Cerpen
Disukai
5
Dilihat
6,600
Sobrot
Religi

Meskipun tidak sedang merindukan bulan, Sobrot mendongak ke langit seperti seekor pungguk. Sepasang mata julingnya memejam sementara dua giginya yang bagaikan sedang berebut panjang satu dengan lain itu tampak mencuat di sela-sela bibirnya. Sobrot terlihat berusaha ekstrakeras ketika mencoba mengatupkannya, tapi gagal. 

Tiba-tiba, dari mulut yang terlihat sangat menderita itu, keluarlah seruan yang serupa dengan dengkingan seekor dubuk:

    “Teng teng teng! Kata-kataaaa! Teng teng teng!” 

  Opening dan closing jingle itu berupa tiruan bunyi potongan besi rel kereta api yang dipukul palu kecil. Nadanya pentatonik yang pelog: tenang dan memuja. Ketika orang-orang di depan pasar mulai memperhatikan, Sobrot segera melanjutkan aksinya: menawarkan kata-kata.

“Kata-kata apa?” tanya seseorang sambil menahan tawa. Menganggap Sobrot sama saja dengan orang gila lainnya: meracau; bicara seenak perutnya.

“Kata-kata yang mujarab dan ajaib,” jawab Sobrot sambil memasang tampang serius. Diketuk-ketuknya tutup dandang yang sedang mengepulkan asap. “Saya telah memasaknya sangat lama. Bumbu-bumbunya lengkap. Bisa digunakan untuk apa saja. Bahkan menghancurkan gunung dan mengeringkan laut. Kalau kalian tidak percaya, saya akan membuktikannya. Perhatikan bangunan itu!”

    Seperti dihipnotis, orang-orang di depan pasar menoleh ke bangunan yang terbengkalai karena perencananya tersandung kasus korupsi itu. Meskipun demikian, mereka tetap menampakkan ekspresi tak percaya. Penampilan Sobrot sama sekali tak ada mirip-miripnya dengan orang sakti. Apalagi seorang wali. Terlebih lagi seorang nabi.

“Hai, bangunan bukti ketamakan anak keturunan Adam! Runtuhlah kamu! Dari tiada, kembalilah ke tiada!” seru Sobrot. Matanya menyorot galak.

Tiba-tiba terdengar gemuruh yang maha dahsyat. Seperti batang pohon bambu digoyang-goyangkan para bocah karena pada pucuknya terdapat layang-layang yang sedang mereka perebutkan, bangunan yang dulu pembangunannya menghabiskan dana ratusan miliar rupiah itu pun berguncang-guncang. Debu berhamburan. Tak lama kemudian runtuh seperti istana-istanaan dari kartu remi.

Orang-orang yang sedang berkerumun itu pun gaduh, riuh, dan bergemuruh. Mereka gegas berebut mendekati Sobrot. Merubung gerobak. Hendak membuka tutup dandang. Ingin meraup kata-kata di dalamnya. Tentu saja Sobrot melarang. 

***

Tak seorang pun yang tahu pasti siapa Sobrot sebenarnya kecuali hanya katanya-katanya. Katanya, Sobrot pernah menjadi murid Nabi Khidir. Namun, dipecat gara-gara melanggar larangan agar tidak mendekati pohon larangan. Bukan hanya mendekat, pohon larangan yang batangnya seperti pohon bambu, bentuk serta ukuran buahnya mirip buah apel, tapi berbau buah sawo dan berasa buah durian itu ditebang Sobrot. 

“Pohon setan itu harus dihancurkan! Itu berhala!” kata Sobrot. “Di situlah kelak iblis mendirikan kerajaan iblisnya! Iblis terusir dari sorga sebagai pecundang. Tapi sekarang berdiam di bumi sebagai pemenang. Pohon itulah yang akan dia jadikan sebagai sarana untuk memikat calon-calon pengikutnya. Adam dan Hawa pernah masuk perangkapnya. Anak cucunya jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama!”

“Aku menyulap sedemikian rupa agar tampak memesona,” kata Nabi Khidir. “Aku melarang orang-orang mendekati sebab ingin menguji mereka.”

“Tidak ada gunanya menguji orang-orang yang malas belajar,” sahut Sobrot sewot. “Mereka tidak akan lulus. Itu pasti.”

“Hidup adalah ujian. Orang-orang harus menempuhnya. Itu ketentuan.”

“Membedakan ujian dan hukuman saja mereka tidak bisa. Pekerjaan yang sia-sia. Apalagi mereka….”

Perdebatan itu berlangsung dua hari dua malam dan Nabi Khidir kalah, lalu ngambek, dan Sobrot tidak ditegurnya berhari-hari. 

Sobrot pun berkelana ke mana-mana dan pernah mencoba beberapa profesi. Salah satunya karyawan toko kelontong walaupun seringnya membikin senewen pemiliknya. Laki-laki gendut warga keturunan itu bertanya kapan, Sobrot menjawab berapa. Ditanya siapa, dijawab di mana. Sobrot suka menjelaskan panjang lebar pertanyaan yang sebenarnya hanya butuh jawaban pendek. Satu minggu kemudian, Sobrot dipecat.

Setelah mengalami puluhan pemecatan lagi, barulah Sobrot teringat ucapan Nabi Khidir:

“Jagat raya ini tercipta oleh kata-kata. Begitu juga kehancurannya nanti. Ajarkan kata-kata yang bisa mengantarkan orang-orang menuju sorga!”

Meskipun masih sakit hati akibat berhari-hari dicueki guru yang belum pernah dilihatnya kecuali hanya suaranya itu, Sobrot mematuhinya. Sejak itu Sobrot sibuk menjajakan kata-kata untuk mengisi hari-harinya. Kadang dilakukannya di depan pasar. Lain hari di trotoar. Sesekali di rumah-rumah warga. Tak ada duitnya tak apa-apa. Sobrot tak pernah merasa lapar atau dahaga dan pakaian yang dia kenakan bisa berupa kain perca; yang penting bisa menutup auratnya. 

Sobrot sengaja memilih kota besar sebagai sasarannya; penduduknya banyak; begitu pula persoalannya. Selain menjajakan kata-kata, Sobrot juga mengajarkan cara menerapkannya: ketika ditanya ini, jawablah itu! Jika didesak yang di sana, jelaskan yang di sini! Andai ada yang minta bagian atas, beri bagian bawah! Harus imbang seperti yin dan yang! Biar enggak seperti malaikat: miskin komposisi; melarat improvisasi. 

  Sobrot tinggal di rumah bedeng bekas penyimpanan buku di sebuah pemukiman kumuh. Konon, kedatangan Sobrot ditandai hujan deras dan petir menyambar-nyambar meskipun matahari sedang terik-teriknya. Sebelum menguap satu demi satu,  dulu rumah bedeng itu dipenuhi buku-buku, dan tak ada yang tahu mengapa sumber ilmu itu bisa ngumpet di situ. 

   Dinding rumah bedeng itu dari papan kayu murahan dan bolong di sana-sini. Di antaranya seukuran ban traktor. Atap asbes penuh retakan dan bersuara ribut seperti kucing ingin kawin saat air hujan menimpa. Lantai semen sudah dimakan usia dan rontok plesterannya. 

    Teman serumah Sobrot–datang belakangan–pengemis yang biasa mangkal di perempatan lampu merah tak jauh dari permukiman. Tak ada yang tahu hubungan Sobrot dengan perempuan gemuk berwajah memelas itu meskipun keduanya sering keluar-masuk rumah bersama-sama.

    Di samping rumah bedeng itu terdapat gerobak yang biasa dipakai berjualan bakso, terparkir tak jauh dari tumpukan sampah. Baunya pesing. Anak-anak yang mau ke musala suka mengencinginya. Gerobak itu sesak oleh kata-kata pada bagian kaca. Berupa potongan ayat suci, penggalan puisi, serta kutipan slogan dan iklan.

   Dinding gerobak itu berupa tripleks dan telah somplak bagian samping. Catnya belang-belang seperti kuda zebra salah warna: merah, hitam, dan putih. Dandang yang dulu dipakai untuk merebus kuah bakso juga masih ada. Begitu juga kompor gas dan tabung ukuran tiga kilo warna hijau. Sobrot sesekali menyalakannya dan selalu sehari sebelum terjadi bencana di tempat-tempat yang jauh, ribuan kilometer jaraknya, dan tak seorang pun menyadari hal itu.

Sobrot mendorong gerobak itu ke mana-mana walaupun seringnya ke pasar. Tak lupa menyuarakan jingle-nya: 

    “Teng teng teng! Kata-kataaaa! Teng teng teng!” 

Orang-orang sangat mengenal Sobrot dan bukan hanya dari tampangnya yang aneh serta tak ada duanya itu. Kata-kata Sobrot memang susah dicerna. Meskipun demikian betapa seringnya kata-kata itu terbukti kebenarannya. 

“Brot, punya kata-kata apa hari ini?” 

Begitu pertanyaan yang biasanya dilontarkan orang-orang saat bertemu. Sobrot berhenti, memasang ekspresi serius dan ramah, lalu mengucapkan kata-kata apa saja yang sedang melintas di benaknya: 

“Ini milikku. Itu milikmu.1 Aku ingin milikmu jadi milikku.” 

“Apa maksudnya?” tanya seseorang.

“Saya tidak tahu. Belum diajari Kanjeng Nabi Khidir.” 

“Coba yang lain!” kata orang lain.

“Sebentar tak ingat-ingatnya. O, ini! Milikku adalah milikmu. Tak ada milikku. Tak ada milikmu.”2

“Maksudnya apa?” tanya orang lain lagi.

“Belum tahu juga. Nanti saya tanyakan Kanjeng Nabi Khidir.” 

“Coba yang lain lagi!” desak seseorang yang tadi belum sempat bertanya.

“Ada. Aku ingat betul yang ini. Tapi belum bisa mengamalkan. Aku dan kamu tidak punya apa-apa.”3

“Maksudnya apa?” tanya orang yang berdiri di samping kiri orang yang tadi belum sempat bertanya itu.

“Belum tahu juga. Nanti saya tanyakan Kanjeng Nabi Khidir.” 

“Ada kata-kata lain? Yang tidak ngaco?” tanya orang yang berdiri di samping kanan orang yang tadi belum sempat bertanya itu.

“Ada. Ini: kita semua sebenarnya tak pernah ada.”4

   Saat orang-orang sedang terbengong-bengong, buru-buru Sobrot meninggalkan tempat itu. 

***

    Semenjak runtuhnya bangunan tingkat tujuh belas akibat kata-kata yang dilontarkan Sobrot tempo hari, rumah bedeng di tepi sungai tak jauh dari tempat pembuangan sampah itu tak pernah sepi. Dari mulut ke mulut, kesaktian kata-kata Sobrot itu menyebar ke mana-mana. Kata-kata yang keluar dari mulut Sobrot diyakini sangat bertuah. Menyamai keampuhan doa para nabi. Orang-orang lalu menahbiskan Sobrot sebagai guru mereka.

Seorang pedagang yang dagangannya laris manis setelah didoakan Sobrot, merenovasi rumah bedeng itu menjadi semacam padepokan. Pejabat yang sukses naik pangkat berkat mantra yang diberikan Sobrot mengisinya dengan meja, kursi, almari, dan perabotan rumah lainnya. Seorang istri yang batal dicerai suaminya setelah bertemu Sobrot menghadiahkan televisi. 

Santiaji sering diadakan di rumah yang tidak lagi berupa bedeng itu. Tentu saja Sobrot yang menjadi pembicara utama sekaligus pelatihnya. Sobrot mengajarkan kata-kata kepada puluhan murid di sela-sela tayangan musik dangdut. Alasannya agar mereka terbiasa berkonsentrasi. Tidak mudah terganggu oleh nada dan suara yang mendayu-dayu. Apalagi tergoda oleh ekspresi mesum sang biduan yang belahan roknya mencapai pangkal paha itu. 

Meskipun demikian, tak ada yang memprotes cara belajar yang aneh dan tak biasa itu. Sobrot bukan guru biasa. Sah-sah saja mengajar dengan cara yang tidak biasa. Barangkali seperti itu pendapat mereka. Hanya, tak lama kemudian murid-murid itu kabur satu persatu, dan tersisa dua orang saja, dua orang gelandangan. Mungkin mereka bosan. Soalnya Sobrot sering mengulang-ulang kata-kata berikut ini:

“Kata-kata bisa lebih tajam daripada samurai. Bisa lebih kejam daripada pembunuh bayaran. Bisa lebih biadab daripada para pencuri uang rakyat. Jadi, bijaksanalah dalam berkata-kata agar tidak cilaka!”

***

Setelah bertahun-tahun mendorong gerobak sambil menjajakan kata-kata, tiba-tiba Sobrot hilang bagaikan ditelan bumi. Begitu juga pengemis perempuan bertubuh gemuk dan berwajah memelas yang oleh Sobrot dipanggil emak itu. Peristiwa itu terjadi tepat delapan tahun lalu; berbarengan dengan hari pertama kampanye pemilu dan hoaks sedang merajalela di mana-mana; menjadi maharaja. 

Sehari kemudian rumah bedeng yang sebelumnya ditempati Sobrot itu terbakar; tersambar api dari ledakan kompor gas pada gerobak yang semalaman terus dinyalakan. Bangunan musala di dekat rumah bedeng itu mengalami nasib yang sama. Bahkan, kondisinya lebih parah lagi. Hampir tidak ada puing-puing yang tersisa.

Kajen, 1 Juli 2022

Keterangan:

  1. “Ini milikku. Itu milikmu; ajaran tasawuf pada tingkatan syariat;
  2. Tak ada milikku. Tak ada milikmu; ajaran tasawuf pada tingkatan tarekat;
  3. Aku dan kamu tidak punya apa-apa; ajaran tasawuf pada tingkatan hakekat;
  4. Kita semua sebenarnya tak pernah ada; ajaran tasawuf pada tingkatan makrifat.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)