Masukan nama pengguna
Di tengah wilayah 'Hutan Terlarang' yang penuh dengan rimbunan pepohonan yang menjulang tinggi dan rindang, serta kegelapan yang menyelimuti segala sudut, langkah pelan seorang pria menghancurkan dedaunan kering di bawah kakinya.
Raphael, menyusuri lorong-lorong alami yang membentuk lorong sempit di antara pepohonan tua yang membentang. Pembunuh bayaran yang penuh misteri, berjalan dengan hati-hati setelah selesai menjalankan misinya.
Tidak terlihat dan seperti hantu yang bergerak dalam kegelapan malam. Matanya tajam dan dingin, menafsirkan kecanggungan dan kegelisahan batin yang tersembunyi di balik sosoknya yang gelap.
Di dunia yang tersembunyi ini, ia adalah hantu gelap yang tak terlihat, penunggang malam yang menghantui bayangan musuhnya. Bayangan-bayangan hitam pekat yang melayang di belakangnya mengilhami ketakutan dan kecemasan dalam hati orang-orang yang mengetahui reputasinya sebagai pembunuh bayaran yang kejam dan tak terkalahkan.
Setiap gerakan tubuhnya teratur dan lincah, seolah-olah ia menyatu dengan kegelapan itu sendiri, menjadikan dirinya sebagai ancaman yang sulit dipahami dan tidak terbaca. Matanya yang tajam seperti mata elang, selalu waspada terhadap bahaya yang mengintai di sekitarnya.
Dia bukanlah sekedar pembunuh, melainkan pemburu yang tak tertandingi, menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam liar, bergerak dengan anggun dan diam-diam, hingga menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang mencoba melintas di jalurnya yang mematikan. Dalam setiap langkahnya, ada pesan kehancuran dan kegelapan, dan rasa takut menyelimuti segala sesuatu yang mendekatinya. Semua orang tahu bahwa ketika Raphael hadir, kematian pasti mengikutinya.
Namun, tak jauh dari jalurnya, sebuah keheningan terputus oleh suara gemuruh yang menggetarkan hutan. Pada saat itu, Raphael merasa ada sesuatu yang tak biasa. Dia merasakan getaran yang aneh dalam jiwanya, sebagai reaksi terhadap panggilan gaib yang tak dikenal. Langkahnya memimpinnya ke sumber suara itu, dan di antara dedaunan dan kegelapan, Raphael menemukan pemandangan yang tak terduga.
Raphael melihat sosok yang terbaring lemah di tanah. Dalam keadaan terluka dan rapuh, tetap tidak mempengaruhi keindahannya yang tak terbantahkan. Wajahnya yang anggun memancarkan cahaya lembut di antara kegelapan, dan matanya yang bercahaya seperti bintang di langit malam.
Raphael terpukau oleh kecantikan sosok yang terlihat begitu luar biasa dimata lelaki itu. Dia merasa seolah-olah belum pernah melihat sesuatu yang seindah ini dalam hidupnya yang gelap dan penuh darah. Ada daya tarik yang tak terlukiskan dalam sosok ini, dan Raphael merasa hatinya bergelora oleh kehadirannya yang mempesona.
Namun, di balik keindahannya yang memukau, Raphael juga merasakan aura misterius yang mengelilinginya. Ada kesedihan yang tersembunyi dalam matanya, dan sesuatu yang dalam tersembunyi di balik kecantikan yang terpancar dari tubuhnya.
Pertemuan ini telah merubah segalanya bagi Raphael. Dia merasa takdir mereka telah saling terkait, dan entah bagaimana, sosok ini mempengaruhi hatinya yang keras dan dingin. Dia merasa ada kekuatan gaib yang tak terduga dalam pertemuan ini, dan dia tidak bisa mengabaikan perasaan anehnya terhadapnya.
Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar cinta dan kebencian yang tak terduga dalam hubungan mereka. Dalam kegelapan hutan yang penuh bahaya, takdir mereka saling terjalin, dan Raphael tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan sosok yang terluka ini.
Diam-diam, Raphael mendekati sosok yang terluka itu. Pria itu terkejut, saat ujung matanya menangkap sepasang sayap, namun satu sayapnya terlihat patah. Kondisinya sekarat di tengah Hutan Terlarang. Ada keanggunan luhur dalam wajahnya yang penuh derita, dan Raphael merasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Dia ragu, apakah dia harus membantu sosok ini atau membiarkannya sekarat di sana.
“Makhluk apa kau ini?” gumam Raphael sambil jongkok dengan lutut kanannya ditekuk menyentuh tanah.
Dengan berat malaikat itu menolehkan wajahnya ke arah Raphael.
“Aku Malaikat.”
“Oh, lalu siapa namamu wahai malaikat?” tanya Raphael dengan nada mengejek.
”Aku tak bisa memberitahumu manusia.”
“Lalu aku akan mempercepat kematianmu.”
Malaikat itu terdiam sejenak, matanya yang indah menatap tajam ke dalam jiwa Raphael. Dia merasakan kegelisahan dan kebingungannya, namun ada rasa kebenaran di balik kata-kata sang pembunuh bayaran itu.
“Celeste,” dengan suara sangat sejuk.
“Aku pernah mendengar dari dongeng, jika malaikat itu berbentuk cahaya.”
“Manusia hanya bisa bercerita tanpa tau kebenarannya.”
“Dan kau terlalu banyak omong untuk sosok yang menjuluki dirinya malaikat.”
Celeste terkejut dengan perkataan Raphael, baru ini dia menemukan manusia unik sepertinya, atau memang semua manusia sama, pikirnya.
"Kenapa kau membantuku, manusia?" lagi-lagi suara Celeste terdengar lembut, seperti bisikan angin, dan menenangkan. "Apa yang kau harapkan dariku?"
Raphael menatap Celeste dengan tajam, tetapi ada ketidakpastian di matanya yang gelap. Dia belum pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Dia tidak tahu mengapa, tetapi sesuatu tentang perempuan terluka ini menarik perhatiannya.
"Kenapa kau berkata seperti itu? Aku bahkan belum memutuskan apakah akan menolongmu atau tidak," jawabnya dengan suara dingin. "Tapi satu hal yang pasti, tidak ada sesuatu yang datang tanpa sebuah harga. Jika aku membantumu, maka kau akan berutang padaku."
Perlahan, senyum samar melintas di wajah malaikat terluka itu, seolah mengisyaratkan bahwa dia memahami permainan manusia yang penuh dengan perhitungan.
"Demi takdir kita yang berlawanan, aku bersedia berutang padamu wahai manusia," jawabnya dengan hati-hati. "Tapi ingatlah, jangan mengharapkan sesuatu yang suci dari hubungan kita."
"Suci? cih," ujar Raphael sinis. “Aku sudah lama tak mendengar kata itu, jalanku terlalu hitam.”
"Kau mungkin berjalan dalam kegelapan, tetapi tidak ada yang benar-benar hitam atau putih dalam dunia ini," ucap Celeste dengan penuh perhatian, mencoba membuka hati Raphael. "Ada cahaya di dalam setiap jiwa, meskipun tersembunyi di balik bayangan yang kelam."
Raphael terdiam, merenungkan kata-kata malaikat kematian itu. Namun, dia juga tahu betapa kejam dan kejamnya dunia yang telah dia geluti selama ini. Hati dan jiwanya sudah mati terhadap kebaikan dan keindahan.
"Kau salah mengiraku," ujar Raphael, tatapannya masih tajam. "Aku tak lagi memiliki hati yang dapat menerima cahaya. Hidupku adalah kegelapan belaka."
"Kegelapan adalah bagian dari hidupmu, tapi itu bukanlah akhir dari cerita," sahut Celeste dengan penuh keyakinan. "Kau mungkin berjalan di antara bayangan, tapi dalam dirimu masih ada potensi untuk kebaikan dan keindahan. Aku bisa menemukan cahaya yang tersembunyi dalam hatimu."
Raphael merenungkan kata-kata malaikat itu, perasaannya berkecamuk. Sebuah perasaan yang sudah lama terkubur mulai muncul kembali.
"Aku tidak ingin terjebak dalam ilusi," ucap Raphael akhirnya dengan suara rendah.
Celeste mendekat, tangannya lembut menyentuh pipi Raphael dengan penuh belas kasihan. "Kau tidak akan sendirian dalam perjalanan ini, Raphael."
Raphael menatap malaikat kematian itu, hatinya berdebar-debar. Dia merasa ada magnet yang menariknya pada kehangatan yang tersembunyi dalam sosok Celeste. Namun, ketakutan akan penghancuran diri yang lebih besar membuatnya ragu untuk mengikuti hasrat itu.
Celeste tersenyum lembut, mengambil tangan Raphael dan meletakkannya di atas dadanya yang lembut. "Biarkan aku membantu membawa cahaya dalam hidupmu, Raphael. Kita bisa mengatasi kegelapan bersama-sama."
Dalam keheningan Hutan Terlarang, pembunuh bayaran yang misterius dan malaikat kematian yang anggun saling memandang. Pertemuan di tengah kegelapan telah membuka jalan untuk takdir mereka yang saling terkait. Namun, apakah mereka akan menemukan kebahagiaan atau hanya kehancuran, hanya Tuhan yang tahu.
Raphael mengangguk sekali, dan tanpa berkata lagi, dia berlutut di samping Celeste yang terluka. Dengan tangannya yang terampil, dia memeriksa luka-luka di sayapnya dan mencoba menghentikan pendarahan. Meskipun hatinya keras dan dingin, dia tidak bisa menahan rasa iba yang tumbuh dalam dirinya.
Bagian bawah sayap Celeste yang patah mengeluarkan sinar pucat, memancarkan kekuatan gaib yang membingungkan Raphael. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dalam kehadiran malaikat ini, sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan yang luar biasa.
Saat Raphael berusaha menyembuhkan luka Celeste, dia merenungkan tentang pertemuan tak terduga ini dan betapa takdir tampaknya telah mempertemukan mereka.
Dalam keheningan Hutan Terlarang, dua dunia yang berlawanan telah bertemu.
***
"Bisakah kau hilangkan sayapmu itu?" pinta Raphael, suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku tidak bisa," jawab Celeste.
"Terlalu mencolok," geram Raphael, suaranya terdengar sedikit bergetar. "Kalau tidak coba ganti warna sayapmu menjadi hitam."
"Dengan berat hati aku harus memberitahumu manusia, aku tidak bisa," jawab Celeste dengan nada sedih. Raphael menghela napas berat dan menggelengkan kepalanya.
"Aghhh! Baiklah, pegangan saja yang erat," balas Raphael. Celeste mengeratkan pegangan tangannya yang melingkar pada leher Raphael.
Celeste dan Raphael meliuk-liuk di antara batang-batang pohon raksasa di Hutan Terlarang. Meskipun kecil dan ringan, kehadiran Celeste tidak memperlambat Raphael saat dia melangkah maju dengan Celeste yang dipeluknya erat-erat. Angin dingin mengibas rambut mereka saat mereka berlari menuju tempat aman yang tersembunyi di depan, tak satu pun dari mereka berani menoleh ke belakang karena takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Terus maju, mereka terus berlari, melewati lumpur dan lumpur, pepohonan yang menipis di belakang mereka sampai sebuah tempat terbuka muncul di cakrawala. Meskipun kaki mereka telah dihantam oleh bebatuan dan aliran air hujan, langkah mereka tidak pernah surut. Apa yang terbentang di depan mereka jauh lebih penting daripada rintangan apa pun yang berani menghalangi jalan mereka, sehingga mereka terus berjalan dengan susah payah melewati hutan yang dipenuhi kabut.
"Sial! Mereka mendekat," umpat Raphael, sambil menengok ke belakang dari balik bahunya. Kabut mulai menebal, dan para pengejar mereka semakin mendekat. Para malaikat itu tampak terbang semakin dekat, sayap-sayap mereka mengepak di udara malam seperti guntur.
"Untung saja pohon disini besar, jadi membuat mereka kesulitan mengejar kita. Terima kasih untuk para dewa lama dan dewa baru karena pepohonan ini begitu perkasa, itu memberi kita jeda untuk melepaskan diri dari cengkeraman mereka."
"Maafkan aku, Raphael," bisik Celeste dengan nada meminta maaf.
"Tidak ada waktu untuk minta maaf sekarang!" teriak Raphael, lalu bertanya, "Apa aku bisa menggunakan senjataku untuk menghabisi dewa-dewa ini?"
"Sepertinya bisa, karena kau bisa menyentuhku," jawab Celeste.
"Bahkan sekarang aku menggendongmu."
Kabut di depan mereka mulai memudar, barisan pepohonan perlahan-lahan menyusut. "Sial!!!" gumam Raphael, "kita hampir setengah jalan melalui hutan terkutuk ini, dan jalan keluarnya sepertinya semakin jauh."
Mereka tersandung ke dalam lembah bebatuan, jauh di dalam bayang-bayang 'Hutan Terlarang' yang terkenal itu. Raphael memperlambat langkahnya untuk berjalan, nafasnya terengah-engah dan terengah-engah. Rasa takut yang dingin seakan mencengkeram hatinya, seakan memperingatkannya untuk berhati-hati. Setiap langkah kaki seakan bergema dalam keheningan menakutkan yang memenuhi udara seperti kabut tebal. Dia dapat merasakan ada mata yang memperhatikan mereka, mengawasi dari kegelapan di luar sana.
"Apakah kau lelah?" Celeste bertanya, suaranya nyaris tak terdengar seperti bisikan. Raphael menggelengkan kepalanya untuk menolak, lalu dengan hati-hati menurunkan Celeste ke salah satu batu besar di belakang mereka. Dia memastikan Celeste duduk dengan nyaman dan menyangga dengan kuat sebelum mengambil langkah mundur.
Jantung Celeste berdegup kencang saat ia bertanya dengan suara bergetar, "Apa yang akan kau lakukan?" Raphael perlahan-lahan menghunus kedua belatinya, logamnya yang berkilauan menangkap cahaya redup bulan. Udara terasa pekat dengan bahaya saat dia mempersiapkan diri, punggungnya menghadap Celeste dengan penuh perlindungan.
"Beristirahatlah, ini adalah urusan laki-laki," ujar Raphael sambil menoleh ke Celeste.
Lalu sepuluh malaikat yang mengejarnya sudah berada didepan mereka berjarak kira-kira lima meter. Para malaikat itu turun dengan anggun, mereka terlihat bersinar, terangnya menyinari gelap pada malam itu. Lalu salah satu dari mereka maju beberapa langkah.
"Celeste," kata malaikat itu dengan suara yang beresonansi dengan kekuatan, "atas perintah dari malaikat tertinggi, kau harus ikut dengan kami."
"Tidak," Celeste berkata dengan dingin, suaranya membelah udara yang pekat. "Sebaiknya kau kembali bersama pasukanmu, Mara."
Celeste merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tergagap, berjuang menahan rasa takut yang muncul di dadanya.
Bibir Mara memonyongkan seringai kejam. "Tolak perintah ini," desis malaikat itu, "dan kau akan dicap sebagai pengkhianat!"
"Aku tidak peduli dengan hal-hal sepele seperti itu lagi," ia mengamuk, suaranya bergetar karena marah. "Tidakkah kau benar-benar ingin melihatku tersingkir!?!"
"Lihatlah keadaanmu, Celeste," Mara memohon. "Aku bisa melihat betapa sakitnya dirimu, jadi biarkan aku membantumu. Tolong kembalilah."
Celeste meledak dalam kemarahan, suaranya menggelegar saat ia melontarkan kata itu dengan intensitas berbisa. "Omong kosong!"
Wajah Mara mengeras, matanya menyipit. "Baiklah, kalau begitu. Di-"
"Kalian berisik sekali, apakah semua malaikat selalu banyak omong seperti kalian, hah!?" potong Raphael yang terlihat muak dengan tontonan yang ada didepan matanya ini.
Mara melirik Raphael dengan pandangan jijik dan menghina.
"Berani sekali kau, Manusia rendahan," Mara meraung, "bahwa seorang manusia biasa berani berbicara dengan cara seperti itu? Bahkan berdiri di hadapan kami dengan kepala yang tidak tertunduk?" Kata-katanya angkuh penuh penenkanan dan bergema di seluruh penjuru lembah, sikap malaikat itu angkuh seperti biasanya.
Mendengar itu, Raphael mengeluarkan tawa yang menggelegar. "Hahahaha. Kalian memang kelompok yang lucu," katanya sambil menyeringai. "Jika kau ingin membawa Celeste, mengapa tidak mengambilnya dariku? Lagipula, dia sudah menjadi tawananku." Sorot matanya yang mengancam muncul saat dia berbicara, dan suaranya dalam dan penuh firasat.
Mata Mara berkilat dengan kemarahan, sayap malaikat mengepak memenuhi udara dengan hentakan yang dahsyat saat Mara melesat ke arah Raphael.
"Kalian para manusia berani sekali menghina-," pernyataan Mara terpotong oleh sebuah batu, yang dilemparkan dari tangan Raphael dengan akurat. Dia berlari melintasi hamparan di antara mereka, dan dalam sekejap Mara merasakan sayap malaikat itu tertarik kencang saat Raphael membawanya jatuh ke tanah. Kakinya yang bertumit menghantam Mara lagi dan lagi, amarahnya dilepaskan dengan kekuatan brutal.
"Sial! Ka-" seruannya tiba-tiba terputus saat Raphael menghantamkan sepatunya dengan keras ke wajah sang malaikat.
"Dengar ..." Raphael meludah, masih berdiri di atas wajah Mara. "Kau ..." Raphael melanjutkan dengan mengancam, menandai setiap kata dengan hentakan tumitnya. "Sangat ... berisik!" Menikmati aktivitasnya, Raphael mengakhiri dengan hentakan yang sangat keras.
Celeste dan para malaikat lainnya dipenuhi dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan atas apa yang telah terjadi, pikiran mereka berjuang untuk memahami bagaimana seorang manusia dapat melakukan tindakan keji seperti itu. Mereka merasakan lidah kengerian menjilati hati mereka ketika mereka merenungkan kebenaran yang mengerikan di hadapan mereka.
"Dengarkan aku sekarang," kata Raphael, sambil menatap Celeste dan kembali menatap para malaikat. "Selama aku masih bernafas, dia akan dirantai olehku. Tidak peduli apakah kau malaikat atau iblis bahkan dewa sekalipun; aku akan mengorbankan nyawaku sebelum ada sesuatu yang membahayakannya. Dia hanya milikku!!!"
"Beraninya manusia rendahan berbicara seperti itu!" teriak salah satu malaikat.
"Jika kau berani-" Dengan berat kedua belati mautnya menekan dada Mara, dan Raphael perlahan-lahan menancapkan kedua belati itu. Berkali-kali dia menusukkan baja lancip ke jantung malaikat itu, menikmati rasa sakit yang dirasakan malaikat itu saat Mara terengah-engah.
"Ra ... Raphael apa yang kau laku-" Suara Celeste mati di tenggorokannya saat dia melihat Raphael berbalik menatap ke arahnya, belatinya masih menikam Mara, lagi dan lagi. Wajahnya menampakkan tatapan penuh niat gelap yang membuat bulu kuduk Celeste merinding.
Sebuah cahaya aneh mulai menyatu di sekeliling Mara, semakin lama semakin terang hingga menyelimuti seluruh tubuh sang malaikat. Saat cahaya itu mulai memudar, Mara menjadi hujan bunga api keemasan yang menari-nari dan berputar-putar tertiup angin hingga menghilang dari pandangan.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Raphael perlahan-lahan bangkit berdiri dan mengusapkan lidahnya yang panjang ke bilah salah satu belatinya.
"Jadi begitukah cara kalian akan menemui ajalnya," kata Raphael mengancam, kata-katanya penuh dengan kepastian. "Bagaimana, apakah kalian berniat untuk melanjutkannya, wahai para malaikat-malaikat yang terhormat?"
"Kau kafir!" salah satu malaikat berteriak, meluncur ke arah Raphael diikuti oleh sejumlah malaikat lainnya. Ledakan sayap dan kemarahan suci mengelilingi Raphael saat mereka menghantamnya tanpa ampun.
Celeste tertegun dalam keheningan, mulutnya ternganga saat menyaksikan pemandangan yang terjadi di depannya. Sepuluh malaikat yang telah mengelilingi Raphael beberapa saat sebelumnya tiba-tiba jatuh seperti batu, dan cahaya keemasan yang cemerlang mulai memancar disekitar tubuh Raphael. Dia hampir tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat; seolah-olah dia sedang bermandikan kemuliaan surgawi. Dia tampak hampir seperti makhluk gaib sekarang, cahaya mengelilinginya dalam sebuah pelukan halus.
Celeste merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya, kengeriannya semakin bertambah dengan setiap nafas yang bergetar saat dia melihat pemandangan di hadapannya.
Setelah itu selesai, Raphael perlahan-lahan berbalik menghadap Celeste. Tatapannya terkunci pada tatapan Celeste, dan dia akhirnya mengulurkan tangannya ke arah Celeste.
"Ayo kita pergi dari sini, Celeste," kata Raphael sambil mengulurkan tangannya ke arah Celeste. Dengan ragu-ragu, Celeste mengulurkan tangan dan menggenggamnya erat-erat, tangannya gemetar saat angin malam yang dingin membelai kulit mereka.
Dia merasakan kehangatan sentuhan Raphael meresap ke dalam dirinya seperti selimut yang nyaman di malam musim dingin yang dingin, dan ketenangan dari luar menyapunya. Gerakan ini telah membentuk sesuatu di antara mereka - sebuah pemahaman yang melampaui kata-kata yang pernah diucapkan.
"Bisakah kau berjalan?" tanyanya pelan, suaranya membawa ketulusan dan kepedulian. Celeste mengangguk perlahan sebagai jawaban, suaranya bergetar saat dia berbicara. "Aku ... aku bisa." Suaranya bergetar, namun suaranya memiliki kekuatan yang bahkan memaksa rasa takut untuk mundur selangkah. Namun rasa kengerian itu muncul lagi.
"Kau takut padaku, malaikat?" tanya Raphael sambil tersenyum kepada Celeste, sesuatu yang jarang dilakukan Raphael.
"Uh ... mmm ... iya," jawab Celeste tergagap, setelah mendengar suara hati Raphael yang terdengar "Bunuh! Bunuh! Bunuh! Diam!!!." Celeste tercekat dengan kengerian manusia yang ada didepannya.
"Aku terkejut ternyata malaikat juga bisa ketakutan," ujaran Raphael dan dibalas anggukan. "Tenang, kau sudah aman, kurasa tak ada lagi yang mengejar," kata Raphael sambil menepuk-nepuk celananya.
"Iya," jawab Celeste singkat.
"Sepertinya masalahnya sudah selesai, kita bisa keluar dari hutan ini dengan tenang," kata Raphael.
"Ya," jawab Celeste.
"Kau menangis? Malaikat bisa menangis?" kata Raphael, terkejut melihat air mata Celeste mengalir deras di matanya. Lelaki itu hanya diam, membiarkan malaikat itu terduduk kembali.
Raphael ikut duduk di atas rumput, berat badannya menyebabkan rumput itu membungkuk di bawahnya. Lembah itu sunyi, padang rumput dan singkapan berbatu diselimuti oleh kabut yang menyelimuti. Di balik kabut, dia bisa mendengar lolongan serigala dan makhluk nokturnal lainnya di kejauhan yang menyatakan kehadiran mereka di malam hari.
Raphael mendengarkan tangisan Celeste yang berangsur-angsur menjadi lebih pelan, digantikan oleh isak tangis yang lembut. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, dia akhirnya mendekati Celeste yang duduk di sana dengan lututnya menempel di dadanya. Dia memperhatikan bahwa tangannya gemetar saat dia menggenggam erat kain kemejanya, dan air mata yang mengalir di pipinya berkilauan di bawah cahaya redup bulan di atasnya. Dia dapat mendengar nafasnya sendiri yang bergetar di telinganya saat dia melangkah maju, tetapi itu terasa seperti sebuah langkah menuju hal yang tidak diketahui.
"Apa yang membuat air mata ini menetes di matamu, Celeste?" Raphael bertanya, suaranya berat dengan keprihatinan.
Celeste, suaranya teredam oleh air mata yang mengalir di wajahnya, dengan lembut menjawab, "Bukan apa-apa, aku hanya menangisi saudara-saudaraku yang baru saja hilang." Kemudian Raphael mengangkat tangannya dan dengan satu jari, ia mengangkat dagu Celeste dengan lembut hingga wajah mereka bertemu. Mereka begitu dekat sehingga napas mereka terasa di udara di sekitar mereka, dan tampaknya menebal saat jantung Celeste mulai berdegup kencang.
"Aku tidak tau pasti ikatan seperti apa yang malaikat miliki," kata Raphael, kata-katanya sarat dengan kesedihan. Lalu melanjutkan dengan berbisik, "Tapi, Maafkan aku."
*****