Cerpen
Disukai
1
Dilihat
12,336
Tendangan Bebas
Drama

Sejak pindah ke klub liga dua, Aji yang sudah masuk usia kepala empat dianggap tidak lagi bertaji dan kaki ajaibnya tidak akan pernah membuahkan gol lagi. Meski begitu, ia masih terus meminta pada pelatih untuk memberinya kesempatan di setiap tendangan bebas. Maka, dalam pertandingan tandang sore itu di Bekasi, ia mengambil ancang-ancang dengan penuh perhatian, memastikan bola di atas rumput siap menerima kakinya, dan kaki kanan yang memberinya pundi-pundi uang di masa muda mau memberi lagi keajaiban itu. Ia mundur tiga langkah, memperhitungkan ujung mistar gawang, lalu maju untuk menendang dan membiarkan bolanya melewati empat bek dan satu kiper di belakang...

"GOLLLLL!!!!"

Menit ke-75 dan Aji membuktikan bahwa kakinya masih bertaji, pemain-pemain di lapangan memeluknya erat, dari jauh ia bisa melihat pelatih bersorak-sorai dengan pemain lain. Sayang, pendukung tim tandang masih tidak boleh datang mendukung setelah tragedi setahun lalu. Skor berakhir 1-0 untuk Sidoarjo Jaya FC dan mereka berharap kepulangan mereka ke daerah akan disambut oleh para penggemar.

Sayang, mimpi itu sia-sia.

***

"Ji, kamu udah mau pulang?" Arnold, bule asal Australia sekaligus pemilik klub yang ia bela, mencegahnya di tempat parkir. Lelaki itu gemuk, dan dengan perutnya yang buncit ia seolah-olah menghalangi agar mobil Aji tidak pergi.

"Kenapa emang, Bos? Ada bonus, ta?" Aji tersenyum membayangkan segepok uang yang akan ia tarik dari ATM BCA-nya kalau-kalau bonus itu segera cair. Kalau gaji, ya tetap sebulan sekali.

"Ndasmu, bonus! Bonus udah pasti karena kalian menang, tapi lihat ini dulu!" Arnold mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan postingan kemenangan dari akun Instagram resmi klub. Selain skor, ada pula wajah dan postur badannya ketika sedang mengambil tendangan bebas kemarin. "Baca komentarnya, Ji."

Aji meraih ponsel itu dari tangan Pak Arnold, lalu membaca komentarnya. Alih-alih positif karena menang, postingan itu malah banjir komentar negatif.

"Asu, asu. Ilang seket, rek! Lapo Aji iku sek ngegolno."

"Wes biasa kalah kok isok menang e? Jiancok!"

"Waduh sesok-sesok ga iso ngepoor Darjo maneh, lek!"

Begitu semua komentar-komentar negatif itu memenuhi postingan kemenangan. Aji terus membaca hingga akhirnya ia benar-benar sakit hati dengan satu kalimat:

"Aji babiiii. Wes muleh terus keloni bojomu kono lho!"

"Cok! Onok opo iki, Bos? Salah opo, aku?" Aji akhirnya tak bisa menahan emosinya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan komentar-komentar itu dan meminta penjelasan. Arnold, bule yang sudah sedekade lebih di Indo dan beristri orang Tionghoa asal Surabaya itu memintanya duduk di trotoar tempat parkir dan menawarkannya sebotol air mineral.

"Kamu yo ga salah, wong kamu udah ngegolin dan berhasil membuktikan diri," Arnold mulai bercerita. "Tapi ya kan kamu udah lama ga ngegolin sejak awal-awal musim dan Pelatih Widodo udah ngasih kamu banyak kesempatan setiap kali kita dapet tendangan bebas. Makanya, orang-orang tuh taruhan kamu bakal gagal lagi..."

"Maksudnya mereka orang kalah taruhan? Bukannya mereka dukung Sidoarjo Jaya?"

"Ji, sabar dulu. Mereka udah ngira kamu bakal gagal ngambil tendangan bebas itu, bukan gagal menang. Ya kalau kita menang, kita ga peduli kalau mereka kalah taruhan. Tapi kan ini awakmu Ji, yang terancam. Mangkane, aku ngilingno supaya awakmu hati-hati. Akhir-akhir ini akeh wong jahat."

"Yo paham, Bos. Aku yo ga wedi. Tapi opo'o kok ngomong babi babi, iku? Asu!" Saking emosinya, Aji berdiri lebih dahulu dan meninggalkan Bos Arnold duduk sendirian di trotar. "Tak muleh, sek, Bos!"

Arnold tak menjawab, ia hanya melihat punggung Aji menjauh pergi, lalu menghilang ketika masuk ke dalam mobilnya. Ketika mobil Honda CRV merah metalik itu membawa Aji pergi, Arnold berdiri dan menelpon seseorang dari ponselnya.

"Sekarang, ya."

***

Wajah Aji hanya muram sepanjang perjalanannya ke rumah. Jam digital di dasbor menunjukkan pukul sepuluh malam sehingga jalanan tak cukup ramai. Meskipun ia merindukan kedua putrinya (di rumah, hanya dialah laki-laki), ia langsung teringat kembali dengan komentar terakhir yang ia baca. "Keloni bojomu"? Aji memukul setir mobil dan tak sengaja mengeluarkan klakson. Pengendara sekitar menatapnya dan ia membuka kaca jendela untuk meminta maaf.

"Maaf, Mas. Maaf, Pak. Ga sengaja," katanya sembari mengatupkan kedua tangan. Dua orang yang mengendarai sebuah motor Kawasaki ZX mendekat dari kiri, lalu melihatnya lekat-lekat. Sebelum lampu hijau menyala, dua orang itu berhasil mengenalinya.

"Pak Aji Sidoarjo Jaya, ya?"

Aji menjauh sebentar dari pintu mobil, namun kembali mengeluarkan kepalanya. "Enggeh, mas," jawabnya sembari tersenyum. Lampu kuning menyala, lalu disusul lampu hijau. Mobilnya segera melaju melewati perempatan dan meninggalkan dua orang pengendara Kawasaki tadi. Tak disangka, sebuah suara keras muncul dari kaca belakang seperti terkena benda tumpul...

"BRAKKK..."

Aji melirik ke spion dan mendapati kedua orang itu menyusulnya dengan sebuah kayu panjang. Anjir, bos bener. Tanpa memedulikan kerusakan mobilnya, ia mengegas mobilnya, terus melaju di jalanan lurus. Kedua Kawasaki itu menyusul dengan cepat dan kali ini spionnya menjadi korban. Aji bisa membayangkan spion itu jatuh dan dilindas mobil-mobil lain di belakang. Satu, dua, tiga, hingga delapan hantaman telah merusak CRV kesayangannya itu. Saat ini, ia tidak yakin akan pulang ke rumah.

Dari jauh, Aji bisa melihat lampu merah lain. Ia tidak bisa berhenti kecuali ia ingin membiarkan dirinya menjadi korban alih-alih mobilnya. Aji pun beralih ke jalur kiri, dan berharap kedua pengendara Kawasaki itu tetap mengikutinya setelah perempatan. Namun, setelah ia belok kiri, kedua pengendara itu tetap lurus, menghilang dari pandangannya, dan ia kini bisa tenang. Setelah memastikan keadaan aman, ia berhenti, lalu memarkirkan kendaraan.

Kaca belakangnya pecah, pintu kursi belakang penyok, spion kirinya hancur. Orang-orang kalah taruhan itu benar-benar ada dan membahayakan. Emangnya judi online udah ga laku? Aji masuk kembali ke mobilnya untuk melanjutkan perjalanan. Ia mungkin tidak akan pulang. Istri dan kedua putrinya akan terancam kalau ia pulang.

Sebelum menyalakan kembali mobil, ponselnya malah berdering. "Mas, cepet pulang. Anak-anak pingsan," istrinya, Nurhaliza, memberi kabar. Sepanjang perjalanan, Aji mendengar cerita bahwa puluhan orang membawa kayu dan besi masuk kompleks perumahan, dan gagal dihadang satpam, lalu merusak pagar dan melempari rumah dengan batu. Sesampainya di rumah, Aji bisa melihat hasil perbuatan orang-orang tak dikenal itu. Sayangnya, mereka sudah kabur ketika polisi datang.

Kedua putrinya shock sehingga dilarikan ke RSUD dan menginap dua hari. Di rumah sakit pula Aji menerima kunjungan dari rekan-rekan klubnya, tak terkecuali Bos Arnold, bos dan pemilik klub. Ketika bersalaman untuk pamit, Bos Arnold menyelipkan sebuah amplop, "buat jajan Naila sama Nafisa." Itu nama kedua putrinya, yang kini berbaring di paviliun melati.

Setelah tak ada lagi tamu, Nurhaliza melihat isi amplop itu dan cukup kaget melihat jumlahnya. Kepada Aji, ia menyebut nominalnya dan berharap agar sang suami menerima takdirnya, "Lebih dari dua puluh tahun Mas Aji berkarir sebagai atlet, jadi semua ini sudah cukup buat keluarga kita. Di liga dua, santai aja mainnya." Keduanya berpelukan di jendela, melihat taman rumah sakit yang ditimpa hujan bulan Januari. Di pundak Aji, Nurhaliza menyandarkan dagu. Di pinggang Aji, ia melingkarkan tangan.

"Kayaknya aku pernah denger kata-kata itu," Aji melepaskan tangan istrinya, lalu keluar dari kamar. "Jaga anak-anak, ya."

***

Aji datang di pertandingan berikutnya meskipun Bos Arnold meminta pelatihnya untuk absen. Melawan tim dari Maluku Utara, Aji masuk setelah babak pertama dan mengambil kesempatan lagi untuk mengeksekusi tendangan bebas. Di hadapan tiga orang yang menghadang, Aji meletakkan bola di titik yang diberi tanda wasit, mengambil ancang-ancang mundur tiga langkah, lalu melaju setelah peluit wasit. Para penonton menahan napas, mengira-ngira apakah kali ini akan masuk. Bola meluncur melewati kepala pemain lawan, kiper tak dapat menjangkaunya. Bola itu berputar di jala gawang dan memberi satu lagi kemenangan.

"GOLLLLL....."

Ketika para pendukungnya bersorak dan rekan-rekan timnya menghampiri untuk selebrasi, Aji berlari ke pinggir lapangan menuju kursi cadangan, menghampiri Bos Arnold yang duduk di sebelah pelatih, lalu meninjunya keras-keras hingga terjengkang. Dalam konferensi pers setelah pertandingan, Polisi dan Satgas Mafia dari PSSI datang untuk menangkap Bos Arnold. Polisi meminta keterangan Aji dan PSSI mengundangnya ke Jakarta untuk memberi kesaksian. Setahun setelah tendangan bebasnya itu, Aji memimpin klub kesayangan daerahnya dan membawanya naik ke kasta tertinggi liga nasional.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)