Cerpen
Disukai
2
Dilihat
5,778
Rakamandra
Misteri

Sagarika terbangun dari tidurnya ketika mendengar sorak-sorai dari luar ruangan. Tanpa perlu mengintip dari balik jendela, ia sudah bisa menebak bahwa teman lamanya telah kembali. Sang Raja yang dielu-elukan oleh masyarakat Maharupa dikabarkan telah sampai di pelabuhan dan akan segera kembali ke istananya. Sagarika sendiri tidak pernah tertarik pada hingar-bingar suasana. Ia hanya cukup datang setiap bulan ke dalam Istana sebagai warga biasa dan melaporkan apa saja yang terjadi di dunia bawah tanah. Tempatnya bukan dalam istana penuh dengan tanaman asing dan ruangan-ruangan mewah berlapis emas yang disediakan oleh Sang Raja setiap kali ia datang. Ia lebih nyaman berada di rumahnya, dalam hingar-bingar pasar berbau amis ikan yang tak henti menguar sehari semalam. 

Penjaga mengetuk pintu, memberinya pesan untuk segera bersiap-siap agar ia tak membuang-buang waktu sang raja. Sagarika tertawa kecil. Temannya adalah seorang raja baik hati dan ramah, bahkan kepada dirinya yang selalu mengusilinya sejak kecil. Namun, orang-orang di sekitar rajalah yang selama ini tampak sombong dan angkuh, seperti penjaga ruangannya setinggi hampir tiga meter dengan otot membengkak di berbagai sisi tubuh. “Tenang saja, aku tak akan lama,” ia mencoba bersikap lembut, barangkali lelaki itu bisa sedikit santai. “Toh nanti aku akan kembali ke ruangan ini dan tak pulang.” Si penjaga hanya meliriknya, lalu membawa lelaki ringkih itu ke ruangan utama istana. 

Sebelum diberi kesempatan bertemu, Sagarika musti mengantri di belakang 63 orang yang datang lebih dahulu. Ini merupakan kebijaksanaan sang Raja. Kecuali ada benar-benar berita yang musti langsung disampaikan, ia musti berdiri dan mendengar keluh-kesah lain yang sebenarnya bisa diurus sendiri. Dari tempatnya mengantri, ia bisa melihat teman masa kecilnya itu mendengarkan segala ucapan warganya dengan seksama, kadangkala memegang kedua tangan orang yang datang untuk memberikan simpati. Sagarika tersenyum. Sebuah pemandangan yang benar-benar indah. 

“Raja,” keluh seseorang di barisan terdepan.”Aku membeli sebidang tanah dari tetanggaku untuk kemudian menanaminya dengan bawang dan buah-buahan. Namun, ketika aku menggalinya untuk mencari sumber air, aku menemukan sebuah peti berisi emas dan perhiasan. Karena aku hanya membutuhkan tanahnya untuk bertani, maka aku memberikan peti harta itu kepada tetanggaku namun ia menolaknya. Ia mengatakan bahwa tanah dan seisinya itu merupakan hak milikku. Kamipun bimbang. Bagaimana cara kami membaginya dengan adil, wahai Raja?”

“Bukankah kau pernah bercerita bahwa kau dan tetanggamu sama-sama memiliki seorang putra dan seorang putri?” Sang Raja bertanya balik dan lelaki itu mengangguk. “Mengapa tidak kau nikahkan mereka dengan peti harta itu sebagai modalnya? Sehingga kalian sama-sama beruntung dan dapat menikmatinya bersama.” Maka bersujudlah lelaki itu hingga musti dipaksa untuk bangkit dan memberikan tempat bagi warga lain di belakangnya. Sagarika maju satu langkah, sedikit mendekat hingga wajah sang Raja. 

Dan begitulah hingga ke semua 63 orang selesai beraudiensi, namun tak semua keluh kesah dapat dijawab oleh Sang Raja. Sagarika menghitung tak lebih dari sepuluh orang pulang dengan wajah tertunduk, namun setidaknya mereka akan dipanggil setelah menteri-menteri sang Raja menyelesaikan masalah itu untuk mereka. Kini, di hadapan sang Raja, Sagarika menundukkan kepala dan memberi sujud. 

“Rakamandra,” lelaki itu memanggil nama temannya seolah telah lama tak bertemu. “Kita butuh bicara empat mata.”

*****

Rajendra sejak awal tidak menyukai lelaki itu. Ia selalu melihatnya datang setiap dua hingga tiga bulan sekali, mengemis di depan gerbang istana lalu dengan hormat seorang ajudan atasannya akan menjemput lelaki itu dan memberinya ruangan mewah di Kapel Utara. Ia pernah bertanya apakah lelaki itu merupakan seseorang yang istimewa, namun ajudannya tak menjawab dan hanya memerintahkan agar Rajendra tak mengganggunya. Namun, sebagai seorang kesatria penuh tanggung jawab, ia tak ingin tempat tinggal sang Raja dikotori oleh lelaki berbau ikan itu. Maka ia selalu menjaganya agar tetap berada dalam ruangan. 

Bahkan ketika ia mendengar lelaki lusuh dengan pakaian tambalan itu meminta sang Raja untuk berbicara empat mata, ia segera maju dengan tombak terhunus langsung mengarah pada leher lelaki itu. Kalau bukan karena atasan yang menarik tubuhnya menjauh, mungkin ia sudah memenggal sebuah leher hari itu. Namun, ia kini musti berjaga di depan pintu ruang Istana dan memastikan siapapun tidak masuk ke dalam. Rajendra mungkin merasa sedikit kesal, namun hal itu tetap perintah sang Raja. 

Dari belokan koridor, ia melihat seseorang datang. Sang Putri. Gadis itu mengenakan gaun hijau dan sebuah anting-anting permata di setiap daun telinganya. Kulit sawo matangnya begitu halus seperti batang pohon palem dewasa. Langkahnya anggun seolah merak di musim kawin. Namun, tak seperti dugaan si ajudan yang memberi hormat, sang Putri tak melewatinya. Gadis muda itu menyentuh pundak Rajendra agar mengangkat kepalanya. 

“Apakah lelaki itu datang lagi?” Tanya sang Putri. Rajendra mengangguk. 

“Ia juga meminta waktu Raja secara pribadi, Putri Madhuri.”  Tak seperti namanya yang berarti manis atau cantik, sang putri adalah gadis buruk rupa. Mata kirinya juling ke kiri, seolah melihat iblis di tempat lain. Hidungnya pesek seperti tanaman bonsai yang tak sanggup tumbuh. Bibirnya begitu tebal menutupi gigi-gigi kuning. Karena berkebalikan dari sang Ibu, Putri Madhuri dianggap sebagai anak adopsi atau bukan anak kandung keluarga kerajaan. Tak hanya itu. Konon, orang yang melihat wajah atau menatap matanya akan tertimpa nasib buruk hingga dua puluh empat jam kedepan. Kalau kutukan nasib buruk itu hendak diputus, mereka musti mengorbankan sebuah hewan ternak. Rumor itu tak hanya beredar di masyarakat, namun juga di kalangan pegawai Istana. Namun, Rajendra tak terlalu setuju. Ia hanya tertarik untuk melindungi Raja dan mengawal keluarganya. 

“Kalau begitu apakah aku boleh ikut masuk?” Sang Putri bertanya lagi. 

“Bahkan Kepala Ajudan juga diperintahkan keluar, Putri Madhuri.” Rajendra memberi wajah simpati karena dibalik rupa buruknya, sang Putri adalah gadis yang pintar dan peduli. Ia mungkin ingin tahu permasalahan apa yang dibicarakan sehingga musti menutup semua pintu ruangan dari empat penjuru mata angin. “Hanya Iblis yang tahu apa yang mereka bicarakan.”

“Bukan Malaikat?” Sang Putri terdengar kaget, namun tetap berusaha mengoreksi. 

“Bukan, Putri Madhuri,” Rajendra bersikukuh. “Lelaki itu adalah iblis.” 

Tepat ketika mereka tertawa mendengar lelucon itu, pintu terbuka dengan keras, dan Sagarika yang berbau ikan muncul dari baliknya sembari berteriak, “Sang Raja! Cepat bawa sang Raja!” Sang Putri dan ajudan itu segera mendorong lelaki itu hingga tersungkur dan melihat di ujung ruangan, di tahtanya, sebilah pedang menusuk dada sang Raja hingga menembus singgasananya. 

*****

Naina segera berlari dari taman-taman bunga pribadinya ketika seorang ajudan melangkah masuk dan memberi kabar buruk. Ia sudah lama menemani sang Raja sehingga sangat yakin bahwa tidak mungkin bagi lelaki bijak itu memutuskan bunuh diri. Sebagaimana kata pepatah bahwa orang yang didatangi ajalnya sendiri akan melihat kilasan hidupnya, sang Permaisuri juga melihat ingatan-ingatannya jauh sebelum hari ini, ketika ia bukanlah seorang permaisuri yang hidup nyaman dalam istana dengan taman penuh buah dan kupu-kupu, atau berpakaian gaun-gaun indah yang menghiasi tubuhnya. 

Naina adalah pendatang di usianya yang baru sembilan tahun. Ia hidup luntang-lantung di sebuah kota pelabuhan bernama Jalapuri hingga remaja, bekerja sebagai penyanyi yang mendatangi rumah-rumah makan dan berdiri dua hingga tiga jam setiap malamnya. Suaranya yang indah sedikit menurun pada putrinya, Madhuri, meskipun sepertinya gadis itu akan sulit menjadi penyanyi karena wajahnya. Sebaliknya, dengan wajahnya yang cantik seperti melon matang, ia selalu diincar oleh pelanggan-pelanggan restauran. Kadangkala mereka menemuinya di balik panggung, menawarkan beberapa lembar uang dengan memasukkannya ke dalam saku, namun ia selalu menolak. Beberapa menghormati keputusannya, namun tetap saja ada pula yang mencacinya, menyebutnya murahan. 

Pada suatu waktu dikabarkan bahwa Raja muda yang baru naik tahta akan berkeliling kerajaan dan dalam perjalanan itu, akan mengunjungi Jalapuri dalam tiga hari. Ia pun absen menyanyi dan belajar merias diri. Ia melakukan segala cara, termasuk berendam dalam air bunga, minum jejamuan sepahit biji mahoni, hingga menggunakan bedak mahal yang menghabiskan uang makannya. Namun, usahanya terkhianati. Sang Raja muda sama sekali tak meliriknya ketika berparade. Lelaki itu hanya melambaikan tangan kesana kemari tanpa bisa melihat seorang gadis cantik yang sering digoda lelaki paruh baya. Untuk sesaat, Naina merasa rendah diri. Kepercayaan dirinya luntur bersama riasan yang ia hapus malam harinya. Namun kemudian pemilik restoran tempatnya bernyanyi mengabarkan bahwa sang Raja muda akan makan malam di tempatnya. Mau tak mau ia memakai lagi riasan itu dan tersenyum cerah. 

Sang Raja muda bisa merasakan sendiri bagaimana senyum itu begitu merekah, tak luntur-luntur. Gadis yang bernyanyi di hadapannya begitu riang membawa suasana malam seolah kembang api tahun baru terus meletus. Pengalaman malam itu tak hanya diingatnya melalui pedas macchak jora di lidah, tetapi juga seorang gadis secantik melon matang yang bernyanyi riang. Seusainya gadis itu bernyanyi, sang Raja muda memanggilnya dan Naina kaget karena sang Raja tak menghampirinya di belakang panggung. 

“Maukah kau menjaga dirimu dan menunggu hingga lima tahun lagi?” Sang Raja bertanya. Naina hanya bertanya-tanya dan menampilkan wajah keheranan. “Aku baru mau menikah di usia 23, jadi datanglah ke Istana lima tahun lagi.”

Naina tak tahu betapa tersipunya ia malam itu, namun semua orang yang bersorak dalam restoran itu melihat pertunangan sang Raja muda beberapa hari setelah ayahandanya wafat. Malam dilanjutkan dengan pesta besar, hari-hari selanjutnya diwarnai dengan suasana hati Naina yang gembira dan menyanyi tak henti-henti. Pelanggan-pelanggan lelaki tidak lagi melihatnya sebagai gadis murahan yang bisa disewa di belakang panggung, meskipun Naina kemudian mendapatkan ancaman pembunuhan dari orang-orang besar yang berharap mendapatkan sang Raja sebagai menantu. Hingga akhirnya lima tahun kemudian ia menunaikan janjinya dan menikahi sang Raja. 

Sayangnya, hari ini, ia musti melepas pangeran dalam hidupnya. Ia hanya bisa menggenggam tangan lelaki itu di sampingnya ketika sang Raja bersimbah darah dengan sebilah pedang di dadanya. Rakamandra, lelaki yang meminangnya tiga puluh tahun lalu itu, kini memanggil namanya untuk terakhir kali. “Naina, kamu periang seperti bunga-bunga. Kenapa menangis?” Dan Naina sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan itu kecuali dengan senyum pahit di bibirnya.

*****

Sagarika masih memegang kepala dengan kedua tangannya, menundukkan kepala dan menatap lantai berdebu di bawah kakinya. Belum dua puluh empat jam sejak ia mendatangi Istana, kini ia sudah tak lagi di ruangan mewah yang biasa ia tempati, namun penjara gelap di lantai bawah tanah. Udara pengap dan serbuk jamur memasuki hidungnya. Penglihatannya hanya dibantu nyala obor di koridor. Namun, bukan ruangan itu yang musti ia waspadai, melainkan ajudan bermata sangar yang sejak tadi memelototi.

“Kalau bukan karena Kepala Ajudan atau sang Putri, aku mungkin sudah memenggal kepalamu,” Rajendra mengancamnya untuk ratusan kali, ingin menunjukkan bahwa sebenarnya ia tak akan menahan diri.

Sagarika hanya menghela, sama seperti ratusan ancaman sebelumnya. “Terserah padamu, anak muda. Aku sama sekali tak akan mencegahnya.” 

“Lalu kenapa kau membunuh Raja?” Rajendra membentak. 

“Aku tak membunuhnya!” Sagarika mengelak. “Bukankah tadi kau sudah dengar bagaimana permaisuri mengakui bahwa memang Rakamandra…”

“Jangan sebut namanya dengan mulut baumu itu!” Rajendra menghunuskan tombaknya melewati jeruji besi. 

“Maksudku, Paduka Raja…, permaisuri sudah tahu ia bunuh diri. Bukti-buktinya memang mengarah ke sana. Tak mungkin aku melakukannya!” Sagarika membantah dengan sepenuh hatinya. Wajahnya lebih tampak seperti kebingungan dari pada tidak berdosa. Rajendra pun menarik tombaknya, menghela napas marah karena mengakui bahwa membunuh lelaki pasar ini hanya akan membuat permasalahan menjadi lebih runyam. Sesaat kemudian, sang Putri datang dengan menuruni tangga, mengambil sebuah obor dari dinding dan memerintahkan ajudan itu pergi. 

“Tapi, Putri Madhuri…” 

“Tak apa, Rajendra. Aku tak akan bunuh diri hanya dengan mengobrol dengan Tuan Sagarika.” Setelah ajudan itu pergi, sang Putri memberikan obor itu kepada Sagarika agar memasangnya di dinding penjara. Gadis itu duduk di lantai koridor yang berbatu, bersila menghadap pada lelaki di hadapannya. Keduanya menghidup keheningan bersama-sama, sebelum akhirnya memulai berbicara. 

“Aku turut berduka, Putri Madhuri.” Sagarika memulainya. “Aku tak bisa menahan ayahmu ketika ia mengambil pedang di sakunya lalu menusuk dada. Bahkan mungkin aku tidak seharusnya datang hari ini.”

“Kau juga pasti akan berduka,” balas sang Putri. “Kalian adalah teman dekat sejak kecil. Ayah tak pernah bercerita tentangmu sebelumnya, hingga akhir-akhir ini.” 

Mata Sagarika terbuka lebar, wajahnya penasaran. “Apa yang ia katakan tentangku?” Sang Putri terdiam sebentar, lalu menjawab. 

“Bahwa kau sangat berjasa untuknya, bahwa kau sangat handal dalam bercerita tentang apa yang musti Ayah lakukan untuk kerajaannya. Maharupa berutang besar kepadamu untuk segala kemajuan ini. Saran-saranmu selalu Ayah lakukan dan tanpamu, mungkin ia tidak menjadi raja yang sehebat itu.” Sagarika tertawa kecil, namun hatinya tersentuh. Matanya berkaca-kaca dengan air mata yang hendak tumpah, sebelum akhirnya sang Putri melanjutkan, “Namun kau tertarik pada perang, dan selalu mendambakannya terjadi di sini.”

Sagarika terdiam. Ia berdiri mendekati jendela yang menyalurkan udara dari permukaan dan mencoba menghirup udara segar. Ia ingin sekali menanggapi kata-kata itu, namun ia menahan diri sebagai penghormatan agar sang Putri segera beranjak dan pergi. 

“Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?” Sang Putri beranjak namun tidak pergi, ia mendekat dan menggenggam jeruji besi dengan kedua tangannya, menjorokkan wajahnya ke dalam. “Baru kali ini Tuan Sagarika datang dan meminta pertemuan pribadi.” 

“Mereka membicarakan ancaman perang.” Sagarika dan Putri Madhuri menoleh bersamaan. Jawaban itu muncul dari Permaisuri Naina yang tanpa mereka sadari turun dari lantai utama setelah ajudan Rajendra mengabarkan kepadanya. Naina segera datang, setelah memerintahkan diadakannya Pekan Penghormatan selama tujuh hari tujuh malam, mengundang seluruh masyarakat Kerajaan Mahapura untuk mengantarkan kepergian sang Raja. “Aku tahu tanpa perlu ikut pembicaraan kalian. Aku datang dari Dataran Utama yang selama ini memang membenci kerajaan ini.”

*****

Rakamandra adalah pencinta damai, sang permaisuri memulai ceritanya, bukan karena ia benar-benar baik, tetapi karena ia adalah lelaki yang lemah. Ia gagal dalam semua tes pertarungan, tidak kuat dalam mengangkat pedang dan bertubuh ringkih ketika kecil. Oleh karena itulah Paduka Raja sebelumnya kemudian memintanya untuk mempelajari strategi perang. Sayangnya, Rakamandra kemudian lebih tertarik pada tata-kelola sumber daya alam, mempelajari berbagai hal dalam peternakan, pertanian dan perdagangan. Ketika naik singgasana tiga puluh tahun lalu, ia memutuskan untuk berhenti berperang dan fokus pada kerjasama ekonomi. Keputusannya memperkuat angkatan laut bukanlah untuk menyerang Daratan Utama, melainkan menjangkau lebih banyak kerajaan di pulau-pulau jauh. Untuk itulah akhirnya kita bisa menikmati karpet-karpet Persia atau daging hewan-hewan besar yang tumbuh di daratan lain. Kemajuan yang kita nikmati hari ini bukan hanya karena saran dari Tuan Sagarika, tetapi keputusan Rakamandra untuk tidak berperang. 

Sagarika mengangguk, ia benar-benar setuju. 

Namun, kelemahan Rakamandra tak hanya dengan tubuhnya, Sagarika menanggapi Paduka Permaisuri, tetapi juga ketakutannya akan perang. Ketika kami kecil, ia sudah takut melihat permainan anak-anak yang penuh baku-pukul, menghindari permainan pedang kayu atau bahkan sekedar melihat darah. Untuk itulah aku benar-benar khawatir ketika datang hari ini, karena aku akan menyampaikan berita yang kudapatkan di Haatnagar: kerajaan-kerajaan di Daratan Utama sudah lapar akan peperangan, dan mungkin dalam tiga bulan atau lebih cepat mereka akan segera datang dengan ribuan pasukan. Bukankah itu akan menyenangkan?

Putri Mandhira mengangkat wajahnya, tidak menyangka akan mendengar kata peperangan selain dari buku-buku yang ia pelajari. Ia jijik melihat senyum merekah dari wajah lelaki itu. 

Kau sudah gila, Tuan Sagarika! Bukankah kita musti bersiap-siap, Ibunda? Mungkin kita musti mempersiapkan angkatan laut kita. Permaisuri menggeleng. Ia mengajak gadis itu naik untuk meninggalkan lelaki itu tetap berada di penjaranya. Sembari berjalan naik, permaisuri mengutarakan pikirannya. 

Kita tidak akan berperang, Madhuri. Kita akan melanjutkan apa yang dilakukan Ayahmu untuk mempertahankan kerajaan ini. 

Mendengar saran itu dari jauh, Sagarika berteriak, Itu tidak mungkin Paduka Permaisuri. Kalian hanya akan menjadi korban kebengisan mereka. Kerajaan ini hanya akan menjemput ajalnya!

Tak akan kubiarkan hal itu terjadi, bajingan pendosa!, ucap permaisuri sembari berbalik mengacungkan jari tengahnya. Dalam tiga bulan berikutnya, ia kemudian memerintahkan pembangunan benteng di seluruh penjuru pulau, menutup akses kerajaan itu dari segala sisi dan secara tidak sengaja menghancurkan pusat perdagangan yang telah dibangun selama tiga puluh tahun. Permaisuri Naina bersikap seperti dirinya di masa lalu, seorang penyanyi muda nan cantik yang digoda-goda oleh pelanggan restoran, menawarkan sejumlah uang hanya untuk kenikmatan semalam. Bedanya, kini ia punya kuasa. Ia memproklamirkan diri sebagai penerus sang Raja yang baru dan menyematkan sebutan Ratu sebagai nama depan. Ratu Naina sah menjabat dengan dukungan menteri-menteri lama yang sedikit enggan namun tetap menghormatinya sebagai keluarga kerajaan. 

*****

Putri Madhuri pergi ke Daratan Utama setelah melihat jenazah sang ayah dilarung ke laut bersama api besar dan asap kehitaman dalam upacara hari ketujuh. Raja Rakamandra yang Agung dan berhasil memimpin Kerajaan Maharupa menjadi salah satu pusat perdagangan penting akhirnya tutup usia dan menjadi legenda hingga ratusan tahun kemudian. Namun, cerita keagungan akan selalu diikuti oleh kisah kegagalan. Permaisuri yang menggantikannya gagal. Ia hanya memerintah tak lebih dari dua belas bulan sebelum akhirnya digantikan oleh sang Putri Buruk Rupa, Madhuri. 

Namun, sebelum jauh ke sana, mari kita beralih pada perjalanan Madhuri yang datang sembari menyembunyikan identitasnya. Ia bisa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ribuan pasukan dari tiga kerajaan di dataran utama dipersatukan dalam sebuah gurun pasir luas. Mereka mendirikan tenda dan menyanyikan lagu kebangsaan dari masing-masing kerajaan untuk menemani pesta mereka semalaman. Esoknya, mereka tertidur pulas hingga sore hari dan begitulah seterusnya siklus itu berjalan hingga hari peperangan yang dijadwalkan tiba. Madhuri yang menyadari bahwa pasukan dari Dataran Utama tak lebih dari sekedar sampah kemudian kembali ke Maharupa dan tak meluangkan waktu selain menuju ke penjara bawah tanah, mengunjungi Sagarika yang ia hormati. 

“Bukankah kau menyukai peperangan dan berniat melihatnya dengan mata kepalamu sendiri?” Tanya sang Putri. Sagarika awalnya keheranan, namun dengan cepat matanya sumringah menunjukkan rasa senang. Lelaki itu tampak kegirangan dan adrenalinnya meningkat. Hatinya berdebar kencang hingga ia tak bisa tidur semalaman. Hingga akhirnya ia dijemput oleh Rajendra dan keluar dari istana menuju kota pelabuhan, Jalapuri. Dalam perjalanannya, ia sempat melihat seluruh masyarakat berbondong-bondong membawa hewan ternak menuju Istana. Ia bertanya pada Rajendra apa yang sebenarnya sang Putri rencanakan. 

“Kemarin, Tuan Putri memerintahkanku untuk memanggil seluruh masyarakat untuk datang ke istana mendengar titah Permaisuri,” ajudan itu mulai bercerita untuk menjawabnya. “Namun, alih-alih Paduka Permaisuri, Tuan Putri sendirilah yang muncul. Masyarakat mau tak mau merasa bahwa mereka dikutuk massal dan menghindari menatap mata Tuan Putri. Sebagai gantinya, Tuan Putri memberi titah, Agar kalian tak mendapatkan nasib buruk hingga dua puluh empat jam ke depan, maka datanglah dengan seekor kambing atau sapi dan kurbankan mereka di sini. Lihatlah, Tuan Putri dengan cerdas memiliki rencananya sendiri. Dia hebat, kan?”

Sagarika mengangguk. Ia mengakui bahwa kemunculan sang Putri di muka umum adalah rencana yang cerdas. Namun, apa peran yang ia jalankan dalam rencana sang Putri?

“Bukankah kau sendiri yang menawarkan diri? Kukira kau sudah tau apa yang akan terjadi.” Rajendra menjawab lugas. Sagarika membelalakkan matanya, sadar apa yang akan terjadi. Ia lari dari gerobak yang membawanya ke pantai. Sayang, ia sudah terlalu terlambat karena menginjakkan kakinya di pasir. Sejauh apapun ia berlari, Rajendra dapat dengan mudah menangkapnya, mengikatnya sendiri di atas sebuah perahu, lalu membiarkan ombak tenang membawa lelaki itu ke lautan lepas. 

Di istana, Putri Madhuri mengumpulkan persembahan di alun-alun lalu merapalkan mantra-mantra yang ia pelajari. Tak lama, semua persembahan itu hilang. Langit Kerajaan Maharupa yang awalnya terang kemudian berganti dengan bintang-bintang. Sang Putri menghela napas setelah ritualnya berhasil. Ia dan kerajaannya tidak lagi perlu berperang melawan Dataran Utama, mereka tak akan bertemu lagi bahkan untuk perdagangan. Ribuan pasukan yang datang untuk perang itu konon tak melihat apapun kecuali lautan kosong, dan sebuah kapal berisi lelaki yang lapar dan kehausan karena tak makan apapun selama tiga hari terombang-ambing. 

Pulau Maharupa menghilang. Kerajaan itu berpindah ke wilayah yang jauh, di sisi lain bumi. Putri Madhuri yang buruk rupa memulai kembali perdagangan dengan kerajaan-kerajaan baru di sekitarnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)