herumawanpa

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)