Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,863
MANGSA PERTAMA
Horor

Lelaki itu keluar dari kamar mandi di dalam kamar tidurnya dengan wajah tegang. Ia mendengar suara ketukan pada pintu rumahnya. Semula terdengar sayup namun suara ketukan itu semakin mengeras dan berulang-ulang. Ia sempat panik karena harus menghentikan rencana kegiatannya. Sebilah golok tajam yang sedang dipegangnya segera ia sembunyikan ke kolong ranjang.

Dalam kondisi seperti itu, ia bisa saja memilih untuk tidak membukakan pintu dan membiarkan lelaki asing itu, siapapun dia, untuk pergi dengan sendirinya. Namun, volume televisi yang ia setel lumayan keras dari ruang tamu memaksanya untuk menerima tamu asing itu. Tamu itu pasti mengetahui rumah yang dikunjungi sedang ada penghuninya dari suara televisi yang terdengar hingga ke halaman luar. Tiga kali ia menarik napas panjang, wajah paniknya berangsur-angsur menghilang. Ia lalu mematikan televisi sebelum beranjak menuju pintu depan.

“Sepada! Selamat siang!”

Terdengar suara seorang lelaki disusul ketukan yang berulang-ulang. Sang tuan rumah menduga calon tamunya hanya seorang lelaki. Kemungkinan lainnya yang setengah ia yakini adalah tamu itu bukan kerabat. Bukan pula tetangganya. Mereka biasanya memberitahu entah lewat telepon, WA atau sms sebelum bertamu. Demikian juga dengan satpam perumahan. Atau jangan-jangan anggota kepolisian? Semakin mendekati pintu, semakin tegang lelaki itu karena diserbu pikiran tak menentu.

“Siapa, ya?”

Tamu asing itu tidak menjawab. Lelaki pemilik rumah bertambah khawatir, juga penasaran. Tetapi, rasa ingin tahunya justru lebih kuat untuk menuntunnya membuka gerendel dan menguak daun pintu selebar-lebarnya. Seorang lelaki dengan perawakan kurus namun lebih tinggi dari pada si pemilik rumah memperlihatkan seringai lebarnya.

Sebenarnya, ia adalah seorang penipu.

“Kami dari Perusahaan Gas Negara, Pak. Mau inspeksi.”

Itulah perangkap pertama penipu itu yang diucapkan dengan tutur kata yang lembut namun bermaksud.

“Maaf, lain kali saja ya.”

“Ini rutin, Pak. Sudah pernah kok sama ibunya. Ini kartunya.”

Penipu itu memperlihatkan selembar kertas kecil berwarna biru. Si pemilik rumah tidak bisa melihat dengan jelas tulisannya karena mereka dibatasi oleh terali yang diselimuti kawat nyamuk besi. Penipu itu sebenarnya sedang bertaruh. Ia hanya berbohong ketika mengatakan sudah pernah datang ke rumah itu. Namun, ia juga sudah punya alasan bila istri sang tuan rumah menyangkal. Dan nyatanya si pemilik rumah juga tidak bisa mengecek langsung ucapan penipu itu kepada istrinya.

“Kalau begitu datang lagi saja besok. Biar nanti ditemui istri saya.”

“Maaf, Pak. Ini inspeksi tiga bulan sekali. Besok kami sudah pindah ke wilayah lain. Sebentar kok, Pak!”

Kata sebentar ternyata bukanlah jurus terakhir penipu itu. Ia menambahkan,

“Sekarang ini sering terjadi peristiwa tabung gas yang meledak karena kurang dirawat. Untuk itu, mulai tahun lalu, kami diinstruksikan agar melakukan kegiatan ini. Inspeksi ini tidak dipungut biaya, Pak. Kalau bapak tidak percaya, bapak bisa menghubungi pimpinan kami di nomor ini.”

Penipu itu mendekatkan kartu berwarna biru ke muka calon korbannya. Ia sedang bertaruh lagi. Tetapi, tidak penting baginya apakah si pemilik rumah akan menghubungi nomor telepon palsu itu untuk mengecek kebenaran ceritanya dan ia harus terusir karena kalah taruhan. Karena sebagai penipu, ia selalu menyimpan seribu alasan dan sejuta penjelasan yang akan dikeluarkan bila memang diperlukan. Pengalaman juga telah mengajarkan penipu itu, dari ribuan orang yang ia jumpai hanya sedikit yang bereaksi kritis terhadap ucapannya. Apalagi, bila sudah mendengar kalimat tidak dipungut biaya alias gratis.

Si pemilik rumah sepertinya sedang menelan umpan penipu itu. Alih-alih membendung penipu itu masuk ke dalam rumahnya dengan kata-kata, lelaki itu berpikir untuk menjalankan sebuah rencana. Rencana yang mendadak muncul di kepalanya. Ia lalu membuka kunci pintu terali besi. Begitu pintu terali itu terkuak, saat itu pula si penipu berpikir bila kesempatannya untuk memperdaya kian menganga lebar. Seringai penipu itu pun kian menjadi-jadi.

“Saya sebenarnya tidak suka dengan cara anda masuk ke halaman rumah tanpa permisi. Saya betul-betul tidak suka. Jadi, kalau Anda memiliki niat jelek di rumah ini, segera pergi atau Anda akan celaka dan berurusan dengan polisi!” Tegas pemilik rumah sambil menatap tajam mata tamunya. Mendengar itu si penipu tetap tidak kehilangan senyum. Baginya itu hanyalah nyanyian seekor angsa lumpuh. Sebuah ancaman yang akan berakhir kosong bila ia sudah menjalankan muslihat berikutnya.

“Maaf, Pak. Tadi ketika saya datang pintu pagarnya sudah terbuka,” tutur sopan penipu itu sambil menyodorkan kartu biru dan senyum ramahnya.

Sang tuan rumah mengambil kartu, tetapi tidak membalas senyum penipu itu. Ia lalu membacanya dengan curiga. Tidak hanya itu, ia sebenarnya sedang mengingat-ingat, apakah benar ia telah lupa menutup dan mengunci pintu pagar halamannya. Kesempatan itu digunakan oleh si penipu untuk membuka sepatu dan membuka tas ransel besar berwarna hitam. Ia bersikap seolah-olah sedang menyiapkan peralatan yang ia butuhkan. Padahal, sikap itu sebenarnya merupakan desakan terhadap sang tuan rumah untuk tidak mengusirnya. Dan, agar lebih mendapatkan kepercayaan, ia meninggalkan tasnya yang terlihat berat itu teronggok di lantai teras. Di tangannya kini tergenggam sebuah obeng dan sebuah tang.

Ia lalu masuk ke dalam rumah calon korbannya dengan tubuh agak membungkuk. Tanpa persetujuan lisan. Baginya, sikap diam calon korban merupakan kesepakatan awal terbukanya kesempatan. Penipu itu memang sudah setengah jalan memakan pikiran korban.

“Maaf, Pak. Dapurnya di mana?”

Walau agak ragu, tuan rumah menunjuk sebuah sudut rumahnya.

“Sebentar ya, Pak,” kata si penipu itu.

Ia berjalan sambil matanya melirik-lirik ruangan yang dilaluinya. Dari pencermatan sekilasnya, penipu itu berkesimpulan tuan rumah sedang sendirian. Dari foto keluarga yang terpampang, penipu itu yakin bila tuan rumah dan pasangannya belum memiliki anak. Padahal usia mereka sudah cukup tua. Penipu itu menduga calon korbannya berusia di atas 45 tahun. Tetapi itu tidak terlalu penting baginya. Yang terpenting, kehidupan ekonomi lelaki itu cukup layak untuk dijadikan korban.

Penipu itu lalu memindahkan tabung gas biru yang berukuran dua belas kilogram dari dalam perut lemari kompor ke lantai dapur. Ia lalu menyalakan dan mematikan keempat tungku yang ada di atas kompor itu secara bergiliran. Berulang kali. Setelah selesai, penipu itu lalu menyalakan keempat tungku secara bersamaan.

Ia lalu mendekatkan kupingnya. Ia juga mengarahkan cuping hidungnya ke arah regulator tabung gas. Ia tak mendengar suara apapun, kecuali debur api kompor. Ia juga tidak membaui apapun, kecuali bau panas gas yang terbakar. Seluruh perlengkapan kompor itu masih prima. Penipu itu nyaris tidak menemukan celah untuk menjalankan siasatnya. Si pemilik rumah yang mengawasi semua kegiatan penipu itu dari pintu dapur juga berpikir sebentar lagi tamunya akan mengakhiri inspeksi dan pergi. Hingga:

“Hmmm, rupanya ini,” sungut penipu itu sambil mengorek sebuah retakan pada ujung selang karet dengan obeng tajam dengan cepat. Retakan itupun kini semakin melebar dan kian memanjang. Si penipu segera mematikan api pada keempat tungku.

“Pantas saja saya mencium bau gas di sini,” jelas si penipu sambil terus menghujamkan mata obengnye pada retakan.

“Kapan terakhir kali Bapak mengganti selang karet ini?”

Si pemilik rumah kaget dan tidak bisa menjawab pertanyaan mendadak penipu itu. Ia tidak akan tahu, karena sebenarnya ia tidak pernah mengurusi pekerjaan rumah tangga yang seperti itu. Baginya itu merupakan pekerjaan tetek bengek yang wajib dikelola istri, atau siapapun di rumah itu, kecuali dirinya.

“Selang karet ini sudah terlalu lama dipakai, sehingga tidak elastis lagi dan menimbulkan retakan. Bapak mungkin bisa mencium bau ini!” pinta penipu itu lagi.

Sang tuan rumah mulai tertarik. Ia lalu mendekati penipu dan mendekatkan hidungnya pada retakan yang ditunjukkan penipu itu. Ia tidak merasa mencium bau apapun, kecuali wangi asap kompor. Dan memang sulit baginya membedakan bau gas dengan bebauan lainnya.

“Memang baunya tidak tajam karena gas yang keluar dari retakan ini tidak terlalu besar. Tetapi kalau dibiarkan bisa seperti ini.”

 Si penipu kembali mengorek retakan dengan mata obengnya sekali lagi, terdengar suara berdesis yang lemah. Ia lalu menyalakan sebatang korek api miliknya dan mendekatkannya pada retakan itu. Api langsung menjalar dan membentuk lidah berwarna biru di atas retakan. Tuan rumah kaget. Kepalanya ia tarik untuk menjauh dari jilatan api yang tak sebegitu besar. Si penipu yang menguasai keadaan langsung menutup lidah api itu dengan tangannya yang telanjang. Kecekatannya yang setara tukang sulap, mengalahkan rambat api yang panas menyengat. Ia lalu mencopot regulator dari tabung gas. Bunyi mendesis segera hilang dan berhenti.

“Bapak tidak usah khawatir, bila ada kejadian seperti ini. Asalkan kita langsung memadamkannya. Yang berbahaya bila uap gas ini tidak tercium dan berkumpul dalam ruangan tertutup seperti lemari kompor ini. Itulah yang sering menyebabkan ledakan hebat dan menimbulkan korban jiwa,” jelas penipu itu dengan sangat meyakinkan.

“Kalau kebocorannya seperti itu, berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga bisa menimbulkan ledakan?” Si pemilik rumah berubah menjadi antusias.

“Bila berada di dalam ruangan tertutup seperti lemari ini mungkin hanya setengah jam saja sudah menimbulkan ledakan. Tetapi itu bila dipicu oleh api yang menyala. Itu sebabnya bila Bapak mencium bau gas bocor, jangan menyalakan kompor dan segera buka pintu dan jendela. Agar gasnya keluar.” Jelas si penipu panjang lebar dengan meyakinkan.

“Berarti saya harus mengganti selang karetnya?” si tuan rumah kini mulai terlihat bodoh.

“Tidak hanya itu. Regulator yang Bapak pakai juga yang bukan standar. Dari segi keamanan memang tidak berbahaya, namun kami memiliki regulator yang lebih aman dari yang ini.”

“Memangnya regulatornya kenapa?”

Penipu itu tersenyum kembali, ia merasa telah berkuasa sepenuhnya.

“Ini bukan regulator pabrikan dari Perusahaan Gas Negara. Kalau yang pabrikan ada tandanya. Bapak lihat klep plastik di dalam regulator ini? Kalau sering dipakai, bisa aus dan menyebabkan kebocoran. Kalau yang dari pabrikan terbuat dari besi dan tidak akan aus. Kalau Bapak mau, kami bawa contohnya.”

Tuan rumah kembali terdiam. Penipu itu mendapatkan kesempatan untuk pergi dan kembali lagi dengan regulator dan selang karet yang masih tersegel plastik.

“Ini semua produk Perusahaan Gas Negara. Bapak bisa lihat pada kemasannya. Semua ada lambang resmi dari Perusahaan Gas Negara,” jelaslah bila penipu itu tidak lain adalah seorang pedagang licik. Ia lalu menunjukkan kepada calon korbannya barang contoh regulator pabrikan dan mendemonstrasikan beberapa tindakan.

“Bapak lihat, gas yang bocor akan disumbat secara otomatis oleh regulator pabrikan. Beda dengan regulator yang tadi,” jelas penipu itu sambil menyalakan api dari lubang kecil di ujung regulator pabrikan yang sudah ia hubungkan dengan tabung gas. Ajaib memang, api yang tadinya membesar secara perlahan mati sendiri. Sang tuan rumah takjub.

“Kok, bisa begitu?”

“Rahasianya ada di dalam regulator ini dan pipa sambungannya,” kata si penipu sambil membandingkan kedua bentuk regulator itu di depan tuan rumah.

“Ditukar saja, Pak. Biar aman!,” Serang penipu itu lagi.

“Ditukar? Gratis?”

“Yang gratis inspeksinya, Pak. Kalau komponennya tidak. Ini semua dijual. Kalau Bapak membeli ini, Bapak mendapat bonus sebuah buku panduan menangani kebocoran gas dan kebakaran di dapur.”

“Berapa?”

“Dua ratus ribu rupiah.”

“Mahal sekali!”

“Untuk keselamatan dan keamanan harga sebegitu termasuk murah, Pak.”

“Baiklah, kau pasangkan semuanya.” Tuan rumah itu kini telah paripurna kehilangan kewarasannya. Ia lalu berdiri dan membuka kulkas untuk mengambil sebotol minuman ringan. Ia lalu pergi menuju kamar tidurnya. Si penipu mengikuti langkah tuan rumah dengan senyum kemenangan.


Tuan rumah itu sebenarnya merupakan mangsa besar pertama si penipu yang baru saja naik kelas. Baru tiga hari yang lalu, ia menjadi penjual regulator dan selang karet bermerek Perusahaan Gas Negara palsu. Dari seorang kawannya yang juga penipu, ia berlatih untuk berlagak seperti petugas pemeriksa tabung gas. Dari kawannya itu juga, ia mendapatkan sepasang regulator dan selang karet palsu dengan harga lima puluh ribu rupiah. Ia lebih memilih pekerjaan barunya karena bisa berhutang barang modal kepada kawannya itu. Termasuk kemeja dan kartu berwarna biru dengan lambang Perusahaan Gas Negara.

Dulu, penipu kelas teri itu adalah penjual bubuk abate dan racun tikus palsu. Atau mengedarkan permohonan sumbangan untuk panti asuhan dari rumah ke rumah. Namun, ia merasa keuntungan yang didapat dengan tenaga yang dikeluarkan tidak sepadan. Apalagi, sekarang banyak orang yang sudah mengerti cara memberantas jentik nyamuk dan mengusir tikus rumah dengan lebih aman dan murah. Demikian pula bila harus menipu sambil menggunakan kedok sebagai pengurus panti asuhan. Penipu itu sering terbentur tulisan yang mengharuskannya menghadap pengurus RT setempat sebelum mengedarkan permintaan sumbangan.

Tidak lama kemudian, sang tuan rumah telah kembali dengan dua lembar uang seratus ribu di tangan kanannya dan botol minuman yang telah terbuka tutupnya. Ia lalu menyerahkan keduanya kepada si penipu yang telah mengerjakan tugasnya.

“Sudah berapa lama kau bekerja seperti ini?”

“Baru setahun, Pak.”

“Sudah cukup lama juga, ya. Kau tidak takut mengalami kecelakaan. Misalnya terjadi ledakan atau kebakaran?”

“Mudah-mudahan tidak, Pak. Saya sambil minum ya, Pak.”

“Silakan.”

Penipu itu lalu menyedot seluruh air di dalam botol minuman ringan itu hanya dalam satu tarikan. Kehausan dan kesegaran minuman yang tuan rumah sodorkan telah memacunya untuk menghisap minuman ringan itu tanpa sisa walaupun ia sempat merasakan sedikit keanehan pada rasanya. Untuk pertama kalinya dalam perjumpaan mereka, sang tuan rumah tersenyum lebar melihat tamunya menikmati keramahannya. Ia pun bertanya-tanya tentang sejumlah hal kepada tamunya. Ia benar-benar tidak menyadari bila dirinya telah menjadi mangsa pertama penipu berkedok petugas inspeksi Perusahaan Gas Negara.

Hampir satu jam kemudian, perbincangan akrab mereka selesai. Si Penipu lalu pamit. Namun saat hendak mengikat tali sepatunya di teras rumah, ia merasa kepalanya menjadi berat dan berputar-putar seperti gasing. Ia juga merasakan cahaya di matanya memburam seperti jendela kaca diselubungi selaput uap. Tenggorokannya panas, perutnya mendadak sakit tidak karuan dan tak tertahankan. Dalam batas antara kesadaran dan kegelapan, ia mencoba menelan ludah. Tetapi tidak bisa. Ia paksakan untuk bangkit tetapi tubuhnya malah rubuh di lantai teras itu. Mulutnya kaku dan mengeras sekaligus saat ia berusaha keras untuk berteriak. Lamat-lamat dilihatnya sang tuan rumah menyeret tubuhnya yang telah basah oleh keringat masuk kembali ke dalam dapur. Penipu itu tidak bisa bertanya, apalagi berontak. Alam telah menjadi gelap baginya. Sangat gelap.

Sang tuan rumah lalu mengeluarkan tabung gas dari dalam lemari kompor. Ia kembali mengurai rangkaian yang telah dipasang penipu itu dan melakukan sesuatu. Lalu, ia menuju kamar tidur. Dari tempat itu, ia membopong sesosok tubuh perempuan yang juga tak berdaya. Di dapur itu ia mengatur semua rencananya agar menjadi realita.


Keesokan harinya.

“Baiklah. Untuk saat ini, pemeriksaan kami cukupkan. Bila ada perkembangan lebih lanjut, kami akan memanggil saudara kembali. Kami tahu saudara masih sedih atas meninggalnya istri saudara, namun kami harap saudara bisa memaklumi proses yang harus dijalani ini,” ujar petugas kepolisian kepada seorang lelaki di depannya yang terkulai dalam kesedihan. Lelaki yang adalah tuan rumah si penipu itu lalu bangkit dan menyambut uluran tangan polisi yang baru saja mencecarnya dengan belasan pertanyaan. Tangannya begitu pula kepalanya sama-sama tertunduk layu.

Sepuluh menit kemudian, di sebuah perempatan yang diatur lampu lalu lintas, mobil yang dikendarai si tuan rumah itu berhenti. Seorang anak penjual koran dengan penampilan lusuh memperlihatkan kepadanya halaman depan sebuah koran. Ia membaca sebuah tulisan besar:

Sales Gagal Demo, Gas Meledak, Dua Orang Tewas.

Hingga si penjual koran berlalu, sang tuan rumah masih diam terpaku. Pada saat itu, ia tidak memikirkan apapun yang ia lihat. Atau juga membayangkan siapapun yang ia kenal. Ia hanya memikirkan rencana-rencana besarnya bersama pacar gelapnya yang telah hamil empat bulan lamanya.


Tangerang, 2 April 2011

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)