Flash
Disukai
0
Dilihat
1,575
Kita Tidak Pernah Sampai
Misteri

Lima orang remaja: Elang, Dira, Kimo, Tari, dan Galang, dalam satu mobil tua, melaju cepat di jalan menanjak. Tujuan mereka: Desa Argasari—sebuah desa terpencil yang tidak ada di peta Google, yang katanya punya “air terjun rahasia dan langit paling bersih se-Jawa Barat.”

Terdengar seru... sampai mereka menyadari satu hal aneh.

Setiap kali mereka belok kiri di percabangan jalan pinus, mereka selalu kembali ke titik yang sama: SPBU tua dengan papan retak bertuliskan “ARGASARI 4 KM”.

Padahal mereka sudah mengisi bensin tiga kali.

Matahari tak pernah bergeser. Jam di dashboard stuck di 14:07.

Tari mulai panik. “Kita kayak... kejebak.”

Dira cek ponselnya. Sinyal nihil. Google Maps crash. Kompas muter.

Galang coba balik arah. Tapi belokan mundur malah membuat mereka kembali ke SPBU yang sama—kali ini dengan satu mobil identik terparkir di sana. Mobil mereka sendiri.

Elang mencoba turun dan mengetuk kaca mobil ‘kembar’ itu.

Kosong. Tapi di jok belakang ada sesuatu. Foto.

Foto mereka berlima… berdarah, terlipat, sobek di bagian wajah Galang.

Tiba-tiba Kimo muntah.

Dira pingsan.

Setelah percobaan ke-5 untuk keluar dari kawasan itu, mereka sadar setiap tindakan salah mempercepat "respon" tempat itu: kabut yang muncul dari bawah tanah, suara langkah di pepohonan, dan yang paling mengerikan… rekaman suara mereka sendiri dari dalam mobil, padahal mereka tak pernah bicara.

Pada percobaan ke-8, Tari tak tahan. Ia keluar dari mobil dan berlari masuk ke hutan.

Ia tak pernah kembali.

Setelah percobaan ke-12, Elang menemukan buku catatan di laci mobil yang tak ia kenal.

Isinya: catatan dari seseorang bernama Elang. Bertanggal dua minggu lalu. Tulisan itu terdengar seperti seseorang yang sudah menyerah.

"Loop dimulai saat kita melewati SPBU pertama. Jalan Argasari tidak pernah ada. Tujuan kita tidak pernah ada. Tari hilang di loop ke-4. Kimo bunuh diri di loop ke-9. Dira gila di loop ke-10. Galang mencoba membakar mobil di loop ke-11. Aku masih bertahan. Tapi aku tahu sesuatu yang pasti: kita tidak pernah sampai."

Elang membaca tulisan terakhir:

“Kalau kamu membaca ini... berarti kita belum mati. Tapi juga tidak hidup.”

Loop ke-15.

Kimo mengikat lehernya dengan sabuk pengaman.

Loop ke-16.

Dira terus tertawa tanpa suara. Matanya kosong.

Loop ke-17.

Galang berkata, “Kita harus lakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan.”

Ia memutar radio yang selalu mereka abaikan.

Suara mendesing muncul. Lalu... suara anak kecil.

“Kalian lupa permainannya belum selesai...”

Semua menoleh ke belakang.

Bangku baris ketiga... kosong.

Tapi ada boneka kayu kecil di situ. Dengan darah mengering di pipinya.

Galang hancurkan boneka itu.

Loop ke-18… mereka bangun di dalam hutan, di luar mobil.

Langit cerah. Suara burung.

Ponsel kembali menyala. Jam menunjukkan 06:02 pagi. Lokasi GPS aktif.

Tari muncul dari semak-semak, wajahnya kebingungan. “Kalian juga mimpi aneh?”

Mereka saling berpelukan, menangis.

“Akhirnya selesai…” bisik Elang.

Mereka menyetop truk yang lewat dan menumpang turun ke kota.

Tiga hari kemudian, di rumah masing-masing, hidup berjalan normal. Elang kembali sekolah. Dira mulai ngevlog. Galang menghilang dari media sosial. Kimo mulai terapi.

Tapi saat Elang bangun suatu pagi dan membuka kulkas...

...ia melihat sesuatu.

Sebuah foto.

Foto yang sama: mereka berlima. Tapi wajahnya sendiri yang dicoret dengan darah.

Ia panik. Lari ke kamarnya. Membuka laci meja.

Ada buku catatan—yang sama persis.

Halaman terakhir tertulis dengan tulisan tangan dirinya sendiri:

“Loop tidak pernah berhenti. Kita hanya dipindahkan ke versi dunia berikutnya. Di tiap dunia, satu dari kita akan menghilang. Aku pikir kita selamat. Tapi ternyata... kita hanya naik level.”

Elang berteriak. Tapi tak ada suara.

Ia menoleh ke jendela.

Langit... diam.

Burung tidak bergerak.

Jam berdetak mundur.

14:07.

Loop baru… telah dimulai. Tapi kali ini, ia satu-satunya yang tahu.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)