Cerpen
Disukai
14
Dilihat
18,332
Bukan Cerpen Mellow
Drama

Kenji, Valdo dan Deni merupakan teman akrab satu kelas sewaktu SMA. Kini setelah berpisah selama lebih dari lima tahun, ketiganya mengadakan reuni kecil-kecilan. Tempatnya di sebuah kelab malam milik Kenji.

Kenji dan Valdo datang menggunakan pakaian baru dan mobil paling mewah. Tapi Deni tampil lain. Ia datang berpakaian sederhana, memakai sepatu sandal dan naik angkutan umum. Tak lupa ketiganya memakai masker karena sedang ada wabah Virus Corona.

Ketiganya duduk dengan menerapkan physical distancing. 

“Bagaimana kabar kalian berdua?“ Kenji membuka percakapan. 

“Aku baik.” Valdo menjawab dengan optimis.

“Aku agak kurang baik.” Deni menyahut pelan. Kedua temannya tak menggubris, sibuk dengan hape masing-masing.

“Apa pekerjaan kalian sekarang?” tanya Deni. 

“Aku sekarang sudah sukses jadi pemilik kelab malam, punya sepuluh mobil Fe Lari yang baru. Itu salah satunya aku pakai ke sini.” pamer Kenji sambil menunjuk mobilnya yang terparkir di halaman parkir kelab malam. Valdo dan Deni berdecak kagum.

“Kalau kalian berdua bagaimana?” tanya Kenji balik. 

“Usaha minyak wangiku sukses besar. Aku sekarang punya dua puluh mobil Be Me Wah keluaran baru. Itu salah satunya.” pamer Valdo tidak mau kalah. Lalu menunjukkan mobil yang tadi ia kendarai ke kelab malam. Gantian, Kenji dan Deni yang berdecak kagum.

“Kalau kamu bagaimana, Den? Kelihatan masih sama seperti dulu.” kata Kenji dengan suara menghina.

“Iya. Seperti gak ada perubahan gitu.” sahut Valdo. Lalu keduanya tertawa bersama. Deni menarik nafas. 

“Punya kalian berdua itu memang hebat. Tapi punyaku lebih hebat. Aku punya Corona.” ujar Deni. 

“Corona mobil ya.?” Kenji bertanya. Deni menggeleng.

“Corona Jogja ya.” tanya Valdo gantian. 

“Corona Jogja yang rumah bordil itu ya, itu sih sudah lama tutup.” Deni menyahut. Valdo mengangguk-angguk paham. 

“Ah mungkin Corona yang ada di Matahari, itu panas banget.” kata Kenji.

“Bukan, masih salah.” 

“Jangan-jangan, Virus Corona… “ Kenji dan Valdo berkata hampir serempak. 

“Iya, ini baru betul.” sahut Deni. Kenji dan Valdo buru-buru memindahkan kursi lebih jauh lagi.

   “Memangnya sejak kapan?” Kenji berkata setengah berteriak.

“Saya baru tahu tadi.” Deni membuka hape jadul-nya. Memperlihatkan SMS hasil rapid test kepada kedua temannya. Kenji dan Valdo terhenyak kaget.

     “Mendingan sekarang kamu pulang.” Kenji mencoba mengusir halus.

“Memang kenapa?”

“Kamu kan harus isolasi diri.” Valdo mengingatkan. Deni seperti disadarkan.

“Ya sudah, aku pulang dulu.” Deni pamit pulang. Lalu bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelab malam.

    “Tolong nanti semprot disinfekatan ke seluruh ruangan kelab malam, tutup operasional sampai empat belas hari ke depan. Dan semua harus ikut rapid test.” perintah Kenji kepada semua pelayan di kelab malam milknya.

“Kamu juga harus ikut rapid test, Val.” Valdo lantas mengangguk.

***

   Sampai di rumah, Deni disambut gembira, Nia sang istri.

“Selamat datang, Sayang.” Nia menyapa suaminya dengan riang gembira. Deni jadi heran dibuatnya.

“Ada apa, Yang? Kok ceria banget.” tanya Deni. Nia terdiam sejenak.. Wajahnya menampakan senyum kegembiraan.

“Yang, aku positif… positif.” jawab Nia. Deni langsung bengong.

“Kamu juga positif, Sayang.” 

“Iya, aku hamil, Yang.” Deni menghela nafas lega. 

“Untung… Untung.” 

“Kok malah untung sih, Yang.” Deni gelagapan.

“Eh Maksudnya untung aku ada uang jadi bisa dirayakan.” Nia senang sekali mendengarnya. Kemudian memeluk sang suami.

“Terima kasih, Yang… Engkau suami yang baik.” Deni manggut-manggut,

   “Eee anu, Yang. Ada yang mau aku bilang.”

“Bilang saja, Yang. Aku suka kalau kamu jujur.”

“Tapi kamu jangan marah ya.”

“Kenapa harus marah? Memangnya Sayang mau bilang apa sih? Jangan bikin aku penasaran dong.” 

“Hmmm… anu itu anu.”

“Cepetan bilang dong, Yang Jangan buat aku penasaran.”

“Anu… Corona… Corona.”

“Sayang mau beli mobil Corona.” Deni langsung menggeleng.

“Lha terus?” Deni mengatur nafas.

“Aku juga positif.”

“Hah, kamu hamil. Jangan bercandalah, Yang. Masa laki-laki bisa hamil.”

“Bukan itu.”

“Terus apa, Yang?” Cepatan bilang, Yang.”

“Aku positif… Corona.” Nia terdiam. Dan kemudian jatuh pingsan di lantai.

***

   Nia sudah mau menerima kondisi Deni yang positif Corona. Ia pun mengantarkan sang suami untuk isolasi di rumah sakit. Sembari melakukan tes SWAB untuknya. Tak lama kemudian, hasil tes SWAB keluar. Nia dengan memakai masker langsung menemui seorang petugas medis berbaju APD lengkap.

“Dok, bagaimana hasil tes SWAB saya?”

“Ibu positif.” Nia menangis mendengarnya.

“Saya belum selesai ngomongnya, Bu.” Nia berhenti menangis.

“Ibu positif hamil, tes SWAB-nya negatif.” Nia melonjak kegirangan.

“Seperti ada magnet saja di tubuh saya ini, Dok.”

“Wah kok bisa?” 

“Iya kan magnet ada positif negatifnya.” Dokter pun tertawa di balik maskernya Sementara, Nia beranjak pergi. 

***

     Sebulan kemudian, Deni sembuh dari virus Corona. Tapi ia harus menerima kenyataan pahit, Nia keguguran. Bukannya menghibur dan menguatkan perasaan Nia, Deni malah menyibukkan diri dengan usaha barunya yakni tempat daur ulang sampah. Nia mencoba bertahan dengan sekuat hati. Ia bertekad akan mempertahankan pernikahannya walaupun tahu hatinya tersakiti oleh perilaku Deni yang tak memperhatikannya. 

***

     Nia duduk bersimpuh seusai beribadah kepada Tuhan. Ia tampak termenung sendiri. Memikirkan Deni suaminya yang kini terlalu sibuk dengan bisnis daur ulang sampah. Selama ini, Nia sudah mencoba bersabar menghadapi kelakuan Deni yang menjengkelkan, tak pernah lagi memberinya nafkah lahirilah dan batiniah selepas ia keguguran.

     Nia beranjak ke sofa panjang ruang keluarga, lalu berbaring. Pikirannya menerawang kembali ke kejadian beberapa hari sebelumnya. Saat itu, Nia dan Deni bertengkar. Keguguran anak pertama, jadi biang masalahnya. Orang tua Nia pun ikut campur. Deni kesal dan tak terima.

  “Ini urusan keluarga kita, tak perlu bawa-bawa orang lain.” 

“Orang lain apa!! Mereka itu orang tuaku. Mereka masih berhak atas aku.”

“Iya, tapi sekarang kamu istriku. Jangan coba macam-macam.” 

“Terus kenapa? Kamu suami tak punya hati, perasaan!! Di mana kamu saat aku butuh kamu.” 

“Plak!!” Tamparan keras Deni mendarat di pipi Nia. 

     Nia menangis. Masuk ke kamar, mengunci pintu. Deni terdiam di luar. Mencoba mengontrol emosinya yang masih tinggi. Seminggu lebih, keduanya tak berbicara, tak bertegur sapa. Keadaannya dingin seperti es membeku. Sebelum akhirnya, Deni memberanikan diri.  

“Yang, maafkan aku ya. Aku terlalu emosi.” Nia menatap Deni lekat-lekat. Ia tahu Denu juga menyesal. Keduanya pun berpelukan. Kebekuan itu tercairkan. 

     Nia tersenyum pahit jika mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang tak ingin diulangi lagi. Cukup sekali itu saja, Nia merasakan ditampar Deni. Cukup hari itu saja, Nia mendengar perkataan arogan Deni. Lelah pikiran dan tubuh membuat mata Nia mengantuk.

***

     Hubungan komunikasi Nia dengan Deni suaminya memang semakin memburuk hari-hari ini. Sudah seminggu, Deni tak kunjung pulang ke rumah, hanya untuk sekedar menanyakan kabarnya. Nia tahu usaha daur ulang sampah milik Deni sang suami sudah berkembang pesat bahkan hasilnya sudah diekspor hingga keluar kota. Tapi bukankah, ia bisa memberinya kabar lewat telepon atau video call. 

     Terakhir kali, Nia berkomunikasi dengan suaminya lewat video call, seminggu lalu.

“Sayang, kapan kamu bisa libur dari pekerjaanmu?” Nia membuka pertanyaan.

“Setelah Corona lewat.” jawab Deni singkat.

“Aku rindu padamu.” kata Nia. Deni hanya diam, tak menjawab.

     “Bagaimana kabarmu di sana?” tanya Nia. Raut wajah Deni menggambarkan ketidak senangan.

“Baik.” Deni menjawab dengan suara ketus.

“Lalu apa lagi yang ingin kamu tanyakan?” Deni kini balik bertanya.

“Tidak ada.” jawab Nia. Begitu selesai Nia menjawab, Deni langsung mematikan video call.

     Nia menghela nafas melihat kelakuan suaminya. Kenapa ia tak sekalipun menanyakan kabarnya? Lupakah ia bahwa ini istrinya? Istrinya yang sudah satu setengah tahun dinikahinya. Yang masih bersedih karena kehilangan bayinya.

     Nia tahu sejak ia keguguran, ada tembok raksasa yang membentengi hubungan komunikasi keduanya. Yang bahkan Nia sendiri tak bisa menjamahnya. Seakan tak ada celah pengertian. Deni, menutup sangat-sangat rapat. Berulang kali Nia mencoba menyentuh, tapi bahkan tangan ini belum sampai, ia sudah menepisnya.

     Nia tak mau menyerah. Ia masih menyempatkan mencium kening Deni setiap pagi sebelum pergi ke tempat usahanya. Tak lupa, sambil berkata, “Aku cinta kamu.” Tapi reaksi Deni begitu dingin, sedingin es kutub yang membeku seribu tahun. Bahkan tersenyum pun enggan. Lalu pergi tanpa berkata sepatah katapun.  

***

     Hingga seminggu dua minggu berlalu, tak ada kabar berita dari suaminya. Rasa sakit Nia akibat kehilangan bayi berganti rasa khawatir Deni, sang suami mulai kembali menjalin cinta dengan perempuan lain. Tapi Nia tak mau terperangkap dalam prasangka buruk itu. Karena ia yakin suaminya masih tetap setia, walaupun tahu sifat asli suaminya itu playboy.

***

     Hingga setahun pun berlalu. Virus Corona sudah mereda. Nia berharap Deni mau lebih memperhatikannya tapi tak kunjung ada perubahan. Nia mendengar kabar Deni berselingkuh. Sayangnya, Nia belum mau percaya.

     Hari itu akhirnya Deni pulang ke rumah. Kembali menemui Nia. Kali ini Deni datang dengan wajah ceria.

     Di hadapan Nia, Deni berlutut. Kedua tangan Nia dipegangnya. Dicium satu satu.

"Nia, di sini aku berlutut untuk meminta maaf kepadamu atas segala salahku, yang sudah menyakitimu terlalu dalam, sudah mengabaianmu selama ini. Nia, apakah kau bersedia memaafkanku?" Nia tak sanggup berkata-kata. Air matanya menetes. Ia hanya bisa mengangguk.

"Iya, Sayang. Aku maafkan semua kesalahanmu." jawab Nia dengan air mata yang belum kering. Deni berdiri. Dirogohnya saku celana. Mengeluarkan kalung emas. Kemudian memakaikannya ke leher Nia. 

"Ini sebagai hadiah tanda permintaan maafku."

"Oh terima kasih. Cantik sekali pemberian darimu, Sayang. Kamu memang suami paling romantis." Deni tersenyum mendengar pujian Nia.

     Deni dan Nia berjanji saling melupakan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Keduanya bersiap membuka lembaran baru kehidupannya. 

     Tentang perempuan lain dalam kehidupan pernikahan keduanya, Nia menganggapnya sebatas gosip. Yang terpenting baginya, Deni sudah kembali menjadi suami yang ia idamkan.

Bagi yang menyukai happy ending, silakan berhenti di sini. Jika ingin tahu ada apa lagi dengan Nia dan Deni, silakan lanjutkan membaca.

***

     Malam itu, Deni dan Nia sedang tidur di atas tempat tidur. Dalam tidurnya, Deni mengigau, "Oh… Tasya oh Tasya, I Love You Full… Untuk Nia istriku sayang, kubuang kamu ke tempat sampah."

Nia jadi terbangun mendengar Deni mengigau beberapa kali. 

     Sambil memukulkan guling ke tubuh Deni, Nia berteriak, "Siapa itu Tasya!!! Selingkuhan kamu ya!!" Deni pun terbangun. Ia kaget melihat Nia menggebuki tubuhnya dengan guling. Tampak wajah kesal Nia.

     "Ayo ngaku… siapa itu Tasya!!!" Deni sempat bingung. Lalu berusaha tenang. "Oooo, itu maksudnya TASYA KAMILA mantan penyanyi cilik yang lama jadi duta sampah Indonesia. Aku kan lama jadi pengagumnya." Deni menjelaskan. Membuat Nia berhenti gebukin guling lalu menangis terisak. "Bohong… Bohong, kamu pasti bohong kan!!!" kata Nia dengan terisak. Deni coba menyakinkan, "Beneran kok, Sayang. Tasya eh salah Tasya Kamila ini artis yang baik hati dan peduli lingkungan." Tapi Nia masih tak percaya.

"Kamu gak bohong kan." 

"Kalau kamu gak percaya, lihat nih." Deni mengeluarkan ponselnya lalu membuka instagramnya. 

     "Ini akunnya. Bagus kan. Dia peduli lingkungan. Kita harus mencontohnya dengan tidak buang sampah sembarangan." Nia mengangguk pelan. Tapi ia masih penasaran. 

     "Tadi katamu, kamu mau buang aku ke tempat sampah?" tanya Nia.

"Oooo itu aku salah ngomong, Sayang." Deni coba mengelak.

"Masa nglindur bisa salah ngomong. Jadi kamu anggap aku ini sampah." Nia tampak kesal.

"Iya mungkin juga."

Nia tambah makin kesal, wajah berubah tegang, "Apa!!!... ."

Deni kaget elihat wajah sang istri, "Ya bukan gitu, aku kan nglindur. Jadi gak tahu apa yang aku bilang." Deni beragumen.

"Lho... tadi bilangnya salah ngomong, ini yang bener mana?" 

"Iya… Iya, aku memang bilang kamu sampah tapi sampah terindah dalam hidupku, yang gak bisa didaur ulang." Deni berkata dengan nada memelas.

"Teganya kamu, Sayang. Aku memang marah tapi kusadari baru ini ada suami ngakui bilang istrinya sampah. Aku hargai kejujuranmu, Suamiku." 

"Terima kasih, Istriku. Percayalah cintaku hanya untukmu seorang." Nia menghela nafas lega. 

     Melihat itu, Deni tersenyum lalu berbaring kembali dan menarik selimutnya. Dengan setengah berbisik, ia berkata, "Untung… untung, hampir saja ketahuan."

Kuping Nia yang masih tajam mendengarnya. Lalu marah besar, "Jadi bener kamu punya selingkuhan, hah!!!" Deni hanya bisa mendelik kaget di balik selimutnya. Sejurus kemudian, gebukan guling kembali mendera tubuhnya. Membuat Deni tak bisa tidur nyenyak.

***

     Esok harinya saat sarapan pagi, Deni dan Nia duduk berhadapan di meja makan. Keduanya tampak hanya saling diam membisu. 

     "Kamu beneran selingkuh, Yang." Nia membuka percakapan. Dengan mata masih mengantuk, Deni menjawab, "Demi Tuhan, aku gak selingkuh, Nia sayang."

"Bohong!!" Nia melepas kalung emasnya kemudian melemparkannya ke arah Deni. Dengan sigap, Deni menangkapnya lalu menaruhnya di atas meja. Deni menghela nafas. Mencoba menahan emosi.

"Aku tidak pernah selingkuh, Nia."

"Terus Tasya yang kamu sebut dalam tidurmu semalam itu siapa?" 

"Kan sudah aku beritahu semalam."

"Aku masih belum percaya."

"Ya sudah kalau gitu kita pergi ke sana."

"Ke mana? Ke rumah selingkuhanmu itu ya."

"Bukan dong, Sayang. Tapi ke tempat daur ulang sampah." Deni menyahut dengan nada jengkel.

"Ooo jadi selingkuhan kamu itu punya daur ulang sampah."

"Bukan gitu, maksudku itu tempat daur ulang sampah milikku. Masa kamu lupa aku ini kan bos tempat daur ulang sampah." jelas Deni sambil menggandeng tangan Nia. 

     "O iya aku lupa, jadinya ini kita mau ke mana?" 

"Sudahlah, ayo ikut saja… ."

Nia menurut saja. Lalu keduanya berjalan kaki menuju ke tempat daur ulang sampah sekaligus tempat rongsokan sampah, tak jauh dari rumah.

***

     Kedatangan Deni dan Nia disambut seorang remaja yang cantik. Membuat Nia langsung cemburu. 

"Cantik-cantik kok mau di tempat kotor begini. Kamu pasti Tasya ya, selingkuhan suami saya!!" gertak Nia dengan muka ditekuk. Si remaja cantik kaget melihatnya. Ia berusaha sabar.

"Bu, saya ini volunter, mengedukasi warga sekitar sini, juga menginisiasi pembuatan bank sampah. Saya ini anak muda yang peduli sampah. Dan nama saya Dona bukan Tasya… ." Mendengar jawabannya, Nia jadi malu. Lalu meminta maaf, "Ooo maafkan saya… ." Si remaja cantik hanya menggerutu kesal, lalu beranjak pergi, melayani warga lain yang baru datang menghantarkan sampah. Sedangkan Nia kebingungan mencari suaminya yang mendadak menghilang. 

     Dilihatnya Deni sedang ngobrol dengan seorang perempuan muda yang antri menukarkan sampahnya ke bank sampah. Dalam penglihatan Nia, keduanya tampak sedang ngobrol mesra. Dibakar api cemburu, Nia mendekati keduanya. Tanpa bertanya apapun, Nia langsung marah besar.

     "Kamu pasti Tasya ya, selingkuhan suami saya kan!!" tuduh Nia. Si perempuan muda berusaha tenang.

"Bukan, Mbak. Saya ini karyawannya Pak Deni." 

"Sudahlah gak usah bohong. Namamu Tasya kan." 

"Oooo maksudnya Mbak, Tasya yang ini" Ia lalu mengeluarkan ponselnya kemudian membuka instagramnya. Kemudian memperlihatkannya kepada Nia.

"Tasya Karmila ini artis yang lama jadi duta sampah Indonesia. Beberapa waktu lalu, dia datang kemari." Nia lagi-lagi jadi malu sendiri. Wajahnya tampak memerah. Ternyata yang dikatakan sumainya semalam itu benar. 

     "Maafkan aku ya suamiku dan juga Mbaknya, aku ternyata sudah salah sangka… ." Nia tampak menyesal. 

"Sayang… Aku sudah maafkan kamu sebelum kamu minta maaf ke aku." sahut Deni.

"Iya gak apa-apa kok, lain kali jangan terlalu cemburuan ya." kata si perempuan muda. Nia hanya bisa mengangguk pelan.

     Tiba-tiba datang seorang perempuan cantik, langsung mencium pipi kanan dan kiri Deni. Nia dan si perempuan muda kaget. Tapi Deni malah tampak senang.

"Kamu siapa?" tanya Nia curiga. Si perempuan cantik tersenyum.

"Kenalkan aku Tasya, selingkuhannya Mas Deni." Mendengarnya, Nia benar-benar marah.

"Ternyata benar ya kamu selingkuh…. Hah!!!" Deni jadi gelagapan.

"Tunggu, Nia… Tunggu, aku bisa jelaskan semuanya padamu, Nia… ." Nia makin tambah marah.

"Aku gak butuh penjelasan kamu lagi…!!! Aku benar-benar kecewa dan marah sama kamu…!!!" Deni yang melihat Nia marah besar, langsung lari keluar halaman tempat daur ulang sampah miliknya, dengan menggandeng si wanita cantik. Melihat itu, Nia tambah kian marah.

"Awas kamu, Yang….!!!" Nia segera mengejarnya. Sedangkan si perempuan muda, pegawainya Deni hanya bengong.

     Di luar tempat daur ulang sampah, sepasang pengamen (Yang laki memegang gitar, sedang yang wanita bernyanyi) membawakan lagu Rossa, “Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku, Kau duakan cintaku, Kau pergi bersamanya, hoo-oo.” Deni, Tasya dan Nia yang berpapasan dengan kedua pengamen tak memperdulikannya.

     Deni dan Tasya terus berlari, di belakang keduanya Nia lari mengejar. Keduanya sampai di tengah jalan. Deni yang berlari menggandeng Tasya tak memperhatikan jalan. Dari arah berlawanan, datang sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Denimenyangka dirinya akan tertabrak langsung berteriak, "Aaaaaaaaa…… !!!" Si pengendara motor malah keheranan melihatnya.

     "Ngapain, Mas?"

"Lho bukannya saya ketabrak ya."

"Ya enggaklah, kan motor saya remnya pakem… ."

"Ooooo… ." Tasya si perempuan cantik yang melihat kelakuan Deni jadi kesal sendiri.

"Apaan sih kamu, Sayang… Lebay banget. Bikin Malu saja." Tasya lantas naik ke atas jok belakang si pengendara motor. Deni yang masih dalam posisi jatuh kaget melihatnya.

     "Tasya, kamu mau kemana? Jangan pergi dong, Sayang… Jangan tinggalkan aku, Sayang." Tasya kian tambah kesal.

"Kita putus!!!" Deni masih belum merelakan Tasya.

"Tasya jangan pergi… Tasya, aku rela tinggalkan istriku demi kamu, Sayang tapi kenapa kamu malah tinggalkan aku sekarang… ." 

"Sudah, ayo cepetan pergi, Mas…. ." Tasya tak mengubris perkataan memelas Deni.

     Pengendara sepeda motor langsung tancap gas, membawa Tasya yang duduk di jok belakang motornya. Tampak Tasya memeluk erat pinggul si pengendara motor. Deni berusaha bangun dan mengejar tapi tenaganya tak kuat lagi. Deni lantas duduk bersimpuh di aspal jalan, wajah tampak sedih, hatinya hancur diputusin Tasya selingkuhannya, air mata mengalir ke kedua pipinya.

     Nia mendekati Deni yang tampak sedih. Semula ia ingin marah tapi melihat Deni tampak sedang kacau balau perasaannya, ia jadi tak tega. Lalu mengatur nafas sejenak sebelum bicara.

"Sayang, sudahlah jangan sedih. Kan masih ada aku di sini untukmu walaupun aku pernah kamu mau buang ke tempah sampah." 

"Aku sudah mengecewakanmu, apa kamu mau memaafkanku, Nia?"

"Setiap manusia pasti pernah berbuat salah, aku sudah memaafkanmu kok, Sayang." 

"Terima kasih, Sayang. Kamu sudah memaafkanku." Deni segera mengusap air matanya lalu berdiri. Nia hanya mengangguk.

"Terima kasih Nia, aku janji akan jadi suami yang lebih baik lagi untukmu." Kemudian keduanya berpelukan.

     Tiba-tiba muncul sepasang pengamen yang tadi di depan tempat daur sampah sempat berpapasan dengan Deni, Tasya dan Nia. Keduanya masih setia membawakan lagu yang sama, “Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku, Kau duakan cintaku, Kau pergi bersamanya, hoo-oo.” Mendengar itu, Deni dan Nia jadi heran.

"Kalian ngapain sih? Dari tadi nyanyi lagu itu melulu." Deni bertanya.

"Kami disuruh, Pak." Pengamen wanita menjawab.

"Disuruh siapa?" Nia gantian bertanya. Si pengamen pria dan wanita langsung menunjuk ke kru film tak jauh dari keempatnya, "Disuruh sama mereka."

     Tampak kru dan tim produksi film melambai-lambaikan tangan disorot kamera teman sendiri.

     "Cut… Cut… Cut!!!" teriak sang sutradara.

"Kok di-cut sih, Pak Sutradara. Padahal adegannya tinggal kissing Nia doang." Deni meminta penjelasan.

"Plak!!!" Tamparan keras dari Nia mengenai pipi Deni. Tampak Deni dan kru lainnya kaget. Hanya Pak Sutradara yang tak kaget.

"Sudah jelas kan jawabannya." Deni jadi malu mendengar perkataan Pak Sutradara.

"Dan itu balasan untuk tamparanmu tadi. Sakit tahu." ujar Nia kemudian beranjak ke ruang ganti artis. Deni mengelus pipinya yang tampak kemerahan.

"Bagaimana akting saya tadi, Pak Sutradara?" Deni coba mengalihkan pembicaraan.

"Bagus, so far so nice." jawab Pak Sutradara. Deni senang mendengarnya.

"Jangan bawa-bawa iklan sosis dong, Pak." celethuk Astrada (asisten sutradara) yang sedari tadi diam memperhatikan. Pak Sutradara lantas memukul halaman skenario yang digulung ke kepala Asisten Sutradara. Ia tampak meringis.

"Tapi saya heran cerpen begini kok ya dibuat film, apa coba yang menarik?"

"Mungkin penulisnya." Deni menyahut.

"Siapa namanya?"

"Herumawan P A." 

"Ooooo… Di sini ada yang kenal?" Semua kru terdiam. Nama itu masih terasa asing di telinga mereka. 

"Ooo… rupanya penulis gak terkenal. Tapi ya mau gimana lagi." Pak Sutradara berkata ceplas ceplos. 

"Moga-moga nanti sukses ya." kata Nia sekembalinya dari ruang ganti artis.

"Aamiin." Seluruh kru mengamini.

"Sudah… sudah. Bereskan peralatan syutingnya. Mas Editing, sekatang giliranmu." perintah Pak Sutradara. Orang yang dipanggil Mas Editing mengangguk lalu segera menjalankan tugas.

Yogyakarta, 21 Oktober 2022     

IG: @herumawanpa

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)