Masukan nama pengguna
Saat Tenggara lulus SD, Langit berkata, “Mama akan melihatmu lulus SMP.”
Tiga tahun kemudian, Langit berikrar, “Mama akan melihatmu lulus SMA.”
Tiga tahun berikutnya, janji Langit adalah, “Mama akan melihatmu wisuda dan bekerja.”
Empat tahun selanjutnya, Tenggara telah diterima bekerja di almamaternya dan besok akan diwisuda. Sayang, Langit tidak bisa menghadiri wisuda putra satu-satunya itu. Sebab, ia harus menyimpan tenaga untuk berangkat ke rumah sakit sehari setelah wisuda berlangsung. Hemodialysis akan sangat menyita kekuatan tubuh Langit yang tidak seberapa itu.
“Padahal Mama ingin melihatmu pakai toga,” rengek Langit.
“Sebelum berangkat aku akan berfoto pakai toga dengan Mama. Sama saja ‘kan?” bujuk Tenggara sambil memijat sepasang kaki kurus ibunya.
“Mama akan meminta Papa-mu menemanimu. Mama tidak ingin kau sendirian di sana.”
Tenggara mengangguk dan menjawab patuh, “terserah Mama saja. Aku akan baik-baik saja meskipun sendirian.”
“Oh iya, bagaimana dengan metode baru yang katanya lebih ringkas itu?” tanya Langit, mengabaikan kalimat terakhir dari anaknya. Ia tiba-tiba teringat kata-kata Tenggara mengenai terapi cuci darah yang konon lebih murah dan praktis daripada hemodialysis yang sudah Langit jalani selama sebelas tahun ini.
“Kita akan berkonsultasi dengan dokter saat jadwal cuci darah Mama berikutnya. Aku berharap Mama masih bisa dirawat dengan metode baru itu. Jadi Mama tidak perlu lagi bolak-balik ke rumah sakit tiga kali seminggu,” jawab Tenggara.
“Oh ya? Jadi benar, metode baru itu bisa dilakukan di rumah saja?” tanya Langit lagi dengan mata berbinar.
“Dari apa yang aku baca, seperti itu. Siapa tahu, dengan metode baru itu, Mama jadi bisa beraktivitas seperti biasa lagi.”
Langit terlihat sangat bersemangat mendengar kabar dari putranya tersebut. Bayangan terbebas dari keharusan untuk berbaring di tempat tidur, membuatnya melupakan kekecewaannya karena tidak bisa menyaksikan putra kesayangannya diwisuda.
Ibu dan anak itu lalu terlibat dalam pembicaraan ringan selama setengah jam hingga Langit mulai kesulitan menahan kantuk. Setelah memeluk ibunya, Tenggara beranjak meninggalkan kamar.
Tenggara berpapasan dengan Badai yang hendak masuk ke dalam kamar, tetapi tidak mengatakan apa-apa pada pria itu. Badai dan Langit hanya saling melemparkan senyuman, memaklumi kelakuan putra mereka.
“Kudengar kau ingin agar aku menghadiri wisuda anak kita,” cetus Badai sambil merebahkan diri di sisi Langit.
“Iya. Kau bisa, ‘kan?” jawab Langit dengan lemah karena mengantuk.
“Tapi siapa yang akan menemanimu di rumah ini? Sedangkan aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian selama sebelas tahun ini.”
“Memangnya wisuda akan berlangsung berapa lama, sih? Hanya beberapa jam, aku akan baik-baik saja. Lagipula, seperti biasa, ada suster yang akan menemaniku di sini sampai kalian kembali,” balas Langit dengan nada sengit. Kelihatannya ia sudah mengalahkan rasa kantuknya karena harus menyanggah suaminya.
Badai tergelak. Ia kalah berdebat. Pria itu mencium kening Langit sebelum menyatakan kesediaannya menghadiri wisuda Tenggara.
“Lalu, tentang metode cuci darah baru itu, bagaimana?” tanya Badai mengalihkan pembicaraan. Ia merengkuh istrinya, mendekapnya, lalu sekali lagi mencium kening Langit.
“Aku berharap masih bisa menggunakannya. Walaupun sebenarnya aku ragu karena keadaannku sudah terlalu parah, aku tidak ingin membuat Gara kecewa. Anak itu yang paling berharap agar aku bisa kembali seperti sedia kala.”
“Kau sendiri tidak akan menyerah, bukan?” tanya Badai lagi.
“Aku tidak pernah menyerah. Tapi, aku juga sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Berkat dukungan dua orang sahabat kita, aku sudah melihat Gara tumbuh dan hidup mandiri,” jawab Langit tenang.
Langit melepaskan pelukan Badai, lalu menegakkan punggungnya. Ia bersandar pada kepala tempat tidur sebelum kembali mengungkapkan perasaannya.
“Tidak ada lagi yang perlu aku cemaskan. Anak kita akan baik-baik saja. Aku sebenarnya ingin melihatnya menikah dan memiliki keluarga yang bahagia. Tapi, aku pikir itu akan membebaninya. Jadi, melihatnya seperti sekarang ini, sudah lebih dari cukup.”
Badai ikut mengambil posisi serupa dengan Langit. Ia menggenggam tangan kurus istrinya, lalu menciumnya.
“Aku minta maaf karena selama ini hanya bisa melihatmu menderita tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku selalu ingin berbagi rasa sakit denganmu, tapi ternyata aku memang tidak berguna,” kata Badai lirih.
“Selama ini, kaulah yang menemaniku. Aku lebih suka ditemani olehmu daripada suster. Jadi, jangan bilang kau tidak berguna, ya,” sanggah Langit.
“Ah, justru kau yang menghiburku dalam keadaanmu yang sudah seperti ini. Makanya, aku mengatakan bahwa aku tidak berguna,” balas Badai yang lagi-lagi memeluk istrinya.
“Iya, iya. Kau tidak berguna. Puas? Dasar keras kepala,” tukas Langit. Meskipun terdengar ketus, tak ayal ia balas memeluk suaminya.
“Terserah kau saja,” cetus Badai.
Sekali lagi Badai tergelak. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Langit yang sudah menyusut sangat banyak sebagai efek dari penyakit yang dideritanya selama ini.
Langit tak mengatakan apa-apa lagi. Pandangannya tertuju pada foto dirinya sekeluarga yang diletakkan di atas nakas. Dalam foto tersebut, Tenggara masih mengenakan seragam SD dan diapit oleh Langit dan Badai. Langit masih sangat bugar kala itu, demikian pula Badai.
Meskipun keadaan mereka kini sudah jauh berbeda, Langit masih bisa tersenyum. Senyumannya saat ini tetap selebar senyuman dirinya dalam foto tersebut. Sebab, ia sudah menunaikan janjinya dan mendapatkan apa yang ia inginkan selama sebelas tahun terakhir ini.
***
Langit berpulang dua hari setelah Tenggara diwisuda. Usai pemakaman, Hariri dan istrinya memutuskan untuk menginap di rumah Langit dan Badai demi menemani Tenggara. Kedua sahabat keluarga itu tidak tega meninggalkan pemuda itu sendirian.
Tenggara sendiri sudah tertidur dengan mata bengkak di ranjang ibunya. Sebelum tidur, Hariri menyempatkan diri menyelimuti pemuda yang sudah ia dukung selama sebelas tahun itu. Kemudian, ia beranjak ke kamar di mana istrinya sudah menunggu.
“Ternyata sudah sangat lama Gara berjuang sendirian,” ujar istri Hariri sambil menunjukkan ponselnya.
Hariri ikut membaca apa yang tertera di layar ponsel. Berita lama mengenai kecelakaan lalu lintas tragis yang menimpa sebuah keluarga kecil, sebelas tahun yang lalu. Dalam berita itu tertulis, kecelakaan tersebut menyebabkan suami dalam keluarga itu tewas di tempat. Sedangkan istri dan anak laki-lakinya mengalami luka-luka.
Berita tersebut tidak menyebutkan nasib istri dan anak korban selanjutnya. Namun, sebagai sahabat keluarga, Hariri dan istrinya tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Akibat kecelakaan tersebut, Langit—istri dari korban meninggal—mengalami kerusakan ginjal. Sejak saat itu, ia harus rutin menjalani cuci darah yang menyakitkan dan melelahkan.
Hanya Tenggara yang dapat pulih sepenuhnya setelah kecelakaan tersebut. Dengan dukungan besar Hariri dan istri, Tenggara dapat melanjutkan pendidikannya hingga bisa hidup mandiri sepenuhnya.
“Gara adalah titipan dari Badai dan Langit untuk kita. Dia tidak pernah berjuang sendirian,” kata Hariri pada istrinya sebelum mereka beranjak tidur.