Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,970
Aku Mencintaimu Karena Allah
Romantis

Happy reading






Aku terduduk dari balik jendela, melihat langit malam dengan hiasan bulan dan bintangnya. “Betapa indahnya ciptaan Allah.” Gumamku dalam hati sambil tersenyum. Aku begitu merindukan langit malam yang terlihat dari balik jendela kamarku ini, setelah 4 tahun berada di luar negeri, akhirnya aku bisa menikmati pemandangan yang indah ini lagi.


Melihat keindahan langit malam, mengingatkanku pada keindahan dan ketulusan hati seorang gadis yang pernah aku kenal. Seorang gadis yang kecantikannya tidak hanya nampak dari luar tetapi juga dari dalam hatinya. Seorang gadis yang mampu mengubah hidupku. 4 tahun yang lalu saat aku menjadi siswa pindahan di salah satu SMA di kota ku.


“Anak-anak hari ini kita kedatangan siswa baru, dia kan bersama kalian di kelas ini, nah Aditya ayo perkenalkan diri kamu nak!” Pinta ibu Asnia wali kelas XII.IPA 1.


“Baik bu.” Aditya berkata sopan.


“Nama saya Aditya pratama, teman-teman bisa memanggil saya Aditya. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik, salam kenal semuanya.” Aditya memperkenalkan diri.


Setelahnya, tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan seorang gadis cantik berjilbab di kelas itu. Ia duduk di bangku paling depan. 1 detik, 2 detik, dan gadis itu lalu mengalihkan pandangannya kemudian menunduk. Meihat tingkahnya segera ku alihkanjugapandanganku padanya. Setelah itu Bu Asnia menyuruhku untuk duduk di bangku yang kosong, dan pelajaran pun berlangsung.


Saat jam isirahat banyak yang ingin berkenalan denganku terutama siswi-siswi di sini. Yah… mungkin karena wajahku ang tampan (hehe). Hari pertama di sekolah baru tidak membuatku sulit dan asing. Aku adalah tipe cowok yang mudah berteman , dan percaya diri. Dan seperti yang ku bilang tadi kata tampan tak pernah lepas dariku. Aku berkata seperti ini bukan tanpa alas an, di seklahku sebelumnya pun aku menjadi rebutan siswi di sana, dan aku rasa di sini akan ama saja. Baiklah pencarian cinta akan segera di mulai, mungkin aku akan dekat d=engan seseorang kembali kali ini.


Keesokan harina, aku dating ke sekolah begitu awal. Masih sedikit siswa yang dating waktu itu. Keadaan sekolah masih terlihat sepi, hanya nyanyian burung yang sesekali memecah keheningan. Dan aku adalah orang pertama yang dating di kelasku. Wow mengejutkan, di sekolahku yang sebelumnya saja aku adalah salah satu siswa yang paling sering terlambat. Ku rasa ini adalah rekor baru untukku. Aku lalu menuju tempat dudukku, meletakkan tas ku di sana. Tiba-tiba seseorang datang, aku melihat ke arahnya dan dia pun begitu. Ku lihat ia tersenyum padaku, senyuman yang indah.


Setelah menyimpan tasnya, gadis itu keluar kelas, dan ku lihat ia sedang berada di depan perpustakaan yang pintunya masih tertutup. Ia duduk di sana, dengan sebuah buku ditangannya. Aku pun menghampirinya dan mengajaknya berkenalan. Yah… walaupun sebenarnya aku sudah tahu namanya. Zahra, Zahra Salsabila, nama yang indah bukan. Aku mengetahauinya saat guru mengabsen kemarin, dan teman-teman memanggilnya Zahra.


“Hai, kamu Zahra kan?” Tanyaku dengan pertanyaan yang bodoh, ia hanya menganggukkan kepalanya melihat ke arahku.


“Boleh aku duduk di sini?”


“Silakan.” Gadis itu bergeser agak jauh dariku.


‘Ada apa ini? Mengapa dia menjauh? Apa aku bau badan?’ Tanya Aditya dalam hati, diam-diam mencium badannya.


‘Tidak kok, aku malah wangi gini.’ Duduk di sana.


“Aku Aditya.” Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya.


“Ia, aku sudah tahu kok, kita kan sekelas.” Zahra tak menerima uluran tanganku, gadis itu hanya tersenyum lalu kembali membaca bukunya. Sedikit malu, oh tidak… maksudku aku sangat malu, baru kali ini ada seorang gadis yang menolak uluran tanganku.


“Kamu sudah datang dari tadi?” Kali ini ia bertanya. Mungkin kasihan karena melihatku salah tingkah.


“Tidak juga, belum lama aku datang, kamu juga sudah sampai di kelas.” Jawabku sembari menggaruk tengkukku yang tidak gatal.


“Ohh…”


Dan dari pertanyaan kecilnya itu, kami jadi ngobrol banyak hal. Mulai dari pelajaran sampai aku bertanya di mana ia tinggal. Aku juga bertanya apakah dia ingin belajar bersama lain kali karena ku dengar ia adalah siswi yang pintar. Namun sebenarnya aku hanya ingin dekat dengannya. Zahra hanya menjawab akan memberitahuku jika ia dan teman-temannya akan belajar bersama lagi, karena beramai-ramai jauh lebih menyenangkan. Ku tarik nafas beratku mendengarnya. Tapi tunggu, jika saja teman-temanku di sekolah sebelumnya mendengar aku berkata seperti ini, ku rasa mereka akan tertawa. Bagaimana tidak, aku yang di kenal siswa pemalas dan sering bolos pelajaran menanyakan hal semacam ini?


Hari demi hari aku semakin dekat dengan Zahra, dia pribadi yang dewasa, bijak, dan sangat baik. Dan dia adalah wanita yang cukup taat pada agama. Salah satu contohnya saja, saat mengobrol denganku ia tak pernah menatapku lama, katanya itu tidak baik. Kita menjadi teman baik dengan tetap pada batasan-batasan yang ia buat, sampai pada lulus sekolah.


Dan hari itu pun tiba, hari di mana ia berhasil mengubah hidupku. Dan hari itu pun, menjadi hari terakhir aku bertemu dengannya. Berawal dari percakapan dengannya di sebuah masjid. Setelah selesai sholat ketika kami hendak pulang, saat Zahra akan naik ke sepeda motornya…


“Zahra sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Aku buru-buru mengejarnya.


“Ada apa?” Tanya Zahra datar.


“Aku… aku… Zahra, dari awal aku mengenalmu, entah mengapa aku merasakan perasaan yang berbeda. Perasaan yang melebihi teman. Aku sangat senang saat bisa bersamamu, kamu adalah perempuan yang berbeda dengan perempuan lain yang pernah aku kenal.kamu baik, sopan, aku… aku sangat bahagia bahkan ketika aku hana melihatmu dari jauh, melihat senyummu. Setelah hari ini, aku akan berangkat ke luar negeri, aku akan melanjutku studiku di sana, aku menginginkan kepastian darimu.”


“Maksud kamu apa Aditya?” Tanya Zahra bingung.


“Zahra, aku menyukaimu, apa kamu mau menjadi pacarku?”


Ku lihat Zahra sangat terkejut mendengar pernyataan tentang perasaanku. Namun tak lama kemudian, wajah teduh dan tenangnya kembali terlihat. Setelah itu ia menatapku sebentar, terlihat senyumnya di sana, ia lalu mengalihkan pandangannya melihat jauh ke depan.


“Cinta… cinta adalah fitrah setiap manusia. Kita tidak berhak marah pada seseorang yang jatuh cinta kepada kita. Dan sebagai orang yang dicintai, selain menerimanya kita juga berhak untuk menolaknya bukan? Aku pernah mencintai seseorang, yang aku tahu waktu itu aku menyukainya karena dia adalah pria yang baik, aku merasa senang saat bisa bersamanya sama seperti yang kau katakana tadi. Hingga aku sadar bahwa ketika kita menilai seseorang, kita jangan menilai dari apa yang nampak dari luar saja, tetapi juga dari hatinya, dari ketulusannya. Dan aku sadar bahwa cinta yang ku rasakan padanya hanya perasaan yang bersifat fana. Mencintai Allah adalah setinggi-tingginya cinta, cinta yang sebenarnya hanya akan terwujud jika di dasar karena-Nya. Jujur, aku juga senang bisa bersahabat dengan kamu, tapi aku tidak ingin lagi salah mengartikan perasaanku ini Aditya, aku ingin menanyakan sesuatu padamu…”


Aditya menunggu…


“Pertanyaan apa Zah?”


“Bagaimana kamu mencintai seseorang dengan cara yang benar? Mungkin terlalu dini untuk menanyakan hal ini, tapi aku harap kamu bisa memikirkannya di kemudian hari, apa kamu mencintaiku karena Allah?” Katanya sembari melihat ke arahku.

Pertanyaan itu membuatku membisu, aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu? Bahkan aku tida mengerti sama sekali.

“Aku… aku… tidak tahu.” Menunduk.


“Aditya suatu hari nanti, aku hanya ingin mencintai seseorang karena Allah. Dan aku pun juga menginginkan orang yang mencintaiku itu, juga mencintaiku karena-Nya. Aku tidak ingin terjebak pada perasaan yang hanya akan menghancurkan keimanan kita. Jika kau memang mencintaiku maka cintailah aku karena Allah, dan beri aku alas an untuk mencintaimu juga karena Allah. Jika kau adalah takdirku dan aku adalah takdirmu, maka percayalah Allah pasti akan mempertemukan kita. Hanya ini yang bisa aku katakana padamu. Maafkan aku jika aku menyakiti perasaanmu.” Setelah mengungkapkan kata-kata itu, Zahra berlalu dari hadapanku, meninggalkanku yang tetap terpaku dalam diam.


Malam itu, aku tidak bisa memejamkan mataku. Saat aku memejamkan mata ini, bayangan Zahra selalu hadir dengan kata-kata yang ia ucapkan, hingga semalaman aku tetap terjaga dengan perasaan yang begitu menyesakkan.



Setelah 4 tahun kemudian, dan inilah aku ang sekarang. Aku bukanlah Aditya si playboy lagi, aku bukan Aditya si pemalas, dan Aditya yang begitu jauh dari agama. Aku sadar bahwa selama ini aku begitu menyia-nyiakan hidupku, aku begitu bodoh menjadi seseorang yang tak memiliki tujuan hidup.


“Mala mini, dengan memandang bulan dan bintang-bintang ciptaan Allah. Aku sudah mengerti tentang apa yang dulu kau tanyakan padaku. Pertanyaan itu, ketika kau bertanya apa aku mencintaimu karena Allah? Dulu, aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaanmu itu, tapi sekarang aku sudah tahu Zahra. Cinta karena Allah adalah ketika kau mencintai seseorang yang mencintai Allah pula. Kau mencintainya karena ketaatannya kepada Allah. Bukan karena dia adalah wanita atau pria yang sekedar baik, cantik, tampan, atau hal lainnya yang membuatmu bahagia. Tapi kau menyukainya karena agamanya. Dan sekarang aku sudah memiliki jawaban dari pertanyaanmu itu, Zahra… ana uhibbuki fillah.”



Hari yang indah, hari ini aku akan pergi ke tempat di mana aku dan Zahra terakhir bertemu. Tempat di mana awal kehidupanku berubah. Ya… masjid itu, aku ingin mengenang kembali setiap kejadian dan kata-kata yang diucapkan Zahra padaku. Bagiku, itu adalah kenangan yang paling berarti.


Kadang harapan untuk bertemu dengannya selalu ku impikan, tapi sudahlah… sekarang cinta yang ku rasakan padanya telah ku titipkan pada Allah, biar ia yang mengatur kisah cintaku ini.


Sesampainya di sana, ku parkirkan mobilku dan segera berjalan menuju pintu masuk. Ketika hendak berbelok menaiki tangga masjid, dari arah yang berlawanan denganku, di saat yang sama datang pula seorang wanita dengan jilbab panjang hitamnya. Begitu melihatnya… rasana aku tak sanggup melangkahkan kaki ku. Aku terdiam, terpaku, dan begitu pun dengannya. Hari ini aku dan dia masing-masing berdiri di sisi tangga yang sama, dengan jarak kamu, tak lama kemudian…


“Zahra?”


“Aditya?”


Sebuah senyum pun terukir di sana, mewarnai pertemuan antara aku dan Zahra. Entah apa arti semua ini, setelah 4 tahun kami dipertemukan kembali. Dengan masih berdiri di tempat yang sama aku teringat kata-kata Zahra. Jika kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu, Allah pasti akan mempertemukan kita.


‘Ya Allah, hamba berserah diri kepadamu, jika memang ia yang tertulis di lauhul mahfuz untukku, maka perasatukanlah aku dengannya dalam ridho-Mu.’

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)