Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,035
Setengah Jam Sebelum Fajar
Thriller

Sepatan, sebuah kecamatan di Kabupaten Tangerang, Banten, terlelap dalam sunyi dini hari. Desir angin menyusuri jalan-jalan kompleks perumahan yang sebagian besar penghuninya tengah mudik. Lampu jalan yang redup menjadi satu-satunya saksi bisu malam itu.

Di pos jaga, Irfan sendirian berjaga, menahan kantuk dan rasa bosan yang mengendap di antara dinginnya angin malam. Secangkir kopi hangat dan sebungkus rokok yang isinya tinggal tujuh batang menjadi teman setianya. Pandangannya sesekali menyapu sekeliling, memperhatikan nyala lampu jalan yang pendar cahayanya menciptakan bayang-bayang samar di trotoar kosong.

Irfan menarik napas panjang. Dini hari selalu menjadi bagian tersulit dalam tugas jaga malamnya. Bukan karena takut, tapi karena kebosanan yang perlahan menggerogoti kewaspadaannya. Ia sudah terbiasa dengan rutinitas ini... berjalan keliling perumahan, memastikan gerbang utama terkunci, dan sesekali mencatat laporan di pos jaga kecil yang berada di dekat taman.

Namun, malam ini berbeda.

Dari sudut matanya, ia melihat cahaya samar menyala di rumah nomor 12, rumah kosong yang sudah bertahun-tahun tak berpenghuni. Keningnya berkerut. Irfan menghentikan langkahnya, mengamati rumah itu lebih lama. Lampu lantai dua yang tadinya gelap kini menyala, meski redup seperti lampu tua yang hampir mati.

"Siapa yang menyalakan lampu di sana?" gumamnya.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang lain yang bisa melihat hal yang sama. Perumahan ini sepi, hanya suara angin yang berbisik di antara dahan pohon yang meranggas.

Merasa ada yang janggal, Irfan melangkah mendekat. Semakin dekat ke rumah itu, semakin terasa hawa aneh yang merayapi kulitnya. Udara di sekitar rumah ini lebih dingin dibanding area lain. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya, namun ia mencoba mengabaikannya.

Ketika ia berdiri tepat di depan pagar rumah, lampu yang tadi menyala mendadak padam.

Irfan meraih senter dari sakunya, menyorotkan cahaya ke jendela lantai dua. Di balik kaca yang buram oleh debu dan waktu, terlihat bayangan seseorang. Sosok tinggi berdiri diam di sana, seolah sedang memperhatikannya dari dalam rumah.

"Siapa di sana?!" serunya, suara parau bercampur ketakutan menggema di kesunyian.

Tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang semakin mencekam.

Irfan mencoba membuka pagar, tetapi terkunci rapat. Ia melangkah mundur, berusaha melihat lebih jelas. Namun, ketika senter kembali diarahkan ke jendela, bayangan itu sudah menghilang.

Bulu kuduknya meremang.

Matanya menyapu sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Tak ada suara. Tak ada pergerakan. Hanya rumah tua yang diam dalam gelap, seolah menelan bayangan yang tadi berdiri di jendela.

Irfan merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci cadangan yang diberikan oleh pemilik kompleks perumahan untuk keadaan darurat. Dengan sedikit ragu, ia memasukkan kunci ke lubang pintu utama. Pintu itu terbuka dengan mudah, seakan sudah menunggu seseorang untuk masuk.

Ia menyalakan senter, melangkah masuk. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin dan lembap. Aroma debu dan kayu tua memenuhi hidungnya. Lantai kayu berderit pelan setiap kali ia melangkah.

Langkahnya membawanya ke ruang tamu yang dipenuhi perabotan tua yang ditinggalkan. Sofa berdebu, meja yang penuh dengan bercak hitam, dan cermin besar di dinding yang pantulannya terasa buram, seperti menahan sesuatu di baliknya.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas.

Irfan menahan napas. Lampu senternya bergetar sedikit saat ia mengangkatnya, menyusuri tangga yang berderit setiap kali ia melangkah. Suara itu semakin jelas. Seperti seseorang yang berjalan pelan, tapi cukup nyata untuk membuatnya merinding.

Setibanya di lantai dua, ia melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Dari dalam, samar-samar terdengar suara berbisik. Irfan mendekat dengan hati-hati, menempelkan telinganya ke pintu.

Suara itu semakin jelas.

"...sudah waktunya..."

Irfan mundur selangkah, mencoba memahami apa yang ia dengar. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, pintu itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, mengungkapkan ruangan gelap di dalamnya.

Di tengah ruangan, ada kursi kayu tua yang menghadap ke jendela. Dan di kursi itu, duduk seorang pria dengan kepala tertunduk. Tubuhnya tak bergerak, hanya bayangannya yang bergoyang lemah karena angin yang masuk dari jendela yang terbuka.

Irfan menelan ludah. Cahaya senter bergetar di tangannya saat ia mencoba mengamati lebih jelas. Namun, saat ia melangkah lebih dekat, sosok itu mendadak mengangkat kepalanya.

Mata mereka bertemu.

Mata pria itu kosong. Kulit wajahnya pucat, hampir tak bernyawa. Mulutnya bergerak perlahan, mengucapkan sesuatu yang nyaris tak terdengar.

"...setengah jam sebelum fajar..."

Dan kemudian, ia menghilang.

Udara di ruangan itu seketika menjadi lebih dingin.

Irfan merasakan tekanan berat di dadanya, seolah-olah sesuatu tak terlihat sedang mengawasinya. Ia mundur beberapa langkah, lalu berlari menuruni tangga tanpa berpikir dua kali.

Ketika ia mencapai pintu utama, ia membantingnya dengan keras, keluar dari rumah itu dengan napas tersengal.

Namun, ketika ia berbalik untuk melihat rumah itu sekali lagi, lampu lantai dua menyala kembali.

Dan di jendela, sosok pria tadi masih berdiri, menatapnya dari balik kaca.

---

Irfan berjalan tergesa menuju pos jaga, mencoba mengatur napasnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya meskipun udara malam tetap menusuk. Tangannya bergetar saat ia meraih ponsel, ingin menelepon rekannya, tapi sinyal mendadak hilang. Layar ponsel hanya menunjukkan tulisan 'No Signal', seakan mengunci dirinya dalam kegelapan malam ini.

Matanya kembali mengarah ke rumah nomor 12. Lampu di lantai dua masih menyala. Namun, ada yang berubah. Tirai yang tadinya tertutup kini terbuka lebar, seolah memperlihatkan isi ruangan kepada siapa saja yang berani melihat. Tapi yang lebih membuat jantungnya berdegup kencang adalah sebuah benda yang kini tergantung di depan jendela.

Sebuah tubuh.

Irfan memejamkan mata, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya ilusi. Namun, ketika ia membukanya kembali, tubuh itu tetap ada, bergoyang perlahan seperti boneka yang digantung angin malam. Namun, yang membuatnya semakin menggigil adalah wajah tubuh itu.

Wajahnya sendiri.

---

Irfan tersentak mundur, hampir jatuh tersungkur. Dengan napas tersengal, ia mengumpulkan keberaniannya untuk sekali lagi menatap rumah itu. Tapi tubuh yang tergantung tadi telah menghilang. Tirai jendela kembali tertutup, seolah tak pernah terbuka.

Ia meremas senter di tangannya. Opsi terbaiknya adalah pergi dari tempat ini dan melaporkannya ke pihak keamanan perumahan. Namun, naluri yang selama ini menuntunnya sebagai penjaga malam berkata lain. Ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang ingin ia ketahui, atau mungkin, sesuatu yang ingin ditemukan olehnya.

Perlahan, ia mendekati rumah nomor 12 lagi, mencoba mengabaikan firasat buruk yang semakin kuat.

Saat tangannya menyentuh gagang pintu, sesuatu yang dingin merayap di tengkuknya. Seperti napas seseorang.

Refleks, Irfan berbalik, namun yang ia lihat hanya hamparan perumahan yang sunyi. Tidak ada siapa pun di sana.

Ia kembali menghadap ke depan. Tapi pintu yang tadi tertutup kini sedikit terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalam rumah. Irfan menelan ludah. Seolah ada yang mengundangnya masuk.

---

Begitu memasuki rumah, hawa dingin segera menyergapnya. Aroma kayu lapuk bercampur tanah lembap memenuhi udara. Senter di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya, menyorot ruang tamu yang masih sama seperti sebelumnya, perabot tua, cermin besar yang buram, dan suasana yang membuat bulu kuduknya meremang.

Lalu, ia mendengar suara itu.

Lirihan pelan. Seperti suara seseorang yang menangis.

Irfan menajamkan telinga. Suara itu berasal dari lantai atas.

Pelan, ia menaiki tangga, berusaha tak membuat suara. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban yang menekannya. Saat mencapai lantai dua, ia melihat pintu yang tadi terbuka kini bergerak perlahan, berderit seperti digerakkan oleh tangan tak kasat mata.

Irfan mengangkat senter, menyorot ke dalam ruangan.

Di sana, di tengah ruangan gelap, seorang gadis kecil duduk membelakanginya, bahunya terguncang akibat isakan pelan. Rambut panjangnya menjuntai, menutupi wajahnya.

"Kamu siapa?" tanya Irfan, suaranya serak.

Gadis itu tak menjawab. Isakannya justru semakin keras.

Irfan menelan ludah, melangkah mendekat. Namun, sebelum ia bisa menyentuhnya, gadis itu tiba-tiba berhenti menangis.

Hening.

Lalu, perlahan, gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang.

Bukan, bukan memutar tubuhnya. Melainkan kepalanya benar-benar berputar, 180 derajat, menatap Irfan dengan mata kosong yang gelap tak berujung.

"Setengah jam sebelum fajar," bisiknya, suaranya bergaung aneh di ruangan.

Tiba-tiba, lampu senter Irfan padam. Dan semuanya menjadi gelap.

---

Irfan terbangun dengan napas memburu.

Ia mendapati dirinya terbaring di lantai rumah kosong itu, senter tergeletak di sampingnya. Ia buru-buru bangkit, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya.

Dinding ruangan ini.

Di sana, ada banyak coretan tangan. Kata-kata yang tertulis dengan warna merah gelap, seperti darah yang telah mengering.

"Aku tidak bisa pergi."

"Dia akan datang."

"Setengah jam sebelum fajar."

Dan di tengah semua coretan itu, ada sebuah foto yang menempel di dinding. Irfan mendekat, jantungnya berdetak lebih kencang saat melihat wajah yang ada dalam foto itu.

Itu dirinya. Foto dirinya yang sedang berjaga malam.

Dari belakang, terdengar suara langkah kaki. Irfan membeku. Sesuatu sedang mendekat.

---

Langkah kaki di belakangnya semakin jelas. Irfan tak bisa bergerak. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat suara napas berat menyusul dari belakang. Sesuatu ada di sana, semakin dekat. Namun, keberanian atau mungkin insting bertahan hidupnya membuatnya berbalik cepat.

Kosong.

Tidak ada siapa pun di belakangnya. Tapi dinding yang tadi penuh coretan kini berbeda. Sebuah kata muncul lebih besar dari yang lain, ditulis dengan goresan kasar:

"LARI!"

Tanpa pikir panjang, Irfan meraih senter dan berlari menuruni tangga. Nafasnya memburu. Saat mencapai pintu depan, ia mencoba membukanya dan... terkunci! Seperti ada kekuatan yang menahannya di dalam rumah ini.

Di belakangnya, terdengar suara langkah lain. Kali ini lebih berat. Lebih mendekat.

Irfan menoleh. Sosok itu ada di sana.

Seorang pria tinggi dengan tubuh kurus kering, mengenakan pakaian yang seperti sudah lama membusuk. Matanya kosong, hitam pekat, dan mulutnya menyeringai dengan gigi berwarna hitam kecoklatan. Tangannya yang panjang merayap di dinding, meninggalkan jejak hitam mengerikan.

"Setengah jam sebelum fajar..." gumamnya dengan suara serak.

Irfan mundur, mencoba berpikir cepat. Apa maksud dari semua ini? Apa hubungannya dengan dirinya?

Lalu, ia ingat sesuatu. Foto di dinding. Coretan-coretan itu. Semua mengarah pada satu hal, rumah ini menyimpan sesuatu yang belum selesai.

Ia melihat sekeliling, mencoba menemukan cara keluar. Di ujung ruangan, ada sebuah pintu kecil, setengah tertutup. Mungkin itu jalan keluar lain.

Dengan langkah cepat, ia menuju pintu tersebut dan mendorongnya. Ruangan gelap di baliknya tampak seperti gudang. Di dalam, ada sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak.

Kerangka manusia.

Terbungkus kain lusuh, kerangka itu bersandar di sudut ruangan. Di sampingnya, ada sesuatu yang membuat Irfan semakin menggigil.

Sebuah kartu identitas.

Namanya: Irfan Setiawan.

Tangannya gemetar. Ini tidak mungkin. Ia masih hidup! Tapi bagaimana mungkin kartu ini ada di sini? Apakah ini lelucon kejam, atau sesuatu yang lebih mengerikan?

Langkah berat kembali terdengar dari luar ruangan. Sosok itu semakin mendekat. Irfan tak punya waktu. Ia melihat sekeliling ruangan, mencari sesuatu yang bisa membantunya.

Lalu, ia melihatnya, sebuah pintu kecil lain di lantai, menuju ke bawah tanah.

Tanpa pikir panjang, Irfan membuka pintu itu dan menuruni tangga kayu yang berderit. Ruangan bawah tanah itu dingin dan penuh debu. Namun, yang mengejutkannya adalah dindingnya.

Di sana, ada banyak foto.

Foto dirinya. Foto para penjaga malam sebelumnya. Foto orang-orang yang pernah tinggal di rumah ini. Dan semuanya memiliki tanggal kematian yang tertulis di bawahnya.

Tepat di tengah ruangan, ada sebuah jam tua. Jarumnya menunjuk ke 04:30.

Setengah jam sebelum fajar.

Seketika, suara jeritan memenuhi ruangan. Irfan berbalik dan melihat sosok pria itu berdiri di atas tangga, menatapnya dengan mata hitam yang kini mulai mengeluarkan cairan pekat.

"Kau yang berikutnya..." bisik sosok itu.

Jam mulai berdentang.

Seketika, semuanya menjadi hitam.

---

Irfan terbangun dengan napas memburu. Ia berada di pos jaga, tubuhnya dingin dan basah oleh keringat.

Di luar, fajar baru saja menyingsing. Ia melihat sekeliling, memastikan semuanya nyata. Namun, saat ia melihat ke kaca pos jaga, darahnya membeku.

Di cermin, ada tulisan dengan goresan merah:

"Setengah jam sebelum fajar."

Dan di luar, rumah nomor 12 masih berdiri sunyi. Seolah menunggu pengunjung berikutnya...

---

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)