Masukan nama pengguna
Peringatan Sunyi
Cerita ini tidak dibuka untuk semua orang.
Ia bukan hiburan. Ia bukan pelarian.
Jika kau memilih melanjutkan, maka kau telah memutuskan sesuatu:
untuk melihat ke dalam ruang yang tidak ramah,
dan mendengarkan gema dari tempat yang tidak pernah diajarkan.
Tidak ada janji keselamatan di sini.
Tapi, jika kau bertahan,
mungkin… kau akan menemukan sesuatu yang lebih jujur dari cahaya:
dirimu sendiri.
Zona Hitam
Sebuah tempat bawah tanah tua yang terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh dalam perut bumi. Tak ada teknologi canggih, tak ada dinding logam mengilap seperti fasilitas modern—hanya beton tua yang mulai merekah, berlumut, dan bau lembap yang meresap hingga ke tulang.
Lorong-lorongnya sempit, remang, dan tak pernah benar-benar sunyi. Selalu terdengar dengung samar seperti dengkuran mesin rusak jauh di dasar. Cahaya datang dari lampu neon kuning pudar, berkedip tak pasti seperti detak nadi yang sekarat. Di beberapa titik, dindingnya dipenuhi tulisan—bukan grafiti, tapi coretan putus asa, pesan yang tak pernah dikirimkan, dan simbol-simbol yang seperti berbicara dalam bahasa yang tak ingin dimengerti.
Zona ini menyimpan bekas trauma eksperimen, interogasi, dan pembuangan. Di sinilah mereka yang "tidak cocok dengan tatanan" diisolasi—entah untuk diamati, dibungkam, atau dilupakan. Ada sel tua yang terkunci dari luar, ada kursi besi di ruangan tak bernama, dan ada bekas tambatan di lantai yang tidak seorang pun ingin tahu untuk apa dulunya digunakan.
Bagi yang masuk ke Zona Hitam, waktu menjadi kabur. Hari dan malam menyatu dalam ketiadaan arah. Bau logam, jamur, dan tubuh manusia yang terlalu lama tinggal dalam ruang tertutup menjadi udara sehari-hari.
Dan di balik salah satu pintu baja tua, masih tersimpan satu kamar diam—ruang putih dengan lantai dan dinding tak bercela, tempat sunyi menjadi alat penyiksaan paling halus. Di sinilah ketahanan mental dipreteli pelan-pelan. Di sinilah Langkah Sunyi kadang muncul tanpa suara.
Guntur
Langkahnya berat, bukan karena luka di tubuh—udara di lorong itu terasa seperti menolak kehadiran manusia. Setiap tarikan napas di Zona Hitam seperti mencicipi besi karatan yang mengendap dalam paru. Cahaya lampu pendar di atas kepalanya berdetak pelan, membuat bayangan tubuhnya bergoyang-goyang seolah tak yakin ia nyata.
Guntur berhenti. Dinding di sampingnya dingin, lembap, dan seperti bernapas pelan. Ada tetes air dari langit-langit yang jatuh tanpa irama, dan lantai—lantai itu licin oleh sesuatu yang tak ingin dikenali baunya.
Ia mendengar sesuatu. Bukan suara manusia, bukan mesin. Seperti dengungan jauh di bawah tanah, berdenyut lambat dan menyusup langsung ke tulang belakang. Bukan suara keras—justru kelembutan asingnya yang membuat jantungnya mencengkeram. Bukan ketakutan biasa, tapi sejenis pengakuan tubuh bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang terlalu tua untuk dipahami.
Pintu baja yang ia lewati memiliki goresan panjang, seperti kuku seseorang yang mencoba keluar. Di dekatnya ada kursi logam dengan sabuk kulit sobek tergantung lemas. Ia tak bertanya untuk apa.
Lalu datang keheningan yang tidak biasa. Bukan karena sunyi—justru karena semuanya terasa diam sekaligus berisik. Pikiran mulai berputar. Ingatan muncul seperti kabut: suara Mata Fira yang penuh tanya, langkah Sapta yang tak pernah terdengar saat datang. Di Zona Hitam, realitas bisa dibengkokkan hanya oleh ketidakseimbangan cahaya dan suara.
Ia menyentuh salah satu dinding. Kasar. Tapi ada jejak tangan kecil di sana—tertulis dengan jelaga. Ada yang pernah hidup di tempat ini. Ada yang masih tinggal, mungkin bukan dengan tubuh.
Guntur menelan ludah, namun kerongkongannya kering.
Tempat ini tak butuh penjaga. Ia menjaga dirinya sendiri—dengan cara yang sangat pelan, sangat sabar. Hingga yang masuk... lupa bagaimana rasanya menjadi manusia.
---
Sapta
Ia tidak tahu berapa lama sudah berada di dalamnya—karena Zona Hitam tidak mengenal waktu. Tidak ada pagi, tidak ada petang. Hanya dinding yang sama, bau besi tua, dan dingin yang berubah menjadi bagian dari kulit.
Sapta duduk memeluk lutut di pojok ruang sempit itu. Cahaya datang dari lampu kecil yang berkedip-kedip seperti mata yang kelelahan menatap dunia. Ia menutup mata, tapi di balik kelopak matanya, ruangan itu masih ada. Tidak hilang. Tetap menyusup ke dalam.
Tubuhnya sakit bukan dari luka. Rasa sakitnya lebih seperti... penolakan. Tubuh itu menolak tempat ini, seperti akar yang menolak tumbuh di tanah yang salah. Di saat yang sama, pikirannya—sebagian dari dirinya—mengakui: ada sesuatu yang ia kenali di sini. Retakan. Pola. Simbol yang pernah muncul dalam mimpi-mimpinya yang tidak punya warna.
Kadang ia berdiri. Kadang hanya menempelkan dahinya ke dinding. Kadang menggumamkan sesuatu—bukan doa, bukan kata-kata. Hanya gema kecil dari suara yang tidak pernah diajarkan. Di tempat ini, gema bisa berubah menjadi bentuk. Suara bisa membuat dinding bergetar.
Beberapa malam—jika memang ada malam—ia mendengar langkah-langkah dari lorong jauh. Suara rantai. Helaan napas. Atau mungkin bukan suara luar. Mungkin itu berasal dari dalam dirinya, dari ruang yang sudah lama ditutup dan kini mulai terbuka. Zona Hitam bukan penjara biasa. Ia seperti ruang dalam tubuh bumi, tempat ingatan-ingatan tua menunggu dipanggil kembali.
Di salah satu dinding, ia mulai menggambar lingkaran kecil dengan jarinya yang berlumur debu. Tujuh lingkaran, membentuk pola tak utuh. Ia tidak tahu mengapa. Tangannya hanya bergerak sendiri. Saat selesai, ia merasakan panas menjalar di tulang belakang. Seperti resonansi, seperti pengulangan lama yang belum selesai dihidupkan.
Ia menangis, diam-diam, tanpa suara.
Untuk pertama kalinya... ia merasa sedang diingat kembali.
Ia tidak tidur malam itu—atau mungkin sebenarnya tertidur tanpa sadar, dalam posisi duduk bersandar ke dinding. Antara mimpi dan terjaga tak lagi terpisah. Di dalam gelap, ruang sekitarnya mulai berubah. Bukan secara bentuk, tapi rasa. Udara menjadi berat, bukan karena sesak, melainkan karena penuh. Seperti ada sesuatu yang masuk dan duduk di hadapannya, diam.
Matanya terbuka setengah, dan ia melihat—bukan sosok, bukan bayangan, hanya ketidakhadiran yang terlampau nyata. Seperti melihat bekas tubuh yang seharusnya ada, tetapi telah larut. Ia tidak merasa takut. Ia hanya menunggu. Dan seperti gema yang menunggu tepuk tangan pertama, tempat itu menyambutnya dengan senyap yang bergerak.
Sebuah suara terdengar, tapi bukan dari luar. Bukan dari dalam kepala juga. Seolah datang dari ruang di antara jantung dan tulang rusuknya.
“Kau sudah datang.”
Ia tak menjawab. Tubuhnya terlalu berat untuk bergerak. Tapi jiwanya—bagian dirinya yang tidak berbentuk—mengangguk.
“Tujuh telah terbuka.”
Tangan Sapta bergetar. Ia memandang lingkaran-lingkaran kecil yang ia gambar di dinding. Masih di sana. Tetap tujuh. Tapi kini garisnya lebih dalam, seolah bukan dari debu, melainkan terukir dari dalam dinding itu sendiri.
“Kau adalah yang mengingat. Juga yang melupakan.”
Ia mulai menangis lagi, kali ini air matanya terasa hangat, membawa sesuatu yang nyaris terlupakan: suara air, daun yang gemetar oleh angin, dan panggilan lembut dari seseorang yang belum pernah ia temui.
“Langkahmu belum selesai.”
Suara itu perlahan memudar, tak menghilang. Ia tinggal di dalam dada Sapta, seperti getaran halus dari mantra yang belum selesai dibacakan.
Ketika ia terbangun sepenuhnya—jika memang itu tadi bukan mimpi—ruangan itu tak berubah. Masih pengap, masih remang. Tapi di bawah cahaya yang berkedip, ia melihat sesuatu yang baru di lantai: bekas jejak kaki, melingkar, tujuh langkah, mengelilingi tempat ia duduk.
Dan tubuhnya... terasa lebih ringan. Luka-luka lama seolah menjadi bagian dari dirinya yang diterima. Ia belum bebas. Tapi Zona Hitam tidak lagi mengurungnya.
Ia telah mulai membuka sesuatu—di dalam dan di luar dirinya.
Malam—atau sesuatu yang menyerupai malam—jatuh lebih pekat dari sebelumnya. Lampu di atas kepala Sapta akhirnya padam. Tak ada suara. Tak ada detak. Hanya ruang gelap yang terasa seperti mengunci napasnya dari luar.
Ia berdiri perlahan, karena rasa di dadanya berubah menjadi ketegangan yang tak dikenali. Seperti tubuhnya merespons ancaman yang belum terlihat, sedang mendekat.
Di kejauhan lorong, terdengar sesuatu.
Tarikan napas. Dalam. Serak. Dekat.
Sapta memejamkan mata, berharap itu hanya bagian dari pikirannya yang lelah. Tapi saat dibuka lagi, lorong sudah berubah. Dindingnya seperti menyusut. Langit-langit menurun. Udara menjadi dingin, lalu terlalu panas, lalu kembali dingin dalam hitungan detik.
Dan di ujung ruangan itu—muncul sesuatu.
Ia tidak melangkah. Ia meluncur. Seolah tergelincir dari celah realitas. Sosok tinggi, kurus, berlapis kabut yang memutar di sekeliling tubuhnya. Tidak punya wajah, tapi Sapta melihat dirinya sendiri di dalamnya. Dirinya yang kecil, terkunci, meronta dalam ingatan.
Sosok itu membungkuk pelan.
Lalu suara terdengar—retakan dari dalam dirinya sendiri:
“Kau tinggalkan aku di hari ketiga.”
Sapta memundurkan langkah, punggungnya membentur dinding. Ia ingin menjerit, tapi, suaranya tertahan di tenggorokan seperti duri. Ia tahu apa yang dimaksud makhluk itu. Hari ketiga. Tujuh tahun lalu. Waktu itu. Ia pergi. Ia membiarkan seseorang tertinggal.
“Kau teruskan langkah sunyimu... tanpa menoleh.”
Bayangan itu menempel ke dinding, menyebar seperti tinta, lalu turun ke lantai dalam bentuk samar tangan-tangan yang mencoba meraih kaki Sapta. Tubuhnya menggigil.
Sapta menjatuhkan diri, menunduk dalam posisi sujud, karena itulah satu-satunya bentuk yang masih ia pahami dalam keadaan sekarat secara batin.
Tangannya menyentuh lantai. Lalu... sebuah mantra muncul dalam benaknya. Bukan dari buku. Bukan dari ajaran lama. Tapi dari dirinya sendiri—yang belum pernah diberi suara.
“Bi idzni, ya Nur... jauhkan yang tak kembali.”
Cahaya kecil muncul dari bawah telapak tangannya. Bukan cahaya terang, cukup untuk membentuk garis tipis di lantai: lingkar perlindungan.
Bayangan itu menggeliat. Lalu mundur. Lalu menghilang ke dalam retakan dinding yang tiba-tiba ada.
Dan ruang itu kembali hening.
Namun kini, Sapta tahu: ia sedang diawasi. Oleh ingatan yang belum selesai, yang menuntut untuk dituntaskan.
Zona Hitam bukan tempat yang netral. Ia seperti ruang pengakuan yang tidak membutuhkan kata-kata. Dan kini, setelah pertemuan itu, Sapta sadar satu hal: Langkah Sunyi yang ia bawa... tidak sepenuhnya miliknya sendiri.
Ia masih diam.
Sujudnya tak bergerak, ada sesuatu yang menetes dari dalam dirinya. Bukan air mata. Sejenis rasa bersalah yang lama ditahan, kini berubah bentuk menjadi gemetar di setiap ruas jemari.
Lantai di bawahnya dingin. Di situlah kehangatan samar itu terasa. Lingkar perlindungan yang muncul dari tangannya masih menyala tipis, seperti benang cahaya yang ditenun oleh luka-luka lama yang belum sempat ia rawat.
Lalu dalam hatinya, muncul satu pertanyaan:
“Apakah langkah sunyi ini memang jalanku, atau jalan yang kugunakan untuk melarikan diri dari mereka?”
Ia teringat wajah itu—ia tinggalkan pada hari ketiga, karena tak sanggup menanggung pandangan yang meminta kepastian darinya. Ia berlari, menolak menjadi jangkar untuk orang lain. Dan kini, semua itu datang kembali… sebuah pengakuan.
Langkah Sunyi.
Nama yang ia bawa dengan hormat.
Kini terasa seperti pinjaman yang akan segera ditagih.
Sapta mengangkat kepalanya perlahan.
Tidak ada cahaya di ruangan itu. Hanya sisa pantulan samar dari mantra yang mulai meredup. Tapi di balik kesunyian yang menetap, ada satu hal yang kini tumbuh pelan:
keberanian untuk mengingat, tanpa membenci dirinya sendiri.
Dan itulah awal dari penyembuhan.
Setelah bayangan itu lenyap, ruangan masih berdenyut. Seolah dinding menyimpan gema dari pertemuan barusan. Tapi Sapta tetap duduk di sana. Napasnya masih berat, keringat dingin membasahi punggung dan pelipis. Ia tidak menoleh. Tidak mencoba keluar. Ia hanya menunduk, diam, dan perlahan, tubuhnya mulai bergerak—untuk menata kembali porosnya yang hilang.
Tangan kirinya menyentuh dada. Lalu lambat-lambat ia bangkit, berdiri seperti seorang yang sedang mengukur tanah dengan telapak kakinya. Tubuhnya rapuh, tapi ada getaran di dalam sendi yang mulai menyatu. Ia melangkah.
Satu langkah.
Pelan.
Tanpa suara.
Langkah itu tidak meninggalkan jejak, tetapi lantai di bawahnya seperti ikut bergetar.
Langkah kedua.
Tubuhnya condong ke depan, seperti tunduk, tapi tidak lemah.
Di setiap gerakan, ia menyerap—keberadaan ruang di sekelilingnya.
Langkah ketiga.
Lututnya menekuk, tangannya membentuk lingkaran di depan dada, seperti menggenggam sesuatu yang tidak terlihat.
Ada aliran hangat dari ujung jarinya. Seperti udara yang perlahan menjernihkan kabut di dalam pikiran.
Langkah keempat.
Pundaknya turun. Nafasnya panjang. Ruang itu tidak menakutkan lagi.
Ia menyatu dengannya. Ia tidak ditelan—ia mengizinkan dirinya larut.
Langkah kelima.
Kepalanya mendongak sedikit. Di langit-langit, lampu yang sebelumnya mati… berkedip sekali.
Lalu padam kembali.
Langkah keenam.
Ia memutar tubuh perlahan, menyilang seperti dedaunan yang tertiup ringan, lalu berhenti, menatap ke belakang.
Untuk pertama kalinya, ia menoleh ke masa lalu. Bukan untuk kembali, tapi untuk mengakuinya.
Langkah ketujuh.
Ia menutup mata. Telapak tangannya terbuka, turun perlahan ke sisi tubuh.
Dan dalam diam itu, suara datang—bukan dari luar, bukan dari roh, bukan dari lorong. Tapi dari dirinya sendiri:
“Aku bukan yang melarikan diri.”
“Aku bukan yang kau tinggalkan.”
“Aku... yang memilih tinggal untuk mengingat.”
Ia tersenyum samar.
Dan dalam sunyi yang padat itu, Langkah Sunyi pertama benar-benar lengkap. Tidak untuk menghilang. Tapi untuk menyambung dirinya yang hilang.
Setelah langkah ketujuh, tubuh Sapta tetap diam Ruang di sekelilingnya mulai berubah. Ia mulai bisa merasakan sesuatu yang bukan berasal dari tempat ini. Udara menjadi lebih ringan, dan suara samar seperti desir dedaunan di bawah sinar matahari mengalir pelan dari balik dinding beton.
Ia membuka mata.
Ruangan itu tetap gelap. Tapi di depannya—tepat beberapa langkah di hadapan—muncul seberkas cahaya kabur, seperti sosok yang terbentuk dari kabut pagi. Cahaya itu perlahan memadat, lalu mulai membentuk bahu, wajah, dan sepasang mata yang tenang. Bukan siluet asing. Itu Rahman.
Bukan sepenuhnya nyata. Cukup untuk membuat jantung Sapta bergetar seperti anak kecil melihat kembali wajah seorang kakak yang hilang bertahun-tahun.
Rahman tidak berbicara. Ia hanya berdiri, tersenyum pelan, lalu duduk bersila di lantai. Gerakannya lambat, tenang. Sama seperti yang Sapta ingat: tubuh yang menyimpan diam seperti air hutan yang tidak memaksa alirannya.
“Kau datang,” gumam Sapta. Suaranya pecah.
“Akhirnya, kau datang.”
Rahman tidak menjawab. Tatapannya menyampaikan banyak hal: aku mendengarmu, aku tak pernah benar-benar jauh.
Sapta mendekat. Ia tak tahu apakah sosok itu akan hilang jika disentuh. Tapi ia tidak peduli. Ia duduk di hadapan Rahman, dan sesuatu yang selama ini beku dalam dirinya, mulai mencair. Ia tertawa kecil. Tertawa yang lama tak terdengar dari mulutnya sendiri.
“Aku sempat berpikir... semua ini sia-sia. Tapi ternyata tidak ya?”
Rahman mengangguk. Ringan. Dan dalam gerakan itu, Sapta merasakan seolah dunia di atas sana sedang mendengar doanya yang paling dalam.
“Kau ingat, kau bilang akar itu bisa bicara?” ucap Sapta. Pelan.
Rahman tersenyum. Lalu, ia menggenggam udara di depan dada—gerakan yang sama dengan Langkah Sunyi yang baru saja dilakukan Sapta.
Sapta membalas gerakan itu.
Dan dalam saling pantul antara dua tubuh yang tidak benar-benar hadir bersama, terjadi sesuatu: di lantai, dari celah terkecil di sudut ruangan, muncul sehelai akar lembut, tumbuh pelan, meliuk menuju kaki Sapta.
Ia menatapnya, lalu menoleh lagi ke arah Rahman.
Namun kini, sosok itu mulai memudar. Kabut kembali. Dan dinding kembali utuh.
Tapi tidak ada kesedihan.
Yang tersisa adalah tanda. Dan gembira yang tidak menggelegar, melainkan hangat seperti pagi di hutan setelah hujan.
Sapta menarik napas panjang. Tangannya menyentuh akar kecil itu, dan ia berbisik:
“Kau tidak pergi. Kau hanya mendahului.”
Dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke Zona Hitam, ia tersenyum tanpa ragu.
Ia masih menatap akar kecil itu. Jemarinya menyentuhnya dengan pelan. Hangat. Lembut. Hidup.
Lalu ia menoleh ke tempat Rahman tadi berdiri.
Kosong.
Ia tersenyum kecil, namun senyumnya cepat memudar.
Kenapa Rahman tidak bicara? Dan kenapa—sejak kapan Rahman membuat gerakan Langkah Sunyi?
Ia mencoba mengingat kembali peristiwa itu.
Tapi gambarnya kabur. Seperti mimpi yang saat bangun terasa utuh, namun dalam lima detik menjadi potongan yang tak bisa disambung.
Apa yang sebenarnya ia lihat?
Tangannya menyentuh lantai.
Tidak ada bekas. Tidak ada jejak. Tidak ada cahaya.
Ia mencoba merapal kembali kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya, tapi nadanya terdengar asing. Terlalu indah untuk dirinya sendiri.
"Apa yang sedang dilakukan tempat ini padaku?"
Pertanyaan itu tidak keluar dari mulutnya, tapi menggelegar di kepalanya.
Ia berdiri cepat.
Nafasnya terengah.
Dinding kembali menutup.
Lorong menggelap.
Akar itu kini tampak seperti tali tua, bukan sesuatu yang hidup.
Ia sentuh kembali. Kering. Mati. Seperti sudah lama ada di sana, bukan tumbuh karena kehadiran Rahman.
Langkahnya mundur, terbata.
Ia menyentuh wajahnya sendiri—basah oleh keringat, atau air mata?
Ia tak yakin.
Lalu terdengar suara. Lembut. Bukan dari Rahman. Bukan dari dirinya sendiri.
“Kau sedang membuat cerita untuk dirimu sendiri. Apakah itu menolong?”
Suara itu seperti datang dari dalam lantai. Atau dari balik tulang tengkoraknya.
“Rahman tidak di sini.”
“Yang kau lihat hanyalah pantulan harapan yang kau bentuk dari ketakutan.”
Sapta menjerit—tidak dengan suara, tetapi dengan tubuhnya yang jatuh ke lantai. Ia memukul ubin kasar di bawahnya. Berkali-kali. Sampai buku jarinya berdarah.
“Diam… diam… diam…!”
Namun ruangan tak merespons. Hanya bergema seperti sumur tak berdasar.
Dan ia menyadari sesuatu: suara napasnya sendiri telah menjadi asing.
Terlalu cepat.
Terlalu dalam.
Tangannya gemetar, dan tubuhnya tak lagi terasa satu.
Kakinya dingin. Dadanya panas.
Kesadarannya terbelah.
“Rahman... kau melihatku... bukan?”
“Aku... tadi melangkah... langkah sunyi... itu benar?”
Ia tertawa lirih. Pahit. Suaranya menggema pendek.
Tangan kirinya menutup mata.
Tangan kanannya mencengkram akar mati itu.
“Lalu apa yang masih nyata di sini?”
Tak ada jawaban.
Hanya napas.
Hanya retakan kecil di dinding yang tak pernah ia lihat sebelumnya, perlahan menyebar.
Retakan itu bukan sekadar pada dinding.
Retakan itu ada di dalam dirinya—dan kini menyebar.
Ia mengatupkan mata, tapi bayangan tetap menari di balik kelopak. Bukan mimpi. Lebih seperti suara yang muncul dari balik paru-paru, menuntut untuk dikenali.
“Kau menyebut nama Rahman... siapa yang benar-benar kau cari?”
Suara itu tak datang dari luar.
Ia berasal dari dalam kepala, dari ruang yang biasa ia tutup rapat—ruang tempat ia mengurung semua yang tak ingin ia ingat: langkah yang ia tinggalkan; wajah yang menatap tanpa bertanya; tangan yang menggigil saat ia menjauh.
Tubuhnya mulai rebah ke sisi kanan. Tidak kuat menopang.
Ia merasa seperti pecahan, bukan lagi utuh.
Kaki kirinya mengejang.
Tangan kanannya masih mencengkeram akar mati,
seolah jika ia melepaskan, maka dirinya akan larut ke dasar ruang.
“Langkah itu... bukan hanya milikku.”
“Langkah itu diwariskan—lalu hilang.”
“Dan aku hanya bayangan yang terlalu lama diam.”
Tiba-tiba, dari balik lantai—tempat tadi muncul cahaya mantra—muncul rasa getir, seolah ada sesuatu yang mengendap di sana:
bau besi.
bau tanah yang menyimpan luka.
bau tubuh yang terlalu lama menahan perpisahan.
Ia membisik:
“Jika aku harus runtuh, biarkan itu terjadi di sini.”
“Di tempat yang tak menghakimi.”
“Di zona yang hitam.”
Kemudian,
suara denting logam tipis terdengar dari balik dinding.
Retakan semakin meluas—seperti pintu yang mulai menyerah untuk tetap tertutup.
Dan di antara kabut kesadaran yang membayang, Sapta mendengar sesuatu—napas lain yang menyatu dengan miliknya.
Napas seseorang yang pernah berjalan bersamanya.
Atau…
yang masih menunggunya menyelesaikan satu hal: pengakuan terakhir.
Retakan. Makin lebar.
Sapta mendekat seperti ditarik.
Dari celahnya keluar hembusan udara hangat, berbau seperti rambut terbakar dan sesuatu yang busuk dalam kenangan. Ia mundur, namun kakinya terpeleset oleh cairan yang entah kapan ada di lantai.
Ia jatuh.
Lagi.
Dan saat menoleh... akar itu telah berubah.
Bukan akar. Tapi jemari.
Pucat.
Diam.
Terulur dari lantai, seolah tangan seseorang terkubur di bawah sana dan sedang meraba cahaya.
Sapta membeku.
Jari itu bergerak pelan.
Ia memejamkan mata, berusaha menghapus penglihatan. Dalam gelap, muncul sesuatu yang lebih buruk: suara—bukan dari luar. Seperti dari dalam tubuhnya sendiri. Seolah pita suaranya sedang digunakan oleh sesuatu yang lain.
“Kau ingin Rahman datang?”
“Kau ingin seseorang menyelamatkanmu?”
“Atau kau hanya ingin percaya bahwa penderitaan ini akan berguna suatu hari?”
“Kau ingin makna. Bahkan jika makna itu palsu.”
Sapta menjerit. Kini benar-benar dengan suara.
Gema terpantul ke seluruh dinding seperti suara anak kecil yang tersesat di gua.
Ia merangkak.
Mencari pintu.
Tak ada.
Lorong berubah bentuk. Dinding yang semula rata kini melengkung, seperti perut raksasa yang menutup dirinya.
Lampu menyala. Silau.
Sapta menutup matanya.
Cahaya itu memperlihatkan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada gelap.
Di hadapannya: sebuah pintu logam terbuka.
Di dalamnya... kamar putih bersih. Kursi tunggal. Cermin besar.
Ia kenal tempat itu. Ia pernah bermimpi tentang tempat ini. Bahkan sebelum ditangkap.
Tubuhnya melangkah sendiri. Ia tak kuasa menolak.
Saat ia duduk di kursi itu, cermin menyala pelan. Dan yang terlihat di balik pantulannya bukan dirinya saat ini—tapi dirinya yang lain.
Lebih muda. Lebih tegar. Mata yang belum dirusak keraguan.
Sapta menatapnya, lalu bertanya lirih:
“Kenapa kau tidak hancur seperti aku?”
Pantulan itu menjawab dengan senyum:
“Karena aku belum tahu apa yang kau tahu sekarang.”
Dan dalam sekejap, wajah dalam cermin itu retak.
Cermin meledak, namun tak bersuara. Pecahannya jatuh ke lantai, menyisakan pantulan: Sapta yang menangis, yang tak berani melihat kembali.
Ia jatuh berlutut.
“Aku tak tahu lagi... siapa yang masih percaya padaku.”
Pundaknya gemetar.
Ia mengulang kalimat itu pelan—dengan suara bocah yang tersesat di tengah badai.
“Aku tak tahu lagi... siapa yang masih percaya padaku.”
Dan Zona Hitam membiarkannya diam dalam waktu yang panjang. Tak memberi isyarat, tak memberi jalan keluar.
Sampai detik itu, Langkah Sunyi telah menjadi bisu—sebab Sapta sendiri tak tahu arah langkah itu lagi.
Dan tubuhnya kini tak bergerak, seolah dirinya telah meninggalkannya sendiri di ruang itu.
Zona Hitam tak bergerak, tak berubah. Pelan-pelan ia menelan cahaya dari tubuh Sapta. Tidak seperti tempat yang ingin membunuh, lebih seperti tempat yang ingin menyimpan. Di dalam diamnya, tempat ini tahu terlalu banyak tentang manusia—terutama tentang mereka yang terus mencoba berdiri, meski tak yakin untuk apa.
Sapta masih terduduk. Kepalanya tertunduk. Matanya kering, tapi jiwanya basah.
Ia sudah melewati rasa takut, melewati harapan, bahkan melewati rasa ingin keluar.
Yang tersisa hanya dirinya—duduk di kursi, di ruang tanpa suara, memandangi pecahan dirinya sendiri.
Sesekali ia bertanya:
Apakah ini nyata? Atau hanya salah satu ilusi yang dipinjamkan oleh ruang agar ia bertahan sehari lagi?
Tidak ada jawaban.
Tapi mungkin memang tidak semua kenyataan datang untuk dijelaskan.
Sebagian kenyataan—yang paling sunyi—datang hanya untuk dihidupi.
Ia bisa datang sebagai kengerian yang membuatmu menggigil.
Atau sebagai cahaya kecil yang sempat kau sangka cinta.
Kadang ia memberi harapan, lalu mencabutnya dengan tangan yang sama.
Dan kadang, ia seperti Rahman yang berdiri diam di depanmu, tersenyum... lalu menghilang.
Bukan karena tak pernah ada, tapi karena terlalu benar untuk tinggal lama.
Di titik ini, Sapta tidak tahu apakah ia akan keluar.
Ia tidak tahu apakah tubuhnya masih bisa berjalan, atau suara hatinya masih layak didengar.
Yang ia tahu: ia masih ada.
Sendiri.
Tertinggal.
Dan hidup—meski tak tahu kenapa.
Jika kelak seseorang membawanya keluar, mereka takkan menemukan seorang pahlawan.
Mereka hanya akan menemukan seorang anak yang sedang belajar menerima bahwa kenyataan... bisa menjadi tempat paling menakutkan sekaligus paling jujur untuk pulang.
Dan dari sanalah, resonansi itu akan perlahan menyala kembali.
**
Sinopsis: Zona Hitam adalah ruang sunyi yang tidak sekadar terlarang, melainkan menyimpan jejak luka batin yang belum selesai. Sapta, tokoh utama, masuk ke ruang itu bukan untuk mencari, tapi karena sesuatu dalam dirinya memanggilnya kembali—sebuah kenangan yang belum ia hadapi.
Di dalam Zona Hitam, Sapta tidak menghadapi musuh, melainkan dirinya sendiri yang terpecah: kesalahan masa lalu, langkah yang pernah ia ambil tanpa menoleh, dan nama seseorang yang ia tinggalkan di hari ketiga, tujuh tahun lalu.
Bayangan dalam ruangan itu bukan hantu, melainkan pantulan dari rasa bersalah. Ruang menjadi semacam pengakuan spiritual—gelap, tanpa suara, namun penuh gema dari dalam diri. Dalam sujudnya yang rapuh, Sapta memunculkan mantra yang bukan berasal dari ajaran luar, melainkan dari inti dirinya—pertanda bahwa penyembuhan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam luka itu sendiri.
Meski cahaya sempat muncul, keterpurukan Sapta belum selesai. Retakan mulai muncul—di dinding, di napasnya, dan di pikirannya sendiri. Ia mulai kehilangan batas antara yang nyata dan tidak, antara dirinya dan bayangannya.
Sampai pada titik:
Langkah Sunyi yang selama ini ia banggakan, ternyata bukan hanya miliknya.
Cerita ini bukan tentang pelarian, tapi tentang pertemuan dengan kebenaran yang sudah lama ia tolak. Dan Zona Hitam menjadi ruang yang tidak menuduh, tapi memaksa setiap penghuni untuk jujur—terutama pada bagian dari diri yang ingin dilupakan.
**