Flash
Disukai
0
Dilihat
3,102
Telaga Itu Bukan Dongeng
Religi

Tidak tahu seberapa besar telaga ini, namun luas dan jaraknya hampir bisa kulihat seakan tak bertepi. Radius telaga berbanding sama dengan jumlah manusia yang ada di sekitarnya. Anehnya, tak sekalipun mereka-mereka yang ada di sini merasakan sesak, berjejalan, atau berhimpitan. Telaga memberikan cukup ruang lega bagi satu individu manusia. Ini tak masuk akal sama sekali, karena kalau kuhitung-hitung, manusia yang ada di sini mungkin ratusan juta jumlahnya, milyaran? Bisa jadi! Entahlah, di sakuku tak ada alat hitung saat ini.

Jangan ditanya seberapa familiarnya aku dengan keramaian dan over populasi manusia, atau seberapa terbiasanya aku dengan berjejal-jejalan atau berhimpitan di jalan-jalan setiap harinya. Aku pernah hidup di tengah masyarakat paling over populasi di dunia. Penduduk negaraku berada di urutan pertama di antara negara-negara lain di muka bumi.

Aku seorang Mappila, sebutan untuk muslim di negara bagian Kerala, India. Dulunya aku dan keluargaku tinggal di Kasargod, tepatnya di desa Munnar. Ah, aku sampai lupa menyebutkan namaku, aku Kunhali, tapi keluarga dan teman-temanku kerap memanggilku Kundu.

Tak sedikit orang-orang di telaga ini yang berbahasa Malayalam sepertiku, namun ada pula kutemui yang berbahasa Tamil, Marathi, Urdu maupun Hindi. Sekali lagi, anehnya aku bisa memahami ucapan mereka semua. Tak ada kendala terkait perbedaan bahasa. Arab, Punjabi, Italia, dan Rusia, aku mengenali semua aksen-aksen mereka, namun ajaibnya kami semua dapat saling berkomunikasi. Secara universal, kami semua saling mengerti. Tak ada lagi pembagian etnis, batas negara, dikotomi kasta, perbedaan bahasa dan budaya. Semuanya lebur menjadi satu!

Aku ingat dahulu saat mengikuti pelatihan teknik sipil di kota Chandigarh, aku terkendala bahasa ketika di sana hingga dirundung karenanya. Hasilnya kerja dan usahaku tak maksimal. Aku gagal dalam pelatihan kerja, lalu ujung-ujungnya hanya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang kecil gajinya.

Aku bagian dari Indian modern yang menempatkan rasionalitas dalam berlogika, alih-alih dongeng yang diceritakan oleh banyak agama. Sejak menginjak usia dewasa aku sudah meninggalkan doktrin-doktrin kuna yang diceritakan dalam buku-buku yang mudah berdebu.

Tapi di sini, logikaku tak memiliki arti dan peran lagi. Apa yang dulu kuyakini sebagai dongeng, kini adalah realita dan kenyataannya. Kehidupan yang dulu kuyakini sebagai satu-satunya realita, kini hanya tinggal menjadi cerita lama yang tak bersisa.

Di sini, wajah semua orang berseri-seri, memancarkan sinar ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasaan hati. Sumringah lepas disunggingkan tanpa henti, menghiasi para manusia pilihan yang bisa memasuki telaga super indah ini. Jangan tanya seberapa indah pemandangannya, padanannya tak pernah sekalipun aku temui ketika di dunia. Padang hijau membentang, ditumbuhi segala macam bunga berbagai warna dengan semerbak harum yang memanjakan penciuman. Telaga persis berada di tengah padang, airnya tidak dangkal namun juga tidak dalam. Jernih sejernih pikiran, bening mengkristal memberi kedamaian. Belum disentuh, kami semua yang ada di sini sudah bisa merasakan betapa hangat dan sejuknya air telaga di waktu yang bersamaan. Ketika menengok ke atas, telaga beratapkan hamburan bintang, lukisan galaksi dengan tarian aurora berwarna-warni. Toska menjadi warna dominan di dasar telaga, memantulkan pesona atap langitnya bak sebuah cermin.

Apa yang sedang kami tunggu? Ya pemilik telaga ini. Katanya dia akan datang, menjamu para tamu di telaganya, memberi minum dan melepas dahaga kesusahan abad yang berlaksa-laksa. Telaga bak suaka perlindungan dari huru-hara dan penderitaan tak tergambarkan di luar sana. Kami semua merasa beruntung bisa masuk ke dalam sini. Ini tiket masuk yang melampaui semua kelas VVIP, memilikinya adalah suatu keuntungan. Tiket yang kami dapatkan secara gratis dan otomatis, sebab selama di dunia mengikut setia pada sang empunya telaga.

Hingga saat ini aku masih tak percaya bahwa ini nyata. Perjamuan besar ini, tak terbayang sama sekali telah menjadi kenyataan. Peristiwa yang melampaui torehan sejarah manapun.

Aku bersama seluruh keluargaku, menanti dengan sabar sang bintang utama. Sosok mahsyur yang tak pernah kami lihat semasa di dunia, tapi namanya tergaung sepanjang sejarah peradaban yang dimiliki manusia. Sosok itu dahulu sama dongengnya dengan telaga besar ini, hanya diyakini oleh mereka-mereka yang sungguh percaya dengannya.

Saat sosok itu akhirnya datang, semua hati bergetar dalam gelombang keriuhan dan kerinduan. Telaga ini adalah nyawa dan nafasnya, telaga ini adalah esensi cinta dan kasihnya, telaga ini adalah manifestasi kepeduliannya pada kumpulan hambanya.

Suara merdunya memecah bak panggilan seorang Ayah, seruannya lembut tak menggebu sehalus panggilan seorang Ibu. Pancaran sinarnya menaungi, tatapannya langsung menusuk intens ke sanubari. Secara personal ia berbicara kepada kami semua di sini.

Kemudian, gaya yang lebih hebat dan dahsyat dari tarikan gravitasi mencoba menarikku keluar dari kerumunan, mencoba menjauhkanku dari sosok mulia itu dan dari telaganya. Anak, istri, orang tua, tak bisa melakukan apa-apa, mereka sama tak berdayanya. Aku berteriak, memohon dan meminta tolong agar tidak dikeluarkan. Namun apa dayaku, hukum itu tertulis sudah sejak dahulu. Narasi dongeng itu sekarang adalah sebuah kenyataan pahit.

"Enyahlah kau dari telaganya, kau bukan bagian dari umatnya," tegas satu suara entah dari mana.

Penolakan itu menyakiti hatiku. Tapi itu bukan salah siapa-siapa, melainkan salahku sendiri yang dahulu tidak pernah percaya dan menolak untuk meyakininya. Hanya KTP-ku saja yang bertakwa, sementara kesadaranku tidak.

Andai waktu bisa diputar, ingin kutegaskan pada serangkaian kesadaran, akan kupatri dengan tinta-tinta emas, bahwa kisah-kisah itu benar adanya. Telaga dan pemiliknya bukan dongeng.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)