Masukan nama pengguna
"Halo, selamat malam. Benar ini dengan Mas Wisnu Kusuma?"
"Iya. Saya Wisnu. Ini siapa, ya?"
"Saya Ki Tirto Joyo dari situs Wisata Arwah. Kalau tidak salah Mas Wisnu meminta pelayanan panggil arwah, njih?"
Wisnu terdiam. Jantungnya berdegup kencang dan seketika kamarnya yang remang-remang malam itu menjadi sangat menakutkan. Wisnu buru-buru menyalakan lampu di kamarnya dan mengembuskan napas panjang, mencoba untuk tetap tenang.
"Halo? Mas Wisnu?"
"Oh, iya, Pak ... eh, Ki ... benar sekali. Saya ingin memanggil arwah," jawab Wisnu terbata karena terkejut.
"Siap! Kalau Mas Wisnu serius Mas Wisnu bisa mengunjungi kantor kami di jalan Anggrek Merah besok mulai pukul delapan. Mas Wisnu bisa menemui saya, Ki Tirto Joyo. Nanti kita bahas semua teknis pemanggilan arwahnya."
Wisnu menelan ludah. Dia mulai merinding. Padahal tadinya dia hanya iseng saja melihat-lihat situs Wisata Arwah yang didengar Wisnu dari teman-temannya. Wisnu hanya asal saja mengeklik opsi pemanggilan arwah dan ternyata pihak situs itu menghubunginya.
"Halo, Mas Wisnu?" terdengar teriakan dari ujung telepon dan sekali lagi mengagetkan Wisnu.
"Njih, Pak. Besok saya akan ke kantor Wisata Arwah," jawab Wisnu buru-buru.
"Oke, baik. Besok saya tunggu di kantor, Pak."
Wisnu termenung ketika hubungan itu ditutup. Dia memandang telepon dan laptopnya dengan penuh debar. Wisnu menyesal telah mengeklik opsi pemanggilan arwah.
Ah, semua gara-gara Siti Sulistiyawati. Istri Wisnu yang sudah meninggal enam bulan yang lalu. Setelah Siti meninggal, Wisnu menjadi sangat sedih dan belum kembali normal seperti sedia kala karena Siti meninggal secara mendadak. Siti meninggal karena terjatuh dari tangga dan langsung meninggal karena ada pendarahan di kepalanya. Siti meninggal tanpa pesan pada Wisnu dan hal itu membuat Wisnu sangat sedih.
Ah, kesedihan itu belum juga bisa hilang dari hati Wisnu, membuat Wisnu sakit-sakitan. Keluarga dan teman-teman Wisnu meminta Wisnu untuk mencari istri lagi agar kesedihannya berkurang dan paling tidak ada yang menemani Wisnu di rumah. Tetapi Wisnu masih belum bisa move on dari Siti ... atau yah, sebenarnya Wisnu masih ingin tahu apa yang terjadi ketika Siti meninggal dan apa sekiranya pesan Siti untuk Wisnu sebelum meninggal.
Kemudian salah seorang teman Wisnu menganjurkan Wisnu untuk mencoba membuka situs pemanggilan arwah. Dan dari situlah semua masalah bermula.
"Coba aja kamu buka ini, Nu," kata Karim, teman Wisnu.
"Apaan, Rim?" tanya Wisnu. Karim meminta Wisnu mendekatinya dan melihat HP Karim.
"Hih! Wisata Arwah?" tanya Wisnu ngeri. Karim tertawa geli melihat ekspresi wajah Wisnu.
"Iya. Wisata Arwah. Banyak lo fiturnya," kata Karim, kemudian dia menunjukkan kepada Wisnu fitur-fitur dalam situs itu.
"Ada pemanggilan arwah, ada jual beli arwah, ada jual beli tuyul dan aneka rupa pelet, pesugihan, santet dan lainnya, Nu. Kamu tinggal pilih saja," kata Karim.
Wisnu diam saja, dia meminjam HP Karim dan mempelajari situs itu. Wisnu membuka fitur pemanggilan arwah dan membaca deskripsi yang ada pada fitur itu.
'Melayani pemanggilan arwah manusia, arwah hewan atau pemanggilan jin khodam. Harga terjangkau.'
Ah, penawaran yang sangat menggoda Wisnu. Dia sangat ingin memanggil arwah Siti dan menanyakan banyak hal pada almrhumah istrinya itu. Wisnu mengembalikan HP Karim dengan selaksa kesedihan. Ah, dia bingung.
Tetapi malam ini semua rasa itu berubah. Wisnu membulatkan tekadnya dan membuka situs Wisata Arwah lagi, kali ini Wisnu membuka situs itu sendiri di laptopnya. Dia membaca dan mempelajari semua fitur yang ada pada situs itu, terutama fitur pemanggilan arwah. Wisnu mempelajari secara detail cara pemanggilan arwahnya, semua perlengkapan yang dibutuhkan, dan apa saja yang bisa dilakukan setelah arwah itu dipanggil dan yang paling penting adalah biayanya.
Proses pemanggilan arwah sendiri ada biayanya, mediatornya juga ada biayanya sendiri, dan apa yang kita lakukan pada arwah yang memasuki mediator itu juga membutuhkan biaya sendiri. Wisnu mulai berhitung dan mencatat semua rencana biayanya pada selembar kertas. Kemudian dia mengeklik opsi-opsi yang ada pada fitur pemanggilan arwah itu dan lima belas menit kemudian Ki Tirto Joyo meneleponnya.
Wisnu tersenyum untuk menutupi keraguan di dalam hatinya. Sekarang dia harus membulatkan tekadnya lagi untuk mendatangi kantor Wisata Arwah besok. Wisnu memejamkan matanya, dia harus mau melakukan itu demi mengetahui semua hal tentang kematian istrinya.
****
Pagi itu Wisnu mengambil uang terlebih dahulu di ATM. Biaya pemanggilan arwah itu benar-benar menguras tabungan Wisnu, tetapi Wisnu tidak ragu melakukannya, karena dia yakin akan segera mengetahui kabar tentang Siti, almarhumah istrinya.
Tadi malam Wisnu nyaris tidak bisa memejamkan matanya, membayangkan pertanyaan apa saja yang akan ditanyakan pada Siti. Wisnu membayangkan seandainya Siti bisa mewujud dan mereka bisa memadu kasih lagi ... ah, betapa rindu Wisnu pada Siti ....
Gedung megah yang merupakan kantor Wisata Arwah itu terlihat dari kejauhan. Wisnu semakin mantap ketika melihat kemewahan gedung itu. Berarti situs itu bukan situs abal-abal. Wisnu segera memarkir motornya dan berjalan menuju ke dalam gedung itu dengan rasa lega dan penuh percaya diri. Gambaran pertemuan dengan Siti membuatnya sangat bersemangat.
Bagian dalam gedung itu dibuat remang-remang dan agak menyeramkan. Pantas sajalah, namanya juga Wisata Arwah, memang kantornya harusnya mencerminkan nama gedung itu. Di setiap sudut ruangan terdapat asap dupa yang membuat napas Wisnu sedikit sesak dan dia batuk beberapa kali.
Di ruang tunggu Wisnu disambut oleh beberapa kameramen yang sedang mengambil video beberapa orang yang memakai baju serba hitam dan nampak garang, yang sedang dialog dengan suara yang dalam dan terdengar begitu serius. Wisnu berhenti sebentar untuk melihat adegan itu dengan terpesona. Wah, situs ini memang benar-benar terpercaya. Wisnu semakin senang telah menemukan situs ini. Dia merasa sangat beruntung.
Setelah menemui respsionis, Wisnu diminta melakukan pembayaran dimuka dan kemudian Wisnu diminta menunggu di ruang tunggu yang luas itu. Dia melihat sekeliling ruang tunggu itu. Di salah satu dinding ruang tunggu itu terdapat lukisan Nyai Roro Kidul yang cukup besar. Di dinding yang lain terdapat lukisan leak, yang membuat Wisnu bergidik, karena menyadari bahwa itu bukan lukisan, tetapi adalah foto yang begitu besar.
Wisnu bergidik lagi ketika melihat ada sesaji di atas meja ruang tunggu. Sesaji yang terdiri dari telur ayam kampung, ingkung ayam sejodoh, daun sirih, jajan pasar lengkap dan entah apa lagi itu diletakkan di dalam wadah besar beserta dengan secawan bunga aneka rupa. Di sebelah sesaji itu ada nampan berisi gelas-gelas yang berisi minuman teh, kopi, susu dan juga sebuah gelas berisi aneka rupa rokok. Sesaji lengkap itu disandingkan dengan sebuah keris yang diberi keterangan di sampingnya. Keterangan itu bertuliskan 'Keris Luk Lima'. Wisnu tidak memahami apa maksud tulisan itu, tetapi tetap saja dia merasa agak gemetar melihatnya.
"Mas Wisnu?"
Wisnu terlonjak kaget ketika namanya dipanggil seseorang. Wisnu menoleh dan melihat salah satu dari pria berbaju hitam yang tadi shooting lah yang memanggilnya. Pria itu tersenyum pada Wisnu.
"Saya Tirto Joyo, Mas. Salam kenal," kata pria tegap itu sambil mengulurkan tangannya mengajak Wisnu bersalaman. Wisnu menerima tangan itu dan menjabat erat tangan Tirto Joyo.
Tak menunggu lama, Wisnu dan Tirto Joyo masuk ke dalam salah satu ruangan yang ada di gedung itu. Sebuah ruangan yang juga remang-remang dengan asap menyan dan sesaji yang siap di tengah ruangan itu.
"Arwah siapa yang ingin Mas Wisnu panggil?" tanya Tirto Joyo.
"Arwah istri saya, Ki. Namanya ...."
"Siti Sulistiyawati," potong Ki Tirto Joyo. Dia tersenyum melihat Wisnu membeliak kaget.
"Asal Desa Gunung Jati, umur dua puluh tujuh tahun, meninggal karena jatuh, kan?" kata Tirto Joyo lagi. Wisnu menelan ludah takut dan khawatir. Semua yang dikatakan Tirto Joyo benar semua. Dia mengangguk perlahan.
"Benar sekali, Ki. Dari mana Ki Tirto Joyo tahu?" tanya Wisnu penasaran. Tirto Joyo tersenyum lebar.
"Kami memang profesional. Jangan khawatir, Mas Wisnu." Tirto Joyo menaburkan sesuatu ke atas menyan di depannya, membuat asap menyan itu semakin tebal. Dia merapalkan mantra dengan cepat.
Seketika Wisnu merasakan angin bertiup di ruangan itu. Wisnu melihat berkeliling dan mencari jendela yang terbuka. Aneh! Tidak ada satu pun jendela yang terbuka, semua tertutup rapat. Wisnu mulai merinding, perlahan bulu kuduknya meremang merasakan keanehan di dalam ruangan itu.
Perlahan angin itu terhenti dan tiba-tiba saja pintu ruangan itu terbuka. Wisnu memekik kaget, membuat Tirto Joyo dan seseorang yang memasuki ruangan itu tertawa. Wisnu tersipu malu ketika melihat seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan itu. Wajah wanita itu terlihat sangat geli, sepertinya karena melihat Wisnu terlonjak tadi.
"Ini Sekar, mediator yang akan membantu kita hari ini," kata Tirto Joyo. Wisnu membeliak kaget.
"Kita akan melakukan pemanggilan arwah sekarang?" tanya Wisnu naif. Tirto Joyo mengangguk.
"Iya, Mas. Mbak Siti sudah tidak sabar bertemu dengan Mas Wisnu. Dia sudah menunggu di sana," kata Tirto Joyo sambil menunjuk salah satu sudut ruangan pengap itu. Wisnu bergidik sambil mengikuti arah telunjuk Tirto Joyo. Sekar pun melakukan hal yang sama, dia juga melihat ke sudut ruangan yang ditunjuk Tirto Joyo. Sekar tersenyum simpul.
"Wah, Mbak Siti cantik sekali. Rambutnya ikal dan panjang sekali," kata Sekar, "hai, Mbak Siti?" Sekar melambai ke sudut ruangan yang kosong. Wisnu bertambah merinding melihat kelakuan Sekar.
Wisnu benar-benar merasa takut melihat kelakuan Sekar dan Tirto Joyo yang bisa melihat Siti. Wisnu segera mengalihkan pandangannya dari sudut ruangan itu.
"Mas Wisnu, Mbak Siti ingin sekali berbicara dengan Mas Wisnu. Dia tidak sabar ingin menceritakan semuanya pada Mas Wisnu," kata Sekar dengan wajah semringah, "kita mulai saja sekarang, ya, Mas?"
Wisnu mengangguk ragu. Dia memandang ke arah Ki Tirto Joyo dengan rasa takut yang menggunung di hatinya, karena dia merasa ada seseorang yang memandangnya dari belakang. Wisnu menoleh ke belakang dan tidak menemukan seorang pun yang melihat ke arahnya. Wisnu mulai gemetar karena rasa takut perlahan menguasai hatinya.
Tirto Joyo membaca mantra dengan suara yang pelan dan semakin lama semakin keras. Tangannya gemetaran di atas menyan dan kemudian dia melemparkan butiran-butiran halus berwarna putih ke arah Sekar sambil terus membaca mantra aneh itu, semakin lama semakin cepat.
"Yen sira teka, wenehana tandha! (Kalau kamu datang berilah tandha!)" teriak Tirto Joyo sambil terus melemparkan butiran-butiran halus ke arah Sekar, membuat Sekar menjerit panjang dan kemudian tersungkur di depan Wisnu.
"Oh!" Wisnu berteriak kaget dan segera membantu Sekar duduk.
Sekar duduk dengan tubuh yang lemas. Wisnu membeliak kaget ketika melihat mata Sekar yang sudah berubah menjadi seputih susu. Tetapi walaupun demikian, Sekar seakan memandang Wisnu dan kemudian Sekar terkikik panjang. Dia menunjuk ke arah Wisnu.
"Mas Wisnuu!" teriak Sekar. Dia memanggil Wisnu dengan huruf u yang dipanjangkan. Tubuh Sekar bergoyang-goyang karena dia terus tertawa.
"Mas Wisnu?" Sekarang Sekar bertanya pada Wisnu dengan suara yang lembut dan air mata yang berlelehan di pipinya. Ah, pipi halus Sekar basah oleh air mata.
"Mas Wisnu?" panggil Sekar lagi. Wisnu terkesiap, sekarang suara Sekar sudah berubah. Suara Sekar adalah suara yang dikenali Wisnu. Suara Sekar adalah suara Siti.
"Siti?" Wisnu menandang ke arah mata Sekar yang seputih susu dan seketika kepala Sekar ditarik ke belakang oleh tangan yang kasat mata. Sekar menjerit kesakitan dan ketika dia tegak kembali, mata Sekar sudah kembali normal seperti semula.
Sekar tersenyum pada Wisnu. Tanpa ragu Sekar menggenggam tangan Wisnu. Dia tersenyum penuh makna.
"Mas Wisnu, ini Siti," bisik Sekar.
Wisnu menelan ludah, dia takut dan ragu ketika memandang wanita lain, wanita yang bukan istrinya, tetapi seakan Wisnu mengenali wanita itu sebagai istrinya. Wisnu yakin bahwa wanita di depannya itu adalah istrinya.
Wisnu menangis perlahan. Kerinduan yang meresahkan jiwanya sejak beberapa waktu yang lalu tak tertahan lagi. Wisnu mengangguk dan kemudian memeluk Sekar tanpa sadar.
"Siti ... Siti ... aku rindu," bisik Wisnu sambil terisak. Ah, kerinduan ini menyiksa Wisnu, dia melepaskan pelukannya dengan berat hati.
"Mas Wisnu ... aku masih belum tenang, Mas. Arwahku masih belum kembali ke tempatku seharusnya. Tolong aku, Mas Wisnu," rintih Sekar yang kerasukan arwah Siti perlahan. Sekar memandang Wisnu dengan penuh harap.
Wisnu memandang Sekar tak berdaya. Dia begitu iba melihat Siti yang terperangkap di dalam tubuh wanita asing yang bernama Sekar.
"Aku akan membantumu, Ti. Aku bersedia melakukan apapun demi kamu," bisik Wisnu tanpa ragu, "tetapi maukah kamu bercerita dulu apa yang terjadi? Kenapa arwahmu masih gentayangan?" tanya Wisnu lagi.
Wajah Sekar meredup. Kesedihan nampak nyata di mata Sekar.
"Mas Wisnu janji tidak akan marah kalau aku menceritakan semuanya?" tanya Sekar dengan ragu. Wisnu memandang Sekar, seakan sedang mempelajari keseriusan wajah Sekar, kemudian dia menggeleng.
"Aku tidak akan marah," bisik Wisnu. Sekar mengangguk dan kemudian menangis lagi.
"Sejak awal kita menikah, ibu Mas Wisnu tidak suka dengan kehadiran Siti di rumah Mas Wisnu. Kalau Mas Wisnu tidak ada, ibu pasti memarahi Sekar tanpa henti. Bahkan ibu pernah meminta Sekar pergi dari rumah ...." Sekar menangis perlahan.
"Lalu ... laku ibu mendorongmu dari tangga?" tanya Wisnu dengan rasa tak menentu dalam dadanya. Sekar memandang Wisnu dengan ragu, dia nyaris mengangguk, tetapi kemudian mengurungkan niatnya untuk mengangguk.
"Ibu sebenarnya tidak akan marah padaku kalau bukan karena hasutan Mbak Uning, Mas. Dialah yang membuat ibu sangat membenciku. Mbak Uning lah yang mendorongku dari atas tangga, sehingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh dan kepalaku terbentur lantai dengan keras. Sebenarnya aku tidak langsung meninggal saat jatuh, Mas, tetapi Mbak Uning lah yang membenturkan kepalaku ke lantai beberapa kali, sehingga aku ... aku pergi untuk selamanya, Mas. Tetapi ... tetapi karena belum waktuku untuk pergi, maka arwahku belum mendapatkan tempat di alam baka, Mas."
Sekar mendongak dan memandang Wisnu dengan rasa haru dan sedih.
"Selama ini aku tidak ke mana-mana, Mas. Aku selalu berada di rumah, menemani Mas Wisnu, tetapi aku tidak bisa berkomunikasi dengan Mas Wisnu. Dan ketika Mas Wisnu memutuskan untuk datang ke sini, aku senang sekali, Mas. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menemui, melihat dan berbicara dengan Mas Wisnu ... matur nuwun, ya, Mas?" bisik Sekar perlahan. Dia tersenyum pada Wisnu dengan begitu bahagia.
Wisnu berkaca-kaca mendengar cerita Siti. Hati Wisnu berderak marah, dia begitu tidak terima keluarganya --yang selama ini bersikap baik pada Siti-- ternyata membenci dan memperlakukan Siti dengan semena-mena. Dia mengganggam tangan Sekar erat, dia mengangguk dalam-dalam.
"Aku akan membantumu, Ti. Aku akan membuatmu tenang di alam sana. Apa yang harus kulakukan, Ti?" tanya Wisnu penuh semangat.
Sekar kemudian menjelaskan apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan Wisnu agar arwahnya bisa memdapatkan tempat yang layak. Wisnu mendengarkan dengan penuh semangat, tetapi kemudian dia menggelengkan kepalanya dan mulai menangis histeris.
"Aku tidak mau kamu pergi lagi, Ti. Aku ingin kamu selalu di sini bersamaku!" teriak Wisnu sambil memeluk Sekar erat, "aku selama ini tidak mengetahui penderitaanmu. Sekarang aku yang akan mengorbankan semuanya. Aku akan membuatmu selalu bersamaku. Maukah kamu menemaniku sampai akhir nanti, Ti?" tanya Wisnu.
Sekar memandang Wisnu dengan sangat terkejut. Sekar tersenyum geli. Wajah Sekar menunjukkan seakan apa yang dikatakan Wisnu tadi hanyalah bohong belaka.
"Aku sudah mati, Mas. Mas Wisnu yakin mau menemaniku?" tanya Sekar. Wisnu mengangguk.
"Aku mau, Ti. Aku mau menemanimu apapun yang terjadi," jawab Wisnu dengan berani. Sekar memejamkan matanya.
"Mas Wisnu yakin?" tanya Sekar lagi. Wisnu mengangguk tanpa ragu.
"Apa yang harus kulakukan agar kita bisa selalu bersama, Ti?" tanya Wisnu pada Sekar.
Sekar mengangguk.
"Mas Wisnu harus ikut aku," bisik Sekar. Wisnu nampak bingung.
"Kita akan ke mana?" tanya Wisnu keheranan.
"Kita akan menuju ke alamku," bisik Sekar. Wisnu mengangguk dan mengikuti Sekar keluar ruangan Ki Tirto Joyo itu. Bahkan Wisnu kemudian keluar kantor Wisata Arwah dan kemudian menaiki mobilnya seperti biasa.
Seorang satpam menanyai Wisnu yang keluar dari gerbang kantor Wisata Arwah itu.
"Pulang, Pak?"
"Njih, Pak," jawab Wisnu pendek dan dia berlalu begitu saja.
Di tengah jalan Wisnu merasa mengantuk sekali.
"Istirahat dulu, Mas kalau mengantuk," kata Sekar. Wisnu mengangguk dan memejamkan matanya ... sehingga seketika mobil Wisnu tertabrak mobil lainnya di jalan raya yang ramai itu ....
Sepertinya keinginan Wisnu menyusul Siti ke alam yang lain sudah terwujud ....
****
Tirto Joyo melihat mobil Wisnu yang mengalami kecelakaan dengan puas. Dia menyiapkan sebuah botol kaca dan kemudian memanggil Sekar yang berdiri di samping mobil Wisnu yang remuk.
Tirto Joyo tersenyum puas ketika Sekar mendekatinya.
"Kamu berhasil lagi," bisik Tirto Joyo. Sekar mengangguk.
"Ya, kamu juga berhasil membujuk pria itu masuk perangkap kita. Matur nuwun, Joyo, aku mendapatkan makanan lagi," kata Sekar, dia menjilat bibirnya, seakan menyecap suatu kenikmatan yang tak terlihat. Tirto Joyo tersenyum puas.
"Pulanglah. Istirahat dulu. Nanti kubangunkan kalau ada pekerjaan untukmu, Kar," kata Tirto Joyo.
Sekara mengangguk dan dengan gerakan aneh Sekar meliukkan tubuhnya dan perlahan tubuh Sekar seakan menjadi asap dan masuk ke dalam botol yang sudah disediakan oleh Tirto Joyo sejak tadi. Setelah Sekar hilang dari pandangan, Tirto Joyo segera menyimpan botol itu dalam tasnya. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan jalan raya yang sangat ramai itu.
Sepanjang jalan Tirto Joyo tak berhenti tersenyum. Bisnis pemanggilan arwah abal-abalnya sukses besar dengan bantuan Sekar. Jin milik Tirto Joyo. Sekarlah yang selama ini berpura-pura menjadi arwah yang dipanggil korban Tirto Joyo.
Tirto Joyo tertawa. Kebanyakan orang yang datang ke kantor Wisata Arwah sama sekali tidak mempedulikan apakah akting Sekar sama atau berbeda dengan arwah orang yang ingin mereka temui. Semua orang yang datang dan meminta bantuan Tirto Joyo pasti percaya dengan akting Sekar. Mereka semua percaya dengan akting jin peliharaan Tirto Joyo. Yah, mau bagaimana lagi, Tirto Joyo tidak bisa memanggil arwah orang yang sudah mati, walaupun ada yang mengatakan bahwa ada yang bisa memanggil arwah orang yang sudah mati, Tirto Joyo tak peduli. Dia sudah sangat nyaman hidup dengan Sekar, mereka berdua sama-sama mendapat keuntungan dari hubungan ini dan Tirto Joyo tidak akan akan menyia-nyiakan hubungannya dengan Sekar. Selama ini Tirto Joyo mendapatkan uang yang banyak dari kustomernya --bahkan bisa sampai membangun kantor Wisata Arwah yang megah-- dan Sekar selalu mendapatkan makanannya. Tirto Joyo merasa hubungannya dengan Sekar sudah sangat sempurna. Dia tidak ingin mengakhiri hubungannya dengan Sekar ....
HP Tirto Joyo berbunyi.
Ada satu kustomer yang meminta bantuan Tirto Joyo untuk memanggilkan arwah lagi. Tirto Joyo mengeklik nama kustomer itu dan dia mendapat informasi lengkap sang kustomer, bahkan semua media sosial sang kustomer pun terpampang jelas. Tirto Joyo mulai mempelajari foto dan video dari media sosial kustomernya, karena dia yakin, kustomernya pasti ingin memanggil arwah orang terkasihnya, yang biasanya ada pada foto dan video pada media sosial itu.
Tirto Joyo tertawa geli. Dia sangat berterima kasih kepada internet dan media sosial, karena ternyata teknologi itu membuat bisnis pemanggilan arwahnya maju pesat.
Kontradiktif memang, tetapi itu nyata.
****
Polisi itu nampak jengkel. Dia menanyai satpam kantor Wisata Arwah sekali lagi.
"Empat hari yang lalu, tamu bernama Wisnu Kusuma datang ke sini, kan?"
Pak Satpam mengangguk.
"Lalu satu jam kemudian dia keluar dari kantor Wisata Arwah. Apakah panjenengan melihat Wisnu keluar?" tanya Pak Polisi.
"Njih, Pak." Pak Satpam mengangguk.
"Panjenengan menyapa Wisnu?"
"Njih, Pak. Waktu itu wajah Pak Wisnu nampak sedih."
"Lalu bagaimana dengan wanita di samping Wisnu?" tanya Pak Polisi. Pak Satpam menggelengkan kepalanya.
"Saya melihat Pak Wisnu hanya sendirian, Pak," jawab Pak Satpam gemas, karena sudah ditanyai pertanyaan yang sama berulang kali oleh polisi.
"Lalu wanita yang terlihat dalam rekaman CCTV halaman depan Wisata Arwah, yang duduk di samping Wisnu itu siapa, ya?"