Masukan nama pengguna
Namaku Andini. Dua tahun lalu, aku terjebak di tempat mengerikan ini, berkubang dengan kenikmatan penuh dosa. Aku ingin pergi, berlari, menjauh dari semua kenikmatan duniawi ini, tapi keadaan membuatku lumpuh.
Dua tahun lalu...
Aku duduk seorang diri, menatap kosong tanah lapang yang ditumbuhi gulma. Padang rumput liar dengan bunga-bunga kecil berwarna putih dan putik bunga berwarna kuning terang. Ibuku biasa menyebutnya rumput hareuga. Tapi beberapa orang di sini menyebutnya bunga ajeran.
Aku suka duduk di sini, menatap ladang gulma ajeran. Saat bunganya bermekaran, banyak kupu-kupu yang datang dan hinggap di atasnya, berwarna warni seperti pelangi. Cantik.
Seseorang menepuk pundakku. Aku mendongak.
“Kak Radit?”
Laki-laki itu tersenyum.
“Kenapa kau kemari?” tanyaku datar.
Dia duduk di sampingku, dua ibu jarinya mengusap sisa air mata yang hampir mengering di pipi ku.
“Jangan menangis,” ucapnya lirih.
Aku tersenyum hambar.
Radit. Cowok tampan putra tunggal juragan buah di kota kecil tempatku tinggal. Kebun jeruk dan duriannya berhektar-hektar.
“Kenapa tidak sekolah lagi?” tanya Kak Radit, menarik kembali tangannya.
Aku menggeleng lemah.
“Tidak ada yang salah dengan bekerja di bar, Din. Kau butuh uang untuk menyambung hidup. Apa kau tidak mendengarkan ucapan kepala sekolah. Mereka yang mencemooh mu, belum tentu pernah merasakan betapa kejamnya hidup bagi anak-anak sepertimu. Kembalilah ke sekolah. Masa depanmu masih sangat panjang.”
Air mataku kembali meleleh. Bukan aku tak ingin sekolah. Tapi aku tak mampu lagi menahan sesak akibat hujatan dan cemoohan Hanah dan beberapa teman sekolahku.
“Kau tahu, bagiku seorang yang bekerja sebagai pelayan bar jauh lebih terhormat daripada seseorang yang datang ke bar hanya untuk bersenang-senang.” Kak Radit berkata sinis. Ada nada kecewa yang tak sempat dia sembunyikan di dalam kalimatnya.
Aku diam, masih terisak dengan menyembunyikan wajah di antara lututku yang tertekuk.
“Din…” Kak Radit membelai kepalaku.
“Pergilah, Kak.” Aku menarik kepalaku dari tangannya.
“Kenapa. Aku tahu kau butuh teman untuk berbicara. Ceritakan. Aku akan ada di sini untuk mendengarkan.”
Aku menggeleng, membuang muka.
“Kau tidak harus melalui semua ini sendirian, Din. Terbukalah sedikit.”
“Pergilah, Kak Radit. Tolong. Aku butuh waktu untuk sendiri.” Aku memohon, menatap langsung ke dalam matanya, biar dia tahu aku bersungguh-sungguh.
Dalam lima hitungan mundur, Kak Radit berdiri. Matanya menatap kecewa.
“Aku tunggu kau besok di sekolah. Siapa pun yang berani menghujatmu, akan berhadapan langsung denganku dan kepala sekolah,” katanya dingin, kemudian berbalik dan pergi tanpa sekalipun menoleh padaku lagi.
***
Itulah pertama kalinya Raditia Ananta menemuiku, dua tahun lalu.
Sejak aku menatap matanya pada acara orientasi siswa baru, aku sudah jatuh cinta padanya. Laki-laki tampan, tinggi, tegap, tegas, cerdas, cakap, ketua OSIS pula. Dia benar-benar dambaan setiap siswi di sekolah.
Tapi aku, Andini Sasmita, selalu tahu diri. Siapa lah aku, mendambakan cowok sekeren dan sepopuler Kak Radit. Aku hanya cewek culun, pendiam, minder, yang sedang depresi karena baru kehilangan ibu, satu-satunya orang yang menjagaku dan menyayangiku sejak aku mengenal dunia hingga kakiku menapak di bangku SMA.
Sejak kepergian ibu di usiaku yang baru menginjak 17 tahun, aku hidup sendiri, berkubang dalam lara hati. Uang peninggalan ibu menipis degan cepat karena aku tak pernah sekalipun diajarkan untuk berhemat. Meski ibu single parents, dia selalu mencukupi segala kebutuhanku hingga aku tak tahu bagaimana caranya menahan diri. Walau aku tak pernah berfoya-foya seperti anak-anak orang kaya, tapi bagaimana pun, aku benar-benar tak tahu cara untuk berhemat tanpa ibu di sampingku.
Kehabisan uang membuatku kacau. Aku kebingungan setengah mati hingga pada bulan kedelapan setelah kepergian ibu, aku benar-benar tidak memegang uang sepeserpun dan terpaksa meminta bantuan ayah.
Tentu saja ayah bersedia membantuku, tetapi jelas tidak dengan cuma-cuma. Kala itu ayah bilang beliau punya teman yang bisa membantuku memberikan pekerjaan. Mengingat kebutuhan uang yang semakin mendesak, aku menerima tawaran ayah tanpa pikir panjang. Dan saat itulah aku terjatuh ke dalam kubangan yang lebih dalam, yang sudah di gali ayah untuk putrinya sendiri.
***
“Dini, ada tamu untukmu.”
Aku menoleh, menatap Laras yang berbicara pelan dari pintu.
“Astaga… kenapa kau ini. Kau kacau sekali. Tangkapanmu bisa kabur kalau kau seperti ini.” Laras buru-buru menghampiriku, menatap wajahku lekat-lekat.
Aku tersenyum memaksa.
“Kau ini kenapa, hah?!” tanyanya.
“Aku... maaf aku sedang kacau, Ras.”
“Ada apa? Apa yang terjadi padamu?”
Aku menggeleng.
“Dini. Kau tahu kau bisa mempercayaiku kan.”
Aku manatap Laras dengan tatapan kosong.
“Aku…"
"Kau bisa mempercayaiku." Laras meyakinkan sekali lagi.
"Aku... hamil, Ras,” bisikku lirih.
Laras menganga kaget.
Tidak sanggup menatap mata Laras yang kaget, aku menunduk.
“Iya, Ras. Aku hamil.”
Aku bisa mendengar Laras menghela nafas panjang.
“Memangnya kau tidak memakai pengaman? Apa kau tidak meminum pil kontrasepsimu?” tanya Laras pelan, berjalan ke sisiku.
Aku menggeleng lemah. “Aku terkadang lupa. Dan beberapa client tidak mau menggunakan alat kontrasepsi dengan alasan tidak nyaman.”
“Kenapa kau membiarkannya? Dalam kontrak mereka sudah dikatakan bahwa mereka wajib menggunakan pengaman. Seharusnya kau menolaknya, Dini.”
Aku tidak bisa menjawab, hanya menunduk.
“Aah, sudahlah. Bagaimana pun semua ini sudah terjadi. Berapa usia kehamilanmu sekarang?” tanya Laras cemas, membanting tubuhnya duduk di sampingku.
“Mungkin baru satu bulan. Aku baru terlambat datang bulan 10 hari.” Aku menjawab lirih, air mataku kembali menetes.
Laras menepuk pundakku pelan. “Tenang, Din. Kita bisa mengurusnya nanti. Tapi kau tidak bisa menolak tamumu malam ini. Mami bilang dia khusus memesanmu dan sudah membayar sangat mahal untukmu. Jadi, jangan sampai membuat mami marah.”
Aku terisak semakin keras, tanpa sadar kepalaku menggeleng berkali-kali.
“Din, mami bisa membunuhmu kalau kau menolak pergi.”
“Aku, aku akan mempertahankan anak ini,” isak ku.
“Apa?!” Laras berteriak kaget. “Apa kau gila?”
“Tidak, Ras. Aku tidak gila. Aku akan mempertahankannya dan aku akan keluar dari pekerjaan ini. Aku sudah punya cukup tabungan untuk hidup mandiri tanpa bergantung pada pekerjaan ini.”
“Tapi, Din…”
Aku menggeleng. “Aku sudah membuat keputusan.” Aku berbisik lirih.
“Tapi kau masih sekolah, Din.”
“Tiga bulan lagi aku tinggal ujian akhir. Setelah lulus aku akan pergi jauh dari kota ini, pergi dari seluruh kekacauan ini dan berharap tidak ada yang mengenaliku dan anak ku, biar dia tidak pernah tahu sisi gelap masa laluku.”
Laras menatapku iba, menggeleng tidak percaya, kemudian segera memelukku erat. “Jangan lupa untuk selalu menghubungiku dan ceritakan padaku apa pun yang terjadi padamu.”
Aku balas memeluknya. Perasaanku tiba-tiba menghangat. Aku tersenyum lega.
“Jangan khawatir. Aku belum mau pergi sekarang. Aku masih akan menempuh ujian akhir sekolah dan mendapatkan ijazah.”
Aku melepas pelukanku, menatap Laras dengan senyum lebar. “Dan sekarang aku akan menemui tamu ku.”
Laras cepat-cepat menahanku. “Tapi, Dini. Tunggu!”
Aku menatapnya, menunggu.
“Dini, setahuku orang hamil muda tidak boleh…”
“Tenang. Aku akan berhati-hati.” Aku tersenyum, melangkah pergi setelah merapikan riasanku.
Di dalam private room VIP, aku menatap punggung pria yang telah menungguku. Laki-laki itu mengenakan setelan jas yang tampak mahal di lihat dari lekukan dan jahitannya yang sangat rapi, dan dari potongan rambutnya sepertinya di belum terlalu tua.
“Selamat malam, Om.” Aku menyapa ringan.
Laki-laki itu berbalik, dan seketika aku membelalak kaget.
“K-kak R-Radit…”
Kak Radit tersenyum. “Apa kabar, Andini.”
Aku hanya melongo, bingung mau menjawab apa. Sudah beberapa bulan terakhir aku tidak pernah bertemu Kak Radit, sejak dia lulus SMA. Dia menghilang begitu saja, meninggalkanku sendiri dalam sepi setelah sekian lama dia menghiasi hari-hariku dengan senyumnya dan menguatkanku dengan candanya. Mereka bilang Kak Radit kuliah di luar kota, tapi nyatanya dia sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi.
“Mau apa kau kesini?” tanyaku dingin. Tiba-tiba saja kemarahan membakar dadaku, menjalar ke sekujur tubuhku, membuat saraf-sarafku bereaksi.
Kak Radit masih tersenyum, beranjak duduk di sofa bundar.
“Kemarilah.” Lengannya melebar, seolah menyambut kehangatanku.
Aku bergeming di sisi pintu yang telah menutup otomatis, menatap dingin Kak Radit.
“Kemarilah, Din. Aku sangat merindukanmu.”
“Mau apa kau kemari.”
“Oh, ayolah, Andini. Aku sudah membayar sangat mahal untukmu, jadi bersikaplah profesional. Kemari dan temani aku malam ini. Apa kau tidak merindukanku.”
Kemarahan menggelegak di dasar hatiku. Aku mendengus kesal. Tiba-tiba saja rasa sakit menghujam dadaku. Sakit. Sangat sakit, mengetahui orang yang selama ini kurindukan, malam ini telah duduk di hadapanku, bersiap melecehkanku. Aku tidak pernah menyangka Kak Radit sehidung belang itu. Selama ini aku telah mendewakannya, menganggapnya pria baik luar biasa.
Semakin aku menatapnya, seolah ribuan jarum ditembakkan dari sorot matanya, tepat mengenai jantungku. Tak berhenti di sana, ribuan jarum itu menebar bisa yang dengan cepat menginfeksi seluruh saraf-sarafku, memberikan rasa sakit yang luar biasa hingga aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tetapi tubuhku lumpuh. Tak satu pun makian yang sudah terbentuk di kepalaku, terlontar keluar dari mulutku. Aku hanya berdiri mematung, menatap kosong dengan perasaan hancur.
“Andin…” Kak Radit melambai-lambaikan tangan di depan mataku, membuatku tersadar.
Aku tak tahu sejak kapan Kak Radit membawaku ke sofa, tapi sekarang aku telah duduk berhadapan dengannya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, mengembalikan fokus dan konsentrasiku.
‘Baiklah. Cepat atau lambat, siapa pun pasti akan mengetahui pekerjaanku, tak terkecuali dia. Dua tahun aku menyembunyikan ini darinya, berpura-pura hanya bekerja sebagai pelayan bar. Mungkin sudah saatnya dia untuk tahu siapa aku sebenarnya dan seburuk apa diriku.’ Aku berbisik dalam hati.
‘Tenang Andini. Ini hanya client. Dia hanya tamu, sama seperti yang lainnya. Tenang, Andini. Tenang.’ Aku mencoba menguatkan diriku sendiri.
“Baiklah, maafkan aku. Mari kita mulai. Om ingin aku memulainya dari mana.” Aku berusaha berbicara setenang suaraku bisa, tersenyum semanis tubuhku bisa menerima kadar gulanya.
“Jangan memanggilku dengan sebutan Om. Apa kau pikir aku sudah setua itu?” Kak Radit berusaha mencairkan suasana, tetapi ketegangan di hatiku terlalu tebal.
“Anda ke sini untuk menyewa saya, maka saya akan memperlakukan Anda seperti layaknya client-client terhormat saya. Jangan lupa, Anda sudah membayar mahal untuk itu.” Aku mengingatkannya, tidak berhasil menghapus nada sinis di dalam suaraku.
Kak Radit tersenyum tenang. “Aku memang membayar mahal untukmu, tetapi aku tidak membayar untuk menjadi client mu.”
“Kalau begitu silahkan Anda pergi. Saya di sini hanya untuk melayani client.” Aku berdiri dengan jengkel.
“Hei!” Kak Radit menarik lenganku, membuatku jatuh terduduk. Kak Radit menggeser duduknya menghadapku, lengannya mengunci tubuhku.
“Aku memang tidak membayar untuk menjadi client mu. Tetapi aku sudah membayar untuk waktumu, jadi temani aku sampai habis waktu ku.”
“Sebenarnya apa yang kau inginkan?!” Aku bertanya geram, tanpa sadar gigiku mengerat.
“Tenanglah, Andini. Aku hanya ingin bersama mu. Beberapa hari ini aku lelah berdiri berjam-jam menunggumu di padang gulma, tapi kau tak pernah muncul di sana.”
“Aku memang tak pernah kesana,” jawabku kesal. Enak saja dia mengatakan lelah berdiri berjam-jam di ladang gulma. Lalu bagaimana denganku. Apa dia pikir hatiku tidak lelah menunggunya muncul memperlihatkan ujung hidungnya yang lancip itu, duduk diam sendirian di padang gulma sampai menjelang malam.
“Kenapa? Bukankah itu tempat favoritmu melihat kupu-kupu?” tanyanya tenang.
Aku menahan senyum sinis.
“Ada apa?” Kak Radit bertanya.
Aku menggeleng.
Kak Radit menggeser tubuhnya lebih dekat, menyandarkan kepalanya di atas pundakku.
“Aku merindukanmu, Andin.”
Dadaku berdegup kencang, tapi aku diam.
“Kau juga, kan?” tanyanya lirih.
“Katakan kau juga merindukanku.” Kak Radit mengulangi saat aku tetap diam.
Dia menggigit pundakku yang terbuka, membuat aku menjerit kecil. “Apa-apaan kau ini, hah!”
Kak Radit menatapku, mengangkat sebelah alisnya.
“Kenapa kau menggigitku!”
Kak Radit mengerutkan kening. “Apa kau juga sejutek ini dengan client-clientmu yang lain?”
“Kau bukan clientku. Ingat, kau tidak membayar untuk menjadi client ku!” Aku mengingatkan dengan sinis.
Kak Radit kembali tertawa lirih, menyandarkan kepalanya ke bahuku lagi.
“Aku merindukanmu.”
“Aku tidak!”
“Tapi irama jantungmu berubah setiap kali aku mengatakannya.”
Aku mendengus keras, berusaha menata hati. ‘Dasar jantung sialan. Tidak bisa diajak bekerja sama.’ Aku menggerutu dalam hati.
“Kau merindukanku?”
“Tidak!”
Aku bisa merasakan Kak Radit tersenyum di pundakku.
***
Satu bulan berlalu, tak ada lagi pria yang menyewaku kecuali Kak Radit. Entah bagaimana caranya, mami tak pernah memberikanku kepada tamu-tamu lain.
“Mami bilang Tuan Dito tidak mau menggunakanmu lagi kalau ada laki-laki lain yang memakai jasamu selain dia. Dan uang yang diterima mami untukmu begitu besar. Itu kenapa mami tidak lagi memberikanmu kepada orang lain.” Laras memberitahuku suatu malam.
“Apa yang kau katakan itu benar?” tanyaku tidak percaya.
“Tuan Dito kelihatannya masih sagat muda kan. Tapi uangnya begitu banyak. Dia pasti masuk dalam daftar eksekutif muda sukses. Ku pikir usianya baru sekitar 25 atau 28 tahun, ya kan?”
Aku mengangkat bahu, menahan senyum sinis. Radit eksekutif muda? Ha! Bahkan usianya hanya terpaut 1 tahun 8 bulan saja denganku. Mana ada eksekutif muda yang bahkan belum lulus kuliah.
“Kau pasti sangat memuaskannya, kan. Sampai-sampai dia tak ingin membagimu dengan pria lain. Berapa dia memberimu setiap kali?”
Aku tersenyum geli. Boro-boro memberiku tips. Satu botol wiski saja tidak pernah.
“Setidaknya cukup untuk kupakai biaya melahirkan anakku,” jawabku asal.
Laras membelalak lebar. “Aah, aku jadi iri padamu. Kau beruntung sekai.”
Aku tertawa kecil. “Sudah sana pergi, client mu sudah menunggu. Siapa tahu dia sehebat tuan Dito.”
Laras merengut, tapi tetap berbalik pergi.
Aku keluar dari ruanganku menuju meja bar. Di sana sudah duduk Kak Radit dengan gaya metropolitannya.
“Hai.” Aku menyapa santai.
“Temani aku,” katanya datar.
“Tidak bisa. Aku sedang bekerja.” Aku menolak santai.
“Baiklah.” Kak Radit beranjak berdiri lalu pergi. Aku bertanya-tanya ada apa dengannya dia hari ini. Biasanya Kak Radit akan menemaniku bekerja sampai pagi dengan hanya duduk minum cocktail jika bukan jam kerjaku di private room. Kalau aku sedang bertugas di private room, tentu saja dia akan berada di dalam sana bersamaku sampai pagi atau sampai dia membawaku berpindah ke hotel.
Mami menepuk pundakku. Aku menoleh.
“Biar aku kerjakan. Ada tamu untukmu di private room.”
Aku menatap kaget. Bukankah kemarin aku sudah terjadwal di private room.
Mami memang tidak membiarkan kami bekerja setiap hari di private room, karena kami juga harus menjaga kesehatan dan kewarasan kami. Kami sudah di jadwalkan hanya tiga kali dalam satu minggu menemani tamu di private room, sisanya kami bekerja di balik meja bar atau sekedar menemani tamu untuk minum di meja bundar.
“Tapi ini bukan jadwalku masuk private room, Mam.” Aku protes.
“Sudahlah. Dia berjanji untuk tidak memaksamu. Aku akan memberimu dua kali lipat, nanti. Ini permintaan khusus.”
Aku merengut kesal, tetapi jelas tidak berani melawan kata-kata mami.
Aku berbalik, masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan masuk ke private room VIP yang sudah ditunjukkan mami. Di dalam sana tentu saja Kak Radit sudah menungguku.
“Ini bukan jadwalku berada di private room!” Aku langsung membentak protes.
Kak Radit menoleh tenang. “Kemarilah.”
Aku menatap dingin dari dekat pintu.
“Apa perlu aku gendong?” tanyanya santai.
“Kau ini menyebalkan! Kau sudah merampas kebebasanku, menyingkirkan semua tamu-tamuku, dan sekarang kau bahkan memintaku di luar jadwal layananku.” Aku menggerutu kesal sambil membanting pantatku ke atas sofa.
Kak Radit menatapku kaget. “Ku pikir kau senang tidak lagi harus melayani mereka. Atau aku salah?” tanyanya, wajahnya terlihat kecewa.
“Ya. Kau memang salah. Aku butuh uang mereka untuk menghidupi an…” Aku berhenti, sadar aku hampir saja kelepasan berbicara soal anak di dalam kandunganku.
Sejujurnya, sebenarnya aku senang Kak Radit tidak pernah menyentuhku selama kami bersama dan dia sudah membebaskanku dari para lelaki buaya itu. Tapi tetap saja aku merasa kehilangan banyak uang yang seharusnya bisa ku tabung untuk keperluanku dan anakku nanti.
“Menghidupi apa? Kenapa tiba-tiba diam?” Kak Radit menatap curiga.
“Tentu saja menghidupiku di hari tua. Apa kau pikir aku akan terus bekerja seperti ini sampai tua nanti?” tanyaku ketus. “Siapa juga yang mau dilayani oleh nenek-nenek tua yang sudah hilang pesona.” Aku menambahkan menggerutu.
“Bagaimana kalau aku mau?”
“Kau pikir aku akan melayanimu seperti ini sampai umurku tua. Dih, ogah!”
Kak Radit tersenyum. Manis. Sangat manis sampai pipiku terasa panas karena malu sendiri.
“Maukah kau melayaniku, Andini? Layani aku di rumah, di dapur, di kamar, di taman, bahkan di atas ranjang,” kata Kak Radit serius.
Aku memelotot marah. Enak saja dia mau memakai ku di sembarang tempat seperti itu. Memangnya dia siapa.
“Ngomong-ngomong soal uang, memangnya kau tidak di bayar sama bosmu? Aku sudah membayar berkali-kali lipat padanya. Apa kau tidak diberinya sepeserpun?”
“Tentu saja mami selalu membayarku dengan harga sesuai kontrak berikut tipsnya. Tapi om-om biasanya memberiku tips yang tidak sedikit di luar harga yang diterima mami, dan uang itulah yang biasa aku tabung.” Aku kembali menggerutu.
“Jadi kau mengharapkan tips dariku?”
Aku yakin wajahku merona. “Bagaimanapun uang itu yang akan menjadi bekalku nanti.” Aku menjawab malu-malu.
Kak Radit menatapku, seolah sedang menilai sesuatu di dalam diriku.
“Memangnya kau akan berhenti bekerja di sini?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja. Kau pikir aku menikmati selalu menjadi boneka para lelaki buaya itu!”
Kak Radit tiba-tiba meraih tubuhku, memelukku erat. “Keluarlah dari pekerjaan ini, Din. Keluarlah. Aku akan menikahimu begitu kau mendapatkan ijazahmu. Jangan khawatir aku akan menelantarkanmu. Aku sudah bekerja.”
Aku terkejut, tanpa sadar mendorong tubuhnya menjauh.
Kak Radit menatapku kaget, seberkas kekecewaan tergambar jelas di kedalaman matanya.
“M-maaf. Maaf, bukan aku… aku tidak…” Aku tak sanggup berkata-kata.
“Tidak apa. Maaf, karena aku terlalu percaya diri kau akan mau menikah denganku.” Kak Radit menunduk, mengubah posisi duduknya menghadap ke depan. Kedua sikunya bertumpu di atas lutut, menahan tubuhnya yang melengkung luruh.
“Aku, maafkan aku. Bukan bermaksud…” Aku benar-benar tidak punya kata-kata.
Kak Radit menoleh, wajahnya sudah kembali tenang dan dia tersenyum. “Tidak apa. Aku mengerti jika kau punya pilihan lain. Aku bisa menerimanya. Aku minta maaf kalau menganggapmu seremeh itu.” Dia menepuk pundakku.
Aku cepat-cepat menggeleng.
***
“Aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Hanya Radit lah laki-laki yang ku dambakan sejak pertama kali aku melihatnya di sekolah. Tetapi aku malu. Aku kotor. Radit terlalu baik untukku dan aku tidak ingin dia mendapatkan barang bekas sepertiku.” Aku menitikkan air mata di depan Laras.
Laras memelukku erat. “Kenapa tidak kau katakan saja padanya apa yang sebenarnya kau rasakan?” tanyanya.
Aku menggeleng di pelukannya. “Aku tidak ingin dia berharap untuk menikahiku. Bagaimana kalau dia tahu aku sudah hamil entah oleh siapa. Dia tidak akan menerimaku dan anak ini, Ras.”
“Jadi, ke mana kau akan pergi?”
“Aku akan mencari rumah kecil di luar kota, atau di desa yang terpencil. Radit meninggalkanku kartu debit dan aku sudah melihat isinya 600 juta. Aku akan mengambilnya 100 atau 200 juta untuk membeli rumah sederhana, kemudian aku akan memulai usaha atau mencari kerja di desa. Aku akan pergi lusa, setelah mengambil ijazahku di sekolah.” Aku menjelaskan pada Laras.
“Saat kau menolaknya waktu itu, apa Radit langsung meninggalkanmu begitu saja?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Hanya ingin tahu.”
Aku menggeleng. “Tidak. Kami masih kembali bercanda walau suasananya sudah jauh tidak nyaman, setidaknya bagiku. Kami juga masih bermain domino, hingga aku tertidur di pelukannya.”
“Apa dia membawamu ke hotel setelah kau menolaknya?”
Aku kembali menggeleng. “Aku tidak tahu kapan dia membawaku ke hotel. Seingatku aku tertidur di pelukannya di dalam private room, tapi saat terbangun aku sudah ada di kamar hotel.”
“Apa dia tidak pernah menyentuhmu sama sekali selama ini? Bukankah kalian sering tidur di hotel?”
Aku tersenyum hambar. “Tidak pernah. Aku ini kotor, Ras. Dia bahkan tidak pernah mau tidur satu ranjang denganku. Dia selalu tidur di sofa saat aku sudah tertidur di atas ranjang.”
“Kalau kau yang hanya dua tahun saja kotor, bagaimana denganku yang sudah belasan tahun hidup seperti ini.”
Aku tersenyum terpaksa, mengendikkan bahu. Jujur aku tak bisa menjawabnya. Aku tahu aku telah salah berbicara.
Laras mengangguk-angguk.
“Kenapa kau mengangguk-angguk?”
“Tidak apa-apa.” Laras tersenyum.
***
Aku menyeret koper di bandara, memantapkan langkah kakiku untuk pergi dari kota kelahiranku, membawa jauh-jauh anak ku dan mengukir hidup baru di tempat lain.
Petugas pintu gate tersenyum dan mempersilahkan aku masuk. Aku mengangguk, tersenyum berat.
Tepat kakiku melangkah di bawah sensor, sebuah tangan kekar menyeretku kasar.
“Mau pergi ke mana kamu?!”
Suaranya terdengar sangat kasar dan penuh amarah. Aku berbalik kaget, menatap pemilik suara. Laki-laki itu bermasker dan mengenakan topi baseball yang menutup sebagian wajahnya yang tidak tertutup masker.
Aku menarik lenganku, tetapi cengkeramannya terlalu kuat.
“Permisi, Nona. Mohon bisa menepi dulu. Anda menghalangi jalan.” Petugas mengingatkanku dengan sopan.
“Oh, ya. Maaf, Pak. Ku pikir dia salah orang. Aku akan menyelesaikan ini.”
Petugas gate tersenyum ramah.
Pria itu menarikku kasar, membawaku menjauh dari pintu masuk.
“Hei, tunggu! Kau akan membawaku ke mana. Tunggu. Koperku!” Aku berteriak marah.
Pria itu menutup tubuhku dengan jaket, lengannya mencengkeram pundakku dengan erat.
"Diam dan turuti aku atau aku akan menusuk perutmu dengan sebilah pisau." Dia berbisik mengancam.
Aku tersentak. Pikiranku berkecamuk antara melarikan diri, tetapi aku takut pria nekat ini akan menusuk perutku. Aku tidak akan pernah membahayakan anak ku.
Pria itu membawaku keluar area bandara, berjalan lebih santai saat mendekati kerumunan orang tanpa mengendurkan cengkeramannya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut hingga dia membawaku ke tempat parkir dan mendorongku masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu mengikatku dengan sabuk pengaman lalu berlari ke sisi kemudi.
Tepat dia duduk di kursi kemudi, aku berhasil membuka pintu dan kabur. Sayangnya langkahku terlalu pendek. Pria itu berhasil mengejarku. Hanya butuh lima langkah panjang baginya untuk menangkapku dan mendorongku kembali ke tempat duduk.
"Sebenarnya siapa kau ini dan apa maumu!" Aku berteriak murka saat laki-laki itu kembali memasang sabuk pengaman di tubuhku.
Dia menghentikan gerakannya, menatapku dari balik topi. Dua detik kemudian dia membuka topinya lalu melepas masker.
“R-radit…” Aku membelalak kaget menatap sosok di balik masker dan topi itu.
“Tolong berhentilah untuk kabur. Aku tidak ingin menyakiti kalian," bisiknya lirih, matanya menatapku teduh.
“T-tapi, koperku...”
“Aku akan mengambilnya kalau kau berjanji untuk menungguku di mobil. Jangan pergi. Please. Aku tidak mau anak mu kenapa-napa kalau aku terpaksa berbuat kasar padamu.”
Aku membeku, susah payah menelan ludah yang mengering di tenggorokan.
Dari mana Kak Radit tahu soal anakku. Bagaimana dia bisa tahu. Tidak ada yang tahu soal kehamilanku selama ini kecuali...
“K-kau…”
Kak Radit tersenyum. “Tunggu di sini. Aku akan mengambil kopermu.”
Dia mencium keningku, kemudian keluar dan menutup pintu. Aku melihatnya berlari-lari kecil kembali masuk ke bandara. Tatapanku berhenti di tempatnya menghilang di dalam bandara, sampai telingaku menangkap bunyi pintu mobil ditutup.
“Terima kasih sudah menungguku dan tidak kabur.”
Aku menoleh dan mendapati Kak Radit yang sudah duduk di balik kemudi, sedang tersenyum padaku.
Dadaku yang beberapa hari terakhir ini mati, rasanya seperti hidup kembali.
Mesin menyala, mobil melaju perlahan.
“Kak Radit.” Akhirnya aku bisa bersuara.
“Hmmm…”
“Dari mana kau tahu aku hamil?”tanyaku lirih. Aku menatap lurus ke depan, tidak berani melihat ekspresi wajahnya.
“Laras.”
“Sial Laras!” Aku bergumam jengkel.
“Untung saja aku berhasil menyusulmu. Aku baru saja kembali dari luar kota. Andai Laras tidak menemuiku pagi-pagi tadi, aku mungkin akan gila kalau tidak berhasil menemukanmu setelah mendengar semua cerita Laras.”
Aku diam. Laras benar-benar penghianat. Bisa-bisanya dia mencari Radit dan menceritakan tentang semua yang sudah aku percayakan padanya untuk di jaga sebagai rahasia kami berdua.
“Jangan menyalahkan Laras. Dia hanya membantu. Laras sama sekali tidak memintaku untuk mencarimu. Aku sendiri yang mau.”
“Tapi dia menghianatiku. Dia sudah membongkar rahasiaku. Rahasia yang kupercayakan padanya dan seharusnya dia jaga baik-baik.” Aku menggerutu.
“Karena aku sudah membayar Laras untuk menghubungiku jika terjadi sesuatu denganmu, apa pun itu.”
Aku menoleh kaget. “Kau!”
Kak Radit menatapku, tersenyum.
“Percayalah. Aku aku melakukan apa pun untuk selalu menjagamu. Dan Laras jelas tahu aku bisa menuntutnya kalau dia gagal menjagamu seperti yang aku inginkan.”
"Tapi Laras bukan bodyguard yang bisa kau perlakukan semaumu. Dia sahabatku!"
"Itu kenapa aku memilihnya untuk menjagamu. Karena Laras akan menjagamu dengan kasih sayang, membuatmu nyaman di sisinya, tidak seperti jika aku menyewa seorang bodyguard yang sudah jelas akan membuatmu tertekan."
“Ke-kenapa kau melakukan itu?”
“Sudah kukatakan padamu aku mencintaimu."
"Kau tidak pernah mengatakannya," sewotku.
"Apa lamaranku tidak cukup membuktikan bahwa aku serius?"
Aku mendengus kesal, membuang muka ke jalanan padat di depan.
Kak Radit mengacak rambutku. Bisa kulihat dari ekor mataku, dia tersenyum.
"Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama pandangan mata kita bertemu, tiga tahun yang lalu. Saat itu kau masih di balik seragam hitam putihmu. Kau ingat?"
Ingat. Tentu saja aku ingat, tapi aku memilih diam.
"Kau pikir untuk apa selama ini aku mau repot-repot membelamu.”
Aku menatap kak Radit. Tak sengaja air mataku menetes dan aku terisak.
Kak Radit membelai pipiku yang basah. “Jangan menangis.”
Bukannya berhenti, air mataku malah semakin deras. Kak Radit menepikan mobilnya, mematikan mesin, lalu membelaiku.
“Kenapa kau bersedih? Aku hanya ingin menemanimu berjuang.”
Aku menggeleng. “Aku tidak bersedih.”
Radit kembali tersenyum, mengusap kedua pipiku yang basah dengan ibu jarinya. “Berjuanglah bersamaku.”
“Tapi…”
“Apa lagi sekarang?”
“Aku kotor, Kak.”
"Seberapa kotor?"
Aku diam.
Kak Radit kembali pengacak rambutku, tersenyum. “Aku punya Rinso anti noda. Banyak di rumah,” katanya acuh, lalu menyalakan mesin tanpa menatapku lagi. Mau tidak mau senyumku terkembang. Hatiku bergejolak, antara senang, sedih, gemas dengan kelakuan Kak Radit yang selalu cuek dan tidak romantis.
“Tapi aku hamil, Kak.” Aku mengingatkan Kak Radit. Aku tidak ingin berharap terlalu tinggi dulu, siapa tahu Kak Radit melupakan ini.
“Memangnya kenapa?” tanyanya tenang.
“Dia bukan anak mu.”
“Apa kau tahu dia anak siapa?”
Aku diam sejenak, sebelum menggeleng.
Kak Radit menatapku dari sudut matanya.
“Kalau begitu aku bapaknya.”
“Enak saja. Kau bahkan tidak pernah menyentuhku, bagaimana aku bisa mengandung anakmu!” Aku langsung protes mendengar jawaban yang dia lontarkan tanpa beban, seolah dia sedang mengakui dialah pemilik kucing liar yang memecahkan pot bunga tetangga.
“Begitukah?"
"Tentu saja. Jangan konyol!"
"Baiklah. Aku akan menyentuhmu setelah ini.”
Aku memelotot tajam.
“Setelah aku mengucap ijab qobul di hadapan wali.”
“Aku tidak punya wali!”
“Hukum sudah mengatur soal itu.”
Aku mendengus kesal.
“Orang tuamu tidak akan mau menerima anak ku.”
“Kalau kau begitu bodoh mengatakannya.”
“Apa maksudmu aku begitu bodoh?!” Aku bertanya geram.
Kak Radit membawaku langsung ke rumahnya. Rumah bergaya modern, tiga lantai, dengan taman luas dan terawat. Bunga-bunga indah bermekaran di segala sudut, kupu-kupu berbagai corak dan warna beterbangan di atasnya.
“Kau suka?” tanya Kak Radit, merangkulku turun dari mobil.
Pintu depan terbuka saat aku dan Kak Radit menginjak anak tangga terakhir. Seorang wanita baya dengan paras cantik nan anggun menyambut kami.
“Ini mama. Ma, kenalkan. Ini Andini.”
Aku menyalami mama Kak Radit dengan canggung, wanita itu memelukku hangat. Aku menegang di pelukannya.
“Ma, aku ingin bicara. Di mana papa?”
“Papa kamu sudah menunggu di dalam.”
Kak Radit mengangguk, menatap serius. Raut wajah mamanya seketika mengikuti serius.
Dadaku tiba-tiba saja seperti baru saja menelan genderang sekaligus penabuhnya. Bergedebrug gederug tidak karuan di dalam sana.
Kak Radit bisa merasakan kecemasanku, dia menggosok lengan kiriku dalam pelukannya.
Seperti maling ayam yang siap di sidang, kami duduk berempat di sofa ruang tamu. Papa dan mama Kak Radit duduk di depan kami, menatap cemas.
“Ma, Pa, ini Andini. Dia pacar Radit. Kami sudah berpacaran sejak SMA, maaf Radit baru membawanya pulang sekarang.”
Papa Kak Radit mengangguk kaku, mamanya tersenyum tegang.
“Ma, Pa, Andini ini sebatang kara sejak ibunya meninggal saat Andin kelas satu SMA. Sejak itu lah, dia berjuang sendirian.”
Anggukan dan senyum tegang kembali dilakukan oleh papa dan mama kak Radit. Aku hanya bisa mematung kaku, menunggu saat-saat aku akan diteriaki dan di usir dari rumah mewah ini.
“Dan hari ini, Radit mau minta maaf sama papa sama mama. Radit minta maaf karena Radit tidak bisa menjaga kepercayaan yang papa dan mama berikan selama ini. Hari ini, Radit menjemput paksa Andini di bandara. Andini bersiap kabur, membawa anak Radit di dalam kandungannya.”
Deg! Aku menoleh kaget. Bocah gila. Bisa-bisanya dia mengakui bayi yang bukan benihnya sebagi anaknya. Apa yang dia cari dari sandiwara gilanya ini. Apa dia berharap di usir dari rumah kemudian kami akan kawin lari. Konyol!
Seperti dugaanku, papa kak Radit membelalak kaget, menatap marah padanya. Semetara mama kak Radit menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan.
“Sudah berapa bulan?” tanya papa Radit denga suara serak menggelegar.
“Tiga. ”
“Anak bodoh!” Mama Kak Radit berteriak keras, air matanya mengalir deras. Wanita anggun itu kehilangan wibawanya, berlari ke arahku sambil mengangkat tangannya.
Aku membelalak takut, tubuhku seketika mengerut. Kak Radit menangkapku dalam pelukannya, melindungiku.
“Minggir!” Mama Kak Radit mendorong tubuh putra tunggalnya, tapi dia memelukku semakin erat.
“Minggir mama bilang!” Mama Kak Radit memelotot marah, tangannya dengan kasar menyingkirkan lengan Kak Radit yang memelukku.
“Ma…!”
Mama kak Radit mencengkeram kedua lenganku, menarikku berdiri. Aku menahan nafas, mengejang kaku, siap di seret keluar rumah.
“Sejak kapan kau tahu kau hamil, Nak?”
Aku menatapnya bingung. Wanita itu berbicara pelan, suaranya begitu lembut.
“Andini. Sejak kapan kau tahu kau hamil?” Dia itu mengulangi.
“S-sejak saya tahu saya terlambat datang bulan.”
“Dan kau memeriksakannya?” tanyanya lagi, masih dengan lembut.
Aku menggeleng. “Tidak. Saya hanya membeli testpack.”
“Dan sejak kapan Radit tahu kau hamil?”
Aku membuka mulut baru akan menjawab, tetapi Radit lebih cepat.
“Sejak dia tahu dia hamil,” katanya.
“Dasar laki-laki bodoh!” Mama Kak Radit menatapnya sengit.
"Duduklah, Nak." Mama Kak Radit membantuku duduk, lalu dia duduk di sampingku, membuat jarak antara aku dan Kak Radit.
“Mama tahu, seharusnya mama marah. Mama dan papa kecewa, ya. Tentu. Kalian berdua sangat sangat mengecewakan mama dan papa. Hubungan di luar nikah seperti ini, sama sekali tidak membawa dampak baik bagi siapapun. Bagi kalian, juga bagi anak kalian kelak.” Mama Radit menggenggam tanganku, berbicara pelan, sangat tenang.
Aku menunduk dalam-dalam. Malu.
“Dengar, Andini." Wanita lembut itu menyibak rambutku yang menutupi wajah dan menyelipkannya di belakang telinga. "Bagaimana pun mama dan papa kecewa kepada kalian, anak di dalam perutmu ini tetaplah darah daging Radit, cucu kami. Mau kami marah, murka, atau menghukum kalian sekalipun, tidak akan membawa perubahan apa pun kepada kalian. Yang sudah terjadi, cukup jadikan sebagai pelajaran dan jangan sampai terulang. Yang kalian lakukan ini sungguh perbuatan yang mencoreng papa dan mama. Kami merasa ini tamparan keras buat kami karena telah gagal mendidik putra kami,” lanjutnya.
Aku menunduk semakin dalam, mataku terasa panas. Susah payah aku memberanikan diri untuk mendongak. Ini semua salah ku. Radit tidak ada sangkut pautnya dengan anak di dalam kandunganku.
“S-saya…”
“Ssst… sudah. Jangan dipikirkan. Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan. Kau hidup sebatang kara, wajar kesalahanmu begitu besar karena tidak ada yang membimbingmu. Tapi Radit, sungguh dia adalah kesalahan terbesar kami. Kesalahan kami lah sehingga dia berbuat sekotor ini padamu. Maafkan mama dan papa, Andini. Kami gagal mendidik Radit dengan baik.”
Air mataku meleleh deras. Aku ingin berteriak, ini bukan kesalahan kalian. Bukan kesalahan Radit. Kebodohan ini sepenuhnya adalah kebodohanku semata, tapi Radit meremas tanganku di belakang pantat ibunya, membuatku terisak semakin keras.
Di dalam rumah ini, aku merasa jauh lebih kotor dari sebelumnya. Rumah ini begitu bersih dan indah. Aku merasa seperti kotoran anjing yang jatuh di atas karpet bulu berwarna putih bersih. Menjijikkan.
Aku menangis tersedu, tak kuasa menahan luapan kekecewaanku pada diriku sendiri. Aku sungguh meratapi kebodohanku.
“Andini.” Suara berat memaksaku mendongak, menatap papa Radit dengan mata sembab.
"Papa ingin tanya. Apa sebelum ini kalian pernah mencoba menggugurkan kandunganmu?"
Aku tersentak, dengan cepat menggeleng.
"Kenapa? Apa soal biaya?"
Perlahan air mataku mengering. Sekarang aku tahu kenapa mama Radit sama sekali tidak marah padaku. Itu karena mereka berencana akan menggugurkan kandunganku.
Tidak. Aku sudah bersumpah aku tidak akan melakukannya. Bayi ini anak ku. Aku tidak akan pernah membiarkan orang lain menentukan nasibnya.
"Maaf, Om, Tante. Apa pun yang terjadi, saya akan tetap menjaga bayi saya. Anak ini bukan anaknya Radit. Terima kasih tidak menghukum saya. Saya berjanji tidak akan mengganggu kalian dengan anak ini atau menyangkut pautkannya dengan Radit. Saya permisi."
Aku berdiri, bersiap untuk pergi.
"Andini!"
Radit melompat, menangkap tubuhku dalam pelukannya.
"Maafkan aku, Kak. Tapi aku akan pergi. Aku tidak akan membiarkan siapapun menentukan nasib anak ku. Dia..."
"Tunggu!" Papa Kak Radit ikut berdiri. "Ku pikir kamu salah paham, Nak. Kami tidak akan memintamu menggugurkan kandunganmu."
Aku menoleh, menatapnya ragu.
"Duduklah."
Enggan, tapi Kak Radit menarikku untuk duduk.
“Kami tahu perjuanganmu mempertahankan bayi itu tentu tidak mudah. Mungkin kau mual, mungkin kau muntah, bahkan tidak mampu bangun dari tempat tidur seperti mama Radit dulu. Tapi kau tetap berusaha mempertahankan bayimu dan kau melalui semuanya sendirian. Tanpa ada keluarga yang mendampingi, apa lagi suami yang mensuport. Kami sangat menghargai, kalian tidak berusaha membunuh bayi di dalam rahimmu. Papa juga tahu kau sangat menyesal, dari suara tangismu yang begitu pilu."
Radit yang duduk di lengan sofa di sampingku, memelukku erat. Dia menempelkan kepalaku di pinggangnya, membelaiku lembut.
"Tapi bagaimanapun, sebelumnya Papa minta maaf, Andin. Anak kamu tetap tidak bisa terlahir memiliki bapak.”
Deg!
“Papa!” Kak Radit berdiri seketika, berteriak protes.
Papa Kak Radit mengangkat tangan kanannya, meminta Kak Radit untuk tenang.
“Papa belum selesai. Duduklah.”
Jengkel, tapi Kak Radit menuruti perintah papanya.
“Menikahkan wanita hamil itu berdosa, Radit. Baik walinya, maupun yang menikahkan, juga termasuk saksi-saksinya. Maka papa tidak bisa menikahkan kalian sebelum bayi itu lahir.”
Kak Radit terlihat ingin protes, tapi papanya sudah mengangkat tangan lebih dulu.
“Dengarkan,” katanya tenang. “Kita hidup itu punya aturan. Punya hukum. Pun kita juga punya syariat. Wanita hamil, pernikahannya tidak sah. Ini hukum Allah, jadi tidak bisa di tawar menawar seperti hukum meja hijau.”
“Maka dari itu juga, kami tidak akan menikahkan kalian sekarang, dan papa dan mama mau kalian tidur terpisah dulu untuk sementara. Jangan khawatir. Anak itu akan tetap kita akui sebagai darah daging kamu dan dia adalah cucu mama dan papa. Andini juga harus tinggal di sini karena wanita hamil membutuhkan pengawasan ekstra dan support keluarga. Tapi kalian harus tidur terpisah dan tidak boleh melakukan hubungan lagi, sampai kalian menikah. Haram. Berdosa, Radit.”
Aku kembali menunduk, begitu pun Kak Radit. Bersalah tetapi dibela sedemikian rupa, rasanya jauh lebih memalukan daripada di hukum gantung dalam keadaan telanjang bulat.
“Bisa diterima?” tanya papa Kak Radit.
Aku cepat-cepat mengangguk, masih dengan menunduk. Malu sekali aku menatap wajah papa dan mama Kaka Radit yang begitu mulia.
“Pa... Terima kasih pa, ma, kalian sudah merestui kami dan bersedia untuk menikahkan kami.” Kak Radit menjawab, berlari dan berlutut di kaki papanya.
Aku tahu papa Kak Radit mengangguk, meski aku masih menunduk. Aku bisa melihat tangan laki-laki itu membelai punggung Radit yang membungkuk memeluk kedua lututnya.
***
Taman belakang rumah Kak Radit begitu indah. Aku berjalan di tepi kolam ikan, ditemani Kak Radit.
“Aku merasa seperti kotoran anjing.” Aku mengeluh.
“Tidak ada yang menganggapmu begitu.”
“Tapi aku merasa begitu. Kau tidak tahu rasanya bagaimana menjadi kotoran anjing yang diperlakukan seperti sebongkah berlian. Itu sangat menjijikkan. Aku bahkan malu melihat diriku sendiri di depan cermin.”
“Cukup! Aku tidak mau lagi membahas soal ini.”
"Tapi aku ingin kau tahu apa yang aku rasakan."
"Tolong, Din. Berpikirlah positif. Bersenang-senang dan bahagialah. Demi anak kita."
"Apa kau benar-benar menganggap ini anakmu?"
"Berapa kali harus ku katakan jangan pernah membahas soal itu lagi."
"Tapi..."
“Sayang sekali aku tidak dapat menyisipkan benihku diantara pertumbuhan anak kita. Seharusnya aku melakukannya dulu sebelum meminta ijin menikahimu pada papa dan mama, biar setidaknya itu bisa mematahkan pikiran burukmu tentangnya kalau dia terlahir dengan hidung mancung seperti papanya.”
Aku menampar pelan pipi Radit. “Zina!”
“Bagaimana denganmu selama ini?”
Aku menunduk. “Jangan membuatku merasa semakin buruk.”
Kak Radit tertawa, memelukku dan mengecup puncak kepalaku dengan lembut.
“Ku anggap selama ini kau selalu melakukannya denganku, Sayang. Dan ku harap kau pun bisa begitu. Lupakan masa lalumu. Lupakan semua yang pernah kau lakukan. Kita akan membangun masa depan baru.”
Aku memejamkan mata, bersyukur pada Tuhan yang masih memberikan kesempatan pada makhluk kotor sepertiku untuk bertaubat dan membersihkan diri.
Aku percaya, Tuhan selalu menyayangi umatnya bahkan yang paling buruk sekalipun, selama mereka masih memiliki keinginan untuk bertaubat.