Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,693
Tumbal Keempat
Horor

Desa Sidamulya terkenal sebagai desa yang tenang. Sawah terbentang luas, suara jangkrik jadi latar malam yang damai. Tapi ada satu rumah di ujung utara desa yang selalu gelap. Rumah Pak Seno.

Tak ada yang berani mendekat ke sana setelah matahari terbenam.

Pak Seno dulunya petani biasa. Hidup pas-pasan dengan istri dan tiga anaknya. Tapi entah bagaimana, dalam lima tahun terakhir, ia jadi orang terkaya di desa. Ladangnya jadi puluhan hektar. Truk dan mobil hilir mudik. Rumahnya bertingkat dua. Tapi anehnya, sejak itu, satu demi satu keluarganya menghilang.

Pertama, anak bungsunya hilang saat sedang main di sungai.

Setahun kemudian, anak keduanya jatuh dari atap kandang dan tewas. Anehnya, tubuhnya ditemukan tanpa mata dan lidah.

Istrinya... konon pergi ke kota. Tapi tidak pernah ada kabar. Beberapa warga melihat Pak Seno membakar banyak pakaian wanita di halaman belakang, malam-malam. Tapi tak ada yang berani tanya.

Kini tinggal Pak Seno sendiri di rumah itu. Dan dia makin kaya.

Sampai suatu malam, seorang pemuda bernama Arif nekat menyelidikinya.

Arif adalah keponakan dari Bu Darmi, dukun beranak yang tinggal tak jauh dari rumah Pak Seno. Ia baru pulang kuliah dari Jakarta, libur semester. Ia tak percaya tahayul. Tapi setelah mendengar cerita dari bibinya, ia penasaran.

"Bibik percaya itu pesugihan?" tanya Arif.

Bu Darmi menatapnya dalam.

"Dia tak cuma pesugihan, Rif. Dia pakai tumbal. Setiap tahun, satu."

Arif tertawa kecil. "Kebetulan aja kali, Bibik."

Bu Darmi mendekat, berbisik.

"Besok malam, pas malam Jumat Kliwon, jam dua pagi, datang ke pohon beringin di belakang rumah Seno. Kalau kau berani."

Malam itu, Arif tak bisa tidur. Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia menyelinap keluar rumah, membawa senter kecil dan ponsel. Langit mendung, angin dingin menusuk. Ia berjalan pelan ke belakang rumah Pak Seno, menuju pohon beringin yang menjulang seperti bayangan raksasa.

Ia bersembunyi di balik semak.

Pukul 02.13, suara gamelan terdengar pelan dari dalam tanah. Arif menahan napas. Tanah di bawah beringin mulai retak. Kabut muncul entah dari mana.

Pak Seno datang, membawa sesuatu dibungkus kain hitam. Ia meletakkannya di bawah pohon. Lalu berlutut, berdoa dengan bahasa yang Arif tak mengerti.

Dari balik kabut, muncul sesosok bayangan besar. Tubuhnya tinggi, hitam, matanya merah menyala. Kepalanya seperti kepala kerbau, tanduk besar melengkung keluar.

"Tumbal ketiga telah diterima." suara makhluk itu bergema dalam pikiran Arif.

"Tumbal keempat harus darah keturunan. Kalau tidak, kau akan kuambil."

Pak Seno gemetar. "Aku… aku tak punya siapa-siapa lagi."

"Masih ada satu. Keponakan istrimu. Arif."

Arif tersentak.

Makhluk itu menghilang. Kabut lenyap. Pak Seno pergi.

Arif tetap bersembunyi hingga fajar, lalu lari pulang.

"Bibik, mereka menyebut namaku!" Arif gemetar saat menceritakan semuanya ke Bu Darmi.

Wajah bibiknya pucat. "Aku sudah duga. Dia akan kejar kau. Harus pergi dari sini."

"Tidak! Kita harus hentikan ini."

Bu Darmi menggeleng. "Kau tak tahu dengan siapa dia berurusan. Itu Buto Ireng, iblis pesugihan dari Alas Gumitir. Sekali perjanjian, tak bisa dibatalkan."

Tapi Arif keras kepala.

Malam berikutnya, ia kembali mengintai rumah Pak Seno. Kali ini, dari balik jendela lantai dua, ia melihat ruangan yang penuh dengan sesajen, kepala kambing, dan foto-foto keluarganya—semuanya dicoret silang. Di tengah ruangan, ada foto dirinya, Arif, dilingkari merah.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Pak Seno berdiri di sana.

"Aku tahu kau mengintai."

Arif berlari. Tapi Pak Seno mengejarnya dengan kecepatan yang tak wajar untuk pria seusianya. Ia nyaris tertangkap sebelum berhasil melompat ke kebun tetangga.

Dua hari setelah itu, Arif demam tinggi. Malam-malam ia mengigau. Bibirnya menyebut nama-nama yang tidak ia kenal. Di tubuhnya muncul bercak hitam. Bu Darmi panik, memanggil tetua desa.

"Ada kutukan," ujar Pak Ustaz setempat. "Dia telah dipilih sebagai tumbal keempat. Tak bisa sembuh kalau tak diputus perjanjiannya."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Bu Darmi.

"Satu-satunya cara... korban terakhir harus dikembalikan. Atau orang yang memulai perjanjian harus mati di tempat perjanjian."

Malam Jumat berikutnya, Bu Darmi dan dua orang desa—Pak Ustaz dan Pak Surya, mantan hansip—ikut Arif ke pohon beringin. Tubuh Arif sudah lemah, tapi matanya masih menyala penuh tekad.

Pak Seno sudah di sana.

Ia membawa keris. Wajahnya tidak lagi seperti manusia. Kulitnya gelap, matanya merah.

"Kalian takkan bisa menghentikannya," geramnya.

"Ini bukan tentang kekayaanmu lagi, Seno. Ini tentang jiwa anak ini!" teriak Bu Darmi.

Tapi tanah kembali bergetar. Kabut muncul. Makhluk itu datang.

"Tumbal keempat… bawa ke sini."

Pak Seno menyeret Arif.

Tapi Arif menolak.

Dengan sisa tenaga, ia mencabut pisau kecil dari saku dan menusuk dirinya sendiri.

"Aku… bukan tumbalmu!"

Tubuhnya jatuh ke tanah. Darah mengalir deras. Tapi saat itu juga, Buto Ireng meraung marah.

"Tumbal harus utuh! Kau rusak perjanjiannya!"

Ia berbalik pada Pak Seno.

"Maka kau… ganti tumbal!"

Dalam sekejap, tubuh Pak Seno terbakar. Ia menjerit, berubah menjadi arang dalam sekejap. Makhluk itu menghilang. Kabut lenyap.

Arif masih bernapas. Luka tusuknya dalam, tapi tidak mematikan.

Pak Ustaz segera membacakan doa, dan mereka membawanya pulang.

Sejak malam itu, rumah Pak Seno dibiarkan kosong. Tak ada yang berani mendekat.

Arif sembuh perlahan. Tapi sejak saat itu, ia bisa melihat bayangan yang tidak dilihat orang lain. Ia bilang… perjanjiannya belum sepenuhnya berakhir.

Karena masih ada satu foto yang belum terbakar di altar Pak Seno.

Foto Bu Darmi.

Setelah malam itu, Arif dirawat selama seminggu penuh. Lukanya pulih lebih cepat dari dugaan, tapi matanya... tidak lagi sama. Tatapan anak muda itu seperti kosong, seakan jiwanya tertinggal sedikit di bawah pohon beringin itu.

Setiap malam, ia mendengar suara langkah kaki berat di depan kamarnya. Kadang suara helaan napas dalam—berat dan terputus-putus—muncul dari belakang pintu, meski tak ada siapa pun di sana. Dan yang paling aneh, ia mendengar suara kerbau.

Bukan suara kerbau biasa.

Ini seperti suara napas makhluk yang terlalu besar untuk seekor hewan.

Suatu malam, saat ia memandang ke cermin, bayangannya tertinggal beberapa detik setelah ia bergerak. Tapi bukan itu yang menakutkannya.

Bayangan itu tidak mengenakan pakaian yang sama.

Ia memakai jubah hitam, mata merah menyala.

“Bibik… aku rasa dia belum selesai denganku,” gumam Arif pagi itu, menatap ke luar jendela.

Bu Darmi meletakkan teh hangat di hadapannya, ragu menjawab.

“Arwah Pak Seno telah diambil, tapi itu bukan berarti perjanjiannya sudah berakhir,” ucapnya pelan.

“Kau maksud… pesugihannya belum putus?”

“Tidak sepenuhnya. Karena Buto Ireng tidak pernah suka gagal. Kau mengacaukan proses tumbal. Dan itu... membuatmu separuh bagian dari perjanjian itu sekarang.”

Arif diam. Lalu bertanya dengan nada serius, “Apa yang akan terjadi padaku, Bibik?”

Bu Darmi menatapnya, lalu berbisik, “Kau akan jadi jembatan. Medium. Dia akan mencarimu saat malam Gelap Bulan berikutnya.”

Malam Gelap Bulan datang dua minggu kemudian.

Arif mengurung diri di kamarnya, menyalakan lampu, menabur garam di depan pintu, dan menyalakan rekaman murotal yang ia dapat dari Pak Ustaz.

Tapi jam 02.00, semuanya padam.

Listrik, lampu, ponsel.

Dingin merayap masuk lewat celah jendela, disertai kabut tipis yang tidak wajar. Saat ia membuka mata, cermin kamarnya dipenuhi kabut.

Lalu muncul tulisan di cermin itu, seolah digoreskan dari dalam kaca:

“Tumbal tidak bisa kabur.”

Saat Arif menoleh ke pintu, ia melihat sosok tinggi besar berdiri membelakanginya. Tanduk melengkung. Napas berat. Wajah setengah tertutup bayangan.

Makhluk itu berjalan perlahan, meninggalkan jejak darah di lantai.

Namun sebelum makhluk itu menyentuh Arif, sebuah suara berat dan lantang menggema di kamar:

“Kau datang terlalu cepat, Buto. Perjanjiannya belum sempurna.”

Sosok baru muncul di pojok ruangan: Bu Darmi.

Tapi bukan seperti biasanya. Wajahnya berbeda. Lebih muda. Wajah perempuan cantik dengan mata penuh rahasia.

“Arif belum menjadi milikmu… karena dia cucuku.”

Buto Ireng mengaum.

Darmi… Kau juga bagian dari ini! Kau pernah berjanji!

Arif terkejut. “Bibik?! Apa maksudnya?!”

Bu Darmi menatap Arif dengan penuh rasa bersalah. “Seno bukan satu-satunya yang pernah minta kekayaan pada Buto Ireng. Dulu… saat kau masih bayi, aku hampir mati karena kelaparan. Aku pernah berlutut di Alas Gumitir. Dan kau… kau lah yang dijanjikan untuk diambil saat dewasa.”

Arif mundur satu langkah. “Jadi aku memang tumbal sejak kecil…”

Bu Darmi mengangguk. “Tapi aku menyesal. Itulah kenapa aku arahkan kau mengintai Seno. Aku berharap dia akan mendahuluimu... Tapi kini, kau harus memilih.”

Buto Ireng membentak. “Waktu habis! Tumbal harus dibayar!

Seketika, tanah kamar Arif pecah. Lantai retak, dan dari dalamnya muncul tangan-tangan hitam yang mencoba menarik kakinya. Arif berteriak.

Bu Darmi berdiri di antara Arif dan jurang neraka itu. “Ambil aku, Buto! Biarkan dia!”

Buto Ireng ragu.

Kau sudah tua. Nilai tumbalmu tak sebanding. Tapi… jika kau rela kembali jadi pelayanku... aku akan bebaskan cucumu.

Arif berteriak, “Jangan, Bibik! Jangan kembali ke situ!”

Tapi Bu Darmi tersenyum tipis.

“Beberapa kesalahan tak bisa dihapus, Arif. Tapi bisa ditebus. Jaga hidupmu. Jangan ikuti jalan kami.”

Lalu Bu Darmi berjalan ke arah makhluk itu.

Satu langkah. Dua langkah. Sampai tubuhnya perlahan dilahap kabut dan kegelapan.

Sesaat sebelum ia lenyap, ia menoleh pada Arif.

“Minta ampunlah. Pada yang benar.”

Dan hilang.

Keesokan paginya, kamar Arif seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tapi di lantai, jejak darah berbentuk telapak kaki dan lingkaran lilin terbakar masih terlihat samar.

Dan di cermin, tertulis kata-kata baru:

“Perjanjian ditunda. Tapi tidak dibatalkan.”

EPILOG:

Beberapa tahun kemudian, Arif menjadi seorang ustaz muda yang sering membimbing anak-anak muda di kota kecil itu. Ia dikenal bijak dan sabar. Tapi ia menyimpan satu rahasia.

Setiap malam Gelap Bulan, ia mengunci diri di dalam kamar. Membaca doa-doa tertentu. Karena ia tahu, suatu hari nanti, perjanjian itu akan ditagih lagi.

Dan Buto Ireng… selalu ingat siapa yang berani menunda kematian.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)