Masukan nama pengguna
Retak sudah sampai ke sisi paling dalam, sulit untuk utuh kembali. Kalian tahu wujud retak bukan? Iya, meski tak pecah ia berbekas garis.
Waktu itu, memori paling membekas di hati seumur hidupku. September hari kelimanya, langit benar-benar gelap tak bercahaya. Aku yang sedang berkutat dengan tumpukan revisi skripsi yang hampir membuat gila menjadi benar-benar gila, sungguh. Semalam aku tak tidur demi dosen yang memintaku berlari mengejar tanda tangan “ACC” nya agar bisa lulus sempurna. Bukan hanya semalam, tapi sudah entah berapa waktu sampai menjelang subuh kuhabiskan. Demi satu jilid tulisan bercover merah ini.
Siang menjelang sore hari ini, aku tak punya jadwal atau alasan untuk pergi ke kampus selain menyelesaikan revisi terakhir. Sebelum pekan depan aku sudah harus mendapatkan persetujuan semua dosen pembimbing agar bisa segera mendaftar sidang. Sudah jengah rasanya kuliah, otak tak lagi mampu memikirkan “argumentasi-argumentasi teori”. Selain itu, kalau aku berhasil lulus semester ini, aku tak perlu lagi membayar uang SPP yang harganya cukup lumayan. Kasian ayah dan ibuku yang hanya butuh biasa. Meskipun mereka menyanggupi membiayaiku sampai kapanpun, aku tetap punya hati nurani. Aku tidak ingin berlama-lama melihat ayah harus pulang kehujanan dari bengkelnya naik sepeda. Ia rela menempuh jarak 9 km dengan mengayuh demi menekan biaya transportasi. Aku pun sudah cukup sedih melihat ibu selalu membawa pulang jahitan milik tetangga yang memiliki usaha konveksi. Beliuau selalu melawan kantuk ntuk membersihkan sisa benang-benang jahitan di tumpukan baju yang ia bawa. Hasilnya?? Hanya dua ribu rupiah untuk satu lembar baju dan beliau akan membawa sekitar 50 potong baju yang baru selesai dijahit. Besok paginya akan ia setorkan pada juragan pemilik konveksi depan rumah.
Seharusnya, malam hari adalah waktu bagi beliau tidur, mengistirahatkan tenaga dan pikirannya setelah seharian jadi buruh pabrik rambut palsu. Pagi hari sebelum semua orang bangun, ia sudah rampung dengan semua racikan dapurnya, lanjut menjemur pakaian yang sudah masuk gilingan saat kompornya menyala. Menyiapkan segala kebutuhan anak dan suaminya. Seharusnya, malam adalah saatnya kedua orang tua itu duduk bersama saling bercengkerama. Tapi sepertinya tidak. Sudah beberapa lama pemandangan itu tak kulihat di ruang keluarga. Yang ada, bapak dengan tontonan sepak bolanya dan ibu dengan sambilannya. Mereka duduk dalam satu ruangan, tapi tak ada kata bersahutan saling menanyakan kabar.
Sore ini, rasa kantukku tak terkira. Aku merebahkan diri di ruang tengah berdampingan dengan mesin print yang berderit menjalankan tugasnya mengeluarkan kertas-kertas putih bertinta. Sembari menantinya berhenti, mataku terpejam. Nikmat sekali. Sampai akhirnya semua kenikmatan itu direnggut paksa oleh teriakan delapan oktaf seorang wanita berusia 45 tahun dengan suaminya. Iya, ayah dan ibuku. Mereka baru saja pulang dari tempat kerja.
Tanpa ada salam terucap, mereka masuk dengan mendorong keras pintu utama rumah hingga terbentur kusen jendela yang lalu menimbulkan bunyi “BRAK”!!!
Aku sedikit tersentak lalu membuka mata. Kedua tua itu saling teriak, bernada keras hingga leher berurat. Mendebatkan hal yang begitu memekakkan telinga. Aku kembali terpejam, cuek. Kubiarkan mereka berisik di depanku. Kalau dihitung-hitung ini sudah ke seratus kali mereka berkelahi. Wajar aku tak peduli. Teramat sering terjadi, saling memaksakan ego diri.
Sudah sejak aku menjadi siswa seragam putih abu-abu, keluarga ini retak. Hampir tak ada senyum cinta yang ibu buat setiap hari. Alasannya? Apalagi kalau bukan ekonomi. Yang satu punya penghasilan pas-pasan, yang satu lagi tidak sabaran. Tapi entah apa itu alasan utama mereka, atau ada hal lain. Aku tidak tahu. Yang aku tahu bapak sudah berusaha menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga meski hasilnya kurang sempurna, atau bahkan tak pernah sempurna di m ata ibuku yang selalu menuntut untuk mendapatkan lebih. Yang aku tahu ibuku sudah ikut membantu mencari penghasilan tambahan untuk anaknya ini kuliah. Katanya, “Walaupun kita bukan orang kaya, sekolah itu penting biar nggak kayak bapak ibumu.”
Itulah kenapa aku harus cepat-cepat lulus. Biaya kuliah tak murah, semakin lama aku di kampus itu semakin banyak juga cucuran keringat darah mereka.
Aku masih terpejam, walau dada sudah mulai gemetar. Sepertinya mereka pun tak menyadari keberadaanku. Aku yang tengah tiduran, tak dilirik sedikitpun. Mereka hanya terus berteriak saling menyalahkan. Lalu, ada hal yang menggelegar terdengar.
“Oke, aku turuti maumu, kita bercerai!”
Kata-kata yang keluar dari mulut Bapak membuatku membelalak. Tubuhku seperti ditumpahkan dari ranjang tinggi lalu terpelanting jatuh. Aku mematung diantara kerasnya mereka.
“Apa maksudnya?” suaraku lirih tak bertenaga.
Barulah mereka menyadari keberadaan anak semata wayang ini sudah mendengar semuanya. Mataku berkaca-kaca dan kaca itu pecah hingga menyayat hati, mengiris sanubari. Pedih, sakit, aku hampir henti nafas. Jantungku pun enggan berdetak. Kutanya kembali apa maksud ucapan mereka?
Bapak menatap ibu lekat. Ibu terdiam, menghampiri putrinya yang sudah mengepal kuat.
“Iya nak, Ibu dan Bapak ingin memutuskan berpisah. Kita sudah bermasalah sekian lamanya, tak ada jalan tengahnya. Ini yang terbaik .”
Dunia seakan runtuh, lebih luluh lantak dari sekedar gempa bumi 9,8 magnitudo. Kaca yang retak, pecah juga. Pecahan kaca itu menancap amat dalam di relung hati. Aku ingin berlari pergi.
Marah dan kecewa, ibu menatapku lama. Mencoba menyentuh puncak kepala dan mungkin hendak mengusap rambut hitam putrinya, tapi aku segera menampik tangan itu. Kuraup semua kertas dari mesin pencetak lalu terhambur di depan wajah tegang mereka. Berantakan. Ya, seperti keluarga ini. Berantakan semua.
Kutinggalkan mereka dalam kepanikan. Langkahku pergi, menerobos rintik gerimis yang datangnya keroyokan.
Kuingat sekali bulan September tahun lalu itu. Bulan di mana petir menyambar atap rumahku dan merenggut bahagia menjadi nestapa. Tidak ada lagi tiga orang dalam rumah yang makan bersama satu meja. Kini tinggal dua perempuan saja. Laki-laki bernama Bapak itu mengalah pergi ke rumahnya yang lain. Rumah sebenarnya, dan ia masih tinggal sendiri sampai saat ini.
Mereka tak pernah bercerita padaku, hal apa yang membuat putusnya cinta di antara keduanya. Benarkah hanya karena “uang” semata?? Tidakkah ada rindu yang mampu menyatu?
Semua cepat sekali berlalu. Kini, aku sudah tidak apa-apa. Sudah wisuda dan bekerja meski saat kelulusanku dulu mereka tak bisa duduk berdua. Tapi aku mampu memberi sedikit senyum indah merekah saat mempersembahkan selempang sarjana. Saat berfoto mereka pun tetap ada, satu di kanan satu di kiri lalu pergi sendiri-sendiri lagi.
Rupanya, perpisahan ini jalan terbaik ketimbang setiap hari menabur luka, mempertahankan retak yang bisa hancur kapan saja dan melukai semuanya. Sudah tak ada lagi bentakan pagi hari, dan tangisan di malam hari. Kulihat pula senyum sudah tumbuh lagi di wajah keduanya.
****