Cerpen
Disukai
0
Dilihat
13,957
Waris
Drama

Aku melangkah gugup, menuju ke kantor polisi sektor terdekat dari rumah. Jika saja Waris tidak mengusik keluargaku, tentu aku tak sampai hati melaporkannya hingga kesini.


"Siapa namanya, Pak?" tanya petugas polisi yang sedang piket itu. Tatapannya tajam, seakan sudah siap menerima segala aduanku dengan cekatan.


"Saya? Widodo, Pak," jawabku singkat.


Kuremas jemariku dengan gusar. Ini adalah kali pertama aku melaporkan kejadian tidak menyenangkan yang kualami, dan bukan karena kehilangan SIM ataupun sedang mengurus STNK di kantor polisi.


Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, akan berurusan dengan polisi hingga seperti ini.


"Lalu, laporannya apa, Pak? Monggo. Silakan..."


Aku menarik napas dalam-dalam, mengingat kembali perlakuan Waris yang merupakan kerabat dekatku, hingga membuatku meradang.


Tingkahnya makin hari makin gila. Terakhir, kudengar dari bisik-bisik warga, bahwa dia akan menguasai rumah dan tanahku dengan segera.

Aku sangat marah dan tidak terima.

Menantunya Waris juga memberitahuku bahwa, mertuanya itu memang akan mengambil tanah warisan orang tua kami.

Apa karena bapak dan ibu sudah tiada? Jadi dia bisa berbuat seenaknya? Sungguh tindakannya itu tidak terduga!

Belum kering kuburan bapak yang baru saja menyusul ibu ke alam baka. Masalah warisan sudah sangat pelik, seperti dunia akan runtuh saja.

Hari ini, adalah hari ke-42 sepeninggalan bapak dari sisi kami.

Dan, Waris, pria yang sudah seperti keponakan sendiri itu, tidak merasa harus menghormati mendiang bapakku. Ia mengajak ribut kami sekeluarga hanya karena persoalan tanah warisan semata.

Waris itu kedunyan-- mata duitan. Dia mengungkit tanah warisan leluhur yang sudah kami tempati selama beberapa generasi. Seperti tidak ada kerjaan lain saja.

Padahal, tanah warisan seluas 10 hektar ini juga hanya kami pakai 1/10 nya, sungguh kemaruk-- rakus sekali si Waris itu.

9 hektar tanah yang ada padanya, tidak memuaskan hasrat dunianya. Entah mengapa, ia malah mengusik 1 hektar tanah yang tidak seberapa ini.

Setelah mendengar sendiri dari menantunya, aku memberanikan diri melapor ke polsek, soal Waris itu.

Dia telah melakukan tindakan tidak menyenangkan padaku dan keluargaku, karena menyebarkan fitnah bahwa kami telah menguasai tanah warisan milik keluarganya.


***


"Gimana, Nang? Mertuamu itu?" tanyaku.

Aku mampir ke balai desa, ke tempat Danang bekerja, beberapa hari setelah laporanku diterima.

Danang adalah menantunya Waris, dan dia cukup dekat denganku.

Danang, yang juga menjadi sekretaris desa itu, menyulut rokoknya kemudian menyembulkan asapnya dengan gelagat gusar.

"Yah, gitu, Paklek. Sudah saya bilang. Orangnya itu maunya sampeyan pindah sana lo,"

"Kok begitu? Memang apa salahku?"

"Lha Paklek kan lapor pulisi,"

"Lha kan katamu lebih baik begitu? Daripada mendadak aku diusir, Nang? Ya itu tindakan pencegahan, tho?"

"Kan itu baru jarene, jarene, Paklek. Belum pasti. Paklek sudah grasa-grusu saja, lapor pulisi, tambah marah itu mertuaku," selorohnya kemudian berlalu pergi.

"Sudah dulu ya, mau ada rapat," lanjutnya sambil melambaikan tangan. Ia lalu menghilang dari balik mobil yang terparkir di halaman.

Aku merenungkan perkataan Danang.

Apa iya aku terlalu grasa-grusu? Terlalu tidak sabaran? Apa yang harus kulakukan kalau tidak punya kekuatan?

Uang peninggalan bapak baru kuberikan Pajeroh Seport atas bujukan istri, karena mobil usang kami memang perlu diganti.

Saat ini, uang yang kupegang hampir habis tak bersisa. Satu-satunya yang bisa kulakukan ya hanya ngotot mempertahankan rumah beserta tanah warisan ini, supaya tidak jatuh ke tangan Waris yang kemaruk itu.

***

"Sudah dengar, Pak? Katanya, Pak Waris sampai berobat ke Kyai," celoteh istriku, ketika menyajikan pisang goreng dan kopi panas di bale tempatku duduk-duduk sore ini.

"Lho, ngapain ya?"

"Katanya biar bebas santet,"

"Lho apa ya kamu cerita ke masmu yang dukun itu?" Aku menyelidik.

Istriku biasanya memang ember mulutnya. Belum lagi bumbu-bumbu aneh selalu ada di dalam ceritanya yang tersebar tanpa saringan.

Aku khawatir, Kakak iparku itu, yang merupakan dukun sakti dari Banyuwangi, harus turun gunung dan ikut memusuhi Waris.

Padahal, sudah pasti dia tidak tahu duduk permasalahannya.

"Lha aku yo cuma curhat... gatau mas terus ngapain, bukan urusanku! Yang pasti, aku yo ndak nyuruh begitu," kilahnya kemudian berlalu pergi.

"Oalah, Bune..." gerutuku sambil menepuk dahi.

Aku sudah bisa mengira, tindakan apa yang dilakukan Kakak iparku itu, jika mendengar curahan hati adiknya yang sudah pasti berbumbu.

Sebelum istriku memasuki kamar, kudengar ia berteriak, "Kyai... kyai... kayak gitu itu ya palingan juga dukun! Aku bakalan cerita lagi ke Kang Mas, kalau-kalau kita bakalan kena santet balik!"

Degupan jantungku tiba-tiba menjadi kencang, ini bukan efek kafein dari kopi tubruk yang dibuatkan oleh istriku, tapi, karena kesimpulannya yang sangat aneh itu!

Aku tidak bakal mengira urusan warisan malah berakhir dengan santet-menyantet seperti ini. Sungguh, di luar nalar dan tidak habis fikir!

***

Beberapa waktu setelah laporanku tentang Waris diproses polisi, aku mendapatkan kejutan yang tidak pernah kunanti.

Waris tiba-tiba menggugatku ke pengadilan, dan bertingkah seolah dialah yang paling benar.

"Jadi, saudara itu apanya ahli waris?" Hakim menanyaiku, ketika aku dipanggil karena gugatan Waris yang tidak masuk akal itu.

"Sa--saya ya, cucunya," ujarku gelagapan.

"Cucu dari mana?"

"Cucu ya dari neneknya Waris, tho?"

Hakim itu geleng-geleng kepala, ketika dia mengoreksi kembali dokumen-dokumen yang ada di hadapannya, wajahnya kembali masam.

"Betul begitu ya?"

"Betul, Pak Hakim," Aku melemparkan senyuman.

Kulirik Waris sekilas, raut wajahnya tampak memelas. Aku muak melihatnya.

***

Setelah persidangan yang berlarut-larut, akhirnya, kami memenangkan permainan. Tuntutan Waris tidak terbukti. Aku lega sekali.

Akhirnya, aku bisa tinggal di rumah ini dengan tenang, tanpa takut diusir atau dihantui perasaan tak tenang gara-gara si Waris yang gila itu.

Istriku yang masih kepanasan karena perselisihan aku dan Waris, terkadang meminta Kang Mas-nya untuk memberi pelajaran pada lelaki tua itu.

Katanya, biar Waris sadar diri dan tidak lagi mengusik kami.

Aku tidak menyuruhnya, namun juga tkdak melarang, suka-suka dia saja.

Kudengar dari Danang, terkadang Waris sering muntah-muntah dan menggigil, mungkin ya masuk angin. Aku tidak mengetahui apa penyebabnya.

Konon, kata istriku, kakaknya itu sudah bergerak dan semakin tokcer hasilnya.

Entahlah! Aku tidak tahu! Aku tidak bermain klenik seperti santet-menyantet. Tapi, aku juga tidak melarang istriku itu untuk melakukannya, lagi-lagi, ya karena itu urusan dia.

***

"Makasih banyak bantuannya, Mas," ucapku pada ketua Panitera yang telah membantu kami di persidangan.

"Sama-sama, Pak. Tapi, lain kali, mbokya, saya dilebihi," bisiknya sambil memberi kode.

Aku memang orang awam dalam dunia hukum, namun, aku juga bukan orang yang tidak tahu aturan umum.

Meski sudah menyewa pengacara, aku juga ngerti kalau Hakim dan Staff-nya juga butuh dana tambahan, hitung-hitung uang lelah, karena sudah mengurusi kami yang banyak permintaan.

Untuk itu, kucairkan saja deposito yang dulu kukumpulan, aku juga teringat perhiasan mendiang ibu yang masih rapat tersimpan.

Semua hartaku dijadikan uang tunai, sebagai dana darurat dalam perjuanganku mempertahankan marwah keluarga.

Aku benar-benar tidak rela jika Waris mempecundangi kami dan berhasil mendapatkan semua tanah warisan leluhur yang tersisa.

Enak saja!

************

Epilog


Sore itu adalah sore yang tidak pernah dilupakan oleh Waris.

Dalam semburat jingga yang menggagahi cakrawala, pria tua itu akhirnya harus menyerah kalah, pada perjuangan yang selama ini ia kawal tanpa lelah.

Setelah berbulan-bulan gugatannya disidangkan, pada akhirnya, Waris harus keluar sebagai pecundang.

"Huhu.. Hiks.. Pak... Pak.. Oalah," Istrinya Waris menangis tersedu, ketika ketukan palu hakim mengakhiri perjuangan mereka, hari itu.

Tuntutannya dibatalkan.

Waris tidak lagi dapat mengklaim tanah 1/10 hektar warisan leluhurnya itu.

"Sudahlah, Bu. Sudah takdir. Mau bagaimana lagi," ucapnya pilu.

Mata sayunya mengeluarkan bulir bening yang tak tampak. Isakan dalam diam ia sembunyikan, karena tidak ingin Widodo, sang lawan, merasa tinggi hati karena mengalahkan tuntutan.

"Seandainya saja, Bapaknya si Widodo itu tidak dipungut sama Emak. Pasti hidup kita tidak akan kisruh seperti ini, Pak!" rutuk istrinya, mengungkit masa lalu Bapaknya Widodo.

Mendiang bapaknya Widodo, merupakan anak adopsi dari keluarga Waris.

Emaknya Waris senang melihat snak kecil yang tampak lucu, sedang berlarian di sawahnya.

"Anaknya siapa itu? Sini, tak emongé," ucap Emaknya Waris ketika memutuskan untuk mengangkat Bapaknya Widodo sebagai anaknya.

Baru beberapa waktu lalu, Bapaknya Widodo meninggal dunia.

Sebetulnya, Waris tidak mempermasalahkan perihal tanah warisan leluhurnya.

Namun, harga diri Waris merasa terinjak-injak, ketika Widodo mulai mengaku bahwa tanah 10 hektar miliknya, seharusnya dibagi dua dengannya.

Setiap anggota keluarga Waris yang masih hidup, mengetahui bahwa Widodo tidak memiliki hak untuk itu.

Widodo hanyalah cucu adopsi, yang tidak punya sanad keluarga sama sekali. Ia tak ubahnya orang lain, yang mengklaim harta di luar haknya.

Keluarga besar Waris mulai marah, karena Widodo sesumbar bahwa dia telah dizalimi dan tidak diberikan haknya. Untuk itulah, Waris menggugatnya.

Danang-- sang menantu, turut mengompori Widodo karena dendam kesumat pada sang mertua.

Setelah ketahuan menggelapkan dana investasi di perkebunan, Waris menjadi tidak lagi mempercayai Danang untuk mengelola usaha keluarga mereka.

Danang marah, ia pun berencana untuk mempersulit hidup sang mertua.

Widodo, pria yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah namun kaya raya itu, akhirnya menjadi pion penting rencananya.

Setelah menyebarkan fitnah tentang Waris yang ingin merebut tanahnya kembali, Danang juga mengompori Widodo agar melaporkan mertuanya itu ke polisi.

Tidak berhenti di situ, Danang juga membisiki Widodo agar sesumbar soal hak waris berupa tanah 10 hektar.

Merasa didukung, Widodo melakukan semua permintaan Danang.

Begitulah, pada akhirnya, Danang tinggal menonton pertunjukan wayang orang yang ia mainkan.

Siapa yang menyangka?

Lakon para wayang, benar-benar memuaskan.

Apalagi, backing Widodo yang ternyata dukun itu juga telah menyempurnakan skenario untuk mencabik-cabik kesehatan sang mertua.

Sungguh, membuat Danang semakin gembira.

Jika saja tidak ada Kyai yang menjadi tameng Waris, niscaya dia tentu akan segera meregang nyawa.

Pengacara Widodo juga sangat lihai membalikkan keadaan.

Hanya bermodalkan uang pelicin dan akta palsu, Widodo dapat lolos dari gugatan Waris yang mengklaim bahwa pria itu bukanlah keturunan sah keluarganya.

Masalah pelik ini akhirnya menemukan ujungnya, yakni, bebasnya status tanah Widodo dari julukan tanah sengketa.

***

"Tenanglah, Bu. Gusti Allah mboten sare," ucapan Waris menjadi penutup sore yang sendu itu.

Baik Waris maupun sang istri, kini pulang dengan perasaan terluka.

Namun, satu hal yang mereka yakini, yaitu, Gusthi Allah mboten sare.

Meski pada akhirnya, gugatan mereka kalah di pengadilan, namun, gugatan mereka kelak di akhirat, tentu akan menemui kemenangan.

*

Tamat.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)