Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,160
Dravoryans: Kota Goblin, Monumen Es, dan Ranjau yang Dilupakan
Komedi

Mana-ku akhirnya kembali. Samar. Tapi cukup untuk membuka mata.

Kami beristirahat di pinggir jalan, mengelilingi api unggun yang terlalu hangat untuk tubuhku.

Talyon duduk, sibuk meruncingkan ujung anak panah. Untuk apa—aku tak peduli.

Pahlawan... duduk bersila sambil mengeluh soal kubis kesayangannya yang lenyap.

Malam ini nyaman. Dingin. Sendu.

Dalam kepalaku muncul kilasan: makhluk berkaki terong, kubis menempel di wajah, dan bulu putih tumbuh cepat.

Mungkin hanya mimpi buruk saat mana-ku terkuras habis... atau kenyataan yang lebih buruk.

Aku tahu jalan ini. Jalur memutar di luar hutan.

Dan aroma itu... mulai tercium.

Kubangan lumpur hangat, tempat ternak berguling. Lembap. Busuk. Terlalu akrab.

Kami pasti akan melewati desa itu.

Desa makhluk hijau bodoh yang percaya diri berlebihan, yang selalu membasahi rambut mereka secara diam-diam.

Jujur saja, hutan penuh monster lebih menyenangkan bagiku...

Daripada melihat ras narsis yang suka bergoyang seperti idiot sok tampan.

----

"Kita akan segera bergerak lagi. Harus cepat sampai istana dan mela—"

"DUAAAR!!"

"DUAAR!!"

"BOOOM!!"

Tiga ledakan. Satu untuk mengejutkan, dua untuk memastikan jantung berhenti.

Tanah bergetar. Burung terbang. Pahlawan... tetap duduk.

"Apa itu? Festival?" tanyanya dengan wajah lecek seperti baju habis diinjak kerbau.

Aku menoleh malas.

"Entahlah. Mungkin naga muncul dari tanah sambil menyanyi."

Talyon berdiri, mengerutkan dahi, memandang ke arah hutan.

"Tunggu... Itu letaknya... di tengah hutan, kan?

Pahlawan... Kau pernah meletakkan jebakan di sana?"

Hening.

Pahlawan menoleh... tersenyum... seperti orang yang baru ingat meninggalkan setrika menyala di rumah.

Talyon mencoba tetap tenang.

"Mungkin... monster menginjaknya. Iya, monster. Itu... bagus. Anda hebat, Tuan."

"Ahahahaha..."

"Ahahahaha..."

"Ahahahaha..."

Kami bertiga tertawa.

Tipis. Getir.

Tertawa orang yang tahu ini bukan festival. Bukan naga.

Dan kemungkinan besar... bukan monster.

----

Kami kembali berjalan, meninggalkan api unggun yang masih bergoyang, dan kepulan asap dari tengah hutan yang kini... entah menyimpan arwah siapa.

Sayang sekali.

Aku harus kehilangan singgasana berjalan—yang kebetulan berbentuk elf pemanah.

"Kita... akan masuk desa itu, kan?" tanyaku dengan penuh harapan.

Harapan untuk putar balik.

"Aku tahu tempat itu sangat menyebalkan. Tapi kita tak punya pilihan jika ingin cepat sampai istana," jawab Talyon, dengan nada tegas yang entah kenapa terdengar seperti vonis hukuman mati.

"Ada apa dengan desa selanjutnya?" tanya pahlawan, masih polos seperti biasa.

"Tak ada apa-apa," jawabku.

"Hanya... makhluk hijau. Dengan kelakuan menjijikkan. Yang berpikir mereka bisa memikat semua wanita di Dravorya hanya dengan rambut basah dan senyum miring."

"Eh..."

‘Seandainya saja ada yang memulai keributan, mungkin... kubekukan seluruh desa itu.

Dan menghapus satu ras dari sejarah dunia.’

Ide brilian.

Punyaku.

Dan kupikir... hanya aku yang cukup kuat untuk melakukannya.

----

Fuyumi. Pahlawan. Bersiaplah... Ada yang datang," kata Talyon, tegas, sambil meraih busur dari pundaknya.

Aku langsung menoleh ke sungai.

"Mata pemanah memang luar biasa. Bahkan bisa melihat sisa pencernaan Cyclopse yang mengambang saat malam begini."

Sungguh. Aku memujinya. Tulus. Dari lubuk hati—yang dalam dan beku.

"Bukan itu, bodoh. Ada yang datang dari depan!"

Ia kesal. Padahal... aku sedang kagum.

Lalu... terdengar suara kuda.

Langkah tenangnya memecah sunyi.

Seekor kuda putih. Bersih. Mulus. Seolah baru dicuci di air mawar.

Dan di atasnya—makhluk itu.

Makhluk hijau dengan rambut yang basah, menetes, menyala dalam cahaya bulan.

Tengah malam.

Ia benar-benar... membasahi rambutnya saat tengah malam hanya demi dramatisasi masuk desa.

‘Dia pasti menyelam. Di sungai. Di suhu belasan derajat. Hanya untuk... ini?’

Aku ingin muntah. Tapi terlalu anggun untuk melakukannya sekarang.

----

Ia turun dari kudanya perlahan. Senyumnya miring, bibirnya maju setengah senti, dan satu tangannya menyandar pada kuda putih seperti sedang iklan sampo herbal.

‘Kini aku melihat... seonggok kotoran keledai yang bersandar di karya seni monumental.’

"Oh... Nona Talyon yang cantik, yang tak pernah berkeriput walau hidupnya keras."

Langkahnya maju, dengan gaya jalan menyamping—seperti pinggulnya sedang protes.

Lalu...

"Oh... Dewi Salju... begitu anggun di bawah sinar bulan..."

Ia berlutut. Satu tangan di dada, satu lagi menggapai langit. Seolah hendak mencabut bintang lalu menyelipkannya di balik rambutku.

Aku ingin muntah salju.

Dan kemudian...

"Oh... hmm. Ras monyet berhidung kendur... yang hidungnya, anehnya, tidak kendur."

Nada datar. Gaya biasa. Seolah ras ini... terlalu rendah untuk dipuisikan.

Aku mengangkat tangan.

"Demi salju di puncak gunung tertinggi... Dengarlah panggilanku dan turutilah perintahku... hancu—"

"Oi! Fuyumi! Apa yang kau lakukan?"

Talyon membentakku, menghentikan mantraku yang... entah sudah sampai suku kata keberapa.

Aku diam.

Tanganku masih terangkat.

Bibirku gemetar.

Aku bahkan belum memutuskan akan membekukannya jadi es batu... atau jadi patung taman.

----

"Apa dia selalu begitu setiap kali ada yang mendekati desanya?" tanya Pahlawan dengan wajah bingung seperti roti belum matang.

"Karena ini jalan terdekat… Aku pun harus menahan diri untuk tidak memanahnya dari jarak dekat," jawab Talyon yang… nyaris menarik anak panah dari punggungnya.

"Kami akan lewat desamu. Minggir, atau kau kubekukan bersama sisa makanan Cyclopse."

"Ooooh… oh... perkataan yang sangat manis dari Dewi Salju... Mari saya anta-wawawawaarr..."

Itu bukan kalimat. Itu... penghinaan.

Dan dia malah bersenandung tak jelas. Dengan nada menyebalkan… dan gaya seperti pemain teater yang baru dilepas dari rumah sakit jiwa.

Kami berjalan. Agak jauh dari makhluk hijau beraroma lembab itu.

Sampai akhirnya—pintu gerbang desa.

Dan mereka… menyambut.

Dengan ramai. Dengan bibir miring yang sengaja dimajukan setengah senti.

Dengan tarian aneh yang lebih cocok disebut ritual pemanggilan rasa mual.

"Sabar… sabar, Fuyumi," kata Talyon, kini dengan wajah yang mulai kesal dan lelah.

‘Selalu… selalu seperti ini setiap aku masuk desa ini…’

"Kau tidak lihat, Talyon? Mereka menari. Dengan rambut basah, tengah malam begini! Dan lihat—di pojokan itu! Tiga goblin sedang membasahi rambut mereka diam-diam!

Aku jijik… Aku jijiiik, Talyon. Aku jijiiiiiikk!!"

Bentakku. Lantang. Lelah. Dan penuh trauma masa lalu yang berbau daun basah.

----

Kami melewati mereka. Berusaha tidak melihat pemandangan yang tidak pantas itu.

Setelah semua hinaan yang kuucap terang-terangan dengan suara lantang...

Mereka masih menari.

Lebih liar. Lebih ramai.

Lebih… tak beradab.

Tak bisa kupungkiri—tempat ini memang luar biasa.

Luar biasa mengganggu.

Lebih pantas disebut kota daripada desa.

Malam di sini tak pernah tidur.

Selalu ramai. Selalu ada rambut basah mengkilap di mana-mana.

Seperti mimpi buruk… yang diberi hair-gel.

Kami akhirnya beristirahat di tengah desa.

Taman kecil, dengan bunga-bunga yang hanya mekar di malam hari.

Dan para penjual makanan… yang tak pernah tutup.

Tak pernah sekalipun.

Mereka seperti zombie yang terobsesi jualan camilan.

"Talyon, Fuyumi, ayo kita makan dulu. Kalian mau makan apa?" tanya Pahlawan dengan suara lembut. Aneh. Tapi... hangat.

"Hmm... Aku mau daging. Yang keras. Yang alot. Yang... bisa kugigit sambil melupakan semua ini."

"Kau, Talyon?"

"Aku sayuran. Aku hanya makan sayur."

Ia pergi membeli makanan. Harusnya kami yang melayani dia.

Tapi entah kenapa... kali ini dia yang paling sadar situasi.

Dan mungkin... paling kuat secara mental.

Lalu mereka datang.

Tanpa aba-aba.

Tanpa sopan santun.

Tanpa shampoo.

Mereka mengerumuni kami.

Seperti serigala di musim kawin.

Atau lebih tepatnya... serigala yang percaya dirinya tak tertahankan dan baru selesai keramas.

----

Kami tetap tenang.

Duduk dengan anggun.

Berusaha tak peduli.

Aku dan Talyon tahu… mereka tidak akan melakukan hal-hal yang pantas disensor.

Mereka mulai berbaris. Rapi.

Membentuk formasi segitiga,

Dengan satu goblin di depan yang... jelas-jelas paling menjijikkan.

Rambutnya klimis... tapi lebih mirip berlendir.

Ia berdiri hanya memakai celana panjang ketat—seolah kulit hijaunya butuh dipamerkan.

Dengan perlahan, ia mengetukkan kaki kanannya ke lantai taman dari batu.

Tok. Tok. Tok.

Lalu barisan di belakangnya ikut bergerak.

Menjentikkan jari…

Serempak.

Menggetarkan udara malam dengan irama yang… tidak dibutuhkan siapa pun.

“Apwa inwi? Pertunjwukan pwengemis jawlanan?”

Tanya Pahlawan, mulutnya masih penuh camilan.

Jelas tidak terkesan. Tapi tetap mengunyah.

----

Ia mendekat.

Selangkah demi selangkah, mengikuti irama jentikan jari dari barisan di belakangnya.

Entah sejak kapan, sudah ada bunga berbatang panjang yang tergigit di sudut bibirnya.

“Hey… Talyon, lakukan sesuatu. Dia makin dekat,” bisik Pahlawan, mulai gelisah.

Talyon… diam.

“Wahai serpihan yang memercik bersama matahari… dengar panggilanku. Turuti perintahku. Terjang musuhku. Buat mereka takut padaku.”

Aku menahan sihirku.

Menyusunnya perlahan.

Menyelinapkan hawa dingin ke sekitarku—

Masih menunggu Talyon.

Masih berharap ia... bicara.

Kabut mulai menyeruak.

Udara memutih.

Dan dia tetap diam.

Sampai akhirnya, dengan suara sangat pelan dan dingin seperti embun pertama di kuburan:

“Cocytus.”

“Shhhyyyyyuuuhhhzhzhzhhh—”

Semuanya beku.

Formasi sempurna.

Seperti pin bowling…

Dengan gaya yang terlalu menjijikkan untuk ditiru siapa pun.

Talyon tersenyum kecil.

Sangat kecil. Tapi cukup untuk membuatku tidak membekukannya juga.

Dan Pahlawan?

Dia ikut beku.

Masih memegang tusuk sate.

---

Kami langsung berlari keluar dari desa goblin—

Tertawa cekikikan seperti beban ratusan tahun akhirnya jatuh ke jurang.

Meski begitu... sekarang kami membawa beban baru.

Pahlawan.

Ia masih membeku.

Aku mengangkat kepalanya, dan Talyon mengangkat kakinya.

Kami lambat. Tapi bahagia.

Karena telah… melakukan kriminalitas ringan.

Seluruh taman beku.

Bersama penjual camilan yang kini terlihat lebih damai.

“Biarlah mereka beristirahat malam ini... dengan tenang. Esok mencair, esok kembali jadi zombie camilan.”

Tepat sebelum gerbang keluar, seekor goblin tua menghadang.

Rambut putih klimis. Janggut panjang yang ia sampirkan ke pundak—tapi selalu melorot lagi setiap dua detik.

Ia terus sibuk mengatur janggutnya sambil menatap kami dramatis.

“Apa maumu?” tanyaku, malas.

“Nona Fuyumi... Anda yang membekukan taman, bukan?”

“Lalu kenapa?”

Jangan ganggu damai kecil ini, kumohon.

“Dulu waktu Anda datang, hujan salju turun 20 hari penuh. Dan sekarang… Anda membuat patung es yang sangat estetik.”

Ia menyipitkan mata. “Boleh kah… saya… memiliki satu?”

Aku diam.

‘Tidak mungkin. Tidak. Aku tahu arah percakapan ini…’

“Tolong buatkan patung es untuk si tua renta yang masih tampan ini!”

Ia membuka bajunya.

Berpose.

Dengan ekspresi mencoba anggun.

Satu kaki terangkat.

Tangan menjulur ke udara.

Kerutannya bergoyang sendiri, seperti jelly hidup.

Kulit hijau tua seperti lumut di batu kali.

Dadanya… terlalu percaya diri.

‘Mengapa... mengapa hidup ini tak memberi jeda dari mimpi buruk?’

Aku menunduk.

Dan menangis dalam hati.

---

“Baiklah… Akan kubuatkan patung khusus untukmu,” kataku akhirnya, menghela napas panjang seolah melepaskan seluruh harapanku pada dunia. “Tapi kali ini aku harus segera pergi ke istana. Kami sedang dalam misi rahasia.”

“Tapi… itu… patung yang di taman—”

“Begini saja,” potongku cepat. “Kau kumpulkan dulu salju dan es sebanyak mungkin. Setelah misi ini selesai, aku akan mampir kembali dan membuatkanmu karya seni paling eksentrik di seluruh Dravorya. Dengan kau sebagai model utamanya.”

“Oooh… Anda benar-benar dewi salju yang murah hati,” katanya dengan mata berkaca-kaca dan rambut klimis berkilau di bawah sinar bulan. “Setidaknya… sebelum ajal menjemput, aku ingin melihat ketampananku sendiri terpahat dalam keabadian.”

“Tapi ada satu syarat.”

“Katakan saja, nona. Katakan. Apapun itu akan saya lakukan!”

“Kau—” aku menatap dalam, seolah ini perjanjian suci, “—tidak boleh memberi tahu siapa pun tentang kejadian malam ini. Terutama pihak istana. Mengerti?”

“Tentu! Mulut saya akan terkunci rapat… dengan senyuman tertampan di seluruh Dravorya!” katanya sambil memamerkan gigi yang sedikit hijau seperti kapur basi.

“Bagus. Kalau begitu, minggir. Kami mau lewat. Bye bye.”

Aku berbalik, menggandeng langkah cepat Talyon dan menyeret pahlawan yang mulai mencair seperti agar-agar tak sabar. Begitu melewati gerbang, aku bergumam lirih:

"Aku tidak akan kembali. Sungguh, tidak akan kembali. Aku tak sudi sihirku dipakai untuk membuat seni rupa… kulit kendur."

Cahaya pagi mulai mengintip dari balik pepohonan, menyinari pahlawan yang kini setengah beku, setengah leleh—mirip es krim gagal produksi.

---

Kami mulai mendekati kota.

Lalu-lalang pedagang sudah ramai. Suara roda gerobak, derap langkah kaki, dan aroma rumput basi menyambut kami dari kejauhan. Beberapa faun melintas sambil menarik gerobak berat—dan entah kenapa, bulu hidung mereka… sudah hampir menyentuh bibir.

Kami duduk sebentar di sisi jalan. Menunggu pahlawan mencair. Ia masih menggigil seperti es batu yang belum rela menyerah pada suhu ruangan.

Tugas tinggal satu: melapor. Dan itu bukan tugasku. Itu bagian Talyon. Aku tak akan berurusan dengan politik istana. Sudah cukup aku diseret-seret dalam parade bau dan kebodohan selama perjalanan ini.

Kulit pahlawan mulai lembek. Tapi otot dan tulangnya… masih beku. Seperti ayam beku dari negeri utara yang kelamaan dipajang di rak promo.

---

Kami masuk gerbang kota.

Pahlawan masih menggigil. Kulitnya kebiruan seperti cumi yang terlalu lama direndam angin musim gugur.

Langkah kami lambat, menyeret aroma pagi yang... seperti kandang ternak setelah hujan.

Kami menyusuri jalan kota menuju istana.

“Fuyumi, Tuan Pahlawan, kalian harus ikut melapor ya!” seru Talyon sambil menoleh ke belakang.

“Aku malaaaas...” Aku merengek seperti anak bungsu yang tak mau ikut ke pesta keluarga.

“Kalian tetap harus ikut!”

Seperti biasa, pagi di kota ini sepi. Terlalu sepi, seperti semua penduduknya baru saja bangun dari mimpi buruk bersama. Tapi sebentar lagi pasti ramai. Kios-kios masih tutup, pedagang masih bersiap, dan mungkin sedang menangisi nasib mereka sebelum menghadapi hari seperti neraka.

Di salah satu sudut jalan, beberapa bocah kulit hijau—goblin kecil—sedang mencongkel batu-batu tambalan dari jalan kota. Itu batu yang semalam dipasang prajurit.

‘Mereka memang terlihat lucu... sampai mereka tumbuh besar dan mulai bicara.’

Kami akhirnya menginjakkan kaki di gerbang istana.

Penjaga di pintu depan menyambut kami dengan mata sayu dan napas seperti habis menyedot arang panas. Mungkin baru bangun dari shift malam, atau belum tidur sejak zaman kakekku.

Kami diantar melewati lorong yang dingin dan panjang... untuk bertemu dengan satu-satunya orang yang bisa membuatku ingin pingsan lebih dari goblin narsis.

Kakek berbaju kepanjangan. Yang jubahnya menyapu lantai, dan ujungnya biasa dijadikan tempat tidur kucing istana.

---

“Oohohoho... Kalian sudah kembali. Aku sempat khawatir pada party sang Pahlawan. Bagaimana, Talyon, Fuyumi, dan Tuan Penempa?”

‘Bagaimana?’ Apanya yang ‘bagaimana’? Tubuh kami bau ternak, mental kami sudah remuk, dan yang keluar dari mulutnya hanya ‘bagaimana’.

Ia selalu begitu.

Kakek tua itu—penasihat istana atau apalah—tak pernah benar-benar tahu situasi. Hanya menyuruh ini-itu dengan senyum kebijaksanaan palsu, lalu menyambut kami seolah kami pulang dari piknik keluarga.

Talyon mulai melapor. Suaranya tenang seperti biasa.

Ia menjelaskan bahwa para petani Minotaur hanya membutuhkan satu hal.

Toilet.

‘Jadi... perjalanan berputar, dikejar monster sayur, disembah Cyclopse, dan trauma desa goblin... hanya karena toilet? Sungguh... luar biasa. Di luar nalar. Di luar logika. Di luar akal sehat makhluk berakal.’

Kakek tua itu mengangguk sambil menarik jubahnya yang tersangkut di tongkat sendiri.

“Bagus, bagus... Kita akan membangun fasilitas sanitasi di ladang utara,” katanya. Lalu menambahkan, “Namun... ada masalah.”

Ah, tentu. Selalu ada masalah. Seperti sisa makanan yang nyangkut di gigi...

“Kelompok prajurit istana yang kami kirim sebelumnya tewas semua. Hanya satu yang kembali. Katanya, terjadi ledakan hebat di tengah hutan. Kami menduga itu monster baru—cepat, kuat, dan tak terlihat mata. Karena itu, kami kirim Kesatria Elite untuk menyelidiki lebih jauh.”

Tengah hutan...? Ledakan...?

Aku melirik ke Pahlawan.

Talyon juga menoleh pelan.

Dan kami melihatnya—tangan dan kaki Pahlawan mulai gemetar. Keringat dingin menetes, bibirnya tertutup rapat... seperti sedang menahan pengakuan dosa berat.

Ia sadar.

Ia sadar betul...

Ledakan itu bukan monster. Ledakan itu... jebakan yang ia tanam sendiri.

Kini suara Talyon mulai bergetar. Penjelasannya patah-patah. Ia seperti ragu ingin menjelaskan misi... atau membuka lembaran dakwaan.

Dan aku berpikir...

Ini party Pahlawan... atau kelompok kriminal berkedok misi suci?

---

Setelah Talyon selesai melapor—dan dengan terampil menutupi dosa kami—waktunya beristirahat. Kami berbalik. Ingin cepat-cepat keluar, lalu... mandi.

Ya. Kami bau kandang ternak. Basah. Apek. Seperti baju yang tak kering selama musim hujan.

Tapi baru dua langkah...

“Ah! Hampir lupa,” kata si kakek tua sambil menepuk tongkatnya.

Tanda bencana dimulai.

“Talyon, Pahlawan, dan Fuyumi—kalian akan masuk Aether Academy.”

“EH?”

“Talyon belajar seni berperang.”

“Eh...”

“Pahlawan belajar sihir dan manufaktur.”

“Eh...”

“Dan Fuyumi... menjadi pengajar. Karena kau lulusan terbaik seratus tahun lalu.”

“Ehhhh...?!”

'Astaga. Kenapa? Kenapa? Kenapa tua bangka ini selalu punya ide tak masuk akal?!'

Ya... aku memang lulusan terbaik Aether Academy, seratus tahun lalu, di bidang penerapan sihir legendaris. Kota Aether adalah kota pendidikan netral, tak pernah berperang, tak pernah berpihak, tak pernah peduli siapa kamu... selama kamu pintar.

Lulusan akademi itu selalu jadi tokoh penting... seperti aku.

“Undangan resminya sudah kuterima, dikirim saat kalian menjalankan misi. Ini kehormatan besar. Terutama untukmu, Fuyumi, sebagai pengajar. Nama kalian akan bersinar di dunia ini! Ohohoho—”

“BRUK!”

Kakek tua itu tersandung bajunya sendiri dan jatuh telentang sambil tertawa.

Kami menoleh... lalu pura-pura tak melihat apa-apa. Seperti biasa.

Kami keluar ruangan. Sudah cukup. Mental ini sudah ringkih.

“Ahhh... akhirnya misi selesai. Waktunya istirahat,” kata Talyon sambil meregangkan punggungnya.

Pahlawan masih diam. Berkeringat dingin. Bibirnya seperti menyesali tiga masa kehidupan sekaligus.

Dan aku... hanya ingin mandi. Dan tidur. Seperti bayi yang tak tahu dunia ini rusak.

Kami tak banyak bicara. Hanya diam. Dan berpisah ke kamar masing-masing.

Tak ada yang membahas ledakan di hutan. Tak ada yang menyebut cyclopse, kubis, atau desa goblin.

Biarkan semua dosa itu membatu bersama waktu.

Esok, kami akan menuju petualangan baru. Aether Academy menanti. Entah apa yang akan terjadi di sana... Tapi hidup harus dijalani.

“Untuk esok, aku serahkan pada diriku yang esok hari,” kataku pelan, sambil berjalan ke ruang pemandian istana.

Bukan untuk orang istana. Bukan untuk mereka.

Hanya untukku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)