Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,070
Padang
Thriller

PADANG

Cerpen : Moment

        

1


“MEMBUNUH itu gampang.” Entah kapan dan di mana aku mendapatkan kata-kata itu. 

Aku sudah lupa karena itu memang tidak penting. Dia sudah mengendap di dalam sel-sel otakku sejak lama untuk muncul kembali beserta intinya yang baru aku mengerti kemudian. Aku mengerti dan akan membuktikannya. Aku berjanji dan akan menepatinya! Aku adalah orang yang selalu menepati janjiku.

Menepati janji itu penting, sungguh. Aku mengerti itu sejak aku masih kecil ketika suatu waktu entah kenapa aku ingin sekali mempunyai jam tangan. Jam tangan itu ada kepala Mickey Mouse di tengahnya dan tangan-tangannya sebagai jarum penunjuknya. Jam tangan kecil yang pasti akan cocok sekali berada di pergelangan tanganku yang juga mungil. Ketika Mama belanja, aku bertanya apakah dia akan membelikannya untukku? Mama menjawab ya, aku berharap dan menunggu kepulangannya dengan tidak sabar. 

Aku sudah membayangkan betapa aku bisa membanggakan jam itu kepada Nira, sahabatku di sekolah. Nira selalu mempunyai hal-hal baru yang kadang membuatku iri. Tentu saja dia bisa mendapatkan barang-barang itu dengan mudah karena dia berasal dari keluarga berada, berbeda jauh denganku. Aku ingin sekali mempunyai sesuatu yang juga bisa aku banggakan, sekali saja.

Aku begitu yakin pada janji Mama, sehingga aku merasakan kekecewaan yang tidak terkira ketika Mama tidak membelikannya. Waktu itu aku sama sekali tidak mau mengerti dengan keadaan keuangan Mama yang pas-pasan. Yang aku tahu, Mama mestinya tidak boleh berjanji kalau tidak bisa menepatinya. Sejak saat itu aku selalu berhati-hati dengan ucapanku, kalau aku tak yakin bisa menepatinya, aku tak akan berjanji.

Tentu saja aku juga pernah mengucapkan janji tanpa pertimbangan yang panjang sebelumnya. Kejadian yang tak terduga , kemarahan yang membuatku kehilangan akal sehatku bisa saja memicu sumpah yang terdengar mustahil. Oscar, bajingan itu salah satu pemicu sumpah yang belum juga aku tepati sampai saat ini.


2


MEMBUNUH itu gampang, tidak ketahuan itu bagian yang tersulit. Aku berjanji akan membunuhnya tetapi tak pernah berjanji untuk ditangkap kan? Aku telah mempelajari kebiasaannya selama ini melewati dialognya di grup WA SMA kami. Aku tahu kalau dia tak banyak omong ketika hari libur, berarti dia sedang berada bersama keluarganya atau mungkin istrinya sering memelotinya kalau sedang memegang HP. Kadang dia akan nongol juga kalau ada janji dengan teman-teman SMA, biasanya mengatakan keberadaannya sebelum sampai. Aku harus bisa memastikan tidak ada yang tahu pertemuan rahasia kami.

Aku tahu kalau hari ini ada acara memancing dari grup WA juga. Oscar akan ikut dan akan berangkat tak lama lagi. Aku japri dia dan mengatakan sebelum aku pulang ke kediamanku yang sekarang aku ingin bertemu dengannya. “Pertemuan rahasia, cuma kita berdua saja,” kataku di WA. Dia langsung mengiyakan dan di grup WA dia mengatakan ada urusan mendadak dan tidak bisa ikut memancing. 

Aku berdoa dia tidak akan memberitahu siapa-siapa tentang pertemuan kami, aku hampir yakin karena dia pasti susah menjelaskan juga kalau ada yang bertanya kenapa. Dia pasti juga tak ingin istrinya tahu pertemuan ini. Aku sengaja memilih waktu yang mendadak agar dia tak punya banyak waktu untuk berpikir.

Setelah lewat begitu lama mungkin dia sudah lupa dengan sumpahku, , tetapi agaknya dia masih ingat kebejatannya padaku waktu itu. Dia dengan gampangnya mengiyakan ketika aku berkata ingin menemuinya di pertengahan jalan ke Pantai Kijing. Dia tidak bertanya di mana tepatnya, berarti dia tahu pasti tempat yang aku maksud.


3


TIGA puluh tahun yang lalu, di atas padang rumput itu darah suciku pernah mengalir. Aku sudah berusaha sebisaku untuk melupakan bagian terburuk dari peristiwa itu. Tetapi mimpi-mimpi buruk malamku seolah tak rela aku melupakan setiap detailnya. 

Kadang aku berpikir mungkin itu hukuman karena melanggar larangan Mama untuk keluar kota bersama teman-temanku waktu itu. Tetapi aku sudah berjanji dengan teman-temanku dan aku harus menepatinya, bukan? Oscar yang memboncengku karena aku tidak bisa mengendarai motor dan juga tidak mempunyai motor waktu itu. Dan di pertengahan jalan Oscar tiba-tiba membelokkan motornya memasuki jalan kecil. “Aku kebelet,” katanya.

Semuanya terjadi dengan cepat, kekuatannya yang jauh di atasku membuatku tak berdaya. Aku berteriak tetapi itu cuma menakutkan beberapa burung yang terbang menjauh. Mungkin ada juga ular atau kadal yang kaget, tetapi tentu saja aku tak bisa melihatnya.

Dengan gampang dia memegang kedua pergelangan tanganku dengan satu tangan, sementara tangan satunya mempreteli pakaianku dengan paksa. Aku mencoba menendang, tetapi dia menghempaskanku ke rerumputan dan menindihku dengan badannya yang berbau keringat itu. Aku serasa pingsan ketika dia memasukiku dengan paksa, terasa ada yang robek dan diriku terbelah dua. Aku tak tahu lagi berapa lama itu berlangsung, sampai dia berlutut di atasku, menumpahkan cairan putih kental ke atas dadaku. Menjijikkan!

Warna putih itu kontras dengan darah yang mengalir di sela kakiku. Dia memandangi kedua cairan itu, entah apa yang dia pikirkan. Aku melihat ke mukanya yang memerah dan penuh keringat, ingin sekali aku meludahinya. Tetapi wajahnya menjulang di atasku, aku tahu ludahku cuma akan menambah kotoran di tubuhku.

“Aku akan membunuhmu,” kataku dengan nada pasti. Kemarahan dan kebencianku telah menghentikan derai air mataku. Kalau tadinya aku merasa ingin mati saja, kini aku merasa punya motivasi untuk meneruskan hidupku. Oscar yang baru saja menggagahiku justru tertawa mengejek.

“Kau tega membunuhku setelah kemesraan yang kita nikmati barusan?” Dia mendelik lucu kepadaku, delik yang sebenarnya sangat memuakkan. Yah, dia boleh saja tertawa, dia tidak tahu atau belum tahu kalau aku selalu menepati janjiku, cepat atau lambat.

Dia melemparkan handuk kecil yang sudah dibasahinya dengan air minum bawaannya. Aku membersihkan diriku, tetapi sedikit cairan putih itu menempel di blusku yang juga berwarna putih. Bau amisnya membuatku ingin muntah. 

 Dan sialnya aku terpaksa harus ikut boncengannya lagi karena aku tak tahu bagaimana harus pulang tanpanya. Aku duduk sejauh mungkin darinya, kemuakanku padanya tak bisa lagi aku lukiskan dengan kata-kata. Teganya dia menyakitiku, teganya dia merampas kesucianku. Apa salahku padanya? Dia cuma memboncengku, haruskah aku membayarnya dengan cara itu? Aku bukan aku yang dulu lagi, semua itu karena dia. Semakin kuat tekadku, bajingan ini harus mati di tanganku.

Terkadang aku berpikir, jauh hari setelah itu, kalau saja waktu itu sudah ada handphone, mungkin aku bisa minta bantuan seseorang, aku tak tahu. Menelepon Rita dan memintanya untuk menjemputku? Rita tak bisa membawa motor juga, dia pasti akan meminta bantuan Angga, kakaknya. Angga, keluhku perih. 

Aku tak berani mengatakan apa pun kepada siapa pun, aku tak tahu apakah aku akan dikasihani atau justru dianggap perempuan gatal yang melakukan seks bebas. Bagaimana juga kalau sampai ke telinga Angga? Angga yang terkadang hadir dalam mimpi malamku, Angga yang kadang mengisi rinduku. Angga yang membuatku selalu ingin ke rumah Rita, berharap bisa bertemu dengannya. 

Mimpi-mimpi tentang Angga pun berubah sejak kejadian itu. Aku selalu merasa minder bila bertemu dengannya. Aku sudah tak suci lagi! Aku tak boleh lagi mengharapkan dia, aku tak pantas untuknya. Doa agar satu saat Angga akan menyatakan cintanya padaku berubah menjadi doa agar satu saat dia akan menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya, seseorang yang jauh lebih baik dariku.

 Kenangan tentang Angga selalu bisa menjadi sedikit pemanis di sela-sela kepedihanku. Sering kali air mata kebencian pada Oscar bercampur dengan air mata kerinduan padanya. Yah, sampai saat ini pun aku masih merindukannya, satu-satunya pria yang pernah mengisi hatiku, dan semuanya hancur karena bajingan itu. 

Bukan itu saja. Bau amis di blus putihku menjadi bau yang paling aku benci. Aku tak bisa lagi membayangkan kalau di satu saat bau amis itu harus memasuki tubuhku. Aku menghindar dari semua lelaki, menjadi teman tak masalah, tetapi jangan coba-coba berharap lebih. 

“Kamu tuh tak normal May, jiwamu sakit. Seharusnya kamu ke psikiater,” kata Sinta, sahabatku, yang juga teman kerjaku sering berkata begitu padaku. Yah, mungkin saja aku memang sakit, dan sebab penyakitku adalah Oscar, aku harus membasmi penyakit yang satu ini. 

Belum lagi mimpi-mimpi buruk yang sering muncul di tengah malamku. Aku selalu berada di padang rumput itu, terbaring dengan tubuh telanjang. Aku merasa malu atas ketelanjanganku, walau pun tak ada siapa-siapa di sana. Aku mencoba untuk menutupi tubuhku, tetapi kedua tanganku seolah terikat menjadi satu di atas kepalaku. Aku mencoba membalikkan badanku,tetapi kaki pun tak bisa bergerak, seolah ada yang menindihnya ke tanah berumput itu. 

Dengan putus asa aku memandang ke sekelilingku, tanah berumput hijau yang semula terasa lembut tiba-tiba berubah warna dan lengket. Warna merah dan putih tercampur tak rata, lama-lama menjadi semakin cair, aku perlahan terbenam ke dalamnya. Bau amis itu juga membuat perutku mual luar biasa. Aku tahu lambat tapi pasti aku akan tenggelam. Aku bahkan tak tahu lagi mana yang lebih menyengsarakan, golakan di perutku atau ketakutanku sendiri. Aku panik dan berteriak meminta tolong. Rasa ketakutan itu begitu nyata, sampai sering kali aku terbangun dalam keadaan panik dan penuh keringat dingin. 

Rasa putus asa itu mengingatkanku akan tragedi itu, rasanya sama. Teriakan minta tolong yang tak terjawab, pemberontakan yang tak berdaya.  

Jadi bisakah aku dimaklumi kalau aku ingin menepati janjiku? Lagian, memangnya kenapa kalau tak ada yang memaklumiku? Janji adalah hutang, dan hutang harus dillunasi, titik.


4


AKU duduk di padang rumput mungil itu menunggu Oscar. Tanpa aku kehendaki air mataku mengalir, mengaburkan pandanganku. Aku biarkan untuk sejenak, Aku berharap inilah terakhir kalinya aku menangis karena dia. Aku memandang warna hijau di sekitarku, aku tahu dia tak mungkin berubah menjadi merah atau putih, tetapi tetap saja hatiku merasa was-was.

Oscar tiba dengan motornya yang kelihatan masih baru. Aku sudah bertemu dengannya di acara reuni SMA kami yang juga menjadi alasan kepulanganku kali ini. Badannya sudah melar dan perutnya sudah membengkak seperti perut gajah. Tentu saja kalau pun dia sudah tak sekuat dulu lagi aku tetap bukan tandingannya dalam hal fisik. Tetapi itu tidak penting lagi sekarang.

“Luar biasa, kamu masih tetap semungil dulu, padahal sudah banyak teman kita yang pada melar, termasuk aku.” Katanya sambil nyengir, sengiran yang paling aku benci.

“Kamu kok mau aku ajak ketemu di sini? Masih ingat perbuatanmu ya?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

“Sebenarnya aku juga ingin sekali bertemu lagi denganmu,” katanya sambil duduk di depanku. “Aku ingin minta maaf, Maya.”

Aku memandangnya curiga. Akal-akalan apa ini?

“Terus-terang, aku tak menyangka kalau kamu masih perawan waktu itu. Aku kaget juga, menyesal tapi egoku menutupinya dengan baik. Aku juga menyadari sesudahnya bahwa aku sayang kamu, tak bisa melupakanmu, tapi kamu selalu menghindariku, dan aku tak lagi tahu keberadaanmu sampai kamu bergabung di grup WA.” Oscar menampakkan wajah yang letih, tetapi aku tak percaya padanya. Apakah dia cuma ingin mendapatkan maaf dariku agar bisa tidur nyenyak?

Misiku ke sini hanyalah menepati janjiku, dan aku harus melakukannya segera sebelum dia curiga. Mulanya aku bepikir dia akan mengulangi kekurangajarannya, dan aku akan punya kesempatan bagus untuk menjalankan rencanaku. Tapi agaknya aku harus mengikuti sandiwaranya kini. 

“Benarkah? Aku juga tak bisa melupakanmu. Tak inginkah kamu duduk di sampingku? Aku ingin membuang kenangan jelek tentangmu, mungkin kita bisa merasa lebih dekat?” Ya,aku harus berada sedekat mungkin dengannya. Ada keterkejutan di wajahnya, tetapi kemudian dia tampak lega dan memindahkan duduknya. Aku berusaha secuek mungkin walau keinginan untuk menjauh darinya begitu kuat. Trauma itu masih begitu kentara.

Aku meraba keliman bajuku, jarum kecil itu masih di sana. Jarum lentur akupuntur yang telah aku pendekkan. Dengan tak kentara aku melepaskan jarum itu, memegangnya di tangan kananku, sementara dia duduk di sebelah kiriku. Dia masih juga berbicara tetapi aku tak lagi fokus pada apa yang diucapkannya. Aku harus mencari kesempatan secepatnya.

Dia memegang tangan kiriku, aku tak menepisnya walau ingin sekali. Aku menoleh padanya, melihat ke mulutnya yang bergerak tanpa aku dengar suaranya, kemudian mataku beralih ke tengkuknya.

“Jangan bergerak, ada laba-laba di tengkukmu.” Aku tahu dia takut sekali dengan laba-laba, resikonya adalah dia menjadi histeris dan menepuk tengkuknya dengan kalut. Tetapi untungnya dia benar-benar tak bergerak, aku memutar ke belakangnya, meraba tengkuknya, menemukan titik yang tepat,dan jarum itu aku tancapkan dengan mantap di sana. Jarum itu melesak hilang di dagingnya yang lembek. Yes, aku berhasil!


5


PADANG rumput itu begitu sunyi. Ke mana suara-suara itu? Aku merasakan halusnya lambaian rok di kakiku, aku tak lagi telanjang. Aku puas dan tersenyum, senyum kemenangan? Aku duduk di sana entah untuk berapa lama, sampai aku merasakan kegelapan melingkupiku, bukan gelapnya malam, aku tahu itu. Itu hitam yang ada di rambut Oscar, hal terakhir yang aku lihat sebelum aku menancapkan jarumku. Aku pasrah, tak lagi ingin berontak, biarkan saja aku tenggelam, mungkin di sana aku bisa bertemu Mama? Aku berjanji pada Mama untuk menjadi anak yang baik. Aku sudah menepati janjiku, anak yang baik selalu menepati janjinya, bukan? 





 






Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)