Masukan nama pengguna
Bumi sedang lelap berselimut gelap, saat Wien terbangun. Telepon genggam yang ia taruh di atas nakas menjerit-jerit memanggil perhatiannya. Wien beringsut. Setengah kesadarannya masih diganduli alkohol dalam wine yang ia tenggak malam tadi. Setengah kesadarannya yang lain menyaksikan tujuh belas pesan WA yang terbengkalai di layar telepon genggam. Semuanya dari seorang lelaki yang ingin dihindarinya.
“Pukul tiga dua puluh lima. Bimo, kau memang kepala batu, ya?” batinnya.
Wien tidak bisa tidur lagi. Agak sempoyongan, ia membuka connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan kamar dua anak lelakinya. Wien tersenyum melihat wajah dua putra kembarnya yang tidur nyenyak walau isi pikirannya tidak di kamar itu. Usai merapikan selimut si bungsu, rasa penasarannya untuk membaca semua sms yang dikirimkan Bimo tak terbendung lagi. Di keremangan cahaya kamar, Wien beringsut menuju sudut ranjang. Ia mulai menekuri satu persatu pesan yang dikirim Bimo sejak siang tadi. Rangkaian pesan itu adalah sepucuk surat cinta dengan mantra-mantra susastra. Wien terkesiap. Emosinya membuncah. Hatinya terbelah. Tanpa ia sadari, bulir-bulir air matanya semakin menderas kucurnya.
Di sisa waktu itu, Wien duduk memaku. Dari balik jendela kamar, ia terpana dalam ranap. Seperti sedang melukiskan keadaan cintanya, ia menyaksikan bulan yang mengkhianati malam dan memilih menghindari matahari yang mengintai dari balik kaki langit di pagi hari. Wien ingin sekali memutar roda masa berbalik arah dan mengembalikan semua kenangannya menjadi kenyataan yang sama sekali berbeda.
“Andai saja aku tidak memulai percintaan yang rumit ini,” ingat Wien berujung sesal.
Otaknya kembali memutar rekaman percakapannya dengan Bimo, siang kemarin.
***
“Maaf, Mas Bimo. Saya tidak bisa memenuhi ajakan, Mas. Saya harus merampungkan pesanan desain siang ini. Saya ingin pulang cepat,” tukas Wien kepada Bimo lewat telpon. Bimo terdiam sesaat. Ia tidak menduga penolakan itu.
“Mengapa? Kau sedang sakit, ya?” balas Bimo. Ia masih berharap ada kenyataan lain yang bisa meredakan kekecewaannya.
“Tidak. Saya sehat kok, Mas. Saya pulang cepat karena terlanjur janji dengan anak-anak untuk mengajak mereka berlibur ke Bali akhir pekan ini. Kami terbang jam lima sore ini.”
Bimo tersenyum. Ia menilai jawaban itu bukanlah penolakan sepenuhnya. Ia pun mencoba mempertegas peluangnya.
“Kalau begitu, boleh aku antar kamu ke bandara? Atau kau WA aku, di hotel apa dan kamar nomor berapa kalian menginap. Aku akan menyusulmu besok pagi.”
Bimo seolah mendapatkan kekuatan baru untuk kembali melancarkan pengharapannya. Dan Wien sudah mempersiapkan kalimat untuk menghadapi gempuran itu.
“Maaf, Mas. Bukannya saya menolak Mas Bimo. Kali ini, saya benar-benar ingin menghabiskan libur akhir pekan dengan anak-anak. Saya sudah janji dengan mereka. Boleh, ya, saya pergi untuk menyendiri kali ini. Maaf, ya, Mas, saya harus bekerja lagi.” Wien memenggal pembicaraan, meninggalkan Bimo berkubang kekecewaan.
***
“Bimo!” Lelaki dengan bibir dan kumis tipis itu memperkenalkan hidungnya yang tirus, matanya yang dalam, dan rambut ikalnya yang berkibar-kibar. Penuh rasa percaya diri. Wien membalas jabat tangan Bimo dengan kikuk. Ketampanan lelaki itu telah membuatnya takluk secara telak pada pertemuan pertama. Ia hanya bisa membalas kata perkenalan itu dengan menyebutkan namanya lirih. Seperti sedang berbisik dengan diri sendiri. Suatu tindakan yang membuat Wien menjadi malu di kemudian hari karena seperti merendahkan diri sendiri. Apalagi Bimo yang sangat memahami keunggulan fisik dan posisi yang dimilikinya ternyata menyasar hati Wien. Dari gosip kantor yang beredar, Bimo tahu bila Wien mencari lelaki pasangan hati sejak ia menjadi orang tua tunggal karena dikhianati.
Dengan berbagai cara, Bimo pun mengobati hati Wien yang sudah lama terluka.
Dan, pertemuan-pertemuan berikutnya mereka jalani dengan kuasa hati untuk menyecap bumi sambil meniti awan mimpi. Dalam cinta bisu mereka menyenandungkan lagu tentang renjana dan hasrat buta yang penuh nafsu dunia.
Hingga pada suatu ketika.
“Wien, apa tanggapanmu bila pada saat ini ada seorang lelaki yang ingin melamarmu untuk menikah secara sah?” ujar Bimo, saat peluh dari tubuh keduanya belum lagi kering usai pelepasan rindu dendam.
Siang itu, Surabaya sudah kuyup oleh air hujan yang tercurah dari langit yang redup. Wien yang sedang membelai-belai dahi Bimo yang tiduran di sampingnya terdiam. Sesaat, ia menarik nafas dalam-dalam.
“Tentu sangat lucu.”
“Kok, lucu?”
“Ya, lucu. Dan akan lebih lucu lagi bila kau memaksakan pernikahan itu, sementara kita berdua bisa menikmati hubungan spesial ini dengan cara seperti ini.”
Bimo bangun. Ia duduk sambil menusuk kedua bola hitam di mata Wien dengan tatapannya, setelah mendengar jawaban dingin dari pasangannya itu.
“Aku hanya tidak ingin kehilangan kamu, Wien. Jika kau setuju aku bisa membawamu ke Thailand, Australia. Atau bahkan ke Belanda. Kita bisa menikah di sana sambil menikmati bulan madu berdua.”
Wien tergeragap. Ia sadar bila dirinya kini sedang bertemu dengan mahluk posesif. Dan itu membuatnya khawatir. Sesuatu yang dulu selalu ingin dihindarinya, kini telah berada di hadapannya untuk membekap jiwanya. Bimo, ternyata kau sama saja dengan para pria yang pernah menghuni palung hatiku. Mengapa cinta yang kalian beri selalu meminta imbalan untuk memiliki?
Sejak semula, Wien ingin agar hubungan percintaannya dengan Bimo tidak sampai merugikan siapapun. Merugikan keluarga Bimo yang terlalu sempurna untuk dirusak oleh hubungan haram mereka. Juga merugikan pekerjaan mereka. Apalagi, Wien juga menginginkan kedua anak lelakinya tumbuh dalam kehidupan perjodohan yang normal. Tidak seperti dirinya.
***
“Bagaimana, Bu? Apa yang harus saya lakukan?”
Wien menatap lekat-lekat wajah perempuan tua yang sedang memandanginya. Seorang psikolog senior yang gemar menghadapi masalah para pasiennya sambil memutar-mutar pulpen dengan kelima jari kanannya.
“Apa yang kau inginkan?”
Psikolog itu malah balik bertanya dari balik kacamata mahalnya. Wien tidak mampu menjawabnya. Sofa panjang berkain lembut yang ditidurinya tak mampu meredam kegelisahannya. Pikirannya berada di persimpangan antara Bimo dan sensasi berahi yang ditimbulkannya dengan kedua anak lelakinya dan masa depan mereka. Wien pun terbelah. Di satu sisi jiwanya ingin terbang bebas bersama Bimo dan cintanya, di belahan jiwa yang lain ia tidak ingin kedua putranya mewariskan perilaku berbeda yang dimilikinya.
Seperti memahami jalan pikiran Wien, perempuan tua itu melanjutkan ucapannya,
“Hidup itu memilih, Wien. Kau harus memilih salah satu. Tidak bisa semuanya kau rengkuh dalam waktu yang bersamaan. Kau harus sadar jika sekarang ini kau tidak berhenti, suatu saat nanti kau harus siap untuk menghadapi kekecewaan yang lebih besar. Yang tidak hanya dirasakan oleh hatimu, tetapi juga melibatkan orang-orang terdekatmu. Jika kau ingin berhenti sekarang, ibu akan membantumu untuk meninggalkan semua perasaan-perasaan itu. Tetapi, kau juga harus bisa membantu dirimu sendiri keluar dari masalah ini. Itu yang paling penting,” urai perempuan itu.
Wien menyimak penjelasan psikiater pribadinya dengan seksama.
“Apakah aku bisa?”
“Kau bisa kalau kau berusaha. Semakin keras usahamu, semakin besar peluangmu untuk mencapai apa yang kau mau.”
“Bantu aku ya, Bu.”
Perempuan itu tersenyum memandang wajah Wien yang penuh harap. Ia tak perlu menjawab. Ia menganggap Wien sudah mengerti bahwa pertalian di antara mereka sudah tak dibatasi lagi oleh hubungan antara seorang pasien dan dokternya. Itu sebabnya, ia ingin membantu Wien sekuat yang ia mampu untuk mengakhiri hubungan percintaan tersembunyi antara Wien dengan Bimo.
***
Ombak pantai Kuta tak terlalu tinggi pada siang itu. Angin musim barat pada pertengahan Juni memang tak berhembus kencang. Wien pun menilai ia tak perlu merasa ekstrawaswas untuk mengawasi kedua anaknya yang ingin belajar berselancar. Ia hanya perlu memperhatikan keduanya dari atas kafé di hotel tempatnya menginap yang menghadap pantai. Sebuah catatan kecil atas rencana besar untuk kehidupannya seusai berlibur sudah tersusun di laptopnya. Perasaannya kini sudah sedikit lega.
Hingga ia mendengar sebuah suara yang amat ia kenali keluar dari dalam ruang lobi.
“Justina! Imelda! Ingat pesan Mama, pakai sunblock dulu sebelum kalian pergi! Sinar mataharinya menyengat sekali.”
“Baik, Pa. Papa bakal ikut, kan?”
“Tentu.”
Begitu memastikan bahwa suara itu berasal dari mulut seseorang yang ingin dilupakannya, Wien segera menutup laptop dan beranjak pergi.
“Orang ini sudah gila, dari mana ia tahu hotel tempatnya berlibur? Mau apa ia menyusulku dengan membawa-bawa keluarganya? Betul-betul sudah gila!” batin Wien.
Ia bergegas sambil menutupi wajahnya dengan topi dan kacamata hitam.
Namun, langkah Wien terlambat sepersekian detik. Bimo ternyata sudah berada di belakangnya. Hanya berjarak tiga langkah saja.
“Kau betul-betul ingin menghindariku, Wien?” Suara Bimo terdengar jelas.
Mendengar namanya disebut, Wien sempat diam terpaku. Ia tetap memunggungi Bimo. Sesaat kemudian ia beranjak ke arah pantai. Bimo segera menyusul. Langkahnya lebih cepat dari Wien. Tas laptop dan tas berisi baju ganti anak-anak menyulitkan langkah Wien untuk bisa cepat meninggalkan Bimo. Belum lagi pintu kafe dicapainya, Bimo telah menggamit tangan kiri Wien dengan lembut.
“Kenapa, Wien?”
Wien mulai kalut. Ia menyesal karena telah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang ternyata sangat egois. Ia merasakan selaput air mulai menyelimuti matanya. Ia benci dengan kecengengan itu. Apalagi di depan lelaki itu. Untungnya kaca mata hitam yang ia kenakan berhasil menyembunyikan kesedihannya.
“Kalau kau berpikir bahwa dengan menikahimu aku akan meninggalkan keluargamu, itu pikiran yang salah Wien. Aku berjanji tidak akan menghancurkan keluargaku. Aku ingin menikahimu karena aku terlalu mencintaimu, Wien. Aku ingin kau tahu, aku betul-betul tidak bisa hidup tanpamu, Wien,”
Bimo menyuarakan pembicaraan itu dengan berbisik. Beberapa orang pengunjung kafe, menyaksikan tingkah mereka berdua dengan pikiran yang dipenuhi oleh berbagai penafsiran. Wien mulai gamang. Ia mencoba melihat ekspresi wajah Bimo untuk meneliti keseriusan ucapannya. Belum tuntas ia lakukan itu, sebuah suara telah membuyarkan niatnya.
“Papa! Mama pikir Papa sudah di pantai. Justina dan Imelda mana?”
“Ooh. Eeh, mereka sudah jalan duluan. Oh iya, Mama perkenalkan, ini teman sekantor Papa. Secara tidak sengaja kita bertemu di sini. Dia juga sedang berlibur bersama anak-anaknya,” jelas Bimo panjang lebar untuk menutupi kekikukannya menghadapi suasana yang baru pertama kali dialaminya: pertemuan kedua belahan jiwanya di satu waktu dan ruang yang sama.
Tanpa sungkan-sungkan, nyonya Bimo yang berwajah cantik mengulurkan tangan persahabatan. Tak ada setitikpun rasa curiga tersembul di hati perempuan itu akan perselingkuhan yang dilakukan suaminya dengan orang yang berada di depan matanya.
“Wien,” suara itu terdengar lemah, setengah panik dan kaku.
“Ooh, saya sering lho mendengar cerita Bapak tentang kehebatan Anda sebagai single parent. Anaknya kembar lagi, betul kan begitu?” tanya nyonya Bimo sambil menebar senyum lebar dengan tulusnya.
Wien semakin merasa bersalah. Bendungan di sudut matanya tak kuasa lagi menahan bah yang tumpah. Air mata itu mengalir hingga melintasi kaca mata hitam Wien. Nyonya Bimo menjadi bingung. Bimo sedikit kalut hingga bertingkah kikuk. Ia lalu mencoba mengalihkan suasana dengan menawarkan senyum canggung dan sedikit canda,
“Pak Wien ini manajer desainer lho Mam. Dia ini bosnya para tukang gambar perusahaan kami.”
Entah mengapa, pada saat itu Wien menjadi muak mendengar suara dan melihat wajah lelaki di hadapannya. Ia pun berlari sekencang yang ia bisa. Dengan tangis sedih dan hati yang terepih.
Pedih.
Tangerang, 20 Februari 2011