Masukan nama pengguna
Matahari pagi masih malu untuk menampakkan dirinya. Ia terbalut kabut yang terlanjur terbal, bahkan rintik embun cukup lebat hingga membasahi dedaunan dan jalanan desa. Liburan semester genap hampir selesai, Ratih mengemasi beberapa helai pakaian ke dalam tas ranselnya. Tak perlu banyak, pakaian harian untuk kuliah masih tertata rapih di kamar kostnya, sana.
Selesai berkemas, ia segera berpamitan kepada kedua orang tuanya. Bersiap berangkat menempuh jarak waktu 2jam dengan sepeda motornya agar sampai di kampus.
Seperti biasa, hari ini, teman satu kamarnya meminta bantuan Ratih untuk menjemputnya di rumah. Kebetulan rumahnya memang dilalui Ratih, jadi mudah saja untuknya mampir. Tapi ada yang lain kali ini. Lita, temannya itu memintanya mengantar sampai di sebuah café untuk bertemu dengan pacarnya yang tak mendapat restu dari orang tua. Cinta terlarang, backstreet bertindak. Ratih hanya jadi tameng hari ini agar pertemuan mereka lancar. Selanjutnya Ratih kembali sendiri sampai di rumah kost ya.
Anak itu memang cukup bandel. Bukan saja hari ini, sering kali ia memakai nama Ratih untuk jadi alasan agar ia bisa berpacaran.
Pernah suatu hari, ibunya datang berkunjung, padahal dia sedang kencan. Ratih kalang kabut mencari alasan. Kalau sampai ibunya tahu, ah selesai sudah riwayatnya di kampus ini. Bisa langsung cabut berkas dan dilarang lagi nge kost kayaknya.
Pernah juga, Lita mengalami kecelakaan. Ya tentu saja berdua dengan kekasihnya. Alhasil Ratih juga yang harus mencari berbagai pembelaan agar anak itu tak jadi bulan-bulanan ibunya. Status backstreet tentu tetap bertahan
Hingga malam datang, Lita tak kunjung datang. Cemas hati Ratih, apalagi beberapa kali ibunya menanyakan keadaan Lita lewat dirinya. Ah, bohong terus rasanya.
Sampai ketiduran, pagi-pagi Ratih terbangun masih belum mendapati Lita ada di kamar mereka. Merasa cemas, Ratih pun mencoba menghubungi Lita maupun pacarnya. Berkali-kali, barulah dijawab.
“Hey, kemana aja kamu? Kenapa belum sampai di kost?” tanya Ratih dengan nada panik.
“Sorry beb, semalam aku pulang lagi ke rumah naik ojek online. Aku nggak enak badan, hari ini aku mau periksa ke dokter dulu deh.” Jawab anak itu dengan enteng ya.
Dasar anak nakal!! Belum tahu dia bagaimana cemasnya Ratih menunggu di kamar. Ah, tapi kabarnya hari ini sudah cukup membuat Ratih lega. Pasalnya, anak itu memang mudah sakit. Ratih cemas, takut kalau-kalau dia terlalu asyik pacaran sampai sakit. Nah, benar saja kan, dia sakit sekarang.
Hari pertama kuliah semester ini dimulai. Ratih belum juga mendapati kabar kapan Lita akan mulai masuk. Bahkan dia tidak melihat nama sahabatnya itu dalam daftar absensi kelasnya semester ini. Lita belum bilang padanya kenapa dia masih belum berangkat.
Beberapa hari berlalu, Ratih terlalu curiga. Sepertinya ada yang tidak beres dengan temannya ini. Pucuk dicinta ulam tiba, baru saja berprasangka, Lita mengirim pesan padanya.
“Tih, sepertinya semester ini aku tidak bisa kuliah. Aku harus ambil cuti. Aku sakit.” Sebuah pesan yang cukup membuat Ratih berdebar.
“Sakit apa? Kenapa sampai cuti kuliah? Ayok cerita.” Balas Ratih dengan tangan gemetar.
“Nanti sore aku main ke kost, kita cerita ya.”
Cerita apa yang akan Lita sajikan untuk ya sore nanti? Sungguh Ratih penasaran. Jangan-jangan sakitnya parah, atau?? Ah, Ratih seperti ingin berpikir positif saja.
Ia menunggu kedatangan Lita di kamar kost sore ini. Tak berapa lama, anak itu tiba-tiba dengan wajah pucat. Baru saja masuk kamar, Lita langsung memeluk Ratih kuat-kuat.
Jantung Ratih semakin berdebar kencang.
“Ada apa?” tanyanya
“Ternyata selama ini aku sering sesak nafas dan pingsan karena ada kanker di paru-paru ku.” Ucap Lita mengusap dadanya dan menangis.
Kanker? Telinga Ratih seperti berdenging, kepalanya nyut-nyutan mendengar itu. Dia bingung harus berekspresi apa. Ratih hanyabmematung, memandangi wajah pasi sahabatnya yang sudah berkaca-kaca. Tanpa kata, mereka berpelukan dan menangis bersama.
“Seberapa parah?” sebenarnya Ratih tak tega menanyakan ini.
“Stadium tiga, dan aku sudah harus bersiap untuk kemoterapi. Tapi aku takut, Tih, aku takut mati.”
Lita yang sakit, tapi kepala Ratih yang terasa berat. Perutnya mual, tangannya dingin. Ia hanya bisa mencengkeram PU ggung sahabatnya itu. Mendengarkan semua ceritanya dari a hingga z malam ini, membuat mata Ratih bengkak.
“Jangan ceritakan pada siapapun, kalau teman-teman bertanya kenapa aku cuti kamu bilang saja aku sedang tidak ada biaya.”
Ratih tak mengiyakan tak juga menolak. Ia hanya diam, memandang sahabatnya penuh belas kasihan.
Satu bulan dua bulan terlewati. Ratih memantau keadaan Lita lewat chat dan telepon setiap hari. Mengiriminya kata-kata penyemangat dan mendengarkan ceritanya setiap malam sebelum mereka tidur.
Hingga suatu hari, Lita meminta untuk mempertemukannya dengan semua teman-teman satu kelas yang pernah bersama semester yang lalu.
“Untuk apa?” tanya Ratih dengan firasat yang buruk.
“Aku Cuma mau minta maaf sama mereka satu persatu, barangkali aku punya salah.” Ya Tuhan, kata-kata itu semakin merontokkan tulang belulang Ratih saat mendengarnya.
Firasat apa ini? Separah itukah keadaannya hingga Lita pasrah. Ratih hanya menangis mengiyakan permintaan sahabatnya.
Siang ini, di depan kelas, Ratih berbicara pada semua teman-teman. Ia terpaksa bicara kalau Lita sakit parah dan ingin bertemu mereka, mungkin yang terakhir kalinya. Lalu apa yang terjadi?? Semua diam, terkejut, dan sedih. Tak sedikit dari mereka menangisi kemalangan ini.
Memang Lita dikenal sedikit bermasalah dengan beberapa orang dikelas ini, maka itu dia sadar dan ingin memperbaiki semuanya.
Sore itu juga, semua orang berkumpul di depan halaman rektorat ayng sudah sepi. 20 orang, menunggu kedatangan Lita dengan wajah penuh senyuman.
Ratih meminta untuk tidak ada air mata.
“Teman-teman, tolong jangan ada yang sedih ketika Lita datang. Kita harus tersenyum dan memberi moment indah untuk ya hari ini.”
Tak berapa lama, ia datang penuh senyuman dengan memakai pakaian indah hari ini membuatnya terlihat cantik. Mungkinkah dianmemang ingin tampil cantik hari ini agar moment mereka semakin indah.
Baru sampai, Lita langsung memeluk Ratih, ia berbisik di telinga.
“Tih, lihat rambutku rontok semua. Aku mulai botak.” Lita memintanya menengok pada puncak kepalanya yang memang mulai botak.
Oh tidak, hati Ratih seperti teriris, tak sanggup ia melihatnya tapi berusaha tetap terlihat tegar.
“Nggak papa, kamu masih cantik kok. Hahaha.” Hanya kata itu yang mampu terlontar untuk gadis berbaju biru itu.
Setelahnya, Lita memeluk satu persatu teman-temannya. Mengucapkan maaf dan selalu berusaha tersenyum. Tapi tangis tak bisa ditahan lagi, mereka malah menangis bersama. Haru sekali.
Terakhir, Ratih mengantarkan Lita kembali ke dalam mobil ya di mana ada ibu dan ayahnya yang sudah menunggu. Mereka melambaikan tangan, entah apa itu disebut perpisahan. Tidak tahu.
Beberapa Minggu terlewati, Ratih terus memantau kabar Lita setiap hari. Tak ada malam terlewatkan tanpa cerita seru, bahkan malam ini tak terasa Ratih sudah berhasil menghibur sahabatnya hingga pukul dua dini hari.
Saking asyiknya semalam, Ratih tak mendengar deringnya alarm. Matanya terbuka, melihat jam dinding menunjuk pukul tujuh pagi. Dengan wajah mengantuk ia meraih handuk, hendak ke kamar mandi. Belum sempat keluar dari kamar, ponselnya berdering singkat tanda ada notifikasi pesan yang masuk.
“Halo, nak Ratih. Ini ibunda Lita. Ibu hanya ingin mengabarkan, Lita sudah dipanggil yang kuasa semalam. Jenazah Lita akan segera dikuburkan siang ini juga. Mohon dimaafkan……” belum semua tulisan itu terbaca, Ratih sudah terjatuh ke lantai.
Kakinya mendadak seperti lumpuh, tak mampu berdiri. Darah berdesir naik dan berkumpul di dalam kepalanya. Baru semalam mereka tertawa bersama, kenapa kabar duka ini tiba. Ratih mena gis, meraung seperti balita yang mencari ibunya. Hingga membuat beberapa penghuni kost lainnya datang ke kamarnya.
Ratih segera menghubungi semua teman-temannya. Pagi ini juga ia harus tiba di rumah Lita. Dengan berboncengan motor bersama teman-teman yang lainnya, Ratih segera berangkat ke rumah duka.
Dua jam, perjalanan mereka sampai. Ingin tak percaya tapi benar terjadi. Bendera putih terpasang di depan pagar rumah berwarna kuning itu. Orang-orang berpakaian hitam berkumpul, menunduk.
Ratih melangkah berat, melihat keranda berselimut harakat sudah bersiap. Bapak ustadz mengantarkan kata-kata dan doa, baru mereka berangkat menuju peristirahatannya yang terakhir.
Ratih menunggu semua pelayat pulang. Ia dan beberapa teman dekat masih di depan tanah basah bertabur bunga dan nisan kayu bernama Lita Maharani. Tak ingin air matanya jatuh, Ratih menahannya di atas kerudung hingga basah.
Kata ibunya Lita meninggal pukul satu, tepat setelah meminta di antar buang air, ia terjatuh ke lantai dan tidak tertolong.
Tunggu dulu, Ratih membelalak. Lita meninggal pukul satu?? Padahal pukul dua saja mereka masih berkirim pesan. Ratih ingin meyakinkan dirinya sendiri, ia mengeluarkan ponselnya membuat chat terakhir bersama Lita. 01.55, jam dua kurang lima menit Lita bilang "good night n thank you. "
Ia menceritakan dan memperlihatkan bukti chat mereka pada ibunda, seolah tak percaya.
"Tapi nak, Pukul setengah satu Lita mengeluh ingin buang air kecil. Langkahnya sudah sempoyongan. Keringat dinginnya keluar. Sampai-sampaibia jatuh ke lantai tidak sadarkan diri. Ibu segera bawa dia ke rumah sakit, tapi baru sampai IGD dokter bilang detak jantungnya sudah tidak ada."
Orang-orang yang mendengar cerita itu menangis dibuatnya.
Ratih meremas ponselnya, memasukkan kembali dalam tasnya dan mengeluarkan syal rajut yang pernah Lita berikan untuk ya. Ia meninggalkan syal itu tergantung di atas nisan. Syal pertama yang berhasil gadis itu buat untuknya.
Ratih harus merelakannya bersamam sang pemilik. Ia melanjutkan perjalanan pulang, memandangi katu nisan yang terakhir kali. Lalu tersenyum seolah melihat senyum cantik sahabatnya yang kini sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.
(Selesai)