Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,843
SINDEN - SINDEN YANG DUDUK DI ATAS BATU
Horor

Candranita tersenyum kepada seorang lelaki yang berdiri di tengah perahu karet untuk rafting atau arung jeram yang akan dinaiki Candranita. Lelaki itu membalas senyum Candranita dan membantu menyeimbangkan tubuh Candranita di atas perahu karet itu. Nita –panggilan Candranita—berusaha untuk tidak gugup ketika menggenggam tangan lelaki itu. Nita bergerak perlahan di atas perahu karet berbentuk oval yang seakan bergerak perlahan ketika tadi dia menapakkan kakinya di atas perahu karet itu.

 

Nita berkeringat dingin karena gugup ketika mencoba duduk di salah satu sudut perahu karet itu. Perahu itu terus bergerak liar ketika teman-teman Nita, satu persatu menaiki perahu karet itu. Nita menelan ludah ketakutan. Perahu karet itu sudah penuh terisi lima teman Nita dan lelaki yang membantu Nita tadi. Lelaki itu tersenyum dan kemudian berdiri, membuat perahu karet itu bergetar perlahan. Lelaki itu memberikan salam dan menyapa mereka semua, seperti yang telah dilakukannya tadi di tanah yang kering, yang entah kenapa dirindukan Nita sekarang. Rasa takut Nita, membuat Nita sangat ingin kembali berpijak di atas tanah yang kokoh, yang menjanjikan ketenangan bagi hati Nita.

 

“Tenang, Nit. Insya Allah dengan Mas Bagas semua pasti akan aman,” bisik Saras, salah satu teman Nita yang duduk di belakang Nita. Nita mengangguk ragu. Saras tertawa kecil melihat kekhawatiran di mata Nita.

 

“Dia seorang rafter profesional, dia tidak akan membiarkan kita jatuh,” bisik Saras lagi. Nita bergidik mendengar perkataan Saras barusan. Nita berpikir, kenapa juga Saras harus mengatakan tentang jatuh pada saat Nita benar-benar takut seperti sekarang.

 

“Jangan lupa untuk tetap tenang dan ingat apa niat kita untuk rafting hari ini. Jangan terlalu khawatir karena arus Sungai Serayu Insya Allah tidak terlalu deras dan sudah kami arungi setiap hari. Yang penting ibu-ibu sekalian mematuhi semua prosedur keamanan yang telah kami ajarkan sebelumnya. Memakai jaket pelampung, helm pengaman dan menggunakan dayung sesuai instruksi saya. Jangan lupa untuk berdoa agar kegiatan hari ini lancar dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa,” kata lelaki yang bernama Bagas itu.

 

Nita memandang Bagas tanpa berkedip. Diam-diam terselip rasa suka di relung hati Nita. Ah, Nita merasa tenang, aman dan nyaman setelah mendengar perkataan Bagas tadi. Ketakutan Nita menguap dan rasa berani mulai tumbuh perlahan. Nita tersenyum samar pada Bagas dan Nita merasakan rasa panas menyebar di pipinya, ah, rupanya Nita malu karena dia sudah jatuh hati pada Bagas. Mungkin memang hanya sedikit jatuh hati. Sedikit sekali. Setetes mungkin, tetapi sudah sangat cukup untuk menumbuhkan selaksa keberanian di hati Nita.

 

Perahu karet itu bergerak perlahan setelah tali yang menambatkan perahu itu di daratan dilepaskan. Gelombang pertama membuat perahu karet itu sedikit bergoyang. Nita mendaraskan doa dalam hati, dia menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya erat. Nita mendengar tawa di sekitarnya. Hati Nita mencelos dan dia mendongak dan melihat beberapa teman Nita mentertawakannya. Nita tersipu malu dan berusaha bersikap normal kembali.

 

“Pegangan pada tali, ya? Sebentar lagi kita akan melalui gelombang air yang besar!” teriak Bagas dengan keras. Nita langsung melakukan apa yang diminta Bagas. Dia segera memegang tali yang dikaitkan pada karabiner pada sekeliling perahu karet itu.

 

Gelombang yang dimaksud Bagas membuat perahu karet itu melompat tinggi, tetapi semua aman dan kembali duduk ke tempat semula. Baju dan jilbab Nita basah kuyup. Teman-teman Nita berseru gembira, Nita hanya mengulas senyum saja. Hatinya masih berdebar tak menentu. Setelah itu Bagas terus meneriakkan perintah-perintah untuk melakukan ini dan itu dan Nita melakukan semua perintah itu dengan sempurna. Nita bangga dengan kemampuannya menangani krisis dalam hatinya. Kini ketakutan dalam hati Nita sudah terkikis sedikit.

 

“Sebentar lagi kita sampai,” kata Bagas sambil menunjuk ke arah depan. Nita melihat beberapa orang melambai ke arah mereka dari tepi sungai di depan mereka. Nita tersenyum lega. Akhirnya dia bisa melalui pengalaman yang mengerikan ini, dan Nita berjanji dalam hati dia tidak akan pernah melakukan rafting lagi. Nita mendengar kikikan tawa di sekitarnya. Nita mendongak dan membelalak heran dengan apa yang dilihatnya. Hei, di mana teman-temannya? Kenapa orang-orang yang menaiki perahu karet itu sudah berubah menjadi wanita-wanita berkebaya dan bersanggul?

“Mbak Nita tidak perlu takut, kalau naik perahu dengan kami semuanya aman.”

“Iya, Mbak Nita. Tidak perlu khawatir lagi akan jatuh, Mbak Nita, semua akan baik- baik saja.”

“Benar sekali. Mbak Nita tidak perlu khawatir lagi dengan Baskoro dan Arum. Mereka sudah menjadi sejarah sekarang.”

“Mbak Nita sekarang hanya tinggal bersenang-senang dengan kami saja di sini.”

 

Suara bersahut-sahutan itu membuat Nita bingung. Dia melihat berkeliling dan tidak mendapati satu orang pun yang dikenalinya. Sekarang di depan Nita duduk lima wanita cantik jelita berkebaya dan bersanggul besar. Mereka nampak membawa wadah selayak tampah besar di kepala mereka. Oh! Mana mungkin ada orang naik perahu karet untuk arung jeram dengan menyunggi tampah besar di kepala mereka. Nita terpekik heran dan wanita-wanita itu tertawa geli melihat eskpresi Nita.

 

“Kenapa? Kamu lupa dengan janjimu tadi?” tanya seorang wanita kepada Nita. Nita mengerutkan keningnya tanda keheranan. Dia menggeleng.

 

“Janji apa?” tanya Nita ragu. Wanita-wanita mencebik dan saling menggerutu satu sama lain.

 

“Benar, kan?”

“Manusia memang payah!”

“Kamu yakin dia akan mampu menjadi salah satu dari kita?”

“Entahlah! Auranya terlihat paling suram.”

“Kalau paling suram seharusnya dia ingat apa yang terjadi tadi!”

 

Salah seorang wanita itu berdecak dan berjalan ke arah Nita. Nita menjengit melihat wanita itu berjalan dengan santai ke arahnya, padahal ada beban di kepalanya, dan yang lebih absurd lagi perahu karet itu tidak nampak bergoyang ketika sang wanita mendekatinya. Wanita itu duduk di samping Nita dan tersenyum pada Nita.

 

“Mbak Nita, nama saya Kanthi. Saya akan membantu Mbak Nita mengingat apa yang terjadi tadi,” bisik Kanthi dan dengan lembut dia menyentuh tangan Nita.

 

Nita menjengit ketika tangan Kanthi menyentuh tangannya. Seketika napas Nita sesak. Pandangannya kabur, matanya pedas dan hidungnya terasa sakit sekali. Nita berusaha menggapai entah apa untuk membantunya mengurangi rasa sakit di dada dan tenggorokannya, tetapi nihil. Tidak ada satu pun yang bisa membantu mengatasi rasa sakit di dadanya. Nita terbatuk. Anehnya Nita bisa batuk dengan normal dan wajar. Tidak ada rasa sakit lagi. Matanya pun mulai jelas melihat sekelilingnya. Tetapi semua rasa lega itu tergantikan oleh ketakutan yang meraja.

 

Ketakutan mencengkeram jiwa Nita ketika menyadari bahwa dia berada di bawah air. Sepertinya Nita berada di dasar Sungai Serayu. Nita panik, dia berusaha untuk bangkit dan keluar dari air, tetapi kakinya tidak bisa bergerak dan ketika Nita melihat ke bawah, Nita melihat rantai besi besar menahan kakinya, tak heran dia tak bisa bergerak.

 

“Candranita, maukah kamu jadi pengantinku?” Nita terlonjak mendengar pertanyaan itu. Nita menoleh dengan ragu dan melihat mahluk yang tidak dapat didefinisikannya sebagai mahluk yang pernah dilihatnya.

 

Apakah mahluk itu mengerikan? Bisa jadi. Mahluk itu berwujud manusia, memiliki tangan, kaki yang sama persis dengan manusia, hanya saja mahluk itu sangat tinggi, kurus, sangat kurus, nyaris seperti ranting daun. Mahluk itu memakai kain kecil untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia berdiri bungkuk di depan Nita dan memandang Nita dengan penuh perhatian.

 

“Nita, jadilah pengantinku, maka kamu tidak perlu bertemu dengan orang-orang yang kamu benci lagi,” kata mahluk tinggi itu. Nita bergidik melihat wajah mahluk itu. Wajah mahluk itu panjang dan sangat tirus. Wajah itu tidak jelas menunjukkan apakah mahluk itu laki-laki atau perempuan. Rambut mahluk aneh itu agak panjang mencapai tengkuknya. Mata mahluk itu berwarna merah manyala, begitu bundar dan melotot ke arah Nita dengan tajam.

 

“Mau, kan, Ndhuk?” desah mahluk itu lagi. Nita menjengit.

 

“Kamu siapa?” tanya Nita. Mahluk itu menyeringai pada Nita, tangannya meraih tubuh Nita. Nita terlonjak kaget melihat tangan panjang kurus dengan kuku yang hitam dan sangat panjang itu hendak menyentuh kulitnya.

“Aku lelepah penghuni sungai ini. Aku senang dengan jiwa-jiwa yang tidak tenang di atas sungaiku. Dan aku tahu semua kerisauanmu, Nita.”

 

Nita menjengit lagi. Dia memandang mahluk jenis lelepah itu dengan pandangan jijik sekaligus ketakutan.

 

“Lupakan Baskoro dan Arum. Kamu hanya tinggal duduk di tepi sungai dan menyanyi untukku. Kamu mau, kan jadi pengantin dan sindenku?” tanya lelepah itu lagi.

 

Nita terdiam. Dia mengulang kembali perkataan lelepah tadi dalam kepalanya.

 

Lupakan Baskoro dan Arum.

 

Kenapa lelepah itu tahu tentang Baskoro dan Arum? Kenapa lelepah itu tahu tentang suaminya dan selingkuhan suaminya? Kenapa lelepah itu tahu bahwa Nita memang sangat sedih dan tertekan dengan tingkah laku suaminya yang selalu melecehkan Nita, selalu membully-nya secara verbal, dan telah menduakan Nita. Bahkan sepertinya lelepah itu tahu, Nita memutuskan untuk ikut arung jeram dengan tujuan untuk melupakan Baskoro sebentar. Kemudian sekarang ada yang menawarinya untuk melupakan Baskoro selamanya. Nita menelengkan kepalanya.

 

“Melupakan Baskoro untuk selamanya?” tanya Nita naif. Lelepah itu menyeringai lagi. Wajahnya nampak kejam.

 

“Iya, pasti!” jawab lelepah itu yakin. Nita tersenyum samar. Kini wajah dan wujud lelepah itu tidak terlihat menakutkan Nita lagi. Nita mengangguk setuju pada lelepah itu. Lelepah itu tertawa terbahak-bahak. Dia mencengkeram tangan Nita dan dalam sekejap Nita merasa sesak napas lagi, dia terbatuk hebat dan seketika Nita kembali ke perahu karet tadi.

 

Kanthi tersenyum pada Nita sekarang.

 

“Paham maksudku?” tanya Kanthi penuh makna. Nita mengangguk. Ah, ternyata lelepah itu hendak membantunya.

 

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Nita.

“Sebentar lagi kamu akan tahu,” bisik Kanthi. Wanita-wanita di dalam perahu karet itu tertawa. Seseorang mendekati Nita dan memberikan tampah besar pada Nita. Tanpa ragu Nita menerima tampah itu dan menyunggi tampah itu di atas kepalanya dengan mudah dan tanpa diberitahu pun sekarang Nita tahu apa yang harus dikerjakannya.

 

Perahu karet itu merapat di tepi sungai. Nita mengikuti Kanthi dan wanita yang lain menuruni perahu karet itu. Mereka meletakkan tampah berisi sesaji di tepi sungai dan kemudian duduk di atas batu-batu di tepi sungai. Kemudian dengan suara yang lantang, Kanthi memulai menyanyikan lagu Jawa diikuti oleh Nita dan wanita-wanita lainnya. Nita menyanyi dengan hati gembira dan berbunga-bunga.

 

Nita tersenyum bahagia. Dia tidak keberatan duduk di tepi sungai dan menjadi sinden atau pengantin atau apapun yang diinginkan lelepah itu, selama Nita tidak perlu lagi dengan Baskoro dan Arum dan semua kehidupannya yang menyedihkan. Nita bahagia sekali ….

 

***

 

Bagas berjalan perlahan di tepi Sungai Serayu dengan hati-hati malam itu. Dia menyalakan senternya untuk mengalahkan gelap pekatnya malam di Sungai Serayu. Bagas yang sangat mengenali Sungai Serayu, berjalan di depan tim SAR, polisi, tentara dan warga yang mencari orang yang hilang setelah terjatuh dari perahu karet saat melakukan rafting dengan Bagas tadi siang.

 

Lamat-lamat Bagas mendengar suara sinden itu dari kejauhan. Bagas tersenyum. Pastilah lelepah itu telah mendapatkan makanannya. Senyum Bagas semakin lebar, ketika melihat enam orang pesinden duduk di atas batu di tepi Sungai Serayu malam itu. Ah, biasanya pesinden itu hanya ada lima. Sekarang ada enam. Bagas tersenyum. Sinden yang terakhir adalah makanan lelepah peliharaannya bulan ini. Sinden yang terakhir baru saja dijatuhkan Bagas tadi siang dan membuat kegegeran yang luar biasa.

 

Tadi Bagas berpura-pura ikut mencari wanita yang sengaja dijatuhkannya tepat di atas rumah lelepah peliharaannya, dan malam ini Bagas membuktikan bahwa usahanya tadi siang telah berhasil. Bagas melihat Nita ikut menyinden dengan pesinden lainnya di atas batu di tepi Sungai Serayu. Hal itu menunjukkan bahwa lelepahnya tidak akan kelaparan bulan ini.

 

Sebelum Bagas memberitahu orang-orang bahwa tubuh Nita telah ditemukan, Bagas melihat dengan puas ketika melihat lelepah peliharaannya muncul dari dasar sungai dan dengan gerakan lambat melahap kepala Nita utuh-utuh …..

 

***


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)