Masukan nama pengguna
Aku tinggal di Jakarta tapi lebih terasa suasana kampungnya dibanding kota. Seperti halnya nusantara yang terletak strategis di antara dua samudera dan dua benua. Daerah tempat tinggalku, Kampung Agan (bukan nama sebenarnya) terletak di antara dua lokasi strategis, di utaranya Jalan MT. Haryono, sementara di selatan ada komplek perumahan DPR Kalibata. Beberapa ratus meter di belakang rumahku dialiri Sungai Ciliwung, orang di kampungku lebih suka menyebutnya kali dibanding sungai, entahlah mungkin karena sudah menyebabkan banjir berkali-kali?
Sebagian besar warga di kampung Agan adalah orang Betawi, termasuk diriku. Kini sudah mulai banyak pendatang, didominasi orang Batak, Madura dan Cirebon, mereka menyewa rumah di dekat bantaran kali. Ada lima profesi dari para pendatang yang baru merintis : pemulung, tukang bubur, tukang gorengan, tukang jahit keliling dan asisten rumah tangga. Sementara para pendatang yang berhasil biasanya sudah punya toko kelontong maupun laundry kiloan.
Oh ya, bisa dibilang hanya warga pendatang yang punya pekerjaan, kami warga asli menganggap nongkrong adalah pekerjaan adiluhung yang harus dilestarikan. Jika pun bekerja kebanyakan adalah ojek dan makelar alias calo. Untunglah Bapakku, meski Betawi asli, rela menjual tanah untukku kuliah. Hingga kini aku jadi spesies yang lumayan langka, Betawi yang kerja kantoran.
Kampung Agan terbagi 11 Rukun Tetangga (RT), dengan RT 1 sampai 5 dekat komplek perumahan DPR, di dataran tinggi yang disebut Kampung Agan Atas. Sisanya, RT 6 hingga 11 ada di wilayah lebih rendah, Kampung Agan bawah. Pemisahan RT ini terasa makin sempurna dengan jalur kereta api yang membelah kampung Agan atas dan bawah.
Seperti sudah kujelaskan di atas, meski kampung Agan Bawah cuma sepelemparan kolor dari komplek DPR, kami ini masih langganan kebanjiran tiap Bogor kangen dan berkeras menghadiahkan banjir kiriman. Karena seperti juga hidup, komplek DPR berada di dataran tinggi, sedangkan kami di dataran paling rendah. Posisi atas-bawah yang secara telak menggambarkan tingkat ekonomi dan posisi tawar kami dalam hidup yang keparat dibandingkan anggota dewan yang terhormat.
Itulah sekilas pandang tentang kampung Agan, biar kalian bisa lebih meresapi saat aku ceritakan keunikan tetangga-tetanggaku di kampung Agan, lebih khususnya lagi adalah Kampung Agan Bawah RT 11, RT yang letaknya paling bawah, paling dekat dengan Kali Ciliwung. Tempatku dan keluarga kecilku tinggal bersama para selebritas dari RT Sebelas.
***
Bang Kirim. Selebritas pertama dari RT 11 ini nama aslinya Karim Abdullah, tapi warga RT kami lebih suka memanggilnya Bang Kirim. Boleh dibilang dialah satu-satunya warga di bantaran kali yang berharap Bogor mengirim banjir lebih sering. Mengapa demikian? Nanti akan kuceritakan.
Soal banjir, Warga kampung Agan Bawah sudah kenyang dengan ketidakpercayaan pihak sekolah mau pun kantor kalau kami bilang, “Izin dulu, rumah kebanjiran.”
“Banjir apaan? Terang benderang gini kok, jangan bohong!”
Ya, bukan mau kami, jika kejadian yang rutin terjadi adalah hujan deras Jakarta yang membuat Kemang kebanjiran dan lumpuhnya lalulintas, wilayah kami malah tidak mengalami apa-apa karena Bogor terik. Kalau Bogor tidak mengirim, maka banjir pun tak menghampiri kami. Sebaliknya Jakarta bisa saja terang gersang tapi banjir tetap saja datang ke kami karena Bogor hujan petir. Hingga warga kami terpaksa bersitegang dengan guru atau atasan yang tak percaya. Belakangan, teknologi videocall membuat semua keributan jauh berkurang. Kini kalau kebanjiran nggak perlu ngotot, tinggal videocall sambil live report. Lagipula banjir bisa menjadi eksotis di mata para pengguna instagram yang mungkin bosan dengan feed dan stories yang kebanyakan hedonis. Pencapaian anak di sekolah internasional, liburan ke Canggu, meeting di Singapura. Saat banjir, semua tunduk dengan postingan warga kami yang menikmati banjir dengan keceriaan seorang pebanjir kawakan. Bahkan pendatang yang kebanyakan bekerja sebagai pemulung dan tukang gorengan banyak berharap kalau banjir parah hingga diliput media. Dalam hal ini Bang Kirim adalah pionirnya. Dialah yang pertama kali mengharapkan banjir mampir lebih lama secara terbuka di pengungsian kantor Kecamatan.
“Astaghfirullah, gila aja ente? Mana bisa berdoa dapat musibah? Doa tuh untuk kebaikan.” Ustadz Basit yang sedang menjenguk pengungsi berkata sambil mendelik.
“Ini berkah kok, Tat.” (Oh ya, sebagai pemahaman, daerahku biasa menyingkat panggilan Ustadz dengan ‘Tat’ saja).
“Berkah Pala’ Lo bau menyan?!”
Bang Kirim langsung menyorongkan berbagai bantuan yang didapatnya dari tiga hari tinggal di pengungsian. Bahan makanan, pampers, susu. Mi instan dan nasi bungkus jangan ditanya, itu adalah bantuan kelas rendahan bagi para pebanjir kawakan. Bahkan Bang Kirim juga mengeluarkan amplop berisi lembaran uang warna merah dan biru dari para donatur.
“Lumayan, Tat. Malah pas banjir gede tahun 2007 saya sampe dapat kasur dan baju baru banyak banget. Kalo saya ngojek mana gablek rejeki segini banyak? (gablek : punya).
Ustadz Basit ternganga dengan bukti yang nyata ada di hadapannya. Sang Ustadz memang tak pernah jadi bagian dari warga kebanjiran. Sejak awal 2000-an, rumahnya di bawah sudah dikontrakkan, dia lebih memilih tinggal di Kampung Agan Atas. Jadi bisa dipahami beliau tidak begitu paham realitas banjir yang dialami warga Kampung Agan Bawah.
“Bagaimana tuh, Tat? Boleh dong do’a kayak gitu? Kan dapat rejeki banyak.” Bang Kirim terus memburu.
“Yaaah, kalo lihat begini sih boleh-boleh aja kayaknya. Tapi khusus untuk yang ngerasa ini dapat berkah ya. Ane yakin kebanyakan ngerasa ini musibah.”
“Alhamdulillah, siap Tat. Saya siap beradu do’a deh.”
Itulah hari di mana nama Karim berubah Kirim, karena sehebat apapun doa menolak banjir dipanjatkan di mesjid, tetap saja Bogor mengabulkan doa Bang Kirim untuk mengirimkan banjir lebih besar tiap tahunnya.
Maka jangan heran, di antara warga kampung yang bersyukur banjir tak mampir lama dan tak terlalu tinggi akan terdengar nada tinggi dari rumah bang Kirim, “Kalau banjirnya cuma semata kaki kayak gini gak bakal dapat apa-apa nih. Dapat capek ngebersihin rumahnya doang.”
Begitulah kami di Kampung Agan menjadi akrab dengan banjir, meski ada saja pengontrak baru yang kewalahan dengan air bah yang datang. Mereka panik nggak karuan dan langsung mengungsi. Sebuah kesalahan fatal. Para veteran banjir pasti paham, pembersihan lumpur adalah krusial, harus dilakukan bersamaan dengan banjir yang mulai surut. Telat sedikit lumpur akan mengering dan berbau, meninggalkan noda buruk dengan bau yang jauh lebih busuk dari nasib pengangguran. Sementara kami para senior di perbanjiran tertawa melihat para pendatang baru ribut saling menyalahkan. Ya, hidup di Jakarta memang sendiri-sendiri, tapi menertawakan nasib buruk tetangga adalah tontonan berjamaah yang menyehatkan. Kalau saat itu datang, Bang Kirim akan datang menenangkan.
“Tenang, ente datang aja sana ke kecamatan. Gak usah bersih-bersih. Baju dan badan masih ada lumpurnya lebih bagus, biar dapat sumbangannya makin banyak. Saya doain, deh.”
Ragu-ragu para pendatang yang malang itu mengucap ‘amin’ dengan pelan.
***
Mpok Minah. Beliau adalah tipikal tetangga yang pasti ada, sumber segala gosip yang ada. Saat pertama kali tinggal di sini, istriku sempat mengeluh dengan para tetangga yang terlalu suka ikut campur urusan. Kini setelah punya anak usia sekolah, istriku mensyukuri betul lingkungan tinggalnya, karena urusan makan apalagi sarapan adalah urusan tetangga sekitar. Betapa tidak, selisih dua rumah adalah Mpok Minah yang jualan nasi uduk dengan lauk pauk selengkap warteg. Persis di sebrang rumah tukang bubur ayam, yang jualan jam 6:30 sudah ludes jam 8 pagi. Kalau mau berjalan sedkit masuk gang; maka tinggal pilih lontong sayur, bakwan hingga donat dengan satu jenis toping, gula halus. Atau ada juga kue cincin, berbentuk donat dengan citarasa yang lebih pekat dan berani, kami biasa menyebutnya donat Betawi. Meski sayangnya tukang lupis yang tadinya ada di dalam gang kini sudah jarang berjualan, Bang Sapri sudah berpulang dan anak-anaknya lebih suka jadi ojek online dibanding mengiris lupis dengan benang kenur. Ya kalian tak salah baca, lupis original adalah lupis yang dipotong dengan benang yang biasanya dipakai anak sekarang untuk main layangan. Alasan praktisnya adalah lupis yang terbuat dari ketan membuat penggunaan pisau menjadi lengket dan kotor, harus dibersihkan berkali-kali. Satu lagi ciri lupis orisinil, cairan gula kelapanya ada dalam toples kaca dengan ciduk dari batok kelapa.
Di antara semua pedagang sarapan, Mpok Minah adalah maestronya. Rasa nasi uduknya bisa diadu oleh wilayah mana pun. Bahkan anggota DPR jadi langganannya. Meski begitu beliau tak kenal kelas, pesan duluan dilayani duluan. Anggota DPR pun harus rela antri, meski tepatnya supir atau pembantu DPR yang mengantrikan majikannya.
Mpok Minah sudah usia 60 tahunan tapi masih cekatan, masih menyisakan rasa kebetawian yang lekat dari caranya berjualan, “Nasi uduk ketan urap. Nyang lagi duduk yok kite nyarap.” (nyarap di sini maksudnya sarapan, ya). Begitu tiap hari yang ia teriakkan.
Mpok Minah adalah penyaji nasi uduk yang puas dengan jualan sambil duduk dan muka suntuk. Hermawan Kertajaya atau Rhenald Kasali pasti akan terheran-heran karena buat Mpok Minah, pembeli bukanlah raja, karena beliaulah ratunya.
“Si Mpok Minah itu gak niat jualan ya, Bi?” (istriku biasa memanggilku Abi, sapaan ayah dalam bahasa Arab)
“Haha kenapa emang, nggak dilayanin?”
“Dilayanin sih tapi judes banget. Perkara duit gede aja jadi omongan. ‘Di sini bukan tempat nukerin duit ye, Neng’. Gitu katanya, sebel kaan.”
“Terus gimana?” Meski aku sudah tahu ke mana arah jawaban Mpok Minah.
“Masukin buku utang aja ya, Neng. Situ bininye si Doel, kan?” Istriku yang berdarah Sunda bersusah payah meniru logat Betawi Mpok Minah dengan gusar.
“Masak iya, ada orang yang lebih seneng dihutangin daripada nyari kembalian? Apa ntar ada bunganya ya, Bi?”
“Hussh, haram itu! Mpok Minah gak bakalan ngambil bunga-bunga gitu. Kalo pak Ustadz bilang haram gak bakal dilakukin sama warga kampung sini, Bu.”
“Abiiis, kesel atuh, Bi.”
Sampai sekarang aku juga tidak tahu, kenapa Mpok Minah lebih suka dihutangin daripada repot mencari kembalian? Pada akhirnya, karena keluhan istri dan pemenuhan rasa penasaran aku pun memberanikan diri bertanya.
“Kenapa sih, Mpok. Hobi bener ngutangin orang-orang.”
Aku datang ke warung agak siang, hingga suasana warung sederhana itu lengang. Mpok Minah nengok kiri kanan seperti takut ketahuan.
“Sebenernya, nih. Biar Mpok ntar di akhirat punya banyak utang buat ditagih. Biar bisa ngurangin dosa-dosa Mpok di dunia. Maklum, Doel. Mpok gak yakin sama ibadah yang Mpok punya. Hehehe.”
Dadaku berdesir melihat cengiran mulutnya yang lebih banyak terisi gusi daripada gigi. Aku melihat tumpukan buku hutang di laci warung Mpok Minah seolah buku catatan amal baik dan buruk warga Kampung Agan.
***
Dadan Mercury. Namanya Hamdan biasa dipanggil Dadan, umurnya lima tahun lebih tua dariku. Dan hanya aku yang menyebutnya Dadan Mercury. Bang Dadan adalah satu dari lima bujang lapuk di Kampung Agan bawah, satu-satunya perjaka tersisa di RT sebelas, dan tentu saja dia adalah salah satu selebritas. Yang menjadikan Bang Dadan masuk kriteria selebritas adalah cara berpakaiannya yang, sebut saja ajaib. Jangan bayangkan Balenciaga, Uniqlo atau Erigo. Pakaian kebesaran Bang Dadan tiap harinya adalah topi haji warna putih, jeans bagy dan .. KAOS KUTANG! Ya, atasannya selalu saja kaos singlet warna putih. Singletnya pun bukan yang untuk fitnes atau olahraga, ini benar-benar jenis kaos kutang yang biasanya dipakai untuk dalaman lelaki saat memakai kemeja. Sepanjang ingatanku, sejak aku lahir dan bisa menilai penampilan, Bang Dadan selalu saja berpakaian seperti itu.
Misteri itu terus mampir di kepalaku hingga akhirnya aku kuliah di Bogor. Masa kuliah membuat referensi musikku meluas. Maka Iwan Fals menyebar ke Bob Dylan, selain Slank aku mulai suka Rolling Stones dan di pencarian musik baru inilah aku menemui jawaban outfit Bang Dadan selama ini .. Freddie Mercury! Vokalis Queen ini menggunakan kostum sama persis seperti Bang Dadan. Bedanya hanya Bang Freddie tidak memakai peci putih di kepala. Itu menambah kekerenan Bang Dadan, dia meniru Freddie Mercury tapi masih menunjukkan lokalitas religius di kepalanya. Segera saja saat libur kuliah aku mengusut hal ini, penasaran apakah tebakanku benar.
“Waaah, akhirnya ada juga warga sini yang tahu Predi Merkuri. “
Yaah seperti Betawi kebanyakan, lidah Bang Dadan tidak terbiasa dengan kata dan nama asing. Segera saja aku diajak ke rumahnya, Emaknya kebingungan waktu melihat aku yang anak sekolahan bergaul dengan anaknya yang pengangguran.
“Eh, tumben ke sini loe, Doel. Kagak kuliah?”
“Lagi libur, Mak.”
Maka diajaklah aku ke kamar Bang Dadan yang menakjubkan, tempelan poster dindingnya adalah mahakarya pencampuran kebudayaan. Di dinding kamar yang merapat ke kasur ada poster besar Raja Dangdut Bang Haji Rhoma Irama, poster Rhoma bertelanjang dada dari film Ksatria Bergitar. Di balik pintu kamar, poster kyai sejuta umat Kyai Haji Zainuddin MZ. Lalu seperti membagi sebuah rahasia, Bang Dadan menengok dulu ke arah pintu kamarnya sebelum membuka pintu lemari pakaiannya, di baliknya tertempel gahar poster Freddie Mercury dengan kostum persis yang dipakai Bang Dadan. Di laci lemari adalah harta karun tak terhingga, berbagai kaset Queen ada di situ. (Tahun 90-an belum zamannya CD apalagi streaming). Sejak saat itulah, aku punya panggilan khusus buat dia, Dadan Mercury. Ia sangat senang dengan hal itu. Merasa diakui anak kuliahan.
Sebagai catatan, Bang Dadan sendiri tahu musik ini dari teman SMP-nya yang anak anggota DPR. Maka jadilah selera musik Bang Dadan minoritas di RT 11. Bahkan kematian Freddie Mercury yang memunculkan fakta kalau idolanya adalah penyuka sesama jenis makin membuat dia semakin hati-hati menjaga rahasia kesukaannya pada Freddie Mercury. Takut divonis yang bukan-bukan. Maka Bang Dadan mendengarkannya hanya di sekolah saat jam istirahat atau di rumah temannya. Benda mewah yang dibelinya sendiri dari uang jajannya adalah walkman, benda keramat yang bahkan Emaknya sendiri pun tak boleh menyentuhnya.
Soal konsistensi belajarlah dari Bang Dadan, bahkan hingga tahun 2022 outfit-nya belum berubah, selera musiknya tetap istikomah.
“Musik anak sekarang payah, Doel. Musik apaan kalo dibikinnya cuma lewat komputer doang. “
***
Trio ODGJ (Siti, Udin dan Pepen). Entah ini teori yang valid atau tidak? Menurutku hampir semua wilayah punya ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)-nya sendiri-sendiri. Kisah dan tingkah mereka yang di luar normal membuat mereka dengan gampang masuk ke jajaran selebritas, demikian halnya dengan RT 11. Tiga orang gila untuk satu wilayah Rukun Tetangga tentu saja jumlah yang terlalu banyak. Entah apa sebabnya, kita akan cari tahu satu per satu.
Siti. Tak ada yang tahu nama lengkapnya. Siti adalah gadis berkulit putih yang menarik jika saja tidak sebentar-sebentar meneteskan liur dari sudut bibirnya. Siti mengucapkan kalimat datar yang sama pada siapa saja yang disapanya.
“Lagi ngapain?” lalu disusul tangan menengadah. Siti akan menerima apa saja. Kebanyakan akan memberinya recehan atau makanan. Tapi anak yang iseng akan memberinya macam-macam. Kerikil, gulungan kertas hingga kecoa mati. Siti tak akan membeda-bedakannya, kecuali uang semua serta merta dimasukkannya ke mulut. Tentu saja kami para orang dewasa akan mencegah itu terjadi. Siti tak akan makan uang yang diberikan orang, ia seperti tahu nilai uang. Siti akan menukarkannya pada Mpok Minah untuk sebungkus nasi uduk atau pun ke warung Ucok untuk cemilan dan minuman.
Dari Mpok Minah, istriku mendengar kisi-kisi gosip yang agak masuk akal.
“Si Siti tuh dari mulai tumbuh tetek-nya udah dikasih minum pil KB sama keluarganya. Ya, maklumlah laki-laki di sini. Lihat kambing aja nafsu apalagi lihat perempuan putih kayak Siti.”
Sepintas kata-kata Mpok Minah seperti bercanda, tapi ironisnya itu terasa seperti pencegahan yang masuk akal.
Sebagai hal paling kecil yang bisa aku lakukan, kupesankan untuk anak istriku, saat keluar rumah menyiapkan beberapa lembar lima ribu atau dua ribuan. Untuk memberikannya pada Siti dan Udin.
Udin. Diambil dari nama pahlawan, Hasanuddin. Umurnya sebaya dengan adikku nomor dua. Seingatku waktu kecil Udin tidak ‘sesakit’ sekarang. Hanya lambat bicara dan agak tertinggal di sekolah. Sayangnya di dekat tempat kami tak ada Sekolah Luar Biasa (SLB). Akhirnya jadilah Udin putus sekolah, makin berjarak dengan teman sebaya dan orang sekitarnya. Udin akhirnya lancar bicara, tapi sayang hanya kata-kata makian saja yang dia lontarkan pada tiap orang baru yang sial bertemu dia di jalan. Untuk orang kampung Agan Bawah yang dikenalnya, Udin akan senyum mengangguk. Jika diberi recehan dia akan mengucapkan terima kasih dengan susah payah, karena lidahnya lebih terbiasa mengucap sumpah serapah. Mungkin ia seperti beo, hanya meniru apa yang ia sering dengar. Entahlah.
Pepen. Di antara ODGJ yang lain Efendi alias Pepen yang kelihatan paling ‘normal’. Memang jika dibandingkan Siti dan Udin, keadaan ekonomi keluarga Pepen paling mapan, bahkan jika dibandingkan warga Kampung Agan kebanyakan. Maka tampilan Pepen pun rapi dan terawat jika keluarganya sudah memandikan. Pepen tampil keren. Tak akan diusir Satpam jika masuk mall. Keabsurdannya baru akan tampak jika diajak bicara.
“Apa kabar, Pen?”
“Ke KUA nih, Bang.”
“Udah makan belum?”
“Ya namanya juga mau malam pertama Bang. Haruslah.”
Ya, lagi-lagi aku tahu penyebabnya dari istriku yang tahu dari Mpok Minah, Lambe Turah-nya Kampung Agan, “Pepen tuh normal banget kok, dia berubah waktu orangtuanya kagak nyetujuin dia nikah. Keluarganya udah punya calon sendiri. Akhirnya si Pepen malah mogok ngomong, mogok mikir, jadi gini deh.” Mpok Minah dengan dingin menyilangkan jarinya di kening.
***
Bang Bali. Nama aslinya Muhammad Ramli, beliau adalah Pak RT ‘seumur hidup’ di RT 11. Dia dipanggil Bang Bali, konon karena dia adalah orang kampung Agan pertama yang pergi ke Bali. Maka nama Ramli pun lenyap berganti jadi Bang Bali. Untuk ukuran anak Betawi asli, maka Bang Bali terhitung sukses, bahkan sekelas RT pun jika bisa memainkan kartu dengan benar maka hidupnya terjamin. Bang Bali selalu mencegahku untuk ikut Siskamling atau kerja bakti.
“Udah, Bang Doel di rumah aja, istirahat. Kita tahu kok, situ kan kerja kantoran. Asal ada duit kopi buat yang siskamling, amanlah.”
Mau urusan di RT 11 aman dan nyaman? Jagalah hubungan dekat dengan Bang Bali. Soal penutupan jalan contohnya. Di kampung Agan Bawah persentase jalan ditutup hampir sama besar di kejadian-kejadian ini : Kawinan, Sunatan, Kematian, Pengajian, Tujuhbelasan, Pasar Malam. Masih mending jika ada pemberitahuan terlebih dahulu, kadang saat bangun pagi sudah ribut dengan suara petasan tanda orang Betawi kawinan dan akses jalan sudah tertutup. Jangankan mobil, motor pun tak kuasa menembusnya. Satu-satunya cara adalah berjalan kaki sambil merunduk menghindari tatapan warga yang menikmati hajatan seolah hajatku hari itu tak ada pentingnya sama sekali. Maka bersahabat dengan Bang Bali adalah solusi, beliau sering memberi bocoran jadwal penutupan jalan.
“Bang Doel, jumat besok ada pasar malem ya. Kalo mobil mau dipake parkir di kecamatan aja.”
“Bang, Mpok Minah mau ngawinin, gelar tikernya ntar sampe depan pagar Abang, ya.”
“Bang, minta pengertiannya ye. Bang Kodir mau nyunatin anaknya yang bontot.”
Dan semua kata-kata itu bukan minta persetujuan, karena setuju tidak setuju acara harus terus jalan. Maka atas nama tetangga yang nggak mau dicap ribet aku pun cuma senyum dan mengangguk memaklumi. Istri hanya bisa menghela napas.
***
Itulah para selebritas RT sebelas. Semua punya peran dan keunikannya masing-masing. tapi di antara segala perbedaan itu kami semua disatukan dari rasa senasib sebagai warga. Betapa tidak, wilayah yang paling rendah membuat warga RT 11 paling sering terkena banjir. Kami terbiasa menyikat perabotan yang penuh lumpur di pinggir jalan sambil saling bertukar candaan dan celaan.
Soal kekompakan pun RT 11 terkenal, dalam 17-an kami tak pernah juara tapi teriakan pendukung kami adalah yang paling keras. Contoh kecil saja, sehabis lomba 17-an antar RT, jangan harap Mpok Minah mau melayani pembeli dari RT lain yang mengalahkan kami.
Bukti paling pas untuk melukiskan kekompakan RT 11 terjadi belum lama ini di suatu Minggu pagi. Saat itu para selebritas ada semua di teras rumah masing-masing. Pagi yang cerah itu dikejutkan teriakan Bang Kirim menunjuk arah belakang rumah Pok Minah yang dipenuhi gumpalan asap.
“Kebakaran, ya?”
Serentak Bang Dadan berhenti mengunyah singkong rebusnya. Bang Bali tersedak saat menyeruput kopi, lalu menjerit sambil menunjuk warung Mpok Minah, “KEBAKARAAAAAN!!”
Segera saja aku keluar rumah tergopoh membantu Bang Kirim yang entah dari mana sudah membawa begitu banyak ember plastik, aku segera mengisinya dengan air dari kran di teras rumah. Trio ODGJ tak ketinggalan, mereka seperti kompak mengambil ember yang sudah terisi dengan gayanya masing-masing. Siti menyiramkan ke nasi uduk dan lauk pauk. Udin memaki-maki sambil menyiram Siti. Sementara Pepen membantu sambil berteriak. “Ini acara siraman, ya? Acara siraman, ya?”
Bang Dadan dan aku baru mau memburu ke belakang rumah saat Bang Bali menunjuk kabel listrik yang dipenuhi kepulan asap.
“LISTRIK!”
Segera saja Bang Dadan balik arah, dia dengan ditopang Bang Kirim memanjat tiang lisrik sambil memegang gunting taman. Dia hendak menggunting kabel?!! Aku sempat berpikir apakah harus meneriakkan pendapat kalau hal itu sama sekali tidak aman ketika dari pintu rumahnya Mpok Minah keluar dengan baju basah disiram trio ODGJ.
“GUE LAGI BAKAR SATE DI BELAKAANG!!”
***
Di tempat lain kejadian ini mungkin akan menyebabkan keributan antar tetangga, tapi di RT 11 malah jadi makan gratisan sate kambing dan nasi uduk setengah basah. Istriku pun ikut makan sambil menyaksikan keikhlasan Mpok Minah, sang Lambe Turah, dengan mata basah. Karena tertawa atau terharu, entahlah?
***