Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,644
Tragedi Lembah Raranggi
Misteri

Sinopsis Cerpen

Di lereng sunyi Lembah Raranggi, dua belas orang pendaki tersapu longsor besar. Hanya satu yang keluar hidup-hidup: Rahman.

Cerpen ini mengisahkan detik-detik genting saat alam menggulung tubuh dan keyakinan. Saat tanah bicara, dan sunyi menjelma menjadi saksi. Rahman tidak sekadar selamat—ia ditinggalkan untuk menyimak, menerima, dan memikul yang tak sempat disampaikan oleh sebelas jiwa lainnya.

Tragedi Lembah Raranggi adalah awal dari retakan jiwa, pertanda yang mencetak jalan bagi langkah-langkah sunyi di kemudian hari.

-------

 

Curugparay, Sepuluh Tahun Lalu

Awan mendung bergerak lambat, seperti selembar tikar kelabu yang malas digulung. Angin berhembus perlahan, membawa hawa dingin yang masih menyimpan sisa hujan semalam.

Hari sedikit ramai. Suara-suara terasa ringan.

Palu dari bengkel sebelah berhenti lebih cepat dari biasanya.

Langkah-langkah orang terdengar lebih pendek, seolah tak ingin mengganggu sesuatu yang belum terlihat.

Di pojok warung kecil, berdinding kayu dan beratap rumbia, tiga orang duduk melingkar. Tak ada yang memesan apa pun. Mereka datang bukan untuk makan, hanya untuk duduk.

Mang Sura bersila di atas bangku bambu yang sedikit melengkung di ujungnya.

Tangannya menumbuk pelan biji kopi dalam lesung batu hitam, gerak lambat tapi terasa penuh. Di depannya, Rahman masih muda—wajahnya belum ditandai oleh waktu, tapi diamnya sudah seperti orang yang sering kehilangan kata.

Satu lagi, Darma, memutar-mutar bara api dengan ranting. Senyumnya muncul dan hilang, antara menggoda dan menghibur diri sendiri.

“Mang,” katanya, sambil menyenggol bara, “kalau kopi ditumbuk pelan begitu... rasanya bisa beda?”

“Bisa,” jawab Mang Sura, pendek.

Darma mengangguk-angguk, lalu menambahkan,

“Kalau begitu, aku juga harus pelan waktu ditolak gebetan. Biar nggak pahit.”

Rahman mengangkat alis, senyum yang tak jadi.

Mang Sura tidak tertawa. Ia hanya menghela napas, seperti sudah mendengar lelucon itu dari waktu yang lebih tua.

Angin bergerak lagi, menyusup di sela daun jati. Warung itu bergoyang sedikit.

Dari warung sebelah, suara dua lelaki tua terdengar, cukup untuk dibawa angin ke telinga mereka.

“Lembah Raranggi bergetar lagi,” kata yang satu.

“Pagi tadi, sawah Pak Jaya retak-retak.”

“Tanahnya memang labil dari dulu,” timpal yang lain. “Kalau mulai bergerak lagi… itu bisa bahaya.”

“Hm… Kang, Katanya ada yang mulai ngorek-ngorek lagi, di bawah sana…”

Darma menoleh. Suara itu seperti masuk ke dalam sesuatu di dalam dadanya.

Ia melirik Rahman.

Rahman tidak bicara. Bahunya terlihat tegang, seperti ada suara lain yang cuma dia dengar.

Suasana warung jadi lebih lambat.

Bara api berhenti berbunyi.

Biji kopi tak lagi ditumbuk.

Mang Sura akhirnya bicara. Suaranya rendah.

“Kalian masih ingat? Sepuluh tahun lalu tanah itu juga memberi tanda. Sekarang… mungkin dia marah lagi.”

Darma tertawa kecil. “Marah? Tanah bisa marah, Mang?”

“Tanah tak pernah benar-benar diam,” sahut Mang Sura.

Darma hendak melanjutkan candanya, terhenti saat pintu warung diketuk pelan.

Seorang lelaki masuk. Wajahnya agak tegang. Bajunya lusuh. Di tangannya kantong plastik nasi bungkus bergoyang.

“Air dari Raranggi keruh lagi, Mang,” katanya cepat. “Banyak yang ngeluh. Bahkan Mbah Janar nyuruh cucunya ambil air dari sumur—pertama kali dalam dua puluh tahun.”

Mang Sura menatapnya, tapi tidak langsung menjawab.

Alu lesung ditaruh di meja.

“Bukan biasa, Mang. Minggu lalu airnya surut. Sekarang warnanya cokelat. Licin lagi. Orang-orang khawatir. Padahal musim tanam… sebentar lagi.”

Darma berbisik, nyaris tak terdengar.

“Apa jangan-jangan… tempat itu mulai marah?”

Mang Sura menatap Darma. Diam.

Kemudian bersandar ke tiang, menutup mata sebentar.

“Mata air Raranggi…,” katanya pelan. “Itu denyut. Keruh… nadinya terganggu.”

“Maksudnya... ada yang ganggu dari dalam?” tanya lelaki tadi.

“Mungkin. Atau… dari luar, yang terlalu memaksa masuk.”

Angin lewat lagi. Membawa sedikit abu dari bara singkong.

Rahman bicara akhirnya, suara yang nyaris menyatu dengan derit kayu.

“Aku bisa ikut memeriksa.”

Mang Sura tidak kaget. Ia hanya menatap Rahman, lama.

Lalu berkata pelan, “Bukan cuma kamu yang akan bilang begitu, Man.”

Mang Sura merenung.

“Tanah tidak bisa kita perintah.”

Ia mengambil gelas air yang tadi belum diminum.

“Kalau tanah benar-benar bicara…”

Ia menatap jauh.

Dua hari setelah percakapan itu, orang-orang dipilih.

beberapa petani tua yang hafal suara akar saat patah,

dua pemuda yang terbiasa mengendus arah angin hutan,

seorang pengrajin bambu yang bisa membaca bunyi retak sebelum bambu betul-betul pecah,

dan Rahman—yang masih muda, tapi langkahnya sudah seperti mendengar sesuatu yang tak terlihat.

Darma, awalnya bersikeras ingin ikut.

“Kalau tanahnya bicara, biar aku juga dengar,” katanya, dengan nada setengah bercanda.

Namun Mang Sura memandangnya lama,

kemudian meletakkan tangan di bahunya,

dan hanya berkata,

“Tidak semua panggilan perlu dijawab dengan kaki.”

Darma diam.

Bibirnya bergerak hendak membalas, tapi urung.

Sejak kecil, ia tahu kapan Mang Sura sedang tidak ingin dijelaskan.

Pagi itu, saat Rahman pamit subuh-subuh,

Darma berdiri di tikungan gang—membungkuskan sepotong singkong bakar dengan daun pisang.

“Buat bekal,” katanya pelan,

“kalau tanah mulai bicara, mulutmu tetap perlu kunyah sesuatu.”

-------

Menuju Lembah Raranggi. Mereka yang berangkat menyusuri jalur tua,

jalan yang dulu dipakai para penebang sebelum hutan ditutup.

Semak menutup sebagian jalan, dan akar menggeliat seperti ular tidur.

Tak banyak yang dibawa—bekal tipis, air seperlunya, dan doa-doa diam dari orang-orang tua yang tidak ikut.

Langit tetap kelabu sepanjang jalan.

Angin tidak keras, daun-daun saling mengingatkan bahwa ada yang datang.

Langkah-langkah mulai tidak seirama.

Di persimpangan pohon aren tua yang akarnya menyerupai anyaman,

seorang pemuda menunjuk jalur sebelah kiri.

“Itu arah yang biasa dipakai pencari damar.”

“Tapi Raranggi bukan ke sana,” sahut yang lain, agak ragu.

“Dari rumah Mbah Janar, mata air mengalir ke barat. Harusnya kita turun lewat celah berbatu.”

Rahman menatap tanah.

Ia menunduk agak lama, lalu menyentuh serpih daun yang menempel di lumpur.

“Tanah di jalur kanan lebih lunak. Air baru lewat sana,” katanya pendek.

“Bisa jadi karena hujan,” balas pemuda pertama. “Atau longsoran kecil dari bukit sebelah.”

“Bisa. Arah air tak pernah bohong,” ujar pengrajin bambu.

Nada suaranya lembut. “Kalau kita salah langkah, lembah bisa jadi tertutup sebelum kita tiba.”

Ada jeda.

Semua mata saling menunggu keputusan.

Petani tua menengok ke semak tinggi di jalur kanan.

Tidak ada angin. Beberapa daun seperti baru saja berhenti bergerak.

Ia menunjuk ke sana.

“Kita belok kanan. Ikuti suara air.”

Mereka melanjutkan perjalanan,

masing-masing dengan pikirannya sendiri.

Dan meski tak ada yang mengucapkan apa-apa,

alam seperti ikut menahan napas.

Mereka melanjutkan perjalanan menuruni jalur licin,

di mana bebatuan tak lagi pasti dan akar-akar mulai menggeliat keluar dari tanah.

Langkah-langkah menjadi lebih hati-hati.

Dan dalam setiap tikungan yang mereka lewati, seolah ada sesuatu yang menanti—

mengawasi.

Langit tak berubah sejak pagi. Lembah Raranggi belum terlihat. Namun udara sudah mulai berbeda.

Dan saat mereka menjejak batas antara tanah basah dan batu dingin—

sebuah garis sunyi yang tak terlihat tapi terasa.

-------

Sementara itu, dari arah Hutan Sonokeling. Seseorang lain sedang bergerak.

Khazan.

Langkahnya tak tergesa, penuh waspada.

Ia tak membawa senjata, hanya seutas kain panjang di pinggang,

dan selembar peta lusuh yang sudah kehilangan warna.

Ia tak datang untuk menyambut siapa pun.

Ia datang untuk mengawasi.

Karena dari sisi lain jalur tua itu,

Galendra juga sedang bergerak.

Dulu, mereka pernah bersaudara dalam langkah—

belajar dari tanah yang sama,

berdoa di bawah pohon yang sama,

dan diam bersama di depan api yang tidak pernah padam semalam suntuk.

Namun kini mereka berselisih.

karena perbedaan keyakinan tentang satu hal:

Bagaimana cara menjaga jalur.

Dan jalur itu, hari ini, sedang didatangi dua belas orang.

Tanpa tahu bahwa di balik kabut dan batu-batu tua,

sebuah benturan lama sedang menunggu untuk terulang.

Di tengah Hutan Sonokeling, tempat pohon-pohon tinggi saling menunduk dan cahaya terbelah oleh kabut pucat, suara langkah tak berani berbicara.

Namun pagi itu, suara pecah terdengar—bukan dari ranting, melainkan dari tekad yang patah.

Khazan berdiri diam di antara akar yang melilit batu tua.

Wajahnya basah oleh embun dan keringat. Matanya tak berkedip menatap ke depan.

Lima bayangan muncul dari balik pepohonan—dengan napas tersimpan dan niat yang tak bisa ditarik kembali.

Galendra berjalan paling depan.

Tak membawa amarah dalam suara. Geraknya—tepat, sunyi, dan penuh maksud.

"Khazan," ucapnya.

"Sampai kapan kau akan tetap melindungi sesuatu yang tidak ingin dijaga?"

Khazan tak menjawab.

Ia menunduk sebentar, menyentuh tanah dengan telapak tangan kirinya—gerak yang dulu mereka lakukan bersama sebelum setiap misi.

Namun kali ini, hanya ia yang melakukannya.

“Langkah Sunyi bukan milik siapa pun,” Galendra melanjutkan, suaranya datar. “Kalau kau bersikeras menghalangi—maka kita akhiri di sini.”

Yang pertama menyerang bukan Galendra,

melainkan seorang pria di sampingnya—topeng kain menutup separuh wajah.

Khazan bergerak, menghindar setengah putaran, lalu membalik dengan sikutan ke arah dada.

Hutan seketika bergolak.

Burung-burung kecil beterbangan. Daun jatuh lebih cepat dari biasanya.

Tiga lawan kini mengelilingi Khazan.

Ia berdiri tenang, napasnya dalam, tubuhnya menyatu dengan tanah—seolah ia mendengar lebih dari yang tampak.

Saat serangan pertama datang, ia menghindar setengah putaran.

Pukulan kedua ditepis dengan pergerakan bahu. Serangan ketiga nyaris mengenai kepala, namun ia menunduk dalam waktu yang mustahil cepat.

Gerakannya tak mengandalkan kekuatan—melainkan arah. Mengalir.

Ia menangkis tanpa membentur. Menyerang tanpa membunuh.

Anak-anak muda itu kehabisan napas sebelum sempat menyentuh kulitnya.

Galendra belum bergerak.

Ia menyaksikan dengan mata yang tak berkedip, seperti menunggu waktu panen.

“Masih seperti dulu,” gumamnya. “Kau menghindar seperti bayangan.”

Khazan berhenti. Menatap Galendra.

Dua sahabat lama. Dua arah langkah yang kini bersilang.

Galendra berjalan mendekat.

Tangannya kosong, tapi geraknya membawa tekanan—bukan dari tubuh, melainkan dari tekad yang tak lagi ragu.

“Kau sembunyikan Langkah Sunyi terlalu lama,” katanya.

Khazan hanya menjawab dengan menunduk.

Tidak merendah. Tapi bersiap.

Pertarungan mereka bukan seperti yang sebelumnya.

Tidak ada teriakan.

Tidak ada gebrakan.

Hanya denting singkat antara lengan yang saling bentur—resonansi yang membentur udara.

Galendra menyerang dengan pola tak beraturan.

Ia tahu kelemahan Khazan: empati yang lambat memukul.

Sekali, dua kali Khazan menghindar. Tapi yang ketiga—Galendra memancing dengan isyarat palsu.

Sebuah tipuan arah, ditambah hentakan tanah.

Khazan lengah sepersekian detik.

Dan pada detik itu, Galendra memutar tubuh, menyerang dari bawah—

pukulan siku yang menabrak rusuk, lalu satu tusukan pendek di lengan kirinya.

Dalam. Bersih.

Khazan mundur dua langkah, darah menetes.

Ia terdiam.

Galendra juga.

“Kau harus jatuh... agar aku bisa menjaga jalur ini sendiri,” kata Galendra.

Khazan menatap luka di lengannya.

Darah hangat mengalir pelan, membasahi jemari. Bukan luka biasa—titik peredaran aliran tubuh terganggu.

Ia menarik napas panjang, menunduk, lalu meletakkan telapak tangannya ke tanah.

Udara di sekitarnya bergetar halus.

Daun-daun gemetar meski tak ada angin.

Tanah di bawah telapak tangan itu mengirimkan suara samar—

seperti gema dari dalam dirinya sendiri.

Ia mencoba menyelaras.

Satu napas. Dua gerak kecil.

Namun getaran dalam tubuhnya timpang—

luka di lengan kiri membelokkan porosnya.

Resonansi patah di tengah jalan.

Langkah itu gagal.

Ia terhuyung, tubuhnya sedikit merunduk, tapi matanya tetap tajam menatap Galendra.

“Jalur yang kau pilih,” kata Khazan lirih, “bukan jalur tanah—melainkan jalur hasrat.”

Galendra mendekat, tetapi tidak menyerang.

Ia mendengar. Bahkan diam sejenak.

Khazan melanjutkan, suaranya semakin dalam:

“kau paksa jalur lama itu terbuka… kau akan bangunkan sesuatu yang belum waktunya.”

Angin seperti berhenti sejenak, seolah menutup telinga Galendra.

Khazan menatap ke arah hutan—ke dalam—seolah memberi salam pada sesuatu yang belum terlihat.

Lalu ia mengatupkan luka di lengannya dengan kain tipis, dan melangkah perlahan ke arah bayangan.

Langkahnya limbung, tapi masih tenang.

Galendra hanya berdiri, menatap tempat Khazan lenyap.

Lalu menoleh pada empat lainnya, dan berkata datar:

“Lembah Raranggi. Kita harus tiba sebelum siapa pun masuk lebih dalam.”

Langit di atas Hutan Sonokeling belum sepenuhnya terang.

Galendra berdiri di lereng kecil, menghadap ke arah lembah. Empat orang lain—anggota jalur bayangan yang kini bersetia padanya—berdiri tak jauh di belakang, menunggu aba-aba.

Dari kejauhan, pergerakan tampak.

Dua belas titik kecil, berbaris lambat namun pasti, menembus jalur semak dan akar tua.

Rahman mengikuti dari tengah, sementara dua petani tua terlihat berhati-hati memeriksa tanah setiap beberapa langkah.

Gerakan mereka terlalu tenang. Terlalu yakin.

Galendra mengernyit.

“Satu di antaranya tahu jalan dalam,” gumamnya.

Yang lain bertanya, “Kita hadapi langsung?”

Galendra menggeleng pelan.

“Tidak. Kita bukan penjaga gerbang.”

Ia memutar tubuh, berjalan menuju sebatang pohon besar dengan batang patah yang mengarah ke tebing.

Tangannya menyentuh akar panjang yang menggantung dari celah batu.

“Tebing sisi utara,” katanya. “Tanahnya sudah retak sejak dua musim lalu.”

Salah satu dari mereka mengangguk cepat, menyodorkan peta kecil yang digambar tangan.

Galendra menatapnya. “Tapi pastikan ada jeda.”

Ia berdiri diam sejenak. Mata Galendra seolah mengukur lebih dari kontur tanah—ia sedang mengukur waktu. Ia memberi isyarat. Keempat orang itu segera berpencar, membawa alat-alat kecil dan kantong berisi campuran getah kering dan batu gamping lembab—bahan lama yang pernah digunakan para penambang di zaman sebelum larangan.

Sementara itu, dari atas bukit,

Galendra mengamati Rahman.

Hanya beberapa langkah lagi mereka akan sampai di ambang bahaya yang tak mereka ketahui.

Ia menunduk sedikit, lalu berbisik pada dirinya sendiri:

“Kau terlalu lambat, Khazan. Langkahmu terputus. Dan aku masih berjalan.”

-------

Gemuruh kecil air yang mengalir di sela batu menggema pelan, seperti napas panjang dari perut bumi. Dua belas orang itu berjalan lebih lambat, menajamkan pendengaran. Di depan, Rahman memicingkan mata, menyentuh dedaunan yang basah oleh embun, lalu menunduk memeriksa aliran kecil yang merembes di antara akar.

“Ada yang janggal,” gumamnya.

Seorang pemuda menunjuk batu besar yang separuh tenggelam.

Dua petani tua berjongkok, menyentuh tanah dengan jari-jari kasar mereka. Salah satunya menggenggam tanah dan mencium.

“Tanahnya belum busuk. Ada yang merusak nadi air ini dari atas.”

Rahman menelusuri tepian sungai, naik beberapa meter ke arah hulu. Di sana, semak terbuka. Sebuah celah sempit seperti bekas longsor lama memperlihatkan susunan akar pohon terangkat. Di baliknya, tanah gelap baru terguncang.

Seorang pengrajin bambu yang ikut, berdiri diam, menunduk.

“Longsoran ini…,” bisiknya.

Seseorang—yang termuda di antara mereka—berdiri dan menatap ke arah tebing sisi utara.

“Kita harus cepat,” katanya. “Tanah di atas sana seperti bergerak.”

Rahman menoleh. Gerakan kecil, tak lebih dari bisikan di ujung mata. Cukup untuk membuatnya sadar: udara berubah.

Petani tua yang tadi mencium tanah, menegakkan tubuh.

“Bau tanahnya berubah....”

Langkah Rahman menegang.

Ia melangkah mundur, hendak memperingatkan—

Terlambat.

Bunyi gemeretak keras pecah di udara,

disusul hembusan angin berat seperti napas dalam dari makhluk raksasa yang baru saja terbangun.

Dari atas, batu dan tanah merosot. Menggulung, menukik dalam irama patah—seolah tebing itu ragu-ragu sebelum runtuh sepenuhnya.

Seseorang sempat berteriak, “Lari—!”

Lalu semuanya jadi debu, serpih, dan jatuh.

Rahman mencoba meraih tangan seseorang, namun tubuh itu sudah tertelan.

Tanah menggulung suara.

Langit tetap kelabu.

Ia berat. Menekan dada, menutup telinga, menyumbat tenggorokan.

Rahman bangkit tertatih dari balik akar besar yang melindunginya dari runtuhan.

Debu menggantung di udara, membuat langit makin tak bersuara.

Ia berdiri, tapi lututnya tak sepenuhnya mendukung. Tubuhnya gemetar… apa yang terjadi benar-benar terjadi.

Ia memanggil—sekali, dua kali—hanya gema parau yang kembali.

Tak ada jawaban. Tak ada gerak. Tak ada hidup.

Kang Wirta.

Pak Darsa.

Semuanya.

Rahman terseret mundur beberapa langkah, menabrak batang pohon kecil, lalu terduduk.

Napasnya pendek, seperti paru-parunya lupa caranya bernapas.

Di antara debu yang perlahan turun seperti hujan kelabu,

ia menyaksikan jalur mereka hilang. Terkubur.

Satu-satunya yang tersisa—dirinya.

Satu-satunya.

Beberapa saat setelahnya—berapa lama, ia tak tahu—ia mulai berjalan.

Langkahnya tak terarah. Kakinya berdarah.

Ada sobekan panjang di betis kirinya, mungkin dari batu saat terhempas. Tapi ia tak merasa nyeri.

Yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang menggema.

Seperti semua suara dunia tiba-tiba tenggelam dalam lumpur.

Sendiri.

Panik.

Takut.

Bayangan longsor masih tergambar jelas.

Bahu seseorang yang ditarik lumpur.

Tangan yang tak sempat terulur.

Tanah belum sepenuhnya diam,

tapi Galendra sudah menapak di pinggiran longsoran.

Ia berdiri di atas batu besar, wajahnya kaku, mata menyapu medan yang porak-poranda.

Empat anak buahnya turun lebih dulu.

Mereka memeriksa tumpukan akar, puing tanah, dan batang yang saling menjepit tubuh-tubuh yang kini diam.

“Berapa yang bisa kau kenali?”

suara Galendra datar.

“Sebagian,” sahut salah satu. “… ada satu yang tak ada.”

Galendra turun dengan langkah pelan, menelusuri jejak-jejak lumpur yang sudah mulai mengering di sisi.

Ia tak bicara. Tangannya menggenggam sesuatu: pecahan kecil kain dengan noda darah.

Ia mendekatkan ke hidung. Bau segar luka. Masih hangat.

“Dia hidup.”

Keempat pengikutnya saling pandang, ragu.

“Kejar,” perintah Galendra. “Sebelum ia buka mulut.”

Rahman berlari.

Langkahnya compang-camping, lebih banyak terseret daripada benar-benar melaju.

Darah dari kakinya meninggalkan jejak samar di rerumputan tinggi.

Dadanya naik turun, berat—seperti diikat batu.

Ia sempat menoleh—sekilas—di celah rimbun antara batang aren.

Dan di sana, untuk sesaat yang terlalu lama,

Wajah Galendra.

Dingin. Tenang. Tapi menyimpan bara yang tak menyerukan kemarahan—

Keyakinan bahwa apa yang ia kejar… harus diakhiri.

Di dada jubahnya yang gelap, terlihat sebuah simbol aneh.

Mata mereka bertemu, hanya sekejap.

Namun cukup untuk menyisakan getar panjang di dalam dada Rahman.

Ia berpaling lagi. Melaju.

Dengan sisa napas yang terpecah, dan tekad yang mulai compang di ujungnya.

Hutan menjadi labirin tanpa arah.

Dahan, kabut, dan duri menjadi satu.

Telinganya menangkap suara langkah di belakang, meski tubuhnya nyaris tak sanggup lagi berpijak.

Di tikungan bukit kecil, ia terpeleset.

Terguling.

Lalu berdiri lagi.

Matanya liar. Mencari ruang untuk hidup.

Kemudian, dari balik tirai rotan liar,

seberkas cahaya jatuh di antara dua batu besar.

Rahman menerobos.

Entah kenapa, tubuhnya seolah dipandu oleh sesuatu yang tidak berasal dari dirinya sendiri.

Di belakang, langkah para pemburu mulai melambat.

“Galendra,” kata salah satu. “Jejaknya mengarah ke dalam… itu.”

Ia menunjuk kawasan yang tertutup lebat, ditandai batu-batu dengan gurat tua,

dan suara tanah yang tak biasa—seperti gumaman perut bumi.

Galendra berdiri di ambang batas.

Pandangan matanya berubah.

Ia diam. Lama.

“Tidak,” bisiknya. “Wilayah itu... bukan untuk kita.”

“Tapi—”

“Tidak.”

Galendra menahan tangan anak buahnya.

Suaranya kini tegas, lebih kepada dirinya sendiri.

“Ia masuk ke sana, biarkan tanah yang menilainya.”

Galendra memutar badan, wajahnya gelap.

Tak ada amarah yang tampak, hanya satu hal: ketakutan

yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tahu

apa yang pernah terkubur

di wilayah itu.

Rahman terus berlari, walau kaki tak lagi kuat.

Semak-semak menjadi belukar tak ramah. Pohon-pohon seakan tumbuh lebih dekat dari seharusnya.

Sampai akhirnya—

langkahnya tersandung batu rendah yang tersembunyi di balik lumut tua. Ia terjerembab.

Lututnya membentur akar keras.

Nafasnya pecah—napas manusia yang tidak tahu lagi dari siapa ia melarikan diri.

Sekelilingnya berubah.

Daun-daun tampak lebih gelap, udara lebih kental.

Suara... desiran angin, lebih seperti gumaman jauh,

suara orang-orang yang pernah berdoa… lalu dilupakan.

Rahman berusaha berdiri,

namun lututnya lunglai—tak sekadar karena luka.

Langkah-langkahnya menyusuri jalur yang tidak tampak.

Langkah tanpa jejak.

Di kejauhan, sosok seperti muncul dan tenggelam.

Rahman menyipitkan mata.

Bayangan berdiri di antara akar besar pohon tua, batangnya melingkar seperti lilitan naga.

Sosok itu tak bergerak. Separuh tubuhnya dilapisi lumut,

kulitnya berkerut seperti tanah retak, dan matanya—tak menatap.

Rahman terpaku.

Bahu kirinya terasa berat, seolah dipaku oleh tatapan yang tak terlihat.

Lalu, perlahan,

tangan sosok itu terangkat.

Tiga jari menjulang—kering, seperti ranting tua.

Kemudian satu ditutup dengan sangat pelan,

menyisakan dua.

Gerakan itu seperti isyarat… atau peringatan.

Rahman tidak tahu harus bersujud atau melarikan diri.

Tapi tubuhnya bergerak sendiri—menunduk, bukan karena takut,

melainkan karena… sesuatu dalam dirinya terasa ditarik turun.

Akar-akar besar di sekelilingnya seperti bergeming.

Seperti menyimak.

Dan tanah tempat ia berpijak,

bergetar, sangat pelan—seolah sedang menarik napas panjang.

Rahman menatap sosok itu—Bangbayang. Bergerak, menghilang.

Jejak samar mulai tampak di tanah:

bekas pijakan aneh, tidak sempurna, seperti langkah yang dilupakan waktu.

Rahman menarik napas pendek.

Kakinya mulai bergerak, tanpa ia tahu mengapa.

Satu langkah.

Kemudian satu lagi.

Ragu, berat, dan menyakitkan.

Darah dari kakinya menetes,

terisap tanah yang lembap.

Jejak itu tak membentuk garis lurus.

Berliku, terkadang seolah kembali ke arah semula.

Namun Rahman terus menapak.

Ia tak lagi mendengar gumaman angin,

yang ia dengar kini… Detak tanah, sesuatu yang lebih dalam—lebih tua.

Tubuhnya mulai limbung.

Udara terasa berat, seperti menghirup kabut cair.

Namun langkahnya belum berhenti.

Hingga di satu titik ia tidak lagi tahu di mana ia berada.

Langit tertutup, cahaya hanya datang dari sela-sela akar dan jamur samar yang tumbuh di batang mati.

Lalu, terjatuh.

Tubuhnya menyerah,

tersungkur di atas dedaunan membusuk.

Nafasnya tersendat—antara sadar dan tidak.

Tapi. Kakinya masih terasa bergerak.

Langkah itu… terus mengulang dalam pikirannya.

Satu…

Dua…

Tiga…

Langkah berat.

Langkah berdarah.

Langkah sunyi.

Lalu semuanya sunyi.

Sungguh-sungguh sunyi.

-------

Tujuh hari setelah ia menghilang,

pada pagi yang terlalu sunyi untuk sebuah musim tanam,

Rahman ditemukan.

Tubuhnya terbaring di antara akar beringin tua,

tepat di batas wilayah yang bahkan burung enggan hinggap terlalu lama.

Wajahnya pucat, namun tidak membusuk.

Ada pelindung—daun-daun basah yang menutupi luka-lukanya,

seolah hutan sendiri menjaga.

Mang Sura yang pertama menyentuh bahunya.

Tangan tuanya bergetar, mengenali sesuatu yang tak terucap.

“Langkahnya kembali…” gumamnya.

Fira menahan napas, lututnya lemas melihat sosok yang ia kira telah tiada.

Ia berjongkok, mengusap dahi Rahman yang dingin tapi masih hidup.

“Dia... sendiri di sini selama ini.”

Darma berdiri di belakang mereka, tak bisa berkata apa-apa.

Tak ada canda.

Hanya mata yang sembab dan tubuh yang menegang.

Rahman terbangun perlahan.

Matanya membuka pelan,

dan yang pertama ia lihat adalah langit—terlalu biru, terlalu asing.

Ia tak langsung bicara,

tapi jemarinya menggenggam rumput yang tumbuh di dekatnya,

seolah memastikan ia belum mati.

“Rahman?” suara Fira nyaris berbisik.

Rahman mencoba duduk, tubuhnya menolak.

Ia hanya menggeleng lemah.

Matanya menatap Mang Sura.

“Aku melihat mereka…” katanya pelan.

“Semua… hilang.”

Mang Sura menunduk.

mengenang tubuh-tubuh yang gugur.

tenggelam sesuatu yang lebih dalam—kehilangan.

Fira menggenggam tangannya. Tak tahu lagi harus berkata apa.

Darma duduk di tanah, menahan air mata yang tak ingin jatuh.

Rahman menutup mata lagi.

Satu kalimat ia ucapkan sebelum kembali pingsan:

“Tanah… sudah menyimpan terlalu lama.”

Beberapa waktu kemudian, ketika luka di tubuhnya sudah mengering, dan napasnya tak lagi berat saat bangun pagi, Rahman mulai berjalan ke pinggir hutan.

Awalnya hanya duduk diam di dekat pohon tua di belakang rumah Mang Sura.

Lalu berdiri.

Melangkah.

Tak jauh.

Ada sesuatu yang berubah.

Semua yang dulu terasa lumrah—suara daun, getar tanah, bahkan bayangan burung—kini seperti menyapa dalam hening.

Ia belum paham. Dadanya terasa longgar setiap kali kaki telanjangnya menyentuh tanah.

Langkahnya lebih tenang.

Pikirannya tidak penuh, tidak kosong—hanya diam.

Di malam tertentu,

Rahman terbangun oleh mimpi yang tak bisa ia ingat, menyisakan satu rasa:

"Hutan memanggil untuk kembali."

Mang Sura memandangi punggung Rahman yang perlahan menjauh. Sebuah panggilan. Hutan… tak lagi sekadar tempat.

<>

 

 

 

Tentang Penulis & Semesta Cerita

Tragedi Lembah Raranggi ditulis oleh Andri Hasanuddin, penulis fiksi sunyi dan spiritual-ekologis yang mengeksplorasi hubungan batin manusia dengan alam melalui simbol-simbol tubuh, tanah, dan waktu.

Cerita ini merupakan bagian dari semesta novel Resonansi Bayangan Menyala, dunia fiksi yang berlatar pegunungan Arthabumi—tempat suara, kehilangan, dan kekuatan tersembunyi dalam diam saling bersahutan.

Rahman Al Hakim, tokoh utama, akan muncul dalam novel sebagai mata rantai penting dalam perjalanan melawan kerusakan yang tak terlihat namun mengakar.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)