Masukan nama pengguna
Arga, 28 tahun, lebih nyaman menulis di kamarnya yang pengap, ketimbang berbincang dengan siapa pun di luar sana. Sejak kecelakaan yang menimpa hampir seluruh keluarganya beberapa bulan lalu, ia jarang keluar rumah, bahkan untuk hanya sekadar membeli kopi di warung depan gang.
Arga menatap layar laptopnya yang kosong. Kursor berkedip di layar laptopnya, seakan menantangnya untuk menulis sesuatu. Tapi malam ini pikirannya buntu. Tidak ada kata-kata. Hanya keheningan yang menekan.
Writers block ini tak wajar. Sejak kecelakaan tiga bulan lalu, pikirannya terasa kabur. Bukan sekadar kehabisan ide, ada sesuatu yang mendesak di pikirannya, tapi tak bisa ia jangkau. Seperti mencoba mengingat mimpi yang menguap begitu saja saat bangun tidur.
Malam semakin larut. Ia menghela napas, meraih secarik kertas, dan mulai menulis secara manual, kebiasaan lama yang selalu membantunya menemukan ritme. Namun, baru beberapa kalimat, kantuk menyerangnya dengan brutal. Kepalanya mulai tertunduk, kelopak matanya bergetar. Ada bisikan di sudut pikirannya, samar, mengundangnya tenggelam. Lalu, tanpa sadar, ia pun terlelap.
Ketika terbangun, sesuatu terasa berbeda. Pukul tiga pagi. Lampu masih menyala. Kertas-kertas di depannya berserakan. Tetapi yang paling mengganggunya, salah satu halaman telah terisi penuh dengan tulisan yang tak ia ingat pernah buat.
Tangannya gemetar saat mengambil kertas itu. Tulisan itu rapi, nyaris identik dengan gaya menulisnya, tetapi terasa asing.
"Korban ditemukan di lorong sempit dekat apartemen kosong. Luka di lehernya menunjukkan tanda-tanda pencekikan dengan pola yang tidak biasa, seolah pelaku menikmati setiap detiknya."
Arga menelan ludah. Ia membaca lebih lanjut. Deskripsinya terlalu detail. Ini bukan sekadar narasi biasa. Ada sesuatu yang menggelitik pikirannya, seolah ia bukan hanya menulis cerita, tapi mengingat sesuatu yang pernah dialaminya, dan seolah ia tahu tempat yang dimaksud dalam cerita itu.
Dugaan itu terbukti ketika berita pagi menampilkan kasus pembunuhan yang terjadi persis seperti yang tertulis di kertas itu.
Tubuh Arga membeku.
Bukan hanya lokasi yang sama. Bahkan pola pencekikan yang disebutkan dalam artikel itu identik dengan yang tertulis di kertasnya.
Ia melihat kembali tulisan itu, mencari-cari penjelasan yang masuk akal. Apakah ini kebetulan? Atau... apakah ia telah menulis suatu kejadian bahkan saat kejadian itu seharusnya belum terjadi? Atau... apakah ia sedang membaca pikirannya sendiri dari sudut yang berbeda?
Lampu di kamarnya berkelip sesaat. Dari sudut ruangan, ia menangkap bayangan samar yang berdiri diam, mengawasinya.
Jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh cepat, tetapi bayangan itu telah menghilang.
Di atas meja, satu lembar kertas kosong tersisa.
Tangannya bergetar saat meraih pena.
Dan tanpa sadar, ia mulai menulis lagi.
Huruf-huruf terbentuk di atas kertas, seperti mengikuti ritme degup jantungnya yang gelisah. Kata-kata itu mengalir tanpa kendali, seakan berasal dari sesuatu yang lebih besar daripada pikirannya sendiri. Ia menulis, menulis, hingga akhirnya berhenti.
Tinta masih basah ketika ia mengangkat pandangannya. Cahaya layar ponsel menyala di meja. Jemarinya, yang masih terasa gemetar, menggulir berita yang baru saja muncul.
Korban ditemukan di lorong sempit dekat apartemen kosong...
Sama. Persis seperti yang tertulis di kertasnya. Lokasi, metode, bahkan detail luka.
Dadanya sesak. Bagaimana mungkin ia menulis sesuatu yang baru terjadi?
Ia mencoba mengingat kembali malam tadi. Ia tertidur di meja, lalu... hitam. Tidak ada apa-apa. Seakan waktu melompat dari satu titik ke titik lain tanpa perantara.
Arga bangkit, berjalan menuju cermin di sudut kamar. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat. Ia memeriksa wajahnya, lalu memperhatikan tangannya, ada noda tinta samar di jari-jarinya.
Tapi aku tidak menulis ini... bukan aku... kan?
Sebuah pikiran mengusiknya.
Ia meraih ponsel dan mencari alamat apartemen dalam berita itu. Tidak terlalu jauh. Hanya butuh 15 menit dengan motor.
Keputusan gila. Tapi otaknya menolak diam. Ia harus melihat sendiri.
-
Lorong apartemen kosong itu terasa lebih sempit daripada yang ia bayangkan. Bau anyir darah masih menggantung tipis di udara, bercampur aroma cat dinding yang mengelupas.
Arga berdiri di tempat kejadian, tepat di mana korban ditemukan. Jantungnya berdegup kencang. Entah karena udara dingin atau sesuatu yang lain, bulu kuduknya meremang.
Ia melihat ke lantai. Ada bercak darah yang mulai mengering.
Dan sesuatu yang membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan.
Di sana, di antara bercak darah itu, ada jejak sepatu yang ukurannya sama persis dengan miliknya.
Ia melangkah mundur, tapi perasaan lengket di sol sepatunya membuatnya berhenti. Ia mengangkat kakinya sedikit, darah kering itu masih basah di beberapa bagian.
Ia mundur selangkah lagi, merasakan ketakutan yang aneh menjalari tubuhnya. Tidak. Tidak mungkin. Ini hanya kebetulan.
Tenggorokannya terasa kering. Ia menelan ludah, tapi ada sensasi aneh, seperti ada tekanan samar di kulitnya, seolah jemari tak kasat mata pernah mencengkeramnya erat.
Ia mengangkat perlahan kedua tangannya yang gemetar, ia raih segenggam rambut si kedua sisi pelipisnya, lalu ia cengkram kuat.
"A-Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?!"Teriaknya dalam hati.
Lalu, sebuah suara membisik di kepalanya.
"Kau hanya lupa... Tapi aku tidak."
Arga tersentak, menoleh ke belakang. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Napasnya memburu. Kepalanya berdenyut. Dunia terasa berputar.
Ia harus pergi dari tempat ini. Sekarang juga.
-
Malam itu, Arga mengunci dirinya di kamar. Ia menatap kertas kosong di atas meja dengan ketakutan. Ia tidak ingin tertidur. Tidak ingin kehilangan kendali lagi.
Hembusan angin dari jendela yang sedikit terbuka terasa seperti bisikan. Lampu kamar meredup perlahan, seolah ruangan itu sendiri sedang mengantuk. Bayangan di sudut ruangan tampak bergerak... atau itu hanya ilusi?
Dan...
Kelopak matanya bergetar. Berat. Lelah. Kemudian, rasa kantuk yang luar biasapun Arga rasakan.
Dan sebelum ia benar-benar jatuh dalam gelap, ia melihat sesuatu di sudut ruangan.
Seseorang sedang duduk di mejanya...
Menulis...
Bayangan itu menoleh.
Dan Arga melihat... wajahnya sendiri.
-
Pagi menyelinap masuk melalui celah gorden. Arga terbangun dengan kepala berat, seolah semalaman pikirannya diperas habis.
Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tertidur.
Bayangan itu...
Ia melihat dirinya sendiri... menulis di sudut ruangan.
Namun, saat ia menoleh ke meja, kertas-kertas masih berserakan seperti sebelumnya. Tidak ada tambahan tulisan baru. Tidak ada jejak tinta yang mengkhianati malamnya.
Apakah itu mimpi? Atau...?
Entahlah...
Ia bangkit dengan tubuh lemas, lalu berjalan menuju kamar mandi. Saat membuka pintu, ia terhenti.
Di balik cermin, ada sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Bayangan dirinya... tersenyum.
Senyum yang tidak ia buat.
Arga mundur selangkah. Dadanya bergemuruh. Ia mengangkat tangan kanan, bayangan di cermin ikut mengangkat tangan kanan. Tapi ada yang salah, refleksinya sedikit lebih lambat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mengulurkan tangan ke cermin, jarinya hampir menyentuh permukaan dingin kaca.
Lalu...
Bayangannya mengulurkan tangan lebih dulu.
Arga tersentak dan jatuh terduduk. Lututnya melemah, napasnya terengah-engah. Ia ingin lari, tapi tubuhnya terasa terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata.
"Halo, Arga Juliandra Rafael... Diriku dalam versi lemah..."
Suara itu datang dari dalam kepalanya... tidak, dari dalam cermin.
Bayangan dirinya menatapnya dari dalam kaca dengan ekspresi yang tidak bisa ia pahami. Campuran simpati, kebencian, dan kepuasan.
Arga ingin berteriak, tapi suaranya menghilang.
"Aku sudah lama menunggu saat ini," lanjut bayangan itu.
"Kini... apa kau sudah siap menerima kenyataan?"
"Apa kau masih belum sadar, Arga?" bayang itu dengan suara yang tiba-tiba melembut,
"Aku yakin, kau pun sekarang sudah mulai mengerti..."
Arga mengguncang kepalanya. "Tidak... Tidak... Tidak mungkin!"
"Akui saja, Arga...!"
"Kau yang menulis semua itu."
"Kau yang menciptakan cerita ini."
"Kau yang menghabisi mereka."
Bayangan itu tersenyum lebih lebar.
Arga merasakan sesuatu di tangannya, sebuah pulpen. Ia tidak ingat kapan mengambilnya. Namun, saat ia melihat ke bawah, di lantai... ada tumpukan kertas yang kini terisi penuh.
Tangannya bergetar saat mengambil satu halaman.
Korban ditemukan di depan cermin kamar mandi di apartemennya sendiri...
Itu tulisan tangannya.
Semua yang terjadi... tertulis di sini.
Arga menatap cermin dengan napas tersengal. Bayangannya menatap balik, lalu berbisik:
"Selamat datang di cerita yang kau tulis sendiri."
Cermin itu retak perlahan, seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalamnya.
Lalu... Sebelum ia sempat bergerak... Tiba-tiba...
gelap.
---