Masukan nama pengguna
Media sosial ramai akan sebuah toko yang konon katanya, bisa mengabulkan segala keinginanmu. Jadi cantik, mulus, terkenal bak artis Korea Selatan atau pun jadi kaya-raya seperti para jutawan. Karier mulus, melanggengkan pernikahan, melanggengkan jabatan, semua itu bisa dikabulkan. Semacam kepercayaan klenik atau mungkin dukun santet level tinggi. Tidak hanya segala macam bencana dan asmara yang bisa kamu lakukan. Salah satu yang bisa dikabulkan katanya, pergi mengarungi waktu.
Nyatanya, semuanya bisa dikabulkan kalau kau bersedia membayarnya setimpal dengan keinginanmu. Satu per satu pertanyaan menghujani kolom komentar soal isu toko tersebut di media sosial. Ada juga semacam testimonial seseorang yang pernah mendatangi toko misterius tersebut. Mereka bilang untuk mengabulkan permohonanmu, seseorang harus bisa membayarnya dengan harga yang setimpal. Bukan dengan uang, tapi sesuatu dalam dirimu yang harganya senilai dengan keinginanmu. Seseorang di kolom komentar itu blak-blakan bercerita kalau dia mengorbankan satu buah matanya untuk mengabulkan keinginan itu.
“Konyol banget, mana ada yang bisa gitu?” Mata Vindra menyeringai ke arah ponsel, wajahnya jelas terganggu setelah membaca informasi di sosial media tersebut. Tapi jarinya tak pernah berhenti tetap menggerakan layar dan tetap lanjut membacanya. Dia mengamati segala komentar, beberapa ada yang percaya atau tidak tentang hal tersebut. Tapi Vindra tidak percaya. Terlepas dari keyakinan agamanya, baginya, yang percaya itu hanya orang-orang depresi yang sudah tidak menemukan kenikmatan di dunia.
Novara hanya tertawa kecil saat mendengar komentar temannya Vindra, dia masih tidak percaya temannya itu belum mengalihkan perhatiannya pada cerita tersebut. “Ya, ampun, lo masih baca cerita itu?” Dia bertanya sambil terkekeh melihat perilaku temannya lalu pandangannya beralih lagi ke layar ponsel miliknya.
“Ya, gue penasaran aja. Tapi lucunya, banyak juga yang percaya sama cerita ini,” Vindra menyeringai lalu dia meletakkan ponselnya di atas meja dan menyandarkan punggungnya kembali ke kursi sambil menghela nafas. “Kayaknya, orang-orang lagi pada stres makanya jadi percaya hal yang nggak masuk akal kayak gini,” katanya sambil tertawa kecil.
Novara terdiam sejenak, ia melihat temannya dengan tatapan serius sambil menyeruput minumannya dengan sedotan lalu meletakkannya di atas meja. Entah mengapa dia cukup terganggu dengan apa yang dikatakan Vindra. Lalu dia tersenyum kecil ke arah Vindra sambil bicara dengan nada sedikit bergurau.
“Eh, tapi kalau ternyata toko itu emang ada, gimana? Kira-kira lo ingin apa?” Dia tertawa kecil, jelas dia hanya ingin mengajak Vindra bercanda kali ini.
Ekspresi Vindra seketika terganggu dengan pertanyaan Novara. Masa iya, ternyata Novara masuk dalam salah satu temannya yang stres? Tapi akhirnya, Vindra mengarahkan matanya ke atas mencoba berpikir. Dia serius membayangkannya sekarang, sejenak hanyut dalam pikirannya.
**
Vindra membayangkan sedang berada di antrean panjang toko di pinggir jalan pinggir Kota. Antreannya sama panjangnya seperti orang-orang kaya yang sudah tidak sabar untuk membeli ponsel keluaran terbaru di sebuah pusat perbelanjaan. Orang banyak yang berdesak-desakan dan bertengkar karena antreannya diserobot. Dia hanya bisa menghela napas saat melihat kejadian tersebut. Menurutnya itu hal bodoh yang tak perlu dipertengkarkan karena semua orang sudah mempunyai nomor antrean.
Hingga hitungan hampir 24 jam lebih mengantre dan kelelahan, tiba saatnya Vindra masuk dalam toko tersebut. Dia melangkah perlahan masuk, ruangannya remang-remang tak terlihat ada objek apa pun di sana. Di dalam toko tersebut ada seorang perempuan paruh baya, rambutnya panjang seperti kuntilanak yang sudah menunggunya sambil duduk sendirian di tengah ruangan. Ia menyapa Vindra dengan senyuman lebar dan mata menyeringai.
“Selamat siang, aku lah yang akan mengabulkan permohonanmu hari ini. Aku akan mengabulkan keinginan tulus siapa pun yang bersedia melakukan pengorbanan yang pantas sebagai balasannya.”
Mata Vindra menyipit, dia mengernyitkan dahi, pikirannya skeptis mendengar hal tersebut. Dia mengatakan sesuatu yang paling cepat muncul di kepalanya:
“Aku ingin bahagia.”
Perempuan itu hanya menaikkan alisnya dan mengatakan, “Bahagia? Itu tak jelas, Sayang. Kebahagiaan itu tak jatuh dari langit. Tak ada yang seperti itu. Setiap orang punya arti kebahagiaan yang berbeda. Kalau kau ingin bahagia, hal pertama yang perlu kau pikirkan sebelum ke sini adalah cari tahu dulu apa yang membuatmu bahagia.”
Vindra ikut menaikkan alisnya, terkejut dengan kata-kata perempuan tersebut. Matanya berkedip pelan, wajahnya seketika berubah jadi terlihat meremehkan dia berkata dengan nada sombong, “Hm, kau terlalu bijak untuk seorang dukun. Tapi… Benar juga. Oke, lah. Kalau gitu, bisa nggak aku pergi ke dunia lain? Aku mau bertemu seseorang yang tidak ada di dunia ini”
“Maaf, bukannya tidak sopan. Aku hanya berusaha jujur. Tapi, bukannya menurutmu agak ironis menemukan kebahagiaan dalam ketiadaan?”
“Bukan gitu maksudnya, aku mau ketemu Bapak ku. Beliau sudah meninggal. Pokoknya, gimana caranya aku mau ketemu Bapak sekarang.”
“Kamu mau ketemu Bapakmu yang sudah meninggal? Hmm… Baiklah, aku mengerti. Tapi, apakah kau mengetahui harga yang kau butuhkan untuk membayar ini? Ini bukan sesuatu yang ringan. Selalu ada pengorbanan, ada harga yang harus dibayar. Apakah kau yakin ini yang benar-benar kau inginkan? Berpikirlah panjang dan keras terlebih dulu.”
“Iya ngerti, terus? Berapa harga yang harus dibayar?”
“Harga yang harus kau bayar sebanding dengan keinginanmu. Semakin banyak yang kau inginkan, semakin tinggi harganya. Dan percayalah, pergi ke dunia lain bukanlah hal yang kecil.”
“Iya ngerti, jadi apa yang harus aku korbankan untuk membayarnya?”
“Aku tau kamu nggak ragu-ragu jadi... Satu-satunya hal yang harus kau korbankan adalah ingatanmu. Kau siap harus melupakan segala hal yang membuatmu menjadi dirimu yang sekarang?”
“Ingatanku…? Tapi kalau aku kehilangan ingatanku… Bagaimana aku bisa tau dan sadar kalau itu Bapak ku?”
“Itu pertanyaan yang sulit aku jawab. Kau tau, saat kamu melepaskan ingatanmu... Yah, kau mungkin tidak akan lagi dapat memahami bahwa hal-hal seperti masa lalu dan ingatan tentang Bapakmu itu ada. Jadi, kau mau mengorbankan segalanya untuk melihat Bapakmu... atau kau mempertahankan hidupmu yang sekarang? Keputusan ada di tanganmu.”
Vindra jadi berpikir keras. Dia mengernyitkan dahi, tangannya mengusap-usap dagunya, matanya melihat ke bawah lalu perlahan menutup sejenak. Sebetulnya, dia tidak terlalu bisa berpikir jernih akan hal ini, karena sebagian besar hidupnya diputuskan dengan perasaan. Dia hanya bisa coba mengingat-ingat kenangan hidupnya selama ini.
“Sampah!” Dia mengumpat dalam hati. Sejak Bapak meninggal, hidup Vindra terasa hampa. Baginya, kehidupan ketika Bapak masih ada adalah kenangan yang terbaik. Hanya Bapak yang baik pada Vindra. Walau Bapak bukan orang yang sanggup membelikan Vindra handphone keluaran terbaru seperti orangtua teman-temannya. Di saat teman sekolahnya pergi jalan-jalan ke luar negeri, Vindra hanya bisa pergi ke Puncak dengan Bapak. Tapi bukan soal itu menurutnya, Bapak selalu bisa buat Vindra tertawa dengan sesuatu yang dinilai orang lain itu sesuatu yang biasa. Bapak suka membuat petuah dan membuat kata-kata konyol yang bisa buat Vindra tertawa terbahak-bahak. Bapak selalu memanggil Vindra dengan banyak nama sebagai bentuk umpatan. Yang terpenting, Bapak mengajarinya cara memaafkan Ibu. Bagi Vindra, Bapak lebih dari sekadar orangtua yang sangat berperan dalam pengasuhan tapi juga sahabat dalam suka dan duka. Tapi Vindra baru sadar hal itu saat Bapak sudah tak ada di dunia.
Perlahan Vindra membuka matanya lagi dan bertanya pada si dukun, “Jadi, misal aku menyetujui ini, aku bisa bertemu dengan Bapak ku? Tapi aku kehilangan ingatanku, dan aku belum tentu tau kalau dia itu Bapak ku? Terus? Kalau aku ketemu Bapak di sana, belum tentu aku bahagia lagi seperti dulu, gitu?”
Perempuan itu mengangguk tegas, dia lalu menatap Vindra. “Betul. Seperti yang sudah ku bilang sebelumnya, kebahagiaan itu bukan tujuan. Kebahagiaan bahkan bukan sesuatu pencapaian. Kebahagiaan itu terbentuk dari rangkaian pengalaman yang kau alami. Kau bisa bilang, kau mengalami pengalaman yang buruk kemarin sore, namun setelah kau berhasil melewati itu kau justru puas lalu merasa bahagia.”
Vindra mengernyitkan dahi, mulutnya seketika manyun, kepalanya dimiringkan sedikit nada bicaranya jadi meninggi seperti kesal perempuan itu bicara dengan hal yang bikin membingungkan. “Hah? Tu-tunggu, tunggu. Pelan-pelan, dong. Gimana maksudnya?”
Perempuan itu hanya menghela napas, sepertinya karena dia dukun dan bukan motivator, jadi dia malas dan tak mau mengulang ucapannya tersebut. “Intinya, aku juga tidak tau apa yang akan kau temukan di dunia itu. Yang bisa kulakukan, ya hanya mengabulkan keinginanmu.”
“Tapi kan, Bapak ku sumber kebahagiaanku.” Vindra manyun.
“Begini, kalau kamu ragu akan hal itu. Aku bantu saja buatmu berpikir. Kira-kira, apa yang membuatmu puas belakangan ini? Mungkin itu bisa membantumu menemukan kebahagiaan. Selain Bapak mu itu, ya…”
“Makan, main, tidur, dengerin lagu, jalan-jalan… tapi ya… Masa cuma gitu, terus aku datang ke sini dan ngantre sampai seharian?!”
**
“Woi, Vin, Vin!”
“Hah? Apa?”
“Jawab dong, jangan bengong.”
“Oh iya, apa tadi pertanyaannya?”
“Duh, itu… Kalau toko Jin dan Jun ada, kira-kira lo mau minta apa?”
“Hmm, mungkin bakal minta biar nggak pikun selamanya. Kalau lo apa?”
“Dih, aneh banget. Gue sih, bakal minta tukeran pekerjaan sama dia.”
***