Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,615
Empat Puluh Rumah
Religi

Di sebuah desa yang bernama Baktinaga, tinggallah sekelompok penduduk yang hidup makmur dan hidup berdampingan dengan harmonis.


Desa ini terletak di tengah-tengah pegunungan yang indah, sehingga aksesnya pun sulit, namun para penduduknya kompak dan dapat menyediakan bahan pangan serta kebutuhan lain secara bergiliran.


Tidak ada kendala hidup yang berarti di sana. Pasokan air pun aman. Ada beberapa sumber mata air dan sungai-sungai yang jernih, semuanya dapat membawa kemakmuran dalam bercocok tanam.


Listrik di desa Baktinaga pun mengalir, meski tidak sepenuhnya tersedia. Mereka harus bisa menghemat daya, terutama jika musim penghujan tiba.


Untuk keseluruhan, tidak ada yang harus diratapi ketika hidup di sana, kecuali satu: minimnya ilmu agama.


***


"Apakah engkau siap, Le? Dikirim ke sana?" tanya Kyai Mustafa pada santri kesayangannya yang bernama Firman Abdullah, ketika menawari misi syiar di daerah yang sulit itu.


"InsyaAllah Siap, Yai," jawab Firman takzim dan tegas. Ia merasa tertantang untuk dapat menyelesaikan tugas dari Sang Kyai dengan baik.


"Ingat, Le. Jika 40 hari kamu tidak berhasil, pulanglah. Hadiahmu tetap akan kuberikan."


"Ha--hadiah apa, Yai?" tanyanya gugup. Firman tidak berharap mendapatkan hadiah apapun dalam tugas pertamanya ini.


"Nanti kamu tahu sendiri. Pokoknya, camkan tenggat waktunya. Nah, bersiaplah. Besok pagi baru berangkat," sahut sang Kyai secara misterius.


Firman tidak jadi bertanya lebih lanjut karena memahami bahwa maksud kalimat misterius dari Kyai Mustafa tentulah yang terbaik baginya.


***


"Alhamdulillah. Hari ini kita mulai ngaji ya," ucap Ustaz Firman --yang kali ini sudah disebut Ustaz-- dengan gembira.


Hari ini tepat hari ke-7, ia mensyiarkan agama Islam di desa Baktinaga, desa yang terkucil di dalam pegunungan itu. Sesuai dengan instruksi Kyai Mustafa.


Pondok pesantren Darul Hadits, milik Kyai Mustafa, memang mensyaratkan para santri untuk syiar ke desa-desa terpencil, sebelum resmi menyandang gelar ustaz.


Ada pendidikan lanjutan di pesantren mereka untuk belajar menjadi dai atau pemuka agama, tentu saja dengan kualifikasi ketat agar dapat melahirkan ustaz yang berkompetensi tinggi.


Mengahar ngaji di daerah terpencil ini semacam kuliah kerja nyata, jika dianalogikan seperti masa pendidikan formal. Sekolah untuk menjadi ustaz di Pondok Darul Hadits pun seperti itu.


Ustaz Firman, tentu saja sedang mengalami penempaan terakhir untuk meraih persyaratan pendidikan lanjutannya dalam menjadi pemuka agama.


Meski belum resmi menjadi ustaz, di desa ini, Ustaz Firman tetaplah Ustaz karena hanya dialah yang bisa mengaji dan mengajar baca-tulis Al-Qur'an di sini.


Tempat Pendidikan Al-Quran dadakan yang dibuatnya, ramai didatangi para santri cilik yang ingin belajar mengaji. Tidak luput juga, para orang tua yang buta ilmu agama. Mereka juga memadati kelas Pak Ustaz di malam hari.


Pekerjaan sukarela Ustaz Firman ini cukup menyita waktu dan tenanganya. Beruntung, Kyai Mustafa membekalinya dengan beberapa peser uang untuk sekadar mengganjal lapar.


Beberapa warga juga menyiapkan kamar sewa gratis untuk sang ustaz dan memenuhi kebutuhan lainnya, sebelum akhirnya Pak Ustaz berdagang kecil-kecilan di sela kesibukannya.


***


"Assalamu'alaikum," sapa Ustaz Firman pada warga yang sedang ronda malam itu.


"Waalaikumsalam wr, wb, Pak Ustaz. Mau kemana malam-malam begini?" tanya Pak RT yang kebetulan sedang shift ronda malam ini.


"Mau mencari air di sungai sana, Pak. Untuk mencuci esok. Kok saya nggak kebagian tugas ronda?" tanyanya dengan gurauan.


"Eh, Pak Ustaz tidak usah ronda. Nanti capek. Ngajar ngaji aja...," jawab Pak RT diikuti anggukan bapak-bapak lainnya.


"Yasudah kalau begitu," sahut Pak Ustaz, kemudian segera beranjak pergi. Sebelum kakinya lebih jauh melangkah, sebuah aroma parfum yang menyengat, menghentikannya.


"Neng! Mau kemana?" tanya Pak Parto sedikit menggoda.


"Biasalah. Kayak nggak tau aja," jawab gadis itu sambil mengerling.


"Gantian ya nanti."


"Okey, Call aja," sahutnya sambil berlenggak-lenggok meneruskan langkahnya.


"Astagfirullahalazim," desis Ustaz Firman yang menyaksikan pemandangan tabu tersebut.


Sebagai lelaki, ia tak memungkiri bahwa wanita yang berjalan tadi merupakan wanita yang cantik. Tubuhnya sintal dan kulitnya putih mulus dengan make up yang cukup tebal.


Ustaz Firman tak mengira bahwa ada pelacur di pegunungan seperti ini. Setan memang ada di setiap sudut bumi.


***


"Apa saya gak salah dengar?" tanya Leila, gadis putih cantik yang menjadi hujatan para ibu, namun sekaligus menjadi pujaan bagi bapak-bapak di desa Baktinaga.


"Ya. Neng Leila tidak salah dengar," sahut Pak RT yang juga sedang mengantarkan Ustaz Firman untuk melamarnya hari ini.


Ini adalah hari ke-37, sejak Ustaz Firman berdakwah di desa ini.


Setelah upayanya untuk menyadarkan Leila tentang dosa zina ditolak mentah-mentah. Kali ini, ia tidak punya pilihan selain memperistri pelacur itu, agar masyarakat desa Baktinaga terbebas dari dosa yang dibuatnya.


"Ustaz ngga salah pilih? Saya ini pelacur loh. Pe--la--cur, lonte. Paham?" sergah Leila sambil menyulut rokoknya.


Meski wajahnya cantik namun perangainya memang sangat kasar. Ia tidak memahami sopan-santun karena lahir sebagai seorang yatim piatu, bahkan pernah diperkosa oleh pamannya sendiri yang saat ini sudah mendekam di penjara.


Karena hidup sebatang kara, Leila tidak punya pilihan lain selain menjual diri. Ia tidak pernah dibekali ilmu apapun oleh keluarganya. Trauma pelecehan seksual sejak kecil ikut memotivasinya menjadi pekerja seksual seperti sekarang.


Ustaz Firman terenyuh mendengar kisah hidup Leila. Untuk itulah, pria itu tak segan melamarnya dan memutus rantai setan yang telah menjeratnya sejak belia.


"Jika Neng Leila mau. InsyaAllah saya akan menjadi suami yang baik untukmu," ucap Ustaz Firman teduh.


Bulir bening hampir mengalir dari pelupuk mata Leila. Namun, segera diusapnya. Seumur hidup, belum pernah ia menerima kebaikan tanpa mengharap balas seperti ini.


Namun, nasi sudah menjadi bubur. Leila tidak merasa pantas bersanding dengan Ustaz yang tak hanya baik tapi juga tampan. Sebaiknya, dia mencari wanita yang lebih cocok akhlaknya dibanding dirinya.


****


Begitulah pada akhirnya Ustaz Firman gagal membujuk Leila untuk keluar dari lubang kemaksiatan. Gadis itu tetap bekerja sebagai PSK, dan dihujat ibu-ibu di sana, meski tanpa ada niat menghukumnya.


Pak RT dan bapak-bapak lainnya tidak pernah ada yang tak pernah dilayani oleh Leila. Mereka menganggap Leila adalah oase kesegaran di tengah jenuhnya hidup sebagai warga pinggiran.


****


"Saya pamit undur diri. InsyaAllah, jika Kyai Mustafa memberikan instruksi lanjutan, saya akan kemari lagi. Assalamu'alaikum," pamit sang ustaz di suatu sore yang cerah, pada semua santrinya, baik yang masih cilik, maupun yang telah dewasa.


Mereka melepas kepergian Ustaz dengan derai air mata dan senyum keterpaksaan, karena masih merindukan bimbingan sang guru ngaji itu untuk waktu yang lama.


Namun, durasi pekerjaan Ustaz Firman, mengharuskannya mengakhiri tugas ini untuk sementara. Ia akan kembali, setelah memberikan laporan perkembangan pada sang Kyai.


Hal ini membuat para warga ikhlas melepas Ustaz, dengan harapan, akan segera bertemu lagi.


****


"Innalillahi wa innalillahi rajiun," Air mata Ustaz Firman bercucuran, tatkala mendengar berita tentang desa Baktinaga yang luluh-lantak akibat gempa bumi hebat yang melanda kampung tersebut, dini hari tadi.


Tidak ada satupun warga yang selamat, semua bangunan rata dengan tanah.


Empat puluh rumah, tidak kurang, tidak lebih. Semua berantakan dan tertimbun ke dasar perut bumi yang menganga.


Kyai Mustafa menepuk pundak Ustaz Firman yang bergetar hebat. Mencoba menenangkannya. Benar firasatnya, bahwa, orang-orang yang ada di kampung itu tidak akan selamat semua.


"Takdir Allah. Semoga itu yang terbaik. Kau sudah melakukan tugasmu. Sekarang, saatnya menerima hadiahmu," tutur Sang Kyai sambil menyodorkan selembar pas foto seorang gadis berukuran 3x4 kepadanya.


"Itu putriku. Lamarlah dia nanti malam," ucapnya, meskipun calon menantunya itu masih dirudung duka yang mendalam.


"Rencana Allah selalu lebih indah, dari yang kita bayangkan." pungkas sang Kyai, kemudian kembali berzikir di atas sajadahnya.


Tamat.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)