Masukan nama pengguna
Udara malam begitu dingin sampai terasa menusuk ke dalam sum - sum tulang. Terkadang, angin bertiup cukup kencang berpadu dengan suara klakson kendaraan yang berada di jalanan. Waktu telah menunjukkan dini hari, tetapi jalanan Ibukota seperti tidak pernah mati, masih padat dengan hiruk pikuk Ibukota. Masih banyak pengendara motor maupun mobil bahkan kadang truk bermuatan, berseliweran melewati jalanan malam.
Pada saat lampu merah di tiang traffic light yang berdiri megah di samping jalan menyala, para pejuang rejeki yang mengandalkan penghasilannya melalui jalanan langsung menghambur ke para pengendara yang tengah berhenti, sambil membawa alat musik sederhana yang mereka buat dari bekas tutup botol soda dipaku di atas kayu kemudian bersenandung mengiringi udara malam yang begitu dingin. Terkadang orang - orang itu bisa mendapatkan hasil yang cukup untuk membeli makan selama seharian penuh yaitu sebanyak tiga kali makan, terkadang juga hanya cukup untuk membeli makan hanya sekali saja.
Suara itu tampak begitu jelas, deritan kerangka roda yang sedikit berkarat dari sebuah gerobak kayu yang setengah lapuk tengah berjalan di atas aspal berwarna hitam legam. Pemiliknya setengah kesusahan menyeret gerobak yang setengah lapuk, berisikan penuh botol plastik dan barang lainnya hasil dari memulung di jalanan maupun hasil mengais tong - tong sampah di gang – gang terdekat, rencananya akan dijual kepada pengepul besok.
Di seberang tiang traffic light, di sebuah kolong jembatan layang, tepat berada di samping tembok penyangga. Ada seorang lelaki separuh baya mengenakan kaos putih yang teramat sangat lusuh. Kaosnya kotor karena terpapar begitu banyak debu dan sudah lama tidak dicuci, nampak sekali usang. Bahkan beberapa ada lubang kecil yang membuat kulit tubuhnya sedikit terlihat dari celah - celah tersebut. Celananya tak kalah lusuh dengan beberapa robekan diujung, membuat benang kainnya menjuntai.
Dia duduk bersila hanya beralaskan karton, tas selempang besar yang lebih lusuh menjadi sebuah bantalan ketika ia tidur nanti. Meskipun begitu, raut mukanya tidak menunjukkan kesedihan melainkan terlihat tengah berbahagia. Ia tersenyum sambil mulutnya bergerak – gerak, berbicara.
“Nanti Bapak belikan makanan apa, nak? Mau rendang di warung nasi padang ya? Apa ayam bakar aja?” tanyanya bahagia.
“Mau, mauu!” sahutnya tak kalah gembira.
“Rendang ya, Pak! Tapi gak mau pake sambel sama sayur,” sambungnya sambil menjulurkan lidah seolah sayur adalah makanan yang harus ia hindari.
“Jangan gitu nak, sayur itu sehat penting buat kesehatan kamu,”
“Gak mau bapak, gak enak,” jawabnya enggan.
“Yaudah, sayurnya nanti bapak yang makan. Kamu rendangnya aja ya,”
“Yeeee horeee …,” ucapnya kegirangan sambil loncat - loncat kecil dan memutari orang yang ia panggil “Bapak”. Bapak itu tersenyum gembira sambil kepalanya mengangguk.
Udara malam itu masih sedingin es, tetapi si bapak tidak mengenakan jaket atau baju tambahan apapun untuk melindungi dirinya dari terpaan angin yang menghujam kencang. Lampu merah mulai menyala lagi, dan para pejuang jalanan mulai menghambur kembali menjemput rejeki masing – masing.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilap meluncur dari arah traffic light yang telah berganti menjadi lampu hijau, tanda pengendara boleh melanjutkan perjalanan mereka. Mobil itu langsung berhenti tepat di depan Bapak yang tengah mengamati jalanan. Dia adalah seorang perempuan muda, jika ditaksir umurnya sekitar 25 tahun. Ia memakai pakaian yang rapi dan tampak begitu sopan. Ia selalu bertemu si bapak jika ia melewati jalan ini. Selalu memberi senyuman hangat dan terkadang sambil tak segan memegang tangan si bapak seperti kali ini.
“Anakku mau makan rendang hari ini, tapi uangnya ternyata gak cukup,” cerita si bapak pada peremuan muda ini. Kekecewaan yang terpancar dari bola matanya.
Perempuan itu mendengarkan celotehan si bapak tentang anaknya, dan si bapak dengan senang akan menumpahkan semua ceritanya pada perempauan muda ini. Perempuan ini mencoba memahami perubahan emosi yang mendadak si bapak tumpahkan kepadanya. Si bapak bisa saja menangis atau tiba – tiba di ujung ceritanya si bapak malah tertawa. Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum seakan memahami yang tengah diceritakan kepadanya padahal sebenarnya tidak. Ia menuju mobilnya sebentar lalu mengambil sebuah nasi kotak lengkap dengan satu botol minuman. Sambil tersenyum, ia memberikan nasi kotak kepada si bapak yang menerimanya dengan penuh rasa syukur.
Perempuan muda itu pamit dengan perasaan sedih yang terus menggerogoti hatinya. Si bapak tidak punya keluarga. Di tengah kejamnya Ibukota, selama ini dia hanya mengobrol sendirian. Perempuan itu akhir – akhir ini sering datang, sedikit mendengarkan cerita si bapak dan selalu memberikan nasi kotak pada si bapak.