Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,381
Innocent
Thriller

Satu: Innocent


Aku adalah tunangan Felix. Calon nyonya muda di rumah ini. Bagaimana bisa aku dipandangi dengan sorot mata tajam seperti itu?

Orang itu, yang mengaku polisi dari satuan pusat, memandangiku seperti serigala lapar. Ingin menggigit tengkukku dan memakanku hidup-hidup. Sangat menakutkan, bukan?

“Ini tunanganku. Madison Madayag.”

Tapi aku tidak mau menyapa satu pun dari dua polisi yang ada. Aku satu langkah di belakang Felix. Bukan bermaksud bersembunyi, tapi memang wajah-wajah itu sangat menakutiku. Wajar bila aku butuh perlindungan.

“Madie, duduk sebentar!”

Untungnya, Felix ada di pihakku. Meraih tanganku, kemudian membimbingku untuk duduk di sofa. Dia masih memegang tanganku, juga meremasnya pelan. Seolah memberi kenyamanan dari gerakan penuh kehati-hatian itu.

“Silakan duduk, Pak!”

Dua polisi duduk bersamaan. Berseberangan dengan aku dan Felix duduk.

Si polisi berwajah paling sangar tidak membuang-buang waktu. Mengode temannya untuk menunjukkan berkas yang aku duga ada hubungannya dengan kasus yang baru-baru ini menimpa anak sulung di keluarga ini.

Oscar Tobias, sepuluh tahun lebih tua dari Felix. Dia punya bisnis hiburan yang sedang naik daun. Bersamaan dengan itu, masalah muncul bertubi-tubi. Seperti ketika aku pertama datang ke rumah ini, bisnis hiburan Oscar dirumorkan bersangkut-paut dengan prostitusi. Nyatanya itu tidak benar.

Rumor tidak membuat bisnis Oscar goyah, tapi fitnah yang terencana sedikit banyak membuat bisnis hiburan Oscar menurun peminatnya. Yaitu, ketika salah seorang pengunjung pulang dalam keadaan mabuk, menabrak banyak orang di jalanan. Sebagian terluka parah, sebagian lagi luka ringan. Beruntung tidak ada yang mati. Tetapi, setelah orang itu ditangkap dan diperiksa, pemeriksaan menunjukkan bahwa dia bukan hanya mabuk minuman beralkohol, tapi juga mengonsumsi obat-obatan terlarang. Hasil interogasi menunjukkan bahwa kelap Oscar ada hubungannya. Dan itulah kali pertama bisnis Oscar mengalami kerusakan.

“Saudara Anda benar-benar sesuatu,” kata polisi itu. Menyeringai seolah mengejek Oscar kami. “Dia terlibat bisnis prostitusi, perdagangan anak di bawah umum, pembuatan narkoba, mengedarkannya, juga menggunakannya sendiri. Dan sekarang overdosis.”

Aku hendak menyela, tapi Felix buru-buru mencegahku. Dia mengambil berkas yang ditunjukkan polisi itu, kemudian menelitinya.

Aku tidak percaya, dan tidak akan pernah percaya dengan apa yang dikatakan polisi. Oscar bukan orang yang seperti itu. Meski aku tidak terlalu akrab dengannya, aku tahu betul seperti apa dia. Dia orang baik, sama baiknya dengan orang-orang yang ada di keluarga Tobias ini.

Memang ada kejadian di mana bisnis Oscar kena masalah lagi. Yang tadinya hanya prostitusi, menjadi perdagangan anak di bawah umur. Itu bukan tuduhan main-main. Bahkan walau hasil penyelidikan menyatakan kalau tuduhan itu tidak benar, reputasi bisnis Oscar jelas menjadi buruk. Belum lagi yang menjadi gosip beberapa waktu lalu, kelab yang dikatakan telah membuat dan mengedarkan obat terlarang, langsung menghancurkan bisnis Oscar sampai hampir gulung tikar.

Ini masalah serius. Bukti awalnya tidak ditemukan, sementara fitnah makin merajalela. Begitu pun, polisi tidak ambil tindakan untuk membela Oscar dan bisnisnya, malah terus saja mencurigai Oscar kami.

“Anda bisa melihatnya sendiri. Tempat-tempat itu, yang terdaftar atas nama saudara Anda, di sanalah bisnis-bisnis ilegal itu dijalankan,” kata polisi itu lagi.

“Pasti ada kesalahpahaman.”

Aku membela Oscar, tapi Felix menghentikanku.

“Madie ….” Suaranya benar-benar menenangkan. Itulah alasan aku suka sekali padanya. Tapi ini masalah reputasi Oscar, reputasi keluarga Tobias.

“Oscar belum bangun semenjak keluar dari masa kritisnya, Felix, Sayang. Apa kau tak kasihan padanya?” Aku mendengus. Melirik kedua polisi yang malah duduk nyaman di sofa. Pasti mereka menikmati sofa mahal keluarga Tobias. Aku tidak suka mereka. Tapi aku juga takut pada mereka. “Polisi harus melakukan pemeriksaan ulang. Mestinya ada yang menjebak Oscar.”

“Madie, kita bicarakan soal ini, nanti!”

Memang tidak puas, tapi karena Felix sudah bilang begitu, aku harus menurut. Soalnya aku cinta sekali dengan Felix, apa pun yang dia katakan, harus kulakukan. Itu bentuk komitmen yang kubuat untuk menunjukkan rasa cintaku padanya.

Belum lama ini Oscar ditemukan di sebuah kamar hotel. Keadaannya cukup mengenaskan. Meski dia tidak mati, tapi dia sudah ada di ujung kematiannya. Wanita yang melaporkan sekaligus menjadi saksi dari kejadian itu mengatakan bahwa mereka sedang pesta. Malam yang panas, minuman yang panas, dan suguhan yang panas pula. Terlalu berlebihan apa yang mereka konsumsi hingga Oscar menjadi overdosis.

Aku mencurigai wanita itu. Menduga bahwa dialah yang merancang semua kemalangan ini untuk menghancurkan Oscar. Kalau sudah begitu, dia pasti punya dendam pribadi yang begitu besar.

Kira-kira apa dendamnya?

Polisi berwajah sangar itu masih menjelaskan banyak hal pada kami, sejujurnya hanya pada Felix, tapi aku ada untuk ikut menyimak. Dari semua yang kudengar, agaknya apa yang dia sampaikan tidak murni penjelasan, tapi disertai ejekan. Sekarang aku memiliki dugaan lain, bahwa polisi ini terlibat atas kejatuhan Oscar dan bisnisnya.

Aku mencoba melihat ke arah salah satu dari mereka, polisi dengan wajah sangar yang satunya, sekali waktu melirik ke arahku juga. Agak takut aku dibuatnya, tapi anggukan dan senyuman kecil yang dia berikan padaku membuatku agak tenang.

“Meski begitu, kepolisian tidak akan mencoba memberatkan tuduhan kepada saudara Anda. Rekam jejak saudara Anda lumayan bagus. Tidak ada tindak kriminal, tidak menyalahi aturan bisnis, juga tidak ada banyak persaingan dalam bidang apa pun. Kalau memang ada indikasi campur tangan orang lain, seperti yang Nona Madison bilang tadi …,”

Aku menaikkan daguku. Ya, ada campur tangan orang lain. Oscar tidak mungkin terlibat dalam kejahatan seperti yang dituduhkan.

“kami pasti akan menemukannya. Penyelidikan masih berlangsung. Sementara ini, saudara Anda dalam status tersangka. Anda, sebagai perwakilan keluarga, saya harap mau datang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Silakan bawa pengacara bila dibutuhkan!”

Untungnya ada kalimat netral di sini. Kalau tidak, aku masih akan menuduh mereka sebagai komplotan wanita itu, yang membuat Oscar belum bangun sampai sekarang.

Felix tidak banyak bicara. Hanya mengangguk, mengiyakan, kemudian membiarkan polisi-polisi itu berpamitan.

Agaknya tidak ada setengah jam kedatangan mereka, hawa di rumah keluarga Tobias menjadi sangat sesak. Setelah mereka meninggalkan tempat, serasa bisa menghirup udara dengan bebas lagi. Bau lavender yang ditanam Mama Ema di samping rumah juga langsung bisa kuhirup.

“Madie, masalah Oscar memang agak rumit. Mengurusnya akan sedikit menguras waktuku. Sementara ini, kau jaga diri di rumah. Jangan kemana-mana atau aku akan merasa tidak nyaman meninggalkanmu di rumah.”

“Felix, Sayang, aku baik-baik saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Selesaikan saja masalah Oscar, buktikan bahwa dia tidak bersalah!”

Felix mengangguk. Tidak mengembuskan napas keras seperti kebanyakan orang yang putus asa. Felixku sangat tegar, sangat perkasa. Dia bisa melakukan segalanya, dan aku bangga dengan semua itu,

Dia menarikku dalam pelukannya. Aku jelas tidak keberatan. Dia mencium pucuk kepalaku, aku juga tidak keberatan. Menempel di dadanya adalah satu hal lainnya yang aku suka. Wangi tubuhnya membuatku nyaman. Meski parfum yang dia pakai tidak langka, kombinasi wangi parfum dan bau badannya sangatlah khas. Itu yang membuatku kecanduan Felix.

.

.

Pukul setengah satu dini hari, jeritan Bibi Eva membangunkanku. Aku terkejut, sedikit kesal. Mimpiku berkencan dengan Felix berantakan di sesi memakan kue di restoran langganan kami.

Bibi Eva menjerit begitu keras. Apa yang terjadi?

Aku agak khawatir. Bergegas memakai selop beludru sebagai alas kaki, memakai mantel buluku, lalu keluar kamar untuk melihat keadaan.

“Ada apa ini?” tanyaku pada Margo dan seorang pelayan lain yang berdiri di pintu kamar Bibi Eva.

“Berita buruk, Nona Madie. Berita buruk!” Dia agak panik. Atau sangat panik, ya? Aku tidak jelas melihat ekspresi wajahnya karena masih sedikit mengantuk. “Tuan Miguel, dia baru saja meninggal!”

“Ah!” aku memekik. Jelas kaget. Bicara apa Margo ini? Bisa-bisanya dia membuat pemberitahuan sedemikian menakutkan. “Margo, Paman Miguel baik-baik saja sebelum ini. Bagaimana dia bisa meninggal?”

“Serangan jantung.”

Aku masih tidak percaya. Paman Miguel memang memiliki riwayat penyakit jantung. Tapi dia rutin minum obat. Dia tidak pernah absen mengunjungi dokternya.

Bagaimana bisa?

“Anda tahu, bukan, kalau Tuan Miguel …,”

“Ya, tapi ini terlalu mendadak. Biarkan aku melihat keadaan Bibi Eva. Kalian kembali saja ke kamar, tapi harus bersiap kalau dibutuhkan!”

Di kamar Bibi Eva ada dua pelayan. Salah satunya pelayan pribadi Bibi Eva dan seorang pelayan lain yang sengaja dimintai bantuan. Bibi Eva terbaring di ranjangnya, tak berdaya. Dia pingsan sejak beberapa saat lalu dan belum bisa dibangunkan. Dokter sudah dipanggil, tapi butuh waktu untuk sampai.

“Bibi Eva yang malang.” Aku duduk di samping ranjangnya, mengambil tangannya, lalu mengelusnya. Seharusnya itu bisa memberinya sedikit kenyamanan, lalu membatnya cepat sadar. “Bibi harus kuat, ada kami di sini!”

Kemudian Papa Drake dan Mama Ema datang. Mempertanyakan apa yang terjadi, lalu menjadi gaduh setelah mengetahui ceritanya. Papa Drake segera pergi lagi untuk mengurus kejadian ini. Mama Ema bergabung denganku untuk menunggui Bibi Eva, menunggu dokter datang untuk memastikan bahwa ketidaksadaran Bibi Eva tidak berdampak buruk.

Cerita dimana dan bagaimana Paman Miguel meninggal baru kudengar siang harinya. Felix pulang saat itu, dia jelas lelah meski tidak tampak kelelahan itu di wajahnya.

“Musibah kadang-kadang suka datang beruntun,” katanya tiba-tiba.

Felix menceritakannya padaku. Mereka baru menyelesaikan tugas masing-masing berkenaan dengan kasus yang menimpa Oscar. Ketika mereka bertemu di lobi kantor, hendak pulang bersama, Paman Miguel tiba-tiba muntah, kehilangan keseimbangan, jatuh, kejang hebat, kemudian kehilangan kesadaran. Ketika ambulans datang, Paman Miguel sudah berhenti bernapas. Dia tidak bisa diselamatkan lagi meski pertolongan dari petugas medis sudah yang terbaik.

Tubuh Paman Miguel ada di rumah sakit sekarang. Awalnya akan dilakukan autopsi, tapi karena Felix membenarkan kalau Paman Miguel punya riwayat penyakit jantung, dan baru-baru ini bekerja terlalu keras, penyakit itu diterima sebagai penyebab kematian Paman Miguel. Rumah sakit tidak memaksakan autopsi lagi, dan hanya melakukan pemeriksaan luar.

Musibah memang tidak bisa dihindari, tapi musibah yang datang bersamaan seperti ini agak membuat orang jengkel.

“Aku ingat baru dua hari yang lalu, ketika para perempuan duduk di gazebo, minum teh sore sambil makan biskuit rendah gula, Paman Miguel bergabung dengan kami. Dia bercerita panjang lebar soal masa mudanya.”

“Paman Miguel memang punya banyak cerita tentang masa mudanya.” Felix membenarkan, lalu menambahkan, “Dia orang yang menyenangkan, Madie.”

“Ya, sangat menyenangkan.”

“Dia mengajariku banyak hal, termasuk berbisnis. Lihat aku yang sesukses ini, itu semua berkat didikannya di masa lalu.”

Aku mengangguk. “Dia suka minum teh buatanku. Dia juga berjanji akan minum teh buatanku lagi akhir minggu ini.”

Sedih juga ternyata kehilangan orang yang lumayan dekat dengan kita. Meski belum lama mengenal Paman Miguel, aku sudah sangat menyayanginya.

“Sayang sekali.” Aku menyesalkan kejadian ini.

“Aku akan mengurus pemakamannya. Sementara itu, kau bantu Mama untuk menenangkan Bibi Eva.”

Aku mengiyakan. Soalnya cuma itu yang bisa kulakukan sekarang.

Suasana berkabung memang tidak menyenangkan. Aku pernah datang ke pemakaman kolega Papaku. Begitu sepi, begitu sunyi, meski sebenarnya banyak orang datang dan pergi. Udaranya terasa menyesakkan. Cuacanya terlihat mendung. Tidak ada hujan, tidak ada angin, tapi tampak akan badai. Kupikir seperti itulah suasana yang selalu terjadi di pemakaman.

Kasihan sekali mereka-mereka yang pernah kehilangan orang terkasih.

Sekarang hal itu terjadi di keluarga ini. Satu Tobias telah pergi dengan diiringi kata-kata dari pemuka agama, peti mati Paman Miguel diturunkan ke lubang, diuruk, kemudian dipasang nisan. Bibi Eva tidak berhenti menangis, Mama Ema terus membujuknya, dan aku tidak kuat memegangi Bibi Eva sampai rasanya mau ambruk. Beruntung Felix segera datang. Menggantikan posisiku tepat di saat Bibi Eva kehilangan kesadaran.

Kami kembali ke rumah setelah pemakaman itu. Bibi Eva diurus pembantu di kamarnya. Sementara Papa Drake dan Mama Ema punya agendanya sendiri untuk mengistirahatkan syaraf tegangnya setelah kejadian ini.

Aku duduk di teras rumah, memandangi kebun bunga di rumah keluarga Tobias. Tepatnya memandangi segerombol bunga ungu berbentuk lonceng yang sangat indah itu. Berpikir, kapan aku bisa membuat teh yang enak untuk dinikmati orang sebaik Paman Miguel lagi?

“Madie, Sayang …,”

Sapaan itu aku kenal betul. Putra kedua dari keluarga Tobias. Kakaknya Felix, adik dari Oscar. Dia tujuh tahun lebih tua dari Felix, tapi tampak lima tahun lebih muda.

Hidupnya bebas, pikirannya lepas. Dia adalah Tobias yang paling mudah didekati daripada Tobias lainnya. Dia adalah Franco Tobias.

Franco tidak melulu ada di rumah. Pulang dan pergi sesuka hati, lalu muncul begitu saja seperti sekarang ini. Tetapi, kali ini dia sedikit terlambat. Oscar masih di ruang rawat khusus tanpa menunjukkan tanda-tanda sadar, sementara Paman Miguel telah pergi untuk selamanya.

“Kau terlambat. Franco!”

“Ya, sedikit,” katanya, tidak tampak ada penyesalan di wajahnya. Curiga kalau dia tidak punya hati. “Aku ada bisnis besar belum lama ini, tapi kejadian baru-baru ini membuat bisnisku terganggu.”

“Franco, apa yang kau katakan itu tidak baik!”

Franco menjelaskan. “Bukan berarti aku tidak menyayangi keluargaku, Madie. Aku menyayangi mereka. Tetapi kejadian ini begitu tiba-tiba.”

Franco mengambil tempat di kursi lain di sisi meja. Dia mengikutiku memandangi taman bunga yang di dalamnya berbagai bunga tengah bermekaran. Keindahan bunga-bunga itu berbanding terbalik dengan keadaan keluarga Tobias sekarang ini.

“Kejatuhan Oscar, kematian Paman Miguel, … apakah akan ada episode kemalangan lain setelah ini?” Franco menahan napas, lalu mengembuskannya keras. Agaknya dia juga merasakan kepahitan keluarga.

“Franco!” Aku menegurnya. “Ucapan adalah doa. Jangan berkata seperti itu lagi!”

Franco terkekeh, tapi kekehannya segera menghilang setelah pandangannya bertemu denganku. “Feelingku bilang begitu, Madie. Tidak tahu kenapa, tapi aku merasa akan ada musibah lain yang akan menimpa keluarga kita.”

Aku menyangkalnya. Tidak percaya Franco yang pikirannya selalu modern tiba-tiba melenceng dari kebiasaan. Aku curiga dia telah dirasuki roh jahat.

“Semoga feelingku salah,” katanya, membetulkan buah pemikiran yang tadinya agak melenceng.

“Ya, feelingmu salah!” Aku memberinya dukungan.

Franco tertawa lagi setelahnya. Seolah kesedihan yang sedetik lalu ada di wajahnya, hilang begitu saja. Dia mencolok pipiku, lalu mengatakan, “Felix beruntung sekali bisa menemukanmu. Melihatmu saja sudah membuat orang bahagia, bagaimana kalau sampai bisa memilikimu, ya?”

“Tidak. Aku tidak akan memilih orang lain selain Felix. Aku tidak akan jatuh cinta padamu, begitu juga sebaliknya!” Aku menggeleng-gelengkan kepala, menolak Franco seumpama dia ada perasaan padaku.

Nyatanya Franco malah tertawa makin keras. “Aku tidak ada perasaan seperti itu padamu, Madie, Sayang. Bagiku, kau hanya adik kecil yang …,” Franco melirik tampilanku, kemudian tersenyum ambigu. “terlalu kecil untuk dijadikan kekasih!”

Artinya, aku terlalu muda, terlalu kekanakan, begitu pikir Franco.

Aku selalu tahu lelaki satu ini tidak pernah menganggapku dewasa. Sejak pertama kali bertemu dengannya, dia selalu menggodaku, mengataiku anak kecil, belum cukup umur, dan sebagainya. Padahal aku seumuran dengan Felix. Sudah sangat besar, sudah cukup umur. Bahkan teman seumuranku sudah memiliki setidaknya satu anak. Aku saja yang dapat pasangan terlambat. Yang begitu masih dibilang anak kecil.

Aku merajuk pada Franco.

“Jangan marah. Aku hanya bercanda.” Dia membujukku, tapi aku tidak terpancing. “Oh, ya. Aku punya informasi untukmu. Belum lama ini Felix bertanya tentang mobil padaku. Sesuatu yang fancy, tapi juga elegan. Kupikir dia sedang mencari mobil untuk dihadiahkan padamu.”

“Benarkah?” kali ini kekesalanku langsung hilang.

Franco mengangguk.

“Beritahu aku informasinya lebih lanjut!”

Franco melirikku, tersenyum, kemudian mulai bercerita.

.

.

Ini sudah seminggu sejak Oscar mendapatkan musibah, lima hari sejak meninggalnya Paman Miguel.

Aku menjenguk Oscar dua kali di rumah sakit, mencoba berbicara padanya, tapi dia masih tidak merespon. Aku menemani Bibi Eva hampir setiap sore, mengajaknya bicara panjang lebar, tapi pada akhirnya dia masih akan menangisi kepergian Paman Miguel.

“Felix, Sayang, apakah kau tahu bisnis besar apa yang baru-baru ini dikerjakan Franco?”

Felix melihatku sejenak, kemudian menjawab. “Masih soal mobil.”

 “Oh … kupikir bisnis yang lainnya. Soalnya dia tampak sangat antusias.”

“Bisnis mobil klasik, Madie. Akhir-akhir ini banyak orang mencari-cari mobil tua untuk dikoleksi. Franco menerima banyak pesanan, makanya dia jarang pulang.”

Aku mengangguk meskipun agak tidak mengerti.

Kupikir bisnis jual beli mobil itu sebatas membeli mobil baru dari pabrik, kemudian menjualnya pada konsumen. Siapa sangka cakupan jual beli mobil bisa sangat luas. Mobil baru, mobil bekas, mobil tua, dan aku tidak tahu kalau ada jenis jual beli mobil yang lainnya.

Tetapi terakhir kali aku pergi ke showroom mobilnya Franco, aku melihat mobil-mobil cantik dipajang di sana. Katanya kalau mau membeli mobil jenis itu, harus punya nama besar dulu. Masuk waiting list pula. Itu agak aneh kupikir. Kenapa tidak langsung saja. Memilih mobil, membayar, lalu membawa mobilnya pulang?

“Di mana dia sekarang? Dia bilang padaku kalau hari ini akan datang untuk makan malam bersama.”

“Tunggu saja. Kalau dia sudah berjanji, dia pasti akan datang.”

Benar, sebelum makan malam dimulai, Franco datang. Dia menyapa semua orang dengan gayanya yang khas. Meski tidak ada Oscar dan Paman Miguel di meja makan, suasananya tidak begitu canggung. Hanya sedikit kurang senyuman.

Menu makan malam kali ini adalah beff wellington. Itu bukan kesukaan siapa pun, tapi tetap memakannya tanpa mengeluh. Toh, rasanya sangat enak.

Aku makan salad lebih banyak dari biasanya, juga makan kentang panggang, asparagus tumis, dan tomat. Sayangnya, perutku masih belum kenyang. Jadi, aku memakan dua potong apel serta semangkuk kecil puding.

Aku minum segelas wine. Ketika ingin mengisi ulang, Felix mencegahku, kemudian mengambilkanku segelas sparking jus. Aku agak tidak puas, tapi karena Felix memberikan alasan yang tepat, aku menurut saja.

“Kau makan seperti orang kelaparan!” celetuk Franco. Dia menertawaiku tepat ketika aku menguap karena kekenyangan “Makan banyak, berarti mengantuk lebih cepat. Kalau kau tidur sekarang, besok kau akan bangun dengan pipi bengkak. Berat badanmu akan bertambah setengah kilo, dan mungkin Felix akan melengos melihatmu yang seperti itu.”

Aku bergidik mendengar penuturan Franco. Entah dia mengatakan yang sebenarnya atau tidak, aku ketakutan.

Untuk mencegah tidur terlalu sore, aku memaksa Felix menemaniku jalan-jalan di sekitar rumah. Selain untuk mencerna makanan, juga untuk menumbuhkan rasa antara kita berdua. Tentu saja aku tidak mau bertambah berat badan, kemudian tidak lagi dipandang oleh tunanganku sendiri. Makanya, memanfaatkan waktu senggang untuk berduaan dengan Felix harus terus kulakukan.

Setengah jam berjalan-jalan, aku lelah. Setengah jam duduk dan berbincang, aku bosan. Puncaknya, aku mengantuk. Aku tidak bisa menahan diri yang kemudian terpaksa digiring Felix ke kamar untuk tidur. Felix bilang, tidur saja, dan aku menurut.

Aku bangun pagi. Yang pertama kali kulakukan adalah pergi ke depan cermin untuk mengecek pipiku. Apakah bengkak seperti yang Franco katakan semalam? Bagusnya, hal itu tidak terjadi. Aku cukup senang. Apalagi setelah bersiap, baju yang kupakai tidak terasa kekecilan. Jadi, aku juga tidak mungkin mengalami penambahan berat badan.

Ruang makan kosong ketika aku datang. Saat aku tanya pada pelayan, mereka mengatakan bahwa belum ada yang datang ke ruang makan sampai detik ini. Sebagian memang belum bangun, contohnya Mama Ema dan Bibi Eva. Sebagian lagi pergi pagi-pagi sekali, yaitu Papa Drake. Sedangkan Franco dan Felix keluar rumah sejak semalam.

“Felix tidak berpamitan padaku,” kataku sambil duduk di salah satu kursi, kemudian mengambil gelas berisi susu hangat yang baru saja disuguhkan pembantu. Felix pasti tidak mau membangunkanku dari tidur nyenyakku. Betapa perhatiannya dia padaku. Tapi aku khawatir dengannya. Sibuk terus sampai tidak punya cukup waktu untuk istirahat. “Apakah ada kejadian mendesak sehingga Franco dan Felix harus pergi malam-malam?”

Pelayan itu bercerita soal panggilan mendesak yang diterima Papa Drake semalam. Soal kebakaran di salah satu pabrik yang mengharuskan pimpinan perusahaan datang untuk menanganinya. Franco dan Felix-lah yang menggantikan Papa Drake datang ke sana.

Margo mendekat ketika sudah tidak ada orang di sekitarku. Gelagatnya agak aneh. Seperti maling yang waspada kalau-kalau tertangkap basah.

“Nona Madie, apakah Anda mau tahu tempat apa yang terbakar semalam?”

Aku ragu, tapi akhirnya mengangguk.

“Gudang persediaan,” lanjutnya. “Gudang persediaan untuk bahan baku obat.”

Aku mengernyitkan keningku. “Obat apa? Perusahaan keluarga ini kan tidak berfokus di industri medis.”

“Nah, itu masalahnya.” Margo melongok ke kiri dan ke kanan. Setelah apa yang dikhawatirkannya tidak ada, dia mulai bercerita. “Yang saya dengar, obat-obatan yang dibuat dengan bahan ini ilegal. Mungkin obat-obatan terlarang atau sengaja tidak didaftarkan untuk menghindari pajak.”

“Margo, kau menuduh majikanmu sendiri!”

Margo gelagapan beberapa detik, tapi akhirnya bersikap tenang lagi. Dia seolah impostor di keluarga ini.

“Bukan begitu Nona Madie.” Dia mencoba mengambil kalimat yang tepat agar aku tidak salah paham. Tetapi aku masih mencurigainya. “Saya hanya ingin berbagi informasi dengan Anda. Soalnya belum lama ini, tepatnya sebulan sebelum Anda datang ke sini, Nyonya Ema mulai menerima surat-surat kaleng penuh ancaman.”

Lalu apa hubungannya dengan tuduhan Margo yang mengatakan kalau perusahaan keluarga ini memproduksi obat ilegal?

Margo menceritakan secara singkat kejadian surat-surat kaleng itu. Borok perusahaan keluarga serta individu dalam rumah ini diungkap dalam surat-surat itu. Pengancaman, pemerasan, juga teror dalam bentuk surat kaleng belum berhenti sampai sekarang. Tidak ada yang tahu karena Mama Ema memang tidak menceritakannya pada siapa pun. Mama Ema sengaja menyimpannya, bermaksud untuk menyelesaikannya sendiri tanpa menimbulkan kegaduhan. Hal itu diketahui Margo karena Margo-lah orang kepercayaan Mama Ema untuk menerima dan membuang surat-surat itu. Alih-alih membuangnya seperti perintah Mama Ema, Margo malah menyembunyikan surat-surat itu.

“Kejatuhan Tuan Oscar dituliskan dalam salah satu surat itu. Bahkan kematian Tuan Miguel juga.”

“Tapi kau bilang waktu itu Paman Miguel terkena serangan jantung!”

“Memang, tetapi saya tidak begitu percaya soal vonis itu.”

Apakah yang sebenarnya dihadapi oleh keluarga ini?

“Kebakaran ini …,” apakah ada di surat kaleng itu juga? Aku mau bertanya begitu, Margo sudah keburu mengangguk. Lalu aku bertanya, “Siapa orang yang berani melakukan ini pada keluarga Tobias? Dendam apa yang dia bawa sampai tega melakukan hal semacam ini?”

Margo tidak punya jawaban dari pertanyaanku itu.

Aku tergerak untuk melihat surat-surat kaleng itu, tapi aku menahan diri. Yang terpenting sekarang adalah mengetahui keadaan Mama Ema. Dia berusaha menyelesaikan masalah surat kaleng sendirian, apakah dia baik-baik?

Margo membawaku menemui Mama Ema setelah sarapan. Kupikir Mama Ema masih tidur, ternyata Mama Ema sengaja tidak keluar kamar untuk berdiam diri. Mama tidak makan karena memang tidak nafsu makan. Memikirkan tiga musibah telah terjadi baru-baru ini, Mama Ema sedikit mengalami tekanan.

Margo mengaku telah menceritakan masalah Mama padaku, Mama awalnya protes tapi karena alasan Margo melakukannya agar Mama tidak sendirian memikirkan masalah itu, Mama Ema akhirnya menerima. Aku pun berjanji akan membantu sebisanya, walau itu hanya sebagai pendengar, Mama Ema cukup lega dengan keberadaanku.

“Tidak tahu, Madie. Keluarga kita sudah seperti ini sejak lama. Kalaupun ada musuh, ada orang yang iri, atau apa pun itu, kita tidak bisa menyebutkan yang mana.”

“Kenapa Mama tidak menceritakannya pada Papa Drake, Felix, atau yang lainnya? Kupikir mereka bisa mencari solusi lebih baik.”

“Aku menyesal,” kata Mama Ema. “telanjur,” tambahnya. “Aku hanya bisa berharap orang itu bertobat lalu melepaskan keluarga kami!”

Itu tidak mungkin. Orang gila akan melakukan semuanya sampai tuntas. Atau paling tidak sampai dia tertangkap.

Mama Ema setuju untuk menceritakan hal ini pada Papa Drake dan yang lainnya. Juga berencana untuk melaporkannya pada polisi. Kalau memang benar orang yang menulis surat kaleng itu adalah orang yang sama yang mencelakai Oscar dan Paman Miguel, Polisi harus menangkap dan menghukumnya. Nama baik Oscar harus dikembalikan dan kematian Paman Miguel harus diperjelas penyebabnya.

Namun, ketika malam tiba dan semua orang mulai berkumpul, Margo mengabarkan kalau surat-surat yang tadinya dia simpan, tiba-tiba hilang dari laci kamarnya. Semua orang mulai mengecek penyimpanan masing-masing, Papa Drake, Mama Ema, kehilangan sesuatu dari ruang penyimpanan mereka. Bahkan brankas almarhum Paman Miguel ada yang membobol. Belum jelas apa yang hilang, tapi jelas ada pencuri di rumah ini.

Penjaga rumah mengumpulkan semua orang, terutama para pelayan. Semua orang ditanyai, tapi tidak ada yang mengakui. Ketika kamera pengintai dicek, tidak ada bukti pencurian sama sekali. Tetapi ketika jumlah pelayan dihitung, jumlah mereka berkurang.

“Siapa yang hilang?”

Tetapi tidak ada yang tahu. Bahkan ketika para pelayan harusnya mengenal satu sama lain, mereka tidak mengenal pelayan yang hilang itu.

Itu pelayan kontrak. Datang dan pergi di saat-saat tertentu. Seharusnya orang-orang seperti ini tidak punya akses untuk masuk kamar-kamar majikan, tapi entah bagaimana ada yang menyusup dan mengambil barang tanpa ketahuan. Ketika ditanyakan pada agen penyalur tentang siapa pelayan ini, agen penyalur mengaku tidak mengirimkan siapa pun.

Aneh.

“Apakah dia orang yang menulis surat-surat itu?” gumamku dekat sekali dengan posisi Felix berdiri. “Ngomong-ngomong, barang apa saja yang hilang?”

 Pertanyaanku tidak ada yang menjawabnya. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing, kemudian buyar tanpa ada yang ingat untuk melaporkan kejadian ini pada polisi.

Ketika kutawarkan jasaku untuk melapor polisi, Felix mencegahku, mengatakan kalau aku tidak boleh cemas. Felix dan Franco akan menangani semuanya.

.

.

Kebakaran terus berlanjut ke gudang selanjutnya, sampai-sampai menimbulkan korban. Papa Drake sibuk pulang pergi dari rumah, menelepon hampir setiap saat, dan tidak bicara pada orang rumah kalau tidak ada kepentingan. Felix apalagi, dia hampir tidak ada waktu untuk diam. Bahkan hampir tidak berada di rumah kecuali sejam dua jam dia menemuiku tiap harinya. Franco, dia malah tidak ada di rumah sama sekali.

Mama Ema ke rumah sakit untuk menjenguk Oscar. Kadang-kadang berlama-lama di sana karena takut Oscar akan mengalami musibah lebih buruk daripada itu. Bibi Eva menekan kesedihannya, berusaha menangani kehilangan yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa yang hilang dari penyimpanan Paman Miguel. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Sendirian di rumah besar keluarga Tobias, seperti aku bukan bagian dari keluarga ini.

Lalu telepon rumah berdering nyaring. Ketika diangkat, staff yang mengaku dari rumah sakit mengabarkan kalau salah satu anggota keluarga Tobias mengalami kecelakaan. Itu Franco. Kecelakaannya parah, tapi untungnya Nyawa Franco tidak dalam bahaya. Aku bersikeras mau datang ke rumah sakit, tapi Margo melarangku. Setelah menelepon Felix untuk meminta izin pun, aku masih dilarang keras untuk pergi.

Masalah beruntun akhirnya membuat kepolisian bergerak. Soalnya, Oscar yang overdosis, ternyata memiliki kadar obat rendah di dalam darahnya. Yang mengalami overdosis dengan sedikit obat, tentu saja bukan pecandu. Berarti memang ada yang membuatnya overdosis. Kemudian, Paman Miguel yang sebelum kematiannya dikabarkan mengalami halusinasi, linglung, dan berperilaku aneh, kemungkinan ada penyebab lain selain penyakit jantung yang menyebabkan kematiannya. Surat permintaan autopsi dikeluarkan, tinggal tunggu persetujuan keluarga untuk melakukannya. Kebakaran, pencurian, juga kecelakaan yang menimpa Franco, semuanya atas unsur kesengajaan.

Masalahnya, alih-alih mencurigai orang luar, polisi malah mencurigai keluarga Tobias. Itu karena keluarga Tobias tidak melaporkan hal-hal itu pada polisi, bahkan mereka seolah-olah menghalang-halangi polisi untuk mengetahui kebenaran.

Sore ini polisi datang ke rumah. Tidak ada orang lain selain aku. Mau tidak mau aku harus berperan jadi pemilik rumah sekarang ini.

Polisinya masih yang bermuka sangat waktu itu, hanya saja partnernya bukan orang yang sama. Seorang polisi muda yang tampan dan punya senyum ramah. Aku tidak begitu takut lagi. Meski begitu, masih ada kepala pelayan dan seorang pelayan lain yang menemaniku berbicara dengan kedua polisi itu.

Yang mereka tanyakan awalnya tentang Oscar, tentang Paman Miguel, tentang Franco juga. Aku menjawab sebisaku. Kemudian mereka bertanya soal kebakaran gudang dan pencurian barang di rumah. Bagian ini aku tidak bisa banyak bicara karena sejujurnya aku juga tidak tahu.

“Bisakah saya tahu tentang diri Anda, Nona Madison?”

“Tentang aku?” Aku tidak mengerti, kenapa mereka tanya tentang aku sementara masalah ini berpusat pada keluarga Tobias. “Aku Madison Madayag, tunangan Felix Tobias.” Hanya itu jawabku.

“Anda sudah lama bertunangan dengan Tuan Felix?”

Aku mengangguk. “Sejak muda. Papaku dan Papa Drake mengatur pertunangan itu saat aku dan Felix berumur lima belas. Lalu kami resmi bertunangan umur tujuh belas.” Sudah hampir sepuluh tahun dan kami baik-baik saja dengan itu.

Polisi tampan itu tersenyum padaku, mengangguk serasa maklum. Tapi polisi berwajah seram di sampingnya menyeringai, seolah mengejek pertunanganku dengan Felix.

Dia hanya tidak tahu, meski aku dan Fekix bertunangan karena orang tua kami membuat kesepakatan, tetapi aku dan Felix saling mencintai. Kami sangat dekat dan tentu saja akan berlanjut ke pernikahan satu dua tahun ke depan.

“Anda tampak polos,” polisi tampan itu jelas memuji. Bukan seperti Franco yang malah mengataiku anak kecil. Dengan perangaiku yang seperti ini, aku lebih cocok dibilang polos daripada dibilang anak kecil. “Bolehkan saya tahu, sejak kapan Anda tinggal di sini?”

“Tiga bulan ini. Sebelumnya aku sering datang. Jadi, ini sebuah kebiasaan. Tapi memang, kali ini agak sedikit lama,” kataku dengan senyum ramah pada polisi tampan yang juga ramah itu.

Kami berbicara sedikit lagi. Tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah di keluarga ini. Mereka lebih ingin banyak tahu soal aku dan pelayan yang ada di sini. Kebiasaan kami dan hal-hal lainnya di rumah ini. Aku tidak keberatan, kepala pelayan juga tidak keberatan bercerita soal kebiasaan kami.

Mereka berpamitan sebelum jam enam sore. Aku dan kepala pelayan mengantarkan mereka ke depan pintu. Aku hendak pergi, sementara kepala pelayan harus memastikan kedua polisi itu keluar.

“Dia tidak tampak polos, dia tampak mencurigakan.”

Kalimat itu sangat jelas terdengar meski aku sudah agak jauh dari pintu. Jelas polisi berwajah seram itu yang mengatakannya. Aku hendak menanyakan apa maksudnya berkata begitu, tetapi kepala pelayan menghentikanku.

“Dia hanya ingin mengetes Anda, Nona Madie. Memancing kemarahan Anda!”

Aku mendengus kesal. “Dia polisi jahat. Tunggu aku berdoa pada Tuhan. Dia pasti akan dikutuk dengan kesialan yang tidak ada habis sebelum dia minta maaf padaku!”

Kepala pelayan mengangguk dengan senyuman. “Ya, dia akan menyesal seumur hidup telah memperlakukan Anda seperti ini!”

Lalu aku digiring kepala pelayan untuk masuk. Aku harus istirahat.

.

.

“Kau mau mengirimku pulang?”

“Keadaannya menjadi semakin kacau, Madie.”

Aku tahu Felix lelah. Dia tidak seperti Felix yang biasanya. Tampak kacau, tampak banyak pikiran, tampak butuh bantuan. Ini waktuku berada di sisinya untuk memberinya kekuatan.

“Tapi aku masih mau di sini.” Aku memaksa. “Banyak yang bisa kulakukan di sini, Felix, Sayang. Mengajak Mama Ema bicara, menemani Bibi Eva dari kesepiannya, dan mungkin menjaga rumah ketika kalian sedang tidak ada. Felix, Sayang, kau pun butuh orang untuk mengurusmu. Lihat dirimu sekarang, kau kacau!”

“Aku tahu, tapi aku tidak mau yang menimpa keluarga kita, menimpamu juga.”

“Bukankah aku bagian dari keluarga ini? Tidak apa-apa kalau memang begitu.”

Felix menggeleng. “Kau memang akan jadi bagian dari keluarga ini, tapi tidak sekarang. Aku takut terjadi apa-apa padamu, Madie. Jadi, ada baiknya kau pulang.”

“Tidak!’ Aku menolak.

“Madie, dengarkan aku! Kau adalah orang penting bagiku, kalau ada apa-apa denganmu, aku akan sangat menyesal. Jadi, tolong turuti permintaanku. Pulang dan tunggu aku menyelesaikan semua masalah ini!”

“Tapi Felix, Sayang …,”

“Aku akan menjemputmu saat semuanya selesai!”

Aku tidak bisa membantah meski sejujurnya aku tidak setuju dengan pengaturan Felix. Seseorang membantuku berkemas dan Felix langsung memerintahkan orang lain lagi untuk mengantarku.

Aku tidak tega pergi seperti ini. Meninggalkan Felix, meninggalkan semuanya dalam kekacauan. Bahkan pergi seperti ini membuatku tidak bisa berpamitan pada orang-orang rumah. Aku hanya bisa berpesan pada Margo agar menyampaikan kepulanganku pada semua orang, juga menyuruhnya mengabariku kalau ada keadaan mendesak. 

Felix mengantarku ke mobil, memelukku, mencium keningku, kemudian mendorongku ke dalam mobil. Dia menungguiku di pelataran rumah ketika sopir menjalankan mobil. Bahkan tidak beranjak sampai mobil yang kutumpangi sudah jauh.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Bagaimana musibah sebesar ini bisa menimpa keluarga Tobias?

Aku merenung cukup lama, tapi tidak mendapatkan ide. Ketika mobil yang kutumpangi melewati rumah sakit tempat Franco dirawat, aku segera meminta untuk berhenti. Seumpama aku harus pergi, setidaknya aku bisa melihat keadaan Franco dulu.

“Hanya sebentar, kemudian kita bisa langsung pergi!” kataku pada sopir. Sopir mengantarku ke rumah sakit, tetapi dia tidak ikut masuk kamar rawat Franco. Aku masuk sendirian, laku menemukan Franco yang penuh luka tengah terbaring di ranjang rawatnya. “Franco?”

Tidak ada jawaban. Untungnya perawat baru saja mengatakan kalau Franco tengah tertidur setelah mendapatkan suntikan.

“Kecelakaan macam apa yang membuatmu babak belur begini? Apakah kau mengendarai mobil sportmu terlalu cepat?”

Eku mengamati Franco dan cairan infus yang terpasang di tubuhnya. Melihat gips di kakinya dan bebatan kain kasa lebar di kepalanya.

“Aku cuma mau bilang selamat tinggal. Soalnya aku harus pulang sekarang. Cepat sembuh, supaya aku bisa mengunjungimu lagi di lain waktu!”

Aku menepuk pelan lengannya yang terlihat sehat. Berpamitan meski dia tidak merespon, kemudian meninggalkan tempat secepat mungkin.

Setelah aku keluar dari ruang rawat Franco, seorang pemuda mendatangiku. Memanggilku dengan sebutan yang tidak aku tahu, kemudian mengatakan hal yang agak aneh.

“Kakak Kana, aku bertemu ibumu belum lama ini. Dan dia ingin kau menemuinya.”

Aku mengerutkan keningku. Apakah dia sedang berbicara padaku?

“Aku tahu dimana dia berada,” lanjutnya.

Sebelum pemuda itu menjelaskan lebih lanjut, ada panggilan-panggilan yang sifatnya mendesak dari ruang rawat yang baru saja kutinggalkan. Dokter dan perawat berlarian, datang untuk menangani pasien yang dikatakan tengah dalam keadaan gawat darurat. Lama sekali penanganan itu dilakukan, sampai akhirnya beberapa perawat keluar dari ruang rawat itu dengan ekspresi kecewa.

“Pasien tidak bisa diselamatkan,” gumam salah satu dari mereka.

“Kasihan sekali,” gumamku. “Franco pergi begitu cepat.” Padahal aku berjanji untuk menemuinya lagi.

Anak itu masih di sini, memandangiku dengan ekspresi tidak peduli.

Aku tersenyum padanya. “Kau serius melihat ibuku?” Dia mengangguk. “Berikan nama dan alamatmu, aku akan menemuimu untuk membahas masalah ini nanti!”

Aku hanya tidak bisa terlalu lama berada di sini. Aku harus pulang. Seperti yang sudah Felix katakan, aku tidak bisa terkait dalam masalah keluarga Tobias. Aku belum jadi bagian dari keluarga mereka. Ada baiknya segera menyingkir dari kota ini.


End

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)