Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,179
Sixth Sense
Thriller

Dua: Sixth Sense


Dalam perjalanan ke pasar, aku melihat bocah itu. Bocah lusuh, bermuka pucat, yang sebagian tubuhnya dipenuhi memar, kakinya menapak, tapi tidak benar-benar menapak. Memanggil-manggil orang lewat, menangis sambil meminta bantuan. Aku salah satu yang dimintai bantuan, tetapi sama seperti orang lain yang mengabaikannya, aku juga melakukannya.

Sosok kasat mata, begitu orang menyebutnya. Sesuatu yang bisa kulihat, tapi selalu kuabaikan.

“Tolong aku! Aku mau pulang!”

Bocah kasat mata itu masih di tempat yang sama hari berikutnya. Memohon pada orang-orang meski tidak mendapat tanggapan.

“Kakak, tolong aku!”

Ekor mataku menangkap pergerakan menyedihkannya ketika bacah itu mengikutiku. Aku melihat kesamaan bocah itu dengan masa kecilku dulu. Sendirian, ketakutan, dan terus diabaikan. Masalahnya, aku masih hidup, sementara dia tidak. Aku bisa diselamatkan, sementara dia tidak. Maka dari itu, aku tidak menanggapinya.

“Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu mama. Tolong bantu aku!”

Bukan lagi kepadaku dia memohon. Dia meratap pada orang berikutnya di belakangku. Tetapi dia adalah makhluk tidak terlihat. Siapa juga yang akan peduli padanya?

Ketika aku sampai di pasar, aku melihat selebaran itu. Selembar kertas pemberitahuan orang hilang. Di dalamnya ada foto dan keterangan terkait. Bocah itu tampak sama persis dengan yang ada di foto. Bedanya hanya keadaannya yang tidak lagi hidup.

Awalnya tidak ada untungnya menolong bocah itu, tapi jumlah imbalan yang ditawarkan dalam selebaran membuatku tertarik. Aku miskin dan aku tergiur dengan uang, makanya aku mengambil selebaran itu. 

 Sepulang dari pasar, aku masih mendapati bocah kasat mata itu di tempat yang sama. Kulampiri dia, berjongkok di depannya sambil menunjukkan selebaran untuk mendapat konfirmasinya.

“Aku akan membantumu kalau benar yang ada di foto ini adalah kau!”

Bocah itu mengangguk. “Iya. Ini aku. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu mama.”

“Kau sudah mati. Tahukan kau soal itu?” tanyaku.

Bocah itu menggeleng, terdiam sebentar, kemudian mengangguk.

Hari itu aku tidak langsung pulang. Aku menelepon keluarga bocah itu untuk mempertanyakan soal uang yang ditawarkan. Setelah keluarganya membenarkan, aku menyuruh mereka menemuiku.

Kedatangan mereka membuat gaduh. Lima orang, satu diantaranya adalah wanita. Dua orang menggunakan seragam polisi, satu lainnya berjaket kulit warna gelap, tapi di pinggangnya ada sepucuk senjata api. Sementara lelaki sisanya tampak seperti pekerja kantoran biasa. Wanita yang terlihat seperti nyonya rumah itu terlalu antusias, membuat pertanyaan-pertanyaan penuh ketidaksabaran seperti sedang menginterogasiku layaknya tersangka. Yang berseragam polisi segera mengerumuniku seolah aku tersangka yang bisa melarikan diri kapan saja.

“Aku memang punya informasi. Tapi tolong, tunjukkan uangnya dulu!”

Aku tidak terintimidasi oleh desakan mereka. Toh, aku yang punya informasi. Aku yang akan membantu mereka, bukan sebaliknya.

“Uang saja yang ada di pikiranmu. Apakah kau tidak diajari soal empati oleh orang tuamu?” kata salah seorang polisi.

“Tidak. Aku yatim piatu sejak bayi.” Polisi itu terdiam sebentar. Agaknya terkejut. Tetapi dia masih akan menyela lagi. Aku mendahuluinya. “Aku tidak bercanda soal ini, jadi kalian juga jangan bercanda. Perlihatkan uangnya, lalu aku akan memberitahu kalian keadaan bocah itu.”

Wanita itulah yang kemudian bergerak, buru-buru mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. Setelah dibuka, dalamnya benar-benar uang. Aku jelas tak tahu berapa jumlahnya. Tapi terlihat sangat banyak, dan aku tergiur lagi.

“Katakan!” wanita itu mulai tidak sabar.

“Bocah itu sudah mati,” kataku.

Si wanita mendelik. Wajahnya memerah dan mulai naik pitam.

“Omong kosong apa yang barusan kau katakan!” Wanita itu memekik. “Anakku tidak mungkin mati. Dia hanya hilang. Hilang dalam keadaan baik dan harus pulang dalam keadaan baik pula!” Dia sangat marah. Seumpama tidak dipegangi suaminya, mungkin dia sudah mencakar mukaku atau menjambak rambutku. “Katakan sekali lagi dan aku akan menjebloskanmu ke penjara!”

Aku menghela napas.

Nyatanya aku tidak berbohong. “Dia memang sudah mati. Ikut aku, aku akan tunjukkan di mana tubuhnya berada!” kataku lagi.

Meski ada perdebatan di antara mereka. Aku tidak peduli. 

Aku pergi. Seolah memandu, sebenarnya aku sendiri sedang dipandu.

Bocah kasat mata itu selalu ada di sekitar. Menangis tersedu-sedu sambil memanggil kedua orang tuanya. Dia meminta perhatian, tapi tidak ada yang memperhatikan. Tentu saja, karena dia sudah mati. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain menunjukkan kebenaran. Maka dari itu, dia segera memimpin jalannya.

Sementara aku mengikuti bocah kasat mata itu, mereka yang tadinya berdebat memilih mengikutiku.

Jalannya menyimpang dari jalan umum. Masuk dalam hutan di sisi lain desa. Menyusuri semak dan menerjang ranting-ranting rendah. Di dekat perbatasan sebelum masuk hutan lebat, di situlah bocah itu berhenti. Menunjuk ke belakang pohon yang kemudian kutunjuk juga.

“Di sana!” kataku. “Coba lihat di belakang pohon itu!” lalu kutambahkan, “Kalau perlu, gali tanahnya juga!”

Dua polisi berseragam berjalan ke sana, tetapi wanita yang tidak sabaran itu mendahului mereka. Menemukan tas, sepatu, dan sisa-sisa yang diakuinya sebagai milik anaknya, dia menjerit. Meraih barang-barang itu, memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu.

Proses itu berjalan begitu cepat. Orang-orang yang berkepentingan datang berbondong-bondong. Menggali, mengambil, kemudian membawa semuanya pergi. Bocah kasat mata itu tidak lagi ada di sekitar, berarti semuanya beres. Yang masih kutunggu adalah uang yang seharusnya jadi milikku.

“Kapan aku akan menerima upahku?” tanyaku, ketika polisi yang mengantongi pistol di pinggangnya itu menghampiriku.

Dia melihatku dari ujung ke ujung. Menyedekapkan tangannya seraya berpikir, aku ini penolong atau malah penjahatnya?

“Aku akan mengatakan siapa yang melakukannya kalau kalian memberikan uangnya!”

“Dari mana kau tahu soal keberadaan anak itu?” Lelaki itu tersenyum, tapi senyumnya lebih mirip seringaian. “Tahukan kau, informasi yang kau berikan ini malah menjadikanmu tersangka atau komplotan.”

“Aku bicara dengan yang mati,” jawabku.

Polisi itu menyipitkan matanya.  

“Bocah itu bicara padaku!” Aku menambahkan.

Aku tidak menjelaskan lagi. Polisi itu kemungkinan besar tidak percaya, tetapi dia mengatakan akan memberikan uangnya setelah penjahat yang sebenarnya ditangkap. Jadi, mau tak mau aku memberikan informasi itu padanya.

Tiga hari berikutnya polisi itu dengan sengaja menungguku di jalan pulang. Dia menanyakan namaku, tapi aku tidak menjawabnya. Dia memperkenalkan diri, tapi aku tidak menanggapinya serius.

“Pria dengan ciri-ciri yang kau berikan, kami sudah menangkapnya.” Dia mengulurkan gepokan uang. “Terima upahmu!”

Tentunya tidak sesederhana itu menangkap penjahat, meski begitu aku masih berkontribusi besar. Patut kalau aku mendapatkan uang itu. Tanpa malu-malu aku mengambilnya, lalu pulang dengan perasaan puas.

.

.

Kecuali kakek, tidak ada orang desa yang tahu aku bisa melihat makhluk gaib. Orang lain akan menganggapnya kelebihan, sementara bagiku itu kekurangan. Akan lebih baik kalau disembunyikan. Tetapi, belum lama ini ada seseorang yang mengetahuinya. Paman Giman menebaknya dan aku tidak bisa mengelak. Paman Giman sering berinteraksi denganku hanya gara-gara hal itu. Terakhir kali, beliau mengajakku ke kota. Melihat-lihat rumah yang katanya akan dia beli, tapi berakhir di rumah bekas kebakaran yang pintu depannya masih disegel dengan garis polisi.

Paman Giman menerobos masuk, aku mengikutinya. Bagian dalam rumahnya hangus, tapi bangunan utama masih sangat megah meski segalanya berwarna hitam.

“Aku tahu kalau rumah ini banyak penghuninya, terutama karena pemiliknya mati terbakar sampai wujudnya sulit dikenali.”

Kulirik Paman Giman. Dengan tidak berminat aku bertanya, “Paman mau membeli rumah ini?” Aku jadi sedikit curiga padanya.

“Aku sudah membelinya.” Beliau terkekeh karena berhasil membohongiku. “Aku percaya, dengan direnovasi, rumah ini akan berharga sangat mahal. Hanya saja …,” Beliau memandangku dengan tatapan aneh. “aku butuh bantuanmu untuk mengusir hantu-hantu di dalamnya. Kalau berhasil, aku akan memberimu komisi dari hasil penjualan ulang rumah ini nantinya.”

Tidak mengatakan apa-apa, aku berbalik dan melangkah pergi.

“Nat!” panggilnya.

“Aku bukan dukun!” sahutku.

Paman Giman menyusulku. “Setidaknya coba dulu. Meski kau bukan dukun, kau kan bisa bernegosiasi dengan hantu-hantu itu. Tanyakan apa permintaan mereka supaya mau direlokasi ke tempat lain?”

Keinginan konyol apalagi itu? Aku tidak mau melakukannya.

Tepat saat aku keluar dari rumah itu, segerombol polisi yang salah satunya adalah polisi berjaket gelap tempo hari, ada di depan rumah. Kami saling menatap, polisi itu yang lebih dulu mengernyitkan dahi.

Paman Giman yang datang belakangan cukup terkejut mendapati polisi ada di depan rumah. Mereka saling mempertanyakan keberadaan masing-masing. Paman Giman mengatakan kalau dia pemilik baru dari rumah ini, sementara polisi mengatakan kalau rumah ini dan apa yang terjadi di dalamnya masih dalam penyelidikan. Rumah ini jelas tidak bisa diperjualbelikan.

“Aku telanjur membelinya dan bersiap melakukan renovasi,” protes Paman Giman.

“Tunda dulu, setidaknya sampai penyelidikan selesai,” kata polisi itu.

“Kenapa harus dilakukan penyelidikan lagi sementara waktu itu polisi sudah mengatakan kalau kebakaran yang terjadi karena kelalaian pemilik rumah?”

Polisi itu tiba-tiba memandangku. “Tanya padanya? Apakah kebakaran di rumah ini karena kelalaian pemilik atau ada penyebab lain?”

Dengan cepat aku menjawab, “Aku tidak tahu.”

Bukan membantu, Paman Giman malah tampak senang. Terkekeh sambil menepuk-nepuk punggungku.

“Ah, benar. Kau bisa bicara dengan hantu. Ayo, Nat, bantu polisi menyelesaikan kasus ini supaya kita bisa segera memulai renovasi.”

“Paman Giman!” Aku memprotes, tapi Paman Giman tidak menyerah.

“Ya, kau bukan dukun. Setidaknya kau bisa bicara dengan mereka soal penyebab kebakaran ini. Sekalian negosiasikan soal yang tadi kuminta!”

“Aku tidak mau!” Aku menolak lagi.

“Kau akan dibayar kalau berhasil,” kali ini polisi itu yang berkata. “Dengan syarat, penyelidikan ini berakhir memuaskan,” tambahnya.

Aku tidak bisa menolak, terutama ketika polisi itu mengerahkan timnya untuk mengintimidasiku dengan pandangan tajam mereka.

Memasuki ruang demi ruang di rumah itu, aku hanya melihat orang-orang dalam keadaan gosong. Sebagian kulit mereka meleleh, dagingnya rontok, dan tulangnya terekspos. Anak-anak kecil malah tampak seperti akan lebur menjadi abu.

Berhenti di depan pintu kamar mandi yang sempit itu, aku terdiam lama sekali. Melihat tumpukan orang di dalam sana, mendengar tangisan dan jeritan minta tolong, sampai akhirnya kesadaranku seperti ditarik, lalu dilempar ke waktu kejadian berlangsung.

Sebuah perampokan bersenjata. Lima orang dengan pimpinan lelaki pincang yang tampak sangat jahat. Mereka membunuh pemilik rumah, menyandera anak-anak, juga menganiaya sopir dan pembantu. Memasukkan mereka dalam kamar mandi sempit itu, kemudian menjarah semua harta benda. Lelaki-lelaki jahat itu membakar rumah berserta apa yang ada di dalamnya sebelum mereka pergi.

Aku mengalami sakit kepala hebat setelah melihat kejadian itu. Meski tidak mengerti perasaan apa yang harus kutunjukkan atas peristiwa itu, aku masih merasa kalau kejadian itu tidaklah benar.

“Lima orang, satu di antaranya berjalan timpang.”

“Ah!” pekik salah satu polisi. Agaknya dia dapat gambaran siapa pelakunya.

“Kau melihatnya?” tanya Paman Giman, antusias. “Bagaimana? Sudah kau negosiasikan soal relokasi?”

Aku melirik tetanggaku itu dengan malas.

“Belum, ya?” tebaknya, kehilangan minat.

Polisi berpistol itu menyeringai sejenak, lalu mengusirku dan Paman Giman.

Untuk sementara waktu rumah itu tidak bisa diotak-atik. Polisi berjaket gelap itu bersikeras akan menemuiku lagi meski aku menolak untuk bertemu dengannya. Pada akhirnya polisi itu masih datang juga meski berjarak sebulan dari pertemuan kala itu. Bukan untuk tujuan baik, karena aku harus ikut dengannya ke kantor polisi terdekat.

Awalnya hanya dimintai keterangan, lama kelamaan aku dicuriga sebagai komplotan. Bahkan polisi-polisi setempat mengancam akan memenjarakanku tanpa pandang bulu. Polisi berjaket gelap itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menyunggingkan senyum, lalu mengangkat bahu, tidak mau tahu.

“Aku bicara dengan yang mati.” Kalimat itu lagi yang kukeluarkan.

Polisi setempat jelas tidak mempercayaiku. Terbukti dari cara mereka mencemooh kata-kataku.

“Mereka membisikkan banyak hal,” sambungku.

“Jangan mengada-ada!” tuding salah satu dari mereka. “Kau jelas tidak tampak seperti cenayang.”

Aku memang bukan cenayang, makanya aku menggeleng. Kulirik belakang kepala polisi itu. Seorang wanita tua berwajah sendu berbisik ‘pulang’ berulang-ulang. Mungkin itu sebuah perintah.

“Nenek di belakangmu menyuruhmu pulang.”

“Hah?” Lalu tertawa bersama rekannya. “Mencoba menakut-nakutiku, ya? Tidak mempan. Aku tidak percaya dengan yang begitu-begitu.”

“Kalau tidak pulang, mungkin akan menyesal.”

Polisi itu masih tertawa mengejekku.

Aku memang tidak tahu alasan dia harus pulang. Kalaupun dia tidak percaya dengan apa yang kukatakan, aku juga tidak peduli. Tetapi untuk membuktikan kebenaran perkataanku, aku tidak memiliki cara.

Mereka benar-benar menahanku. Meski tidak ditempatkan di sel, aku masih tidak bisa ke mana-mana. Duduk di depan meja salah satu petugas sambil sesekali ditanyai soal keterlibatanku dalam aksi perampokan itu. Kalaupun kalimatnya beda, maksudnya masihlah serupa. Dengan begitu aku menjawab dengan kata yang sama. Aku tidak terlibat.

Setengah jam berikutnya, sesuatu terjadi. Polisi yang sebelumnya menertawakanku, mendapat telepon yang kemudian membuatnya kalang kabut.

“Nenekku terjatuh di kamar mandi dan sekarang keadaannya kritis. Kapten, mohon izin untuk pergi ke rumah sakit sebentar!”

Petugas itu pergi setelahnya. Sisanya mulai memandangku dengan tatapan takjub sekaligus penasaran.

Setengah jam berikutnya aku dipersilakan kembali. Polisi berjaket gelap itu mengantarkanku pulang meski aku menolaknya.

Dia berbicara panjang lebar selama perjalanan kembali. Bahkan memperkenalkan dirinya lagi seolah tahu aku tidak mengingat namanya di perkenalan terdahulu.

Namanya Lucas, detektif polisi dari satuan pusat. Dia diperbantukan di kantor polisi daerah ini untuk sementara waktu. Sikapnya mengatakan kalau dia sedang pamer, seakan profesi dan titelnya sangatlah hebat. Masalahnya, aku tidak berpikir begitu. Seorang detektif dilempar ke darah pinggiran, jelas sebuah hukuman. Mungkin dia telah membuat masalah di kantor lamanya.

“Perampok itu sudah ditangkap, kan?” Aku tahu ancaman polisi-polisi sebelumnya hanya gertakan. Mereka jelas sudah menyelesaikan kasus kebakaran.

Dia tertawa. “Kau bisa tahu soal itu juga?”

“Hanya menebak.”

Kali ini sudah sampai depan rumahku. Kakek terlihat sedang mondar-mandir di dalam rumah, aku tidak akan masuk bersama Detektif Lucas. Aku tidak ingin memperkenalkan mereka. Namun, Detektif Lucas malah masuk lebih dulu. Berjalan seenaknya, menginjak bunga yang ditanam kakek di halaman, juga mematahkan beberapa ranting pohon yang sedang berbuah lebat.

“Berapa lama kau tidak menyiram tanamanmu?” Dia menunjuk pada bunga-bunga yang sudah lama layu. Bunga itu yang tadi diinjaknya. “Kau tidak memangkas pohon yang begitu rimbun. Halamanmu hampir menjadi hutan. Bahkan rumahmu tidak terlihat dari depan.”

Aku melihatnya lagi. Tempat-tempat yang tadi dia tunjuk, itulah yang membuatku heran. Seingatku bunga-bunga di halaman tumbuh subur, kenapa bisa layu begini? Setahuku pohon-pohon berbuah sangat lebat, kenapa buahnya hilang, kenapa tumbuh banyak ranting tak berguna begini?

Apakah ada masalah dengan penglihatanku saat ini?

“Kakek, apa yang terjadi dengan tanaman di halaman? Apakah kau tidak sempat merawatnya?” Kakek hanya tersenyum padaku, lalu mengangguk kecil. Kakek melirik detektif polisi itu sebentar. “Ini petugas polisi dari kota. Dia mengantarku pulang hanya untuk memastikan aku sampai dengan selamat. Dia sudah akan pulang.” Kakek tidak berkata apa-apa, tersenyum lalu meninggalkan ruangan.

Detektif Lucas mengernyitkan kening padaku, kemudian tertawa tanpa aku tahu apa sebabnya.

“Ya, aku hanya memastikan kau pulang dengan selamat.” Dia merogoh saku dalam jaketnya, mengeluarkan uang yang kemudian dilemparkannya padaku. “Ambil uangmu!” Tidak sopan tindakannya, tapi aku tidak memedulikannya selama itu berkaitan dengan uang. “Kalau kau butuh bantuan, kau bisa menghubungiku!” katanya sambil mengulurkan kartu nama yang langsung kutolak.

“Di sini banyak orang yang bisa kumintai tolong.” Terutama karena aku tidak ingin bertemu polisi lagi. Tidak mau diancam dipenjarakan lagi.

Detektif Lucas mengangkat tangan. “Ok, aku kembali kalau begitu. Baik-baiklah menjaga diri kalau-kalau ada hantu jahat mau memakanmu!” Dia pergi dengan tawa yang tidak berhenti sampai di luar halaman.

.

.

Hari Sabtu, pukul empat sore, sepulang mengantarkan telur dan sayur ke pengepul, seorang tetangga menyambut kedatanganku dengan ekspresi sedih. Memegang lenganku, lalu menarikku ke halaman rumah.

“Nat, kakekmu telah pergi.”

Kakek memang sudah tua, ada beberapa keluhan pada tubuhnya, tetapi tidak pernah ada yang serius. Beliau selalu bisa bertahan karena kemauan kerasnya untuk tidak meninggalkanku terlalu cepat.

Pagi ini beliau dalam keadaan baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba mati?

Kalau beliau benar-benar mati sekarang, apakah itu karena umurku telah dianggapnya cukup untuk bisa hidup sendiri?

“Kau sudah besar, harus kuat, harus ikhlas.”

Ya, mungkin memang itu alasannya.

Aku pernah sendirian, tapi aku tidak pernah berpikir untuk sendirian lagi sejak ada kakek. Ditinggalkan kakek memang tidak membuatku sedih sampai harus menangis, meski begitu aku merasakan kekosongan di dadaku. Sebagian dari diriku seolah ada yang menghilang.

Satu-satunya orang yang dekat denganku telah pergi, apa yang harus aku lakukan?

Detektif Lucas keluar dari rumahku. Dia mendatangiku, kemudian menepuk lenganku. “Ikut aku ke rumah sakit daerah. Kau harus memastikan bahwa itu tubuh kakekmu!”

Aku tidak mengerti dengan permintaannya. Bukankah jasad kakekku ada di dalam rumah? Tetapi tetangga yang tadi menyambut kedatanganku dengan berita buruk itu, malah mengangguk. Mengajukan diri untuk menemaniku ke rumah sakit daerah.

Di ruangan berpendingin itu, aku melihat jasad setengah busuk di atas ranjang besi. Baju-bajunya jelas milik kakek. Namun, aku masih tidak bisa mengerti. Kenapa kakek yang setiap hari kuajak bicara, yang pagi ini masih tersenyum padaku, tiba-tiba ditemukan dalam keadaan seperti ini?

Aku terkejut dengan penemuan ini, tetapi tetanggaku malah histeris. Kami digiring keluar, dimintai keterangan singkat, dan pada akhirnya diberitahu bahwa jasad kakek ditemukan pagi ini di sebuah tempat yang aku tidak tahu di mana itu. Kematiannya diperkirakan dua bulan lalu dengan sebab yang tidak wajar.

“Terakhir kali aku ke rumahmu, apakah kau bicara dengan kakekmu? Maksudku benar-benar kakekmu?”

Aku yang duduk di bangku tunggu rumah sakit sambil memegang minuman panas, melihatnya sebentar. Tidak mengerti arah pertanyaan itu.

“Dalam pandanganku, tidak ada seorang pun di sana.” Itu membuatku sedikit terkejut. Dan dari keterkejutanku, detektif polisi itu mengatakan, “Jadi, kau tak tahu kalau sedang berbicara dengan kakekmu?” katanya, memberi tanda kutip dengan jari-jarinya pada kata kakek.

Aku menggeleng. “Aku tidak tahu.” Tidak tahu kalau kakek telah mati.

Mungkin memang benar aku bicara dengan arwah kakek, tapi aku tidak menyadarinya. Kira-kira dua bulan terakhir ini kakek tidak bicara padaku. Hanya tersenyum, mengangguk, menggeleng, dan selalu pergi tiba-tiba.

“Kau tahu yang harus kau lakukan, kan?” tanya Detektif Lucas, mirip permintaan.

Kasus kematian kakek janggal, tentu aku harus membantu.

Masalahnya, sejak ditemukannya jasad kakek, sejak saat itu aku tidak bisa melihat arwahnya lagi, bahkan bermimpi bertemu kakek pun, tidak.

Kamar kakek juga sudah kulihat, bahkan polisi ikut membongkar beberapa barang. Kecuali kamar yang tampak berdebu menandakan lama tidak ditinggali, tidak ada barang aneh lainnya. Petunjuk satu-satunya adalah sebuah alamat yang dituliskan pada selembar kertas kecil. Dan itu jadi salah satu petunjuk untuk memulai penyelidikan.

Jasad kakek boleh dimakamkan setelah autopsinya selesai. Tetangga bukan hanya melayat, tapi juga membantu pemakaman, memberi banyak sumbangan, dan bersedia menjagaku untuk sementara waktu. Tapi aku menolak mereka karena aku sudah cukup umur untuk tinggal sendiri.

Detektif Lucas datang bersama rekannya, selain mengucapkan bela sungkawa juga menunjukkan foto kakek bersama lelaki seumuran yang harus kuidentifikasi. Sayangnya, aku tidak mengenalnya.

Ketika detektif Lucas dan rekannya akan pulang, aku minta maaf padanya. Aku yang seharusnya membantu memecahkan kasus kakek, malah tidak bisa berbuat apa-apa.

“Tidak apa-apa. Kalau kau tidak bisa, polisi yang akan melakukannya sendiri.”

Aku mengangguk, berterima kasih.

“Ngomong-ngomong, sejak kapan kau punya kemampuan melihat dunia orang mati?”

Pertanyaan Detektif Lucas tampak sepele, jadi aku juga menjawabnya dengan jawaban sepele juga. “Sudah lama sekali.” Tapi tidak berbohong.

Namaku Nat, karena memang begitulah aku dipanggil.

Aku tidak mengingat dari mana asalku, siapa orang tuaku, bahkan bagaimana aku hidup sebelum ini. Ingatanku hanya berawal dari kejadian itu, kejadian di mana panti asuhan tempatku tinggal terbakar habis. Menghanguskan bukan hanya bangunan dan data panti asuhan, tapi juga ibu panti dan anak-anak yang aku sebut saudara. Hanya aku yang hidup. Tanpa luka dan tanpa cedera. Sayangnya, luka dan cedera jauh lebih baik daripada trauma.

Berawal dari bisikan itu, suara tanpa wujud yang terus saja menyuruhku mengikutinya. Membimbingku menghindari api sampai akhirnya selamat dari kebakaran. Setelah itu bukan hanya suara, tapi wujud mereka yang harusnya tak kentara pun bisa kulihat. Bentuknya, tampilannya, dan aura yang mereka bawa terlalu bervariasi. Kadang membuatku takut, kadang juga membuatku senang. Di saat berteman dengan manusia sudah tak memungkinkan, aku lebih suka berteman dengan mereka yang bukan manusia.

Namun, keputusan berteman dengan mereka yang bukan manusia membuatku harus berpindah dari satu panti ke panti lain. Dari satu keluarga asuh ke keluarga asuh lainnya. Mereka selalu tidak cocok denganku. Mereka juga menyebutku aneh dan menakutkan. Makanya aku harus tinggal di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan. Bicara dengan psikolog, kadang juga psikiater. Memaksaku mengakui kalau pertemananku dengan mereka yang kasat mata itu tidaklah nyata, agar aku bisa keluar dari pusat rehabilitasi dan hidup dengan layak.

Aku melarikan diri dari pusat rehabilitasi. Luntang-lantung di jalan layaknya gelandangan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain seperti orang gila. Sampai akhirnya bertemu kakek. Orang tua itu mau menerimaku, menjagaku, dan memberi penghidupan yang layak. Banyak yang beliau ajarkan, termasuk soal bersosialisasi dan bertahan hidup di pedesaan.

Di desa ini kami hidup dengan baik selama bertahun-tahun, tapi kakek telah pergi dengan cara tidak baik sekarang.

Siapakah yang tega melakukannya pada kakek?

Aku tidak bisa tidur malam harinya. Kepikiran kakek. Kepikiran kenapa aku tidak bisa melihat kakek padahal kematiannya tidak dalam keadaan wajar.

Namun, ketika lelah dan kantuk mulai melanda, aku dibawa ke dalam alam mimpi yang aneh. Aku bertemu kakek. Orang tua itu terlihat energik seperti sedang dalam masa jayanya.

“Duduklah, Nat. Kakek ingin menceritakan sebuah kisah padamu!”

Seolah aku benar-benar duduk, kakek pun mulai bercerita.

Tentang masa mudanya yang penuh dengan petualangan dan kerja keras. Tentang kisah percintaannya yang sempurna meski berakhir dengan perpisahan tragis. Juga tentang masa kelam yang mengharuskannya bekerja pada orang-orang jahat. Orang tuanya ditipu hingga sakit-sakitan dan berakhir mati. Istrinya tidak kuat diteror penagih hutang hingga stres dan berakhir bunuh diri. Hanya ada dia yang menangung banyak hutang. Terpaksa mengerjakan apa pun demi bisa melunasi hutang yang seharusnya bukan miliknya.

Dan tugas terakhir kakek sebelum pensiun dari pekerjaan itu adalah menguburkan jasad seorang wanita yang kematiannya disengaja. Kakek menyesali pekerjaannya. Bahkan di tahun-tahun pensiunnya, beliau ingin sekali mengungkap kebenaran. Sayangnya kakek takut dengan konsekuensi yang diberikan orang-orang kelas atas padanya.

“Kakek sangat menyesal,” katanya dengan muka sendu.

Kakek tidak pernah bisa menemukan keluarga wanita itu yang tersisa hingga kakek tidak dapat meminta maaf secara langsung.

“Tolong bantu kakek, Nat!” pintanya. “Bantu kakek memberi penguburan yang layak pada wanita itu.”

Masih banyak lagi yang dibicarakan kakek dalam mimpi itu, termasuk tentang jurnal yang beliau tulis dan berkas berisi bukti-bukti kasus dua puluh tahun lalu yang dibawa wanita itu sebelum dia dihabisi. Kakek berhasil menyembunyikannya, tetapi aku tidak berhasil menemukan di mana jurnal dan berkas itu disimpan.

Karena kejadian itu sudah lama sekali, bahkan aku belum lahir ketika itu, jelas sulit untuk menemukan jasad wanita itu. Aku hanya bisa pergi ke tempat yang disebutkan kakek, berharap masih ada sisa-sisanya sebagai harapan terakhir.

Berbeda kota dan provinsi. Berada di desa terpencil, tepatnya di pemakanan tua terbengkalai yang penduduk desanya pun jarang melewatinya. Aku dinasihati salah seorang warga untuk tidak berlama-lama di situ. Meski bukan makam keramat, masih akan baik-baik saja untuk pulang sebelum gelap. Dan aku mengiyakannya.

Jumlah makamnya sedikit. Entah karena terlalu lama terbengkalai, lalu hilang karena termakan usia sebagiannya atau memang tidak banyak warga yang berminat mengubur di sini sejak awal.

Kupikir kakek akan sangat kejam di masa itu, nyatanya meski kakek menguburkan mayat hasil pembunuhan, kakek masih memilih pemakaman umum.

“Sudah lama sekali,” sebuah suara terdengar di belakangku. Aku tahu itu bukan orang karena suaranya mirip bisikan. Wanita paruh baya, tersenyum bahagia, meski dalam pandanganku senyum itu tampak sangat dingin. “Lama sekali sejak terakhir kali ada orang datang ke tempat ini.”

Langsung saja aku berkata, “Aku mencari Nyonya Arkana.”

“Kau sudah menemukannya.” Hilang sejenak, lalu muncul tepat di depanku. Aku terkejut. Hampir-hampir jatuh di atas nisan tua di belakangku. “Kenapa kau mencariku, anak muda?”

“Kakekku minta maaf karena telah menguburkan Nyonya Arkana jauh dari keluarga.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin masih punya keluarga. Setelah suamiku meninggal dengan cara yang buruk, aku juga mengalami hal sama. Putriku …,” lalu tidak melanjutkannya.

“Mungkin masih hidup,” sahutku. “Orang-orang tidak menemukan kematiannya sampai sekarang. Mungkin dia masih hidup.”

Wanita itu cukup bahagia, tapi tidak terlalu menunjukkannya.

“Aku jelas tidak bisa menemukannya. Apakah kau mau menemukannya untukku?” Wanita itu meminta, lebih seperti memaksa. “Suamiku tidak mati tenang, aku juga. Apa kau pikir kakekmu bisa mati tenang kalau keluargaku tidak?”

“Aku akan berusaha. Tapi bisakah Anda berjanji untuk memaafkan kakekku setelahnya?”

Wanita itu tidak menjawab. Menghilang lagi, lalu muncul di tempat lain.

“Kakekku tidak membunuh Anda, tidak membunuh siapa pun. Dia hanya pesuruh. Aku tidak hanya akan mencari putri Anda, tapi juga akan membawanya menemui Anda. Nyonya, tolong …?”

“Temukan saja putriku!” pintanya, lalu menghilang.

Biasanya aku yang mengabaikan makhluk kasat mata, tetapi sekarang aku yang diabaikan.

Aku tidak pernah melihat putri Nyonya Arkana, bagaimana cara aku menemukannya?

Untungnya, sekembalinya dari pemakaman, suara-suara itu muncul lagi di kepalaku. Menunjukkan ke mana aku harus pergi, siapa yang harus kutemui, sampai akhirnya aku masuk rumah sakit umum kota, pergi ke bagian ruang perawatan untuk menemui seorang wanita muda glamor yang baru saja keluar dari salah satu ruang rawat.

“Kakak Kana, aku bertemu ibumu belum lama ini. Dan dia ingin kau menemuinya.”

Wanita muda itu mengerutkan kening. Melihatku dengan tatapan heran. Siapa aku, tiba-tiba bicara begitu padanya?

“Aku tahu di mana dia berada,” aku melanjutkan.

Aku memang tidak pernah melihat wanita ini, tapi karena suara itu mengatakan kalau wanita inilah yang kucari, informasi itu tidak mungkin salah.

Sebelum wanita itu sempat menjawabku, ada kegaduhan di ruang rawat yang baru ditinggalkannya. Semestinya ada masalah dengan pasien di dalamnya. Dokter dan perawat datang cepat untuk menanganinya, tetapi kehebohan itu segera berhenti. Dikatakan bahwa penyelamatannya telah gagal dan pasiennya mati.

Mendengar berita itu, wanita muda itu jadi sedih, tapi ekspresi sedihnya terlihat sangat palsu di mataku.

“Kasihan sekali,” gumamnya. “Franco pergi begitu cepat.”

Wajah sedihnya berubah begitu cepat. Dia tersenyum padaku seperti sedang bahagia.

“Kau serius melihat ibuku?”

Aku mengangguk. Dalam hati mengatakan, ‘arwahnya’.

“Berikan nama dan alamatmu, aku akan menemuimu untuk membahas masalah ini nanti!”

Aku mampir ke kantor polisi sebelum kembali ke rumah. Mencari detektif Lucas untuk menceritakan kejadian yang baru-baru ini kualami. Sayangnya Detektif Lucas tidak ada di tempat. Kata seorang polisi, Detektif Lucas sedang mengurusi kasus besar. Polisi itu juga mengatakan kalau Detektif Lucas tidak bisa selalu ada di sini. Dia detektif hebat dari pusat, hanya diperbantukan untuk kasus yang tidak bisa diselesaikan kantor polisi kecil seperti tempat ini. Setelah kasusnya dapat titik terang, Detektif Lucas harus kembali ke kantor aslinya.

Dari sini aku baru tahu kalau Detektif Lucas benar-benar diperbantukan. Kukira, terakhir kali dia ke sini, itu karena dia dibuang kantor lamanya.

“Kenapa kau mencarinya? Mendapat penglihatan gaib lagi, ya?”

Aku menggeleng. “Dua puluh tahun yang lalu, apakah ada kasus besar yang melibatkan keluarga Arkana?” tanyaku, mencoba keberuntungan dari polisi ini.

“Dua puluh tahun yang lalu bahkan kau belum lahir, kenapa menanyakan soal itu?”

“Sepertinya kematian kakekku ada sangkut pautnya dengan kasus itu.”

Polisi itu tampaknya jadi penasaran. Dia membuka ponselnya, lalu mencari informasi lewat mesin pencari. Ketika dia menemukan artikel terkait, lalu membacanya, polisi itu segera memperhatikanku.

“Kasusnya orang besar. Ada baiknya kau, aku, … pokoknya orang-orang kecil seperti kita ini tidak ikut campur.”

Bukannya aku mau ikut campur, aku hanya ingin tahu. Aku tidak mengerti kenapa polisi itu begitu defensif soal kasus ini.

“Pulanglah. Anggap kita tidak pernah membahas masalah ini!”

Aku menelepon Detektif Lucas dalam perjalanan pulang. Susah sekali dapat tanggapan dari orang itu, tapi akhirnya dia mengangkat panggilanku setelah aku hampir menyerah.

Kuceritakan mimpiku soal kakek. Kuberitahukan padanya tentang wanita yang dikuburkan kakek, bukti pembunuhan yang hilang, juga letak kuburan wanita itu. Detektif Lucas mengurusnya dengan sangat cepat, sama cepatnya dengan yang pertama kali. Penggalian makam dan proses identifikasinya berakhir dalam hitungan hari saja.

Ketika Detektif Lucas mendatangiku lagi, dia menanyakan soal bukti pembunuhan yang aku bicarakan.

“Aku tidak menemukannya di mana pun.”

Detektif Lucas menghela napas lumayan panjang. “Aku khawatir keluarga Tobias menemukannya lebih dulu.”

“Keluarga Tobias?” Nama itu terdengar asing.

Detektif Lucas tampak tahu banyak hal, tapi aku sangsi kalau dia mau berikan informasinya padaku.

“Keluarga kaya. Orang besar,” terangnya, cukup ala kadarnya. “Salah atau tidak, mereka susah dipenjarakan.”

Aku mengangguk-angguk. Memang ada yang seperti itu di mana-mana. Walau aku belum benar-benar bertemu dengan keluarga sebesar itu, aku masih percaya mereka ada. Kalau sudah begini, apakah kematian kakek bisa diselesaikan?

“Tapi kau tak perlu khawatir. Kasus kakekmu pasti akan selesai dengan baik.”

Detektif Lucas mengaku punya waktu untuk bersantai. Dia memaksaku ikut dengannya. Bersama dua polisi lainnya, aku diajaknya makan di kedai dekat kantor polisi. Ada siaran langsung sepak bola saat ini, makanya kedainya ramai. Detektif Lucas menyarankanku memesan doa porsi sama seperti mereka. Aku menolaknya karena tidak bisa makan sebanyak itu. Aku makan cepat, tapi polisi-polisi itu makan lebih cepat lagi, padahal porsi makan mereka sepiring lebih banyak dariku.

Sehabis nonton bola, seharusnya aku pergi, tetapi aku tidak melakukannya setelah melihat TV sedang menayangkan berita kematian seorang tuan muda dari keluarga terpandang. Keluarga ini dikatakan tengah mengalami kemalangan akhir-akhir ini. Kebakaran, sabotase, dan fitnah. Terakhir, anggota keluarga yang baru-baru ini mengalami kecelakaan mobil, mati di ranjang rumah sakit. Anak dari keluarga itu adalah Franco Tobias.

Aku ingat nama Franco pernah disebutkan kakak Kana. Aku ingat juga nama Tobias disebutkan oleh Detektif Lucas. Apakah keluarga Arkana ada hubungannya dengan keluarga Tobias? Lalu kenapa Kakak Kana bisa berada dekat sekali dengan salah satu anggota keluarga itu?

Dari video singkat yang dipertontonkan, aku melihat seseorang yang kurasa tidak asing. Lama kupikirkan sampai akhirnya wajah itu memantik ingatan masa lalu yang hilang dari otakku.

Siang itu aku dan saudara-saudaraku melihat ibu panti cekcok dengan beberapa lelaki. Mereka adalah agen yang menghubungkan anak-anak panti dengan calon orang tua angkat. Seharusnya ibu senang, seperti kami yang senang ketika mereka membawa satu di antara kami untuk diberikan ke orang tua angkat, tetapi tidak dengan ibu. Ibu benci dengan mereka. Tidak tahu kenapa, tapi ibu pernah berkata kalau ibu sudah muak dengan mereka. Ibu akan menyelamatkan kami dari orang-orang jahat itu.

Malam harinya, seorang pembesar datang bersama lelaki-lelaki situ. Ibu menyuruh kami bersembunyi, bahkan mengatakan agar kami lari seumpama orang-orang itu berhasil masuk panti dan berusaha mengambil kami paksa. Ibu menemui orang itu, bertengkar dengannya, kemudian terjadilah insiden ibu didorong, dipukuli, kemudian dibunuh di depan kami yang sedang mengintip dari dalam.

Kami memang bersembunyi, tapi tidak semuanya bisa lari ketika mereka menemukan kami. Sebagian tertangkap, sebagian lari dan bersembunyi lagi sebisanya. Salah satunya yang berhasil bersembunyi itu adalah aku. Mereka yang tertangkap dibawa pergi, sementara yang tersisa dihabisi dengan cara membakar panti dan seluruh isinya.

Kupikir aku satu-satunya yang selamat, tetapi setelah kuingat betul-betul, ada beberapa yang selamat. Polisi dan petugas medis berhasil menyelamatkan satu-dua anak, tapi aku tidak tahu siapa dan di mana mereka berada sekarang.

“Orang itu …,” tunjukku pada lelaki tengah baya yang ada di TV.

“Orang dari keluarga besar yang baru saja kukatakan padamu,” jawab Detektif Lucas. “Dia kepala keluarga Tobias. Drake Tobias,” tambahnya.

Yang punya masa lalu dengan keluarga Arkana adalah keluarga Tobias.

Yang mungkin juga punya andil dalam kematian kakek adalah keluarga Tobias.

Yang pernah membunuh ibu dan saudara-saudaraku, juga membakar panti adalah orang dari keluarga Tobias juga.

Sejahat itukah keluarga Tobias?

Aku pulang dalam keadaan linglung. Masih bingung memikirkan masalah yang saling berkaitan ini, aku malah dihadapkan dengan keadaan rumah yang kacau balau. Seolah ada badai baru saja menerjang, seluruh barang berantakan. Kamar kakek lebih acak-acakan lagi.

Siapa yang melakukannya?

Atas tujuan apa?

Melapor ke polisi jelas jadi jalan satu-satunya, tapi belum juga kuhubungi polisi, seseorang membekapku dari belakang.

“Di mana berkas itu?”

Tanganku dipelintir ke belakang. Yang tadinya dibekap, sekarang ditodong pisau tepat di leherku. Aku hampir tidak bisa tenang, soalnya pisau itu menempel bahkan sudah menggores kulit. Rasanya perit dan aku tidak bisa mengeluh.

“Berkas apa?” tanyaku.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Di mana kakekmu menyembunyikannya?”

Dia menyebut kakekku, apakah dia yang membunuhnya?

Aku hendak memberanikan diri untuk bertanya, tetapi pisau itu menggores kulit leherku lagi.

“Cepat katakan!”

Aku benar-benar tidak tahu. Berkas itu tidak pernah kutemukan, lalu apa yang harus kukatakannya padanya?

Sudah seperti mau mati saja rasanya. Tiga kali pisau itu menggores kulit leherku, tapi orang itu tampak tidak akan berhenti. Aku menduga, seumpama aku tahu dan memberitahunya, aku tetap akan dibunuhnya juga.

Seseorang lelaki tua mendobrak pintu saat itu. Dia adalah lelaki tua dalam foto yang ditunjukkan Detektif Lucas padaku tempo hati. Dia memegang balok kayu yang langsung dihantamkan pada orang di belakangku. Hanya kena sekali, selebihnya dihindari dan dilawan balik. Mereka berkelahi, sementara aku terlempar ke tepi. Nyatanya kakek itu masih kalah, terlebih orang asing itu punya teman yang baru bergabung setelahnya.

Kalah jumlah, lelaki tua itu menyerah. Kami diancam akan dihabisi seperti mereka menghabisi kakek, lelaki tua itu akhirnya mengatakan kalau berkas itu ada padanya. Disembunyikannya di suatu tempat yang hanya dialah yang tahu. Ketika kami akan digiring keluar rumah, Detektif Lucas datang bersama polisi-polisi lainnya. Menodongkan pistol, lalu menembak salah satunya karena berontak dan melarikan diri, kemudian memborgol mereka dan memasukkannya dalam mobil polisi.

Melihat luka di leherku, Detektif Lucas menarikku, kemudian menyerahkanku pada seorang perawat yang datang dengan ambulans di waktu berikutnya.

Tetangga berdatangan mendengar kegaduhan. Ingin mengetahui apa yang terjadi, tapi tidak ada yang memberitahu mereka. Jadi, mereka hanya berkerumun di sekitar halaman rumah.

Detektif Lucas masih menanyai lelaki tua yang ternyata teman lama kakek. Juga seprofesi dengan kakek. Orang tua itu mengaku sempat memperingatkan kakek untuk berhati-hati, bersembunyi selama mungkin kalau perlu. Nyatanya sia-sia.

“Lihat apa, kau?” Perawat di sampingku mendongakkan kepalaku, melihat luka di leherku, kemudian berkata, “Lukamu harus dijahit. Ikut saja aku ke rumah sakit dan kau akan aman!”

Pernyataan itu agak janggal. Ketika aku melihat ke arahnya, wajah perawat itu jelas tidak pernah kulihat, namun matanya sangat familier.

“Sudah kubilang aku akan menemuimu, kan?”

Aku berpikir cepat, kemudian menemukan siapa wanita ini. “Kakak Kana?” tebakku.

Dia tidak menjawab, pertanda tebakanku benar.

Aku disuruhnya berbaring. Dia keluar dari mobil, kemudian meminta izin kepada para petugas untuk membawaku ke klinik. Mobil disopirinya sendiri melewati jalanan yang bukan menuju klinik terdekat.

Kata Kakak Kana, dia akan membawaku berobat, tapi aku menduga kalau Kakak Kana ingin menjauhkanku dari masalah ini sementara waktu. Sampai waktunya tepat dan kami bisa muncul kembali untuk menuntut balas.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)