Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
5,732
Si Kecil
Drama

                            

Si Kecil

                                                                                         By Moment

Tania mengusap matanya yang basah. Wajah tak berdosa Monica mengabur dari pandangannya. Anak yang baru berumur 5 tahun lebih itu tertidur lelap setelah menangis cukup lama. Pasti kelelahan, bukan hanya phisiknya, tapi juga bathinnya. 

“Maafkan Mama ya, nak?” bisik Tania trenyuh.

Tania tak tahu harus menyalahkan siapa. Dirinya, suaminya atau Nyonya Li, tetangganya yang sudah dia kenal lama itu. Yang jelas pasti bukan salah Monica yang masih terlalu polos. Di sore yang tenang setelah kejadian yang cukup heboh itu, Tania mencoba mengoreksi dirinya sendiri.

Seperti biasa, Nyonya Li menjemput Monica dan Eric dari sekolah. Seperti biasa pula Nyonya Li akan duduk dan mengobrol sebentar sebelum pulang ke apartemennya bersama anaknya, Eric. Bedanya hari itu Nyonya Li mempunyai berita buruk yang membuat Tania gusar sekali.

“Maaf, Tan. Tapi aku harus bilang agar kejadian ini tak terulang lagi,” kata Nyonya Li serius.

“Ada kejadian apa?” Tania bertanya heran dan sedikit tegang jadinya.

“Tadi aku membawa anak-anak ke supermarket. Monica mencuri permen di sana. Waktu aku membayar, aku melihat dia memegang permen itu dan memandangiku. Terus aku tanya dia ada uang tidak? Dia menggeleng, jadi aku suruh dia kembaliin permennya. Untung aku lihat dia, kalau nggak bisa-bisa dia ketahuan ama petugasnya. Berabe kan?”

Tania kaget sekali. Monica mencuri? Anak sekecil itu? Darah Tania langsung naik ke kepalanya. Dia marah sekaligus malu kepada Nyonya Li. Dia malu karena seolah dia tidak bisa mengajar anak saja. Dia marah karena tentu saja dia tak ingin anaknya menjadi pencuri. 

“Kaka, kenapa kamu mengambil permen di situ padahal kamu kan tak punya uang? Kamu tahu kan kita harus membayar?” 

Monica yang mestinya sudah ketakutan dari tadi menangis keras. Tak biasanya mamanya itu berkata-kata sekeras itu kepadanya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tak pernah bisa membantah atau mengeluarkan isi hatinya tanpa ditanya. Dia cuma bisa mengangguk dan menangis lebih keras.

“Mama pernah mengajarkan kamu mencuri? Tidak kan?” suara tangis Monica membuat nada Tania semakin tinggi.

“Kamu harus memberi pelajaran yang lebih keras, Tan. Demi dia sendiri, jangan sampai menjadi kebiasaan,” Nyonya Li seolah menuangkan minyak ke dalam bara.

Harga diri Tania seolah terbanting keras. Dengan keras dipukulnya pantat putrinya yang biasanya tak pernah rewel dan menuntut itu. Sekali, dua kali, tiga kali…, tentu saja Monica menangis semakin keras.

“Sakit, Mama, sakit…, hu hu hu, sakit…,” Monica yang kecil mungil itu tak pernah berpikir kalau mamanya itu akan memukulnya tanpa peringatan. Mamanya selalu memberi peringatan, biasanya di dalam tiga hitungan.

 “Bukan maunya mama memukuli Ka, tapi sungguh keterlaluan kamu sampai bisa mencuri. Kamu harus ingat kalau mencuri itu tidak baik dan kamu bisa ditangkap polisi. Kamu mengerti tidak?” Monica mengangguk keras-keras.

“Nah, sekarang ayo hentikan tangismu.”

 Mana bisa Monica berhenti saat itu? Tania semakin pusing dibuatnya. Tetapi semakin dia membentaknya untuk diam, semakin keras tangis Monica. 

Nyonya Li yang seakan menikmati adegan huru-hara itu akhirnya pamitan untuk pulang. Di dalam hatinya dia mencela Tania yang terlalu lembek di dalam mengajar anak. Memukul dengan tangan? Kalau dia, rotanlah yang bicara. Kecil-kecil sudah mencuri, bah!

Tania menenangkan dirinya begitu Nyonya Li keluar. Dia memandangi Monica yang masih berusaha berhenti menangis. Sebenarnya mata Tania pun sudah mulai panas, tetapi dia berusaha manahan air matanya. Tak biasanya dia memukuli putrinya itu. Dia juga tak percaya kalau Monica bisa mencuri dan tahu apa arti mencuri. Pasti ada alasan di baliknya. 

“Ayo, ganti baju dan makan,” suaranya sudah kembali normal, tidak lagi membentak seperti tadi. Seperti biasanya Monica mengganti bajunya sendiri sementara Tania menyiapkan makanan di meja makan. Tania menunggu Monica benar-benar berhenti menangis sebelum bertanya.

“Tadi kamu mengambil permen apa?”

 Monica memandangi Mamanya, takut dan tak berdaya. Hati Tania trenyuh, dia tak pernah berharap melihat pandangan seperti itu dari putrinya. Dia ingin putrinya selalu ceria dan percaya diri. 

“Permen Jolly. Eric juga mengambil permen itu waktu Papa menjemput kita.” jawab Monica polos.

Tania langsung bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Papa Monica dan Nyonya Tan memang bergiliran menjemput kedua anak mereka. Bergilir dua minggu sekali. Ceritanya mereka sudah tinggal bertetangga sebelum pindah ke sini. Anak-anak mereka juga bersekolah di TK yang sama, tak jauh dari rumah mereka yang lama. Kemudian mereka mendapat fasilitas perumahan di gedung yang sama dari pemerintah. 

Rumah baru mereka berjarak lumayan jauh dari sekolah anak-anak. Karena sekolah anak-anak tinggal setahun lagi untuk masuk ke SD, mereka memutuskan untuk meneruskan sekolah di sana. Untuk menghemat waktu dan ongkos kendaraan, mereka sepakat untuk menjemput dan mengantar anak-anak secara bergilir. Tania sedang hamil tua saat itu, sehingga suaminya lah yang akhirnya mengambil tugas antar jemput itu.

 Jadi Monica hanyalah meniru apa yang dilakukan Eric. Papa Monica selalu membayar apa yang diambil Eric, otomatis Monica juga mengira Nyonya Li akan membayar untuknya juga. Itu sebabnya dia memandangi Nyonya Li, meminta tak langsung dari pandangannya. Tetapi Nyonya Li yang pasti tak sepeka suami Tania, tak bisa menangkap maksud si anak kecil. 

 Tania tak berharap dan mengharuskan Nyonya Li untuk membayarkan Monica, tetapi dia menyesali tuduhannya. Lebih-lebih dia menyesali emosinya yang begitu gampang terbakar. Dia mencoba membela diri dengan mengingat pandangan mencela Nyonya Li, tetapi tetap saja dia menyesali telah membuat takut Monica dan menuduh putrinya itu sebelum memperjelas masalahnya. Kalau saja dia bertanya ke Monica seperti yang barusan dia lakukan, bukankah semua huru-hara itu tak perlu terjadi?

 “Jadi Papa membayar untuk Eric?” Monica mengangguk. Dari pandangannya, Tania bisa melihat Monica masih tak mengerti kenapa Nyonya Li tak membayar untuknya, justru membuat dia dipukuli mamanya. Tania menghela napas berat. Bagaimana menjelaskannya?

 “Mama minta maaf udah mukulin Kaka, ya?” Tania mendudukkan Monica di pangkuannya. Monica memeluk mamanya manja. Dia bisa merasakan mamanya tak lagi marah.

“Kaka nggak berani ambil permen lagi ma.”

 “Kalau Kaka mau permen, minta aja ama Papamu, jangan ama Tante Li. Dan ingat, sampai kapan pun, jangan sekali-kali mengambil apa pun dari orang lain tanpa meminta atau membayar. Kaka mengerti?” 

 Monica mengangguk keras-keras. Tania tak tahu apakah anak sekecil itu mengerti benar apa yang telah terjadi, tetapi dia berharap apa yang terjadi di hari itu tidak membawa dampak negative dalam perkembangan putrinya itu. 

                     

                  

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)