Masukan nama pengguna
"Take 36! Aksi!" teriak sutradara, suaranya mengalahkan deru kipas industri yang berdiri seperti tugu harapan di pinggir lapangan tenis.
Aku—Guntur, Yeti dari utara, dulunya legenda penguasa badai salju, kini berdiri dengan bulu menggumpal dan ketiak basah kuyup. Jaket bulu seberat motor matic ini terasa seperti sauna portabel. Celana thermal? Jangan ditanya. Rasanya kayak celana dalam dari magma.
"Ayo, Guntur! Tunjukkan kalau kamu dingin banget! Dingin kayak... es batu yang habis diputusin!"
Aku nyaris membentur raket tenis properti saking frustrasinya. 'Bro... lo pikir aku kulkas dua pintu?!'
Aku tarik napas. Senyum. Tatap kamera. Dan—"Es krim Dingin Pol! Bikin hidup lo adem walau hati lo... anget-anget taik ayam!"
"CUT!!"
Sutradara hampir melempar megafon ke semak. "GUNTUR! Siapa yang suruh improv kayak stand-up?! Lo tuh dingin, bukan nyinyir!"
'Ya maap, Pak. Saya sudah ngucurin lebih banyak air daripada Waduk Jatiluhur sekarang... ini lidah aja rasanya kayak nyetrika bagian dalam mulut.'
"Kita break lima menit! Kipasin Guntur, kasih dia es, kasih dia... entah, kasih dia alasan buat hidup lagi!"
Asisten kru datang dengan botol semprot wajah. "Yuk, Bang Guntur, relaks dulu. Mau tisu basah? Es batu diselipin ke ketiak?"
"Kalau ada AC portable buat dijahit langsung ke tulang rusuk, saya ambil, Dek."
Aku duduk di bangku plastik yang sudah agak melengkung karena beban hidup (dan beratku). Sambil minum air dari galon yang disodorin pakai galah, aku melamun. 'Kenapa dulu nggak buka usaha rental iglo aja, ya... kenapa harus iklan es krim?'
Flashback. Dua bulan lalu. Aku gagal audisi sebagai presenter cuaca di stasiun TV karena "suara terlalu menggelegar" dan "membuat sound engineer resign massal". Satu-satunya panggilan kerja adalah... bintang iklan es krim. Ironi? Itu hobi alam semesta.
Balik ke realita. Kamera nyala lagi. "Take 37! Guntur, kamu dingin banget ya! Ingat, kamu bukan makhluk biasa. Kamu legenda salju! Tunjukkan aura beku itu!"
Aura beku? Bro, aku udah lebih kayak es krim kelapa ketinggalan di dashboard mobil jam dua siang!
Aku berdiri. Bulu lengket. Paha gatal. Hidung gatal tapi tiap kali kuusap, bulu wajahku nempel kayak selotip karma.
"Es krim Dingin Pol! Rasakan sensasi menggigil yang..." Plop.
Es krim plastik dummy di tanganku copot dan jatuh ke sepatu. Sepatu plastik yang langsung berfungsi jadi baskom saking penuhnya air keringat.
"CUT! OH MY GOD, GUNTUR! Itu dummy mahal, tau nggak?!"
Aku pelototin es krim sialan itu. 'Lo jatuh aja sekarang, tapi harga diriku udah ambyar dari take ke-12.'
"Guntur, tolong, ini take terakhir. Setelah ini kamu boleh rebahan dalam freezer pabrik es batu. Janji!" Sutradara ngomong sambil makan es krim beneran. Di tengah lapangan. Dengan payung. Dan kipas pribadi.
Aku lihat dia kayak orang yang baru menang lotre dan langsung beliin AC buat setiap pori-pori tubuhnya.
"Kalau saya pingsan di tengah dialog, boleh di-cut?" tanyaku, setengah serius, setengah berharap.
Asisten sutradara mendekat dengan termos es. "Bang, minum dulu. Tapi pelan-pelan. Kemarin naga yang main iklan kopi langsung beku kerongkongannya."
Aku ngelirik ke arah seberang, di mana makhluk lain sedang syuting. Vampir jadi brand ambassador sunscreen. Centaur jualan sepatu sneakers ukuran kuda. Dunia ini makin nggak masuk akal tiap harinya.
"Take 38! Posisi!" teriak sutradara.
Aku berdiri. Bulu terasa seperti kasur basah yang diseret dari laut. Kamera menyala.
"Es krim Dingin Pol! Rasanya... uh..." Aku mendadak lupa dialog.
Sutradara berdiri. "Rasanya kayak pelukan mantan yang nggak drama! Ulang!"
Aku menghela napas. 'Kalau mantan saya peluk, saya masuk penjara, Pak. Karena dia manusia. Dan saya... ya. Yeti. Itu bukan pelukan. Itu headline.'
Take 39. Kamera menyala. Aku teriak, "Es krim Dingin Pol! Dingin sampai... sampai—"
GUBRAK!
Soundman jatuh dari kursinya gara-gara ngikik sendiri.
"CUT! Siapa yang nyenggol soundman?!"
"Nggak ada yang nyenggol, Pak. Dia ketawa waktu Guntur bilang 'dingin sampai...' sambil nyender ke tiang listrik."
Aku berdiri mematung. 'Mungkin kalau aku diem aja kayak batu es, mereka puas.'
Asisten kru masuk lagi dengan kipas tangan. "Bang, izin nyemprot bulu dada ya. Udah mulai ngebul."
Aku angguk. “Semprot sekalian harga diriku, kalau bisa.”
Sementara bulu dadaku disemprot dan ditaburi bedak dingin (yang sebenarnya bedak bayi menthol—karena kru low budget), aku sadar satu hal.
'Hidup ini kayak iklan ini. Konyol, absurd, panas, tapi semua orang tetep berharap hasilnya segar.'
"Guntur, siap ya! Ini yang ke-40. Habis ini kamu boleh minum teh manis sama kru, dan aku kasih kamu bonus nugget ayam dari katering!"
Aku berdiri. Dengan niat. Dengan semangat. Dengan bulu yang kalau disentuh pasti bunyi plek-plek kayak sandal jepit basah.
"Es krim Dingin Pol! Sensasi beku yang bikin lo lupa mantan, tagihan listrik, dan utang ke warung sebelah!"
Semua hening.
Lalu... tepuk tangan. Bahkan sutradara berdiri. "YES! GUNTUR! ITU DIA! KITA DAPET!"
Aku bengong. 'Lah... itu berhasil?'
Asisten kru berbisik, "Tadi tuh nggak sesuai naskah, tapi semua ngakak. Lo viral, Bang. Viral dingin."
Aku duduk pelan-pelan. Lega. Masih basah, masih kepanasan, tapi untuk pertama kalinya hari itu...
Aku merasa adem.
Dua hari setelah syuting neraka itu, aku bangun dengan notifikasi 372 pesan WhatsApp, 198 mention di Instagram, dan satu DM dari naga selebgram: "Bang Guntur, ajarin dong jadi lucu pas keringetan gitu. Aku mau coba endorse AC portable."
Ternyata klip improvisasiku jadi viral.
Bukan karena akting. Bukan karena es krim. Tapi karena ekspresiku waktu dummy jatuh dan aku ngomong, "Harga diriku udah ambyar dari take ke-12."
Meme-nya di mana-mana.
Ada yang edit aku duduk dengan caption: "Ketika kamu dingin luar doang, tapi hatimu udah mendidih kayak Indomie kebanyakan micin."
Manajer agensiku telepon. "Gunt! Lo trending nomor 3 di TikTok! Banyak brand mau collab. Ada yang mau lo jadi bintang air galon! Serius! Karena lo dingin banget!"
Aku mengangkat alis. 'Air galon? Habis ini saya disuruh endorse kulkas? Atau dispenser?' Tapi… ya udahlah.
Sore harinya aku diundang ke talk show. Namanya Ngobrol Mitos Bareng Manusia. Host-nya elf urban yang kerja part-time jadi stand-up komedian.
“Jadi, Guntur,” katanya sambil ketawa, “apa rahasianya bisa tetap beku di tengah panas kehidupan?”
Aku mikir. Terus jawab, “Kalo lo udah ngeluarin semua air dari tubuh sampe bulu lo bisa diperas, nggak ada yang bisa bikin lo panik lagi.”
Penonton ketawa. Kameramen ketawa. Aku? Aku diem.
Karena entah kenapa… aku agak kangen.
Kangen syuting. Kangen teriakan sutradara. Kangen botol semprot. Kangen suara “take 39!” yang terdengar seperti doa dikabulkan.
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar…
Mungkin, jadi bintang iklan bukan kutukan.
Mungkin, aku emang ditakdirkan… buat dingin di luar, dan lucu di dalam.
Hari ini aku berdiri di sebuah panggung besar. Panggung penghargaan Iklan Mitologi Tahunan. Di belakangku, layar raksasa menampilkan wajahku yang becek, kusut, dan penuh semangat dari take ke-40.
“Dan pemenang kategori Bintang Iklan Terfavorit Tahun Ini jatuh kepada…”
Lampu sorot nyorot ke mukaku. Kukira itu flash kamera. Ternyata spotlight. Panas juga.
“...GUNTUR, sang Yeti viral dari iklan Es Krim Dingin Pol!”
Aku jalan pelan ke podium. Bulu-buluku sudah disisir rapi. Jaketku bukan jaket sauna lagi, tapi jas warna putih gading. Di dalamnya, aku tetap pakai celana thermal. Bukan karena perlu. Tapi buat nostalgia.
Aku pegang trofi. Berat. Tapi lebih ringan dari dummy es krim waktu itu.
“Terima kasih,” kataku. “Dulu saya cuma makhluk mitos dari utara. Sekarang, saya makhluk mitos dari utara… yang punya endorsement air galon, dispenser, dan teh botol rasa es krim.”
Penonton tertawa. Bahkan naga selebgram berdiri dan bersiul pakai asap.
“Tapi yang paling saya syukuri adalah... saya bisa jadi diri sendiri. Beku, absurd, dan sedikit meleleh di dalam. Dan ternyata… itu cukup.”
Tepuk tangan. Banyak. Panjang. Hangat. Tapi hatiku..
...dingin banget.
TAMAT.