Masukan nama pengguna
Kiyu Kiyu Advertising, sungguh nama yang tidak representatif untuk sebuah agency periklanan ibu kota. Lebih seperti teriakan bapak-bapak yang sedang nongkrong main kartu atau bahkan seperti nama sebuah website judi. Tapi pendiri Kiyu Kiyu, Bos Ari Wardoyo, punya alasannya sendiri.
“Lo orang tahu nggak, angka sembilan itu dalam bahasa Mandarin pengucapannya qiu, sama dengan pengucapan panjang umur. Nah ini kiyu-nya dobel. Kiyu kiyu, jadi panjang umurnya dobel.”
Ya, gaya bicara Bos Ari memang seperti pedagang di Glodok, maklum beliau adalah keturunan Tionghoa Surabaya. Bos Ari menyapa lawan bicara sebagai lo orang, menyebut dirinya sebagai gue orang. Seolah menegaskan kalau kami sama-sama bicara dengan bahasa orang. Menurut beliau itu untuk menyadarkan kalau kita saling berkomunikasi menggunakan nalar manusia jangan terjebak nafsu dan emosi, saling memaki bahasa hewan. Entah itu filosofi dari mana tapi buatku cukup mengena maknanya.
Aku sendiri masuk ke Kiyu Kiyu sebagai pimpinan kreatif setelah enam tahun menimba pengalaman pada sebuah agency iklan multinasional di kawasan Blok M.
“Suryadilaga, lo orang boleh jadi dari agency internasional, tapi di sini Indonesia. Agency lokal yang lebih ngerti konsumen lokal.”
Saat itu aku mengangguk-angguk saja, mengiyakan tanpa minat mendebat, karena beliau juga tak mendebat pengajuan gajiku yang naik dua kali lipat dari tempat kerjaku sebelumnya. Agak aneh juga Bos Ari memanggilku dengan nama lengkap, belakangan aku tahu beliau biasa memanggil nama panjang karyawannya saat beliau menyampaikan sesuatu yang dikhususkan untuk lawan bicara. Di dalam forum rapat Bos Ari kembali memanggil para anak buahnya dengan panggilan pendek saja.
***
Kepercayaan Bos Ari dengan angka sembilan melekat sekali. Kantor Kiyu Kiyu ada di Jalan nomor 9. Semua mobil kantor Kiyu Kiyu selalu ada unsur angka sembilan atau setidaknya berjumlah sembilan. Anak tangga di kantor ada sembilan. Bos Ari hanya mau menghadiri meeting jam 9 pagi atau jam 9 malam. Sungguh kepercayaan yang kadang merepotkan. Meeting yang melibatkan Bos Ari sedemikian rupa diatur hanya di dua waktu tersebut. Alhasil kalau ada rapat dengan Bos Ari (yang untungnya tidak terlalu sering), aku terpaksa bersiap terlalu pagi atau pulang terlambat.
Untuk pengusaha yang bergerak di dunia kreatif, Bos Ari termasuk lumayan konservatif. Penilaian tahunan para karyawan didasarkan nilai-nilai normatif tak ubahnya seperti masih anak sekolahan: Kerajinan, Ketertiban dan Absensi. Untuk perusahaan di bidang lain mungkin poin penilaian ini masuk akal, tapi di bidang yang mengharapkan hasil kerja yang kreatif meributkan absensi hanya menjadi kontraprodukif. Di saat agency lain menerapkan jam masuk kantor yang fleksibel, Kiyu Kiyu tampil kaku dengan jam masuk 08:30. Di masa itu Kiyu Kiyu masih menerapkan potong gaji 25 ribu rupiah jika terlambat masuk. Maka antrian di depan mesin absen setiap mendekati jam masuk adalah pemandangan yang rutin terjadi.
***
Tiga bulan masuk Kiyu Kiyu adalah masa adaptasi yang cukup lumayan. Di luar hal-hal di atas sebenarnya bekerja di Kiyu Kiyu lebih sehat, baik fisik mau pun mental. Jika di tempat kerja sebelumnya lembur adalah keseharian, maka di Kiyu Kiyu menjelang waktu Magrib kantor sudah kosong. Kecuali ada rapat jam sembilan malam dengan Bos Ari, semua karyawan pulang dengan riang saat jam 17:30 datang. Jam masuk dan jam pulang kantor diperlakukan sama tepatnya oleh para karyawan.
“Sur, kita kan tadi udah masuk telat, masak iya pulangnya harus telat juga.” Demikian seloroh dari Pak Bas, salah satu visualizer senior, tukang gambar nomor satunya Kiyu Kiyu.
Waktu di agency multinasional, setiap brainstorming ide untuk iklan dipenuhi saling adu argumen dengan serius bahkan tak jarang diikuti emosi yang meninggi, maka di Kiyu Kiyu cenderung santai dan puas dengan ide pertama yang ditemukan.
Pertemanan juga sangat dekat karena bisa dipastikan semua karyawan akan saling bertemu di meja prasmanan saat makan siang. Ya, Kiyu Kiyu Advertising adalah satu dari sedikit perusahaan periklanan yang menyediakan makan siang gratis di lantai dasar. Jam makan siang adalah saatnya melihat seluruh karyawan Kiyu Kiyu dari berbagai departemen. Bahkan di saat-saat tertentu kadang Bos Ari sendiri ikut datang ke dapur prasmanan tersebut, terutama saat lauk pauknya adalah kegemaran beliau: Lele goreng, lalap dan urap.
“Hehe gue orang ini memang sugih, tapi perutnya ya perut kampung, Sur.” Itu yang beliau bilang saat aku memuji selera makannya yang membumi.
Satu lagi keunikan bekerja di Kiyu Kiyu, di kantor lama aku hanya bisa berinteraksi dengan teman yang satu level saja. Executive Creative Director, General manager apalagi Owner tak bakal duduk satu meja tanpa ada alasan pekerjaan yang jelas. Sementara di sini, Founder sekaligus Owner dengan sangat gampang membaurkan diri dengan para karyawan. Bos Ari bisa dibilang hafal nama semua karyawannya yang waktu itu ada di kisaran 100 orang. Top management hingga office boy dia kenal betul.
Konsekuensi dari kedekatan ini, kadang-kadang beliau ingin ambil bagian dari sebuah pekerjaan membuat iklan. Gaya Bos Ari kami sebut sebagai Ari’s style alias gaya jualan alias dodolan.
Maka setelah tiga bulan aku dan tim belum juga tembus pitching (tender) membuat iklan dari para klien, aku abaikan sebagian teori iklan yang kudapat dari kantor sebelumnya. Di Kiyu Kiyu ada sebuah formula saat bertanding pitching melawan agency lain. Kiyu Kiyu terbiasa membuat tiga alternatif pendekatan saat presentasi sebuah ide iklan ke klien.
1. Gaya Klien, kami mengerjakan semua sesuai brief (arahan) yang diberikan dengan sentuhan gaya kreatif yang sesuai porsinya.
2. Gaya Kreatif, kami mengerjakan dengan pendekatan out of the box, challenge the brief, melihat dari angle yang tak biasa.
3. Gaya Bos Ari. Dar Der Dor! Langsung jualan sejak detik pertama. Semua jurus dikeluarkan: dari mulai pakai artis terkenal hingga membuat jingle (lagu iklan) yang catchy.
Percaya atau tidak, setelah aku berdamai denga gaya Kiyu Kiyu beberapa pitching mulai dimenangkan. Kadang gaya kreatif yang menang, kadang gaya klien, tapi jauh lebih sering Gaya Bos Ari-lah yang memenangkan hati klien.
“Klien ngiklan itu bukan buat menang Citra Pariwara, Sur. Lo orang, anak- anak kreatif yang pingin menang. Klien sih pinginnya ya jualanlah.”
Aku dan tim senyum-senyum sumringah, karena setiap kami menang pitching iklan akan diberikan ‘angpao’, demikian istilah beliau. Bahkan untuk pitching dengan nilai yang besar angpaonya bisa dobel bahkan triple!
“Ini angpao nih dari Bos Ari. Duit laki. Gak masuk slip gaji. Hehehe.” (Kalau suasana hati sedang baik, kadang diksi 'gue orang' berganti dengan menyebut nama sendiri)
Bos Ari selalu mengistilahkan bonus menang pitching ini sebagai duit laki, meski yang karyawan perempuan pun tetap mendapatkan. Ini berangkat dari beliau yang sering dibilang ‘takut’ istri, karena lalulintas keuangan Kiyu Kiyu Advertising diawasi ketat oleh istri beliau.
“Gue orang bukan takut, itu sayang istri namanya. Lo orang juga mesti nurut sama istri biar sugih (kaya), nggak kere kayak gini. Hahahaha.”
Kami para penerima angpao hanya nyengir sambil mengantungi angpao. Aku mulai terbiasa dengan gaya bahasa beliau yang blak-blakan bercanda kaya-miskin tanpa maksud menghina. Kami semua mensyukuri datangnya uang tambahan di tengah bulan.
***
Makan siang setiap karyawan pasti dapat. Angpao, alhamdulillah mulai sering mampir ke timku. Ada satu hal yang khas Kantor Kiyu Kiyu yang belum aku dapatkan sama sekali. DUIT KUIS!
Ya, ini memang bukan Famili 100, tapi keadaan di Kiyu Kiyu sudah seperti acara kuis tersebut saat Bos Ari sedang senang hati. Sepertinya beliau adalah jenis orang kelebihan uang yang selalu ingin membaginya dengan para karyawan. Caranya? Kuis tentang apa pun, biasanya soalnya seputar perusahaan kesayangannya, Kiyu Kiyu Advertising. Hadiahnya adalah selembar uang tunai untuk setiap jawaban yang benar. Jumlahnya ada tiga jenis: paling rendah 50 ribu rupiah, paling biasa 100 ribu rupiah, dalam keadaan istimewa akan keluar uang bergambar wajah Benjamin Franklin: pecahan 100 DOLAR!
Maka mulai saat itu aku menganalisa dan menyusun strategi khusus untuk mendapatkan lembaran 100 dolar dari Bos Ari.
***
5W 1H. Aku menghadapi misi ini dengan serius, menerapkan teori yang dibuat oleh Rudyard Kipling, penulis berkebangsaan Inggris. Sederhananya 5W 1H adalah metode yang diakukan guna mendapatkan informasi secara lebih kaya dan mendalam. Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara kritis : What? Who? Why? When? Where? dan ditutup dengan How? Akan kurinci satu per satu caraku ini sebagai sebuah afirmasi positif.
What? Apa yang terjadi? Yang terjadi jelas pembagian 100 dolar. Bersih tanpa potongan pajak.
Who? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Yang memberikan adalah Bos Ari, pemilik sekaligus pendiri Kiyu Kiyu Advertising. Calon penerimanya adalah para karyawan yang beruntung ada di sekitar beliau saat kuis dadakan diadakan.
Why? Mengapa hal itu bisa terjadi? Entahlah. Jawaban negatif, ini adalah saat-saat narsis Bos Ari untuk bisa dipandang sebagai Bos yang baik, terutama oleh karyawan perempuan yang rupawan. Jawaban positif, ini semata-mata kebaikan hati seorang Ari Wardoyo. Jawaban iseng, ini adalah keisengan orang kaya melihat orang miskin berebut duit.
When? Kapan peristiwa itu terjadi? Random, acak! Tak ada yang tahu persis kapan kuis itu datang. Waktunya berkali-kali dalam setahun, tapi pembagian 100 dolar datang lebih jarang. Yang pasti biasanya saat tampang Bos Ari berseri-seri. Saat menang pitching besar kemungkinan kuis 100 dolar semakin besar juga. Satu-satunya waktu yang pasti adalah saat acara ulang tahun Kiyu Kiyu Advertising, tapi di situ saingannya manusia satu perusahaan, ratusan orang. Maka aku harus mencari waktu dengan peserta yang jauh lebih sedikit.
Where? Di mana peristiwa itu terjadi? Di mana saja asal ada Bos Ari di dalamnya. Meja makan siang kantor. Rapat internal. Di lokasi shooting iklan. Sekali lagi, satu-satunya tempat yang pasti adalah di panggung acara ulang tahun Kiyu Kiyu Advertising, tapi itu tidak masuk hitungan karena terlalu banyak saingan.
How? Bagaimana peristiwa itu terjadi. Di luar acara ulang tahun perusahaan beginilah biasanya kuis 100 dolar terjadi. Pertandanya sama dengan yang ada di ‘When’. Biasanya saat suasana hati beliau sedang happy, Bos Ari akan menatap karyawannya dengan berseri-seri sambil bilang, “100 dolar kalau lo orang bisa nebak.”
Jika semua hal di atas sudah ada tapi kuis tidak terjadi, maka dibutuhkan stimulasi. Suruh teman sesama karyawan untuk bertanya, syaratnya harus karyawan perempuan yang berpenampilan menarik. Biarkan mereka bertanya tanpa dosa, “Gak ada kuis nih, Bos?”
***
Menjawab pertanyaan-pertanyaan kuis Bos Ari ini sebenarnya susah-susah gampang. Sebagian besar kunci jawaban ada semua dalam buku beliau. Ya, Bos Ari sudah membuat buku sendiri yang membahas kiprahnya di Kiyu Kiyu Advertising dengan bantuan seorang ghostwriter (penulis yang membantu menuliskan buah pikiran seseorang agar lebih bagus dan terstruktur). Buku tersebut tak ubahnya buku autobiografi, karena harus diakui Kiyu Kiyu adalah Bos Ari dan Bos Ari adalah Kiyu Kiyu; satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Buku tersebut diberikan gratis untuk seluruh karyawan, klien, calon klien dan kolega yang berkaitan dengan pekerjaan Kiyu Kiyu. Maka aku makin serius menghapalkan jawaban pertanyaan dan jawaban template dari buku tersebut, jaga-jaga saat kuis dadakan itu datang.
Kesempatan pertama datang saat aku dan tim sedang supervisi proses shooting, saat jam makan siang beliau hadir untuk setor muka ke klien sambli menawarkan program baru dari tim media Kiyu Kiyu. Menjelang malam, shooting sedang break menunggu penataan lighting yang tidak sebentar. Rupanya hari itu beliau sedang senang, mungkin tawaran medianya diambil klien. Ia berbinar memandangiku dan tim yang duduk santai di dalam tenda ruang tunggu. Sebagian ada yang memejamkan mata, mencuri istirahat sejenak setelah datang dari sejak pagi buta untuk shooting-an ini.
“Lo orang daripada ngantuk-ngantuk gak ada duitnya gitu, mending gue orang kasih kuis aja!”
Seketika suasana semarak. Ngantuk hilang. Apalagi aku, ini kali pertama situasi kuis dengan peserta hanya lima orang saja, kemungkinan menangnya besar sekali.
“Di mana alamat kantor pertama Kiyu Kiyu Advertising? 100 ribu!”
Ahh, semangatku mencelos. Segera saja kesempatan itu diambil dengan sigap oleh Idang, copywriter-ku (bertanggung jawab menulis naskah dalam sebuah iklan).
“Jalan Buntut Kuning, samping Puskesmas Trio.”
“100 RIBU!” Beliau segera meloloskan uang bergambar proklamator yang diterima dengan girang oleh Idang.
“Kamsiaa, Booss!”
“Siapa klien pertama Kiyu Kiyu, dan apa jenis pekerjaannya? 200 RIBU!”
Idang tunjuk tangan dengan semangat.
Bos Ari melengos, beliau menatap Ratri, Art Director-ku (bertanggung jawab dalam tampilan visual sebuah iklan) yang bertampang manis.
“Yang lain dong. Ratri mau coba jawab?”
Ratri yang baru bergabung enam bulan lalu tergagap, ia belum banyak tahu soal Kiyu Kiyu. Matanya menatapku minta pertolongan. Posisiku yang membelakangi Bos Ari memungkinkan memberi isyarat hisapan rokok dan jepretan foto. Mata Ratri berseri melihat isyarat tersebut.
“Rokok Pentul! Pekerjaannya Foto!”
Bos Ari senang yang menjawab adalah karyawan cantik yang diharapkan, segera saja hadiah berubah drastis.
“100 DOLAR dari Bos Ari! Hebat lo orang, anak baru tapi langsung tahu banyak soal Kiyu Kiyu.”
Ratri cium tangan Bos Ari bolak-balik, setengah tak percaya ia memegang lembaran uang yang seperempat gajinya.
Aku ternganga tak percaya, kesempatan mendapatkan 100 dolar menguap begitu saja karena aksi sok baik. Meski jauh di dasar hati aku menyadari, kalau yang menjawab pertanyaan itu aku atau Idang maka hadiah kuis akan tetap 200 ribu. Tapi tetap saja hatiku sakit melihat karyawan yang baru kerja enam bulan sudah mendapatkan 100 dolar dalam genggaman.
***
Kesempatan kedua datang agak lama. Kuis-kuis dadakan yang diberikan Bos Ari kebanyakan hanya 100 ribuan bahkan 50 ribuan. Alhamdulillah beberapa kali aku mendapatkannya. Untuk urusan kuis rupiah Bos Ari tidak terlalu lihat-lihat jenis kelamin dan paras wajah. Kuis berhadiah rupiah memang jadi ajang kesempatan para karyawan lelaki atau pun karyawan perempuan berpenampilan biasa.
Setelah beberapa bulan tak ada kuis yang ditunggu, saat itu akhirnya datang juga. Kali ini saingan lebih banyak, karena selain divisi kreatif dari timku, rapat ini juga dihadiri departemen Account Executive (AE) atau di beberapa periklanan lain biasa juga disebut sebagai Client Service (CS). Jika di kantor lain profesi ini bebas gender, maka di Kiyu Kiyu selalu dan harus selalu PEREMPUAN. AE Berpenampilan menarik adalah sebuah bonus yang nyata jika bekerja di Kiyu Kiyu, hampir pasti disayang Bos Ari. Meski sepanjang aku bekerja bersama beliau, tak ada tingkah laku beliau yang melecehkan para karyawan perempuan. Malah aku melihatnya sebagai simbiosis mutualisme, Bos Ari suka melihat karyawan cantik, karyawan suka dengan bonus dadakan yang diberikan. Bahkan di saat kuis 100 dolar, merekalah kandidat terkuat untuk pemenangnya. Tapi di lain sisi, jika tak ada kehadiran mereka, kecil kemungkinannya Bos Ari mengadakan kuis 100 Dolar. Buah simalakama memang untuk para karyawan lelaki pemburu dolar sepertiku, karena tanpa mereka tipis kemungkinan kuis 100 dolar diadakan.
“Kiyu Kiyu punya lima kredo, sebutkan satu per satu. 100 DOLAR!”
Bos Ari sumringah menatap para AE kesayangannya, aku tahu dia amat berharap merekalah yang mampu menjawab pertanyaannya. Aku harus lebih cepat.
“Saya, Pak.”
SIAL! Idang jauh lebih cepat, dia sudah tunjuk tangan. Bos Ari mengalihkan pandangannya dari para AE dengan enggan.
“Oke, loe orang emang tahu jawabannya?”
Idang memang seperti duri dalam daging, sainganku dalam tim, meski anak buah dia juga butuh uang gampang. Sepertiku juga, dia tekun menghapalkan isi buku Bos Ari atas nama persiapan jawaban.
“Melayani Klien. Never Say No to Client. Client is King. Klien Jualan, Kita Aman. Mengenal Klien,” Idang menjawab dengan yakin.
ANJRIT! Betul semua lagi jawaban Idang, melayang deh 100 dolarku diambil anak buah sendiri. Oh ya, jangan heran kredo Kiyu Kiyu memang bahasanya campur-campur begitu.
“Betul, tapi kurang tepat,” Bos Ari memvonis dengan kejam.
Senyum Idang hilang. Aku mulai menebak ke arah mana Bos Ari mau berkelit supaya tidak memberi 100 dolar pada copywriter gembul ini.
“Jawaban lo orang betul, tapi urutannya kurang tepat. 100 ribu aja kalo gitu.”
Sungguh penurunan yang luar biasa. Meski wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa kecewa, Idang tetap meraih lembaran merah dari Bos Ari dengan penuh rasa syukur.
“Fiona, coba urutannya yang benar. Bos Ari kasih 100 dolar, nih.”
SIAL! Demi mencegah sabotase, Bos Ari langsung tunjuk nama. Fiona, AE baru lulusan luar negeri yang memang bertampang bak artis Korea.
Fiona tampak kaget, tak menyangka ia ditunjuk. Bahkan kurasa dia tak butuh-butuh amat 100 dolar. Sebagai junior AE aku tahu betul berapa kisaran gajinya, tapi tetap saja dia rutin makan Sushi Tei kalau lauk kantor tak sesuai seleranya.
“Ehh. Mela ..”
“Kalo belum tahu kliennya harus?” Bos Ari memotong, tak rela AE cantik ini salah.
“Mengenal Klien?” Fiona bertanya pelan.
Ya, memang cantik sih. Bahkan wajah kebingungan dengan pipi memerah karena jadi perhatian malah menambah keimutannya. Tak heran, Bos Ari pilih kasih.
“Ya, betul! Baru habis itu yang tadi lo orang mau sebut di awal, tuh.”
“Melayani klien?”
Kami di ruangan semua tersenyum maklum, fixed sudah. Bos Ari akan melakukan berbagai macam cara agar 100 dolar itu jatuh ke tangan Junior AE tersebut. Terlalu sakit untuk diceritakan hingga akhirnya Fiona mendapatkan 100 dolarnya. Meski di akhir jawaban masih salah urutan, tetap saja dimenangkan.
“Ya, Fiona dapat 100 dolar! Soalnya masih anak baru, wajar kalau belum hapal betul.”
Ya, di Kiyu Kiyu Advertising hanya ada dua peraturan: Pertama, Bos Ari tak pernah salah. Kedua, karyawan cantik selalu benar.
***
Selepas itu kuis 100 dolar rutin keluar di ulang tahun Kiyu Kiyu dan tentu saja saingan dengan beberapa orang saja aku gagal apalagi dengan lebih dari 100 orang.
Kesempatan datang lagi saat saat aku dan tim menang pitching iklan untuk bulan puasa. Proyek yang lumayan besar, si Bos pun senyumnya lebar sambil memberi angpao dobel kepada aku dan tim. Beliau mengedarkan pandangan kepada seluruh anggota tim dan mengeluarkan kata saktinya. “Bos Ari mau bagi-bagi 100 dolar, kalau ada yang bisa jawab pertanyaan soal Kiyu Kiyu Advertising.”
Segera saja aku pasang telinga, ini kesempatan emas yang tak boleh dilepas. Di sisiku Idang juga siap menyalip jawaban di tikungan. Lawan berat adalah Ratri, Art Director-ku dan Bunga, AE untuk proyek ini. Aku berdoa semoga ini soal rebutan bukan penunjukan.
“Apa yang menyebabkan di krisis moneter 1998, Kiyu Kiyu malah mendapat profit yang besar?”
“Saya, Pak!” dengan sigap aku tunjuk tangan mengalahkan yang lain.
“Ya, Sur. Coba jawab.”
Akhirnya saat itu datang juga. Baru saja aku mengambil napas dalam agar bisa tenang dalam menjawab, tiba-tiba pintu ruangan terbuka memunculkan wajah Fiona.
“Bos Ariii, jadi nggak? Katanya mau makan siang sama klien Fiona. Kliennya udah otw loh, Bos. Nggak enak kalo kliennya nyampe duluan ke resto.”
JANGKRIK! Ngapain sih makhluk cantik ini mengganggu konsentrasi Bos Ari.
“Oh ya, gue orang lupa. Ya, Bos Ari turun sekarang.”
Melihat Bos Ari mengambil dompet dan iphone-nya siap-siap mau meninggalkan ruangan aku panik.
“Lho, Bos. Saya tahu jawabannya, loh.”
Bos Ari tersenyum sambil meraih lembaran 100 dolar dari dompetnya.
“Gue orang percaya, Sur. Angpaonya lo orang simpan aja. Nih, buat makan bareng tim kamu. Kalo kurang reimburse kantor aja.”
Sial. 100 dolar yang mestinya hakku seorang malah jadi ajang makan bareng tim. Sepertinya aku memang tak berjodoh dengan kuis 100 dolar ini, deh.
***
Tahun demi tahun berlalu. Kuis datang dan pergi. Pencapaian terbaikku tetap saja hanya 100 ribu, 100 dolar agaknya hanya jadi angan-angan kecuali aku jadi perempuan itu pun harus rupawan.
Pekerjaan membuat kuis terlupakan. Bos Ari mulai berubah keceriaannya. Ia yang biasanya selalu datang dengan kalimat motivasi atau pun kuis dadakan kini lebih pendiam. Belakangan sebabnya menjadi jelas, saat rapat gabungan para leader diumumkan kalau Kiyu Kiyu akan diakuisisi oleh perusahaan advertising asing.
“Gue orang tinggal jalan-jalan, gila aja laku gede banget. Gak abis tujuh turunan duitnya.”
Seceria apa pun penyampaian Bos Ari, tetap bisa kami lihat matanya yang berkaca-kaca, tetap kami dengar suaranya yang bergetar. Melepas Kiyu Kiyu ibarat melepas anak kandungnya kepada orangtua angkat, pasti berat.
***
Kuis makin jarang, makin terlupakan. Bos Ari kini hanya datang sebagai formalitas sebelum nanti sepenuhnya melepas operasional Kiyu Kiyu pada perusahaan asing.
Pandemi datang. Bencana global ini datang lebih personal padaku dalam bentuk pemutusan hubungan kerja. Ya, gelagatnya sudah kusadari sejak undangan pitching semakin jarang mampir ke timku. Yang memutuskan pun manajemen yang baru, tak ada Bos Ari di sana. Bertahun-tahun yang kuabdikan di Kiyu Kiyu diputus di tahun ke-9. Angka keberuntungan Kiyu Kiyu menjadi buntungnya nasibku.
***
Saat hari terakhir di kantor, HRD bilang Bos Ari mau bertemu denganku. Walau pun Covid membuat Kiyu Kiyu Work from Home (WFH) Bos Ari menyempatkan diri datang hari ini. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap, aku tak suka perpisahan. Apalagi Bos Ari punya reputasi sebagai pimpinan yang mudah sekali terharu dan menangis.
Kini aku ada di hadapan beliau. Terlihat kerut di sudut matanya makin banyak, senyumnya tampak dipaksakan.
“Gue orang nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Keputusan bukan di tangan Bos Ari. Terima kasih 9 tahun ini sudah mengabdi di Kiyu Kiyu. Masa kerja lo orang sama kayak angka kesukaan gue orang. Itu pertanda.”
Beliau diam. Tak tahu harus berkata apalagi. Matanya berkaca-kaca. Dia menyodorkan amplop bercap Kiyu Kiyu Advertising dengan namaku tercetak di atasnya.
“Suryadilaga. Ini ucapan terima kasih pribadi dari Bos Ari. Diterima ya.”
Mengabaikan protokol kesehatan, Bos Ari memelukku erat. Aku menutup mata rapat-rapat, mencegah air mata tumpah.
***
Di rumah aku tertawa sambil menangis, saat membuka amplop Bos Ari. Aku seperti diingatkan untuk berhati-hati dengan doa dan pengharapan. Di dalam amplop itu Bos Ari memberikan 9 lembar pecahan 100 DOLAR! 😊
***