Masukan nama pengguna
“Tidak perhatian sekali.”
“Hah?” Alex menoleh saat mendengarku bergumam.
Aku berjalan menaiki tangga mendahuluinya dengan kardus ditanganku. “Bukan apa-apa.”
Aku berhenti sesaat ketika melihat lemari kaca disudut tangga yang berisi koleksi peluru, pistol dan belati antik yang tertata dalam bingkai kaca lain didalamnya.
“Kau tahu? Aku bisa mengiramu sebagai pembunuh bayaran jika aku baru mengenalmu hari ini.” Aku menyipitkan mataku menatapnya dengan candaan kaku.
“Ah, ini...” Dia berhenti disebelahku. Menurunkan kardus yang ia bawa kemudian mengusap debu dikaca yang aku sendiri tak menyadarinya.
“Bagaimana jika benar?”
“Kau bercanda?” Aku tergelak. “Seorang lelaki yang tak berani menjemput pacarnya dari rumah sakit setelah menjadi korban penusukan tak mungkin menjadi pembunuh bayaran.”
“Aku tau aku lembek padanya.” Ia membalas dengan lirikan kesalnya.
“Jangan kesal, lagipula kalian akan tetap bersama selamanya.” Balasku, berjalan mengikutinya dari belakang. “Kau menyukai hal itu?”
Alex menaruh kardusnya kemudian bertumpu pada kedua tangannya. Menoleh kearah lemari kaca yang masih bisa kami lihat.
“Kau tahu, ada sebuah mitos yang turun menurun di keluargaku.” Ia berbalik dan melipat tangannya didepan dada. Tak menoleh kearahku yang menaruh kardusku diatas kardusnya.
Aku terus menatapnya. Menunggunya melanjutkan kalimatnya yang sepertinya sedang ia susun dengan hati-hati. Aku menghela, berjalan kearah sofa dan menjatuhkan tubuhku diatasnya. Merasakan bantalan sofa menelanku kedalamnya.
“Aku tipe orang yang tak percaya pada hal seperti itu sama seperti dirimu.”
Ia terdiam lagi. Kubetulkan posisiku dan menatap Alex yang menutup matanya dengan kepala tertunduk. Melihatnya yang terus diam membuat mataku kembali melirik kearah lemari kaca itu. Kemudian mengedikkan kepalaku heran.
“Tapi,” Kataku tak tahan dengan isi otakku yang lebih mendominasi.
“Aku percaya setelah mencobanya beberapa kali. Buntut dari rasa penasaranku.” Aku menghela nafas. Bangkit dan berjalan kearahnya tak tahan.
“Dulu ayahku selalu mengingatkan hal itu, tapi aku tidak percaya. Dia mengatakan bahwa keturunan keluarga ini hanya bisa bertemu dengan pasangannya dengan satu cara.”
“Aku turut berduka.” Ucapku dengan nada mengejek.
“Aku serius, Ibuku bahkan tak mati ketika Ayahku menodongkan pistol ke kepalanya.” Aku tersedak nafasku sendiri. Menelan ludahku dengan sukar ketika matanya berkilat seperti merasakan sensasi luar biasa.
“Kurasa itu bukan jenis mitos yang bagus.” Ucapku bergidik, mengusap tengkukku kikuk saat ia berjalan maju mendekatiku, sambil terus bercerita tentang percobaan ayahnya mencari pasangan hidupnya yang penuh dengan pertumpahan darah.
“Bagaimana dengan Andin?.” Tanyaku. Ia tersenyum dengan lebar. Membusungkan dadanya bangga. Aku kembali menghela. Memukul dadanya pelan.
“Candaanmu tidak lucu.” Aku merengut kesal. Ia menaruh tangannya dikedua pundakku dan memegangnya cukup kuat. Merendahkan tubuhnya dan menatapku dengan senyum yang masih sama.
“Seharusnya kau bersyukur kau selamat dan mempercayai mitos itu Kala.” Dia menyeringai. Menepuk pundakku pelan sambil menyeringai. Tiba-tiba pikiranku tadi menjadi kenyataan.