Cerpen
Disukai
4
Dilihat
9,769
Satu Paket Cinta yang Tak Pernah Kedaluwarsa
Drama

Ada senjata paling berbahaya. Yang tanpa kau temukan darahnya, ia melukaimu. Memar bahkan bukan apa-apa. Meski Radit tetap harus bersusah payah menyembunyikan warna ungu kebiruan yang memoles sebagian area mata, pelipis hingga sudut ujung kanan bibirnya dari sang ibu begitu dirinya pulang dari sekolah jam 2 siang itu. Sebagian akan mengatakan ini wajar terjadi bagi anak laki-laki sepertinya yang mulai tumbuh dewasa di usianya sekarang yang menginjak 15 tahun. Baru saja duduk di bangu SMA kelas 1. Tapi bagi orang terdekatnya, ini jelas kejadian langka.

“A Radit kenapa berantem? A Radit bukan tipe yang suka bikin ulah kaya gitu,” sebut Rani yang sebelumnya mendapati kakak lelakinya itu mengendap masuk bak pencuri di rumah sendiri. Ia sengaja datang ke kamarnya dan bertanya.

Radit masih diam seribu bahasa.

“Masalah cewek? A Radit rebutan sama temen A Radit di sekolah?” 

Radit tersenyum tipis meski sambil menahan perih akibat luka di tempatnya membuat gerak. 

“Atau karena temen-temen A Radit ngejek Ibu tukang gorengan?”

Kali ini mata Radit membelalak. Tatapan yang sudah serupa jawaban itu membuat Rani menghela napas.

“Temen-temennya Rani di sekolah juga ngeledekin Rani anak tukang gorengan. Tukang nasi kuning.”  

Radit menoleh pada Rani dengan pupil matanya yang kembali membesar. Seperti itu juga? Jadi Rani mengalaminya juga? Bukan semata-mata karena Rani mendadak menjelma jadi dukun kenamaan, tapi lebih karena pengalamannya sendiri.

“Tapi Rani ngga peduli. Emang apa salahnya jadi anak tukang gorengan? A Radit juga harus kaya gitu,” Rani melanjutkan. Mencoba menuangkan ‘idenya’ tanpa bermaksud menggurui sang kakak yang lebih tua.

Radit tersenyum tanpa melihat Rani lagi. Adik satu-satunya ini terkadang memang menggemaskan. Ia berani dan tegas mengambil sikap. Tapi lengkung di bibir itu kemudian berubah membuat garis horizontal, dan wajah itu berubah masam. Radit yang kemudian sibuk dengan pikirannya sendiri. 


***** 


“Ibu janji akan berusaha yang terbaik, biar kamu ngga digangguin sama temen-temen kamu lagi. Biar kamu ngga usah malu lagi di depan mereka.”

“Ya Allah Bu, emang saya ngomong apa sama Ibu?”

“Karena itu Ibu bakal tetep dateng ke sekolah kamu besok nemuin guru kamu.”

“Bu, saya bilang ngga usah!” Radit menaikan nada suaranya nyaris seperti membentak. “Bu Gurunya juga ngga bisa ngapa-ngapain saya kalau Ibu ngga dateng.”

“Kamu jangan suka nyepelein hal kaya gitu. Itu ngga tanggung jawab namanya. Ibu akan tetep dateng besok. Diem-diem tanpa temen-temen kamu tahu.” 

Diam-diam tanpa teman-temannya tahu, ucapan itu seperti mencolok gendang telinganya. Tidak, tapi mengiris-iris hatinya. Sungguh ia tak mengatakan apa-apa, tapi kenapa ia merasa bersalah? 

Ini terjadi ketika ibunya menemukan surat panggilan orang tua murid dari sekolahnya di atas meja kamarnya. Saat itu dirinya sedang berada di kamar mandi. Sial untuknya, surat itu tak sampai pada ibunya memang karena sengaja. Karena ia tak ingin ibunya sampai tahu. Tapi tetap ditemukan juga. Sial kedua kalinya, mendengar perkataan ibunya tadi ia bisa menarik kesimpulan, kalau ibunya kemungkinan besar sudah secara tak sengaja mendengar percakapan ia dan Rani sebelumnya saat di kamar tadi siang. Soal mereka yang menjadi anak tukang gorengan. 

“Terus kalau misalkan saya bilang malu, apa Ibu bisa ngga dateng besok?” Setelah meremas rambut saking frustasinya berdebat, akhirnya kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. 

Tak perlu menunggu reaksi sang ibu, Radit tercengang sendiri atas apa yang baru saja diucapnya. Tubuhnya seperti menggigil. Ia ingin menggapai lengan ibunya yang begitu kurus dan tak lagi muslus akibat begitu banyaknya pekerjaan yang dilakukan.

"Ibu ngerti. Kita bicara lagi nanti."

Dengan wajah yang tertunduk sendu, ibunya berlalu pergi.

Pada akhirnya tangan itu hanya menyambut angin. Mengepal kuat seolah ingin menonjok mukanya sendiri kalau saja sesak tak lebih unggul membekukannya. Ia tak ingat sampah apa yang ia suapkan ke mulutnya sebelum ini.


****  


Radit tak punya muka untuk bertatap dengan ibunya. Tapi melihatnya datang ke sekolah pun ia tetap tak ingin. Pada akhirnya ia hanya menyembunyikan diri di halaman belakang sekolah. Duduk di kursi panjang dengan kepala tertunduk, meremas kedua tangannya yang saling mengatup.

Langkah kaki seseorang berhenti tepat di hadapannya. Dengan celana panjang warna abu serupa yang ia kenakan. Radit mengangkat kepalanya, mendongak.

“Ibu kamu udah tahu semuanya.”

Dahi Radit berkerut, dengan tatapannya yang masih menerka, meski firasatnya sendiri sudah tak enak.

“Saya udah kasih tahu beliau. Maaf.”

Kedua bola matanya mulai bergerak goyah.

“Soal yang itu juga?” Tatapan Radit kali ini berubah mendelik sinis.

Nathan mengangguk pelan.

Sssshhh! Radit bangkit dengan marah. Kepalan tinju pun langsung ia sarangkan ke wajahnya. Membuat Nathan nyaris roboh.  


***** 


Adu jotos itu terjadi sekitar waktu istirahat kemarin. Satu lawan dua orang. Di sudut halaman sekolah tak jauh dari kantin.

Awalnya Radit sedang makan dengan tenang di kursi kosong seorang diri. Menyantap nasi kuning dan gorengan di kotak makanan yang ia bawa dari rumah. Buatan, pun dagangan ibunya.

Lalu Fathir dan Rino, dua makhluk nyinyir pembuat ulah itu merecokinya. Mengatainya miskin, tak mampu membeli makanan di kantin, hingga harus membawa bekal sendiri yang tak kalah udik. Mengasihaninya dengan merendahkan, karena memiliki ibu payah yang hanya seorang penjual gorengan.

“Emang kenapa kalau ibu saya tukang gorengan?! Dia kerja halal, bukan jual alkohol. Bukan jual bir buat mabuk. Kamu bebas hina saya, tapi saya ngga akan diem kalau kamu hina ibu saya!” Suara Radit memekik naik membentak, dengan tangannya yang menunjuk-nunjuk di akhir kalimat.

Tapi bukan itu yang menjadi sebab luka yang masih begitu segar di wajah kedua kubu itu. Ada kata-kata jahat lain yang membuat Radit tak bisa menahan diri. Ia sudah akan kembali menerjang dua orang di depannya kalau saja Nathan tidak dengan sigap menghalangi tubuhnya. Anak kelas lain yang tak ia kenal itu tiba-tiba datang ikut nimbrung menengahi mereka, sementara murid yang lain hanya sibuk menonton.

"Ohh, elu orangnya kan?" Rino seolah mengenali sosok Nathan. Membuat bingung Radit yang tak tahu apa-apa.

Lalu kicauan busuk itu membunyikan gaungnya lagi.

“Tuh, bener kan yang saya bilang, ibu kamu tuh udah kaya lac*r!”

Sebuah tonjokan mendarat tepat di wajah orang yang membuat cuap. Yang mengejutkan, tinju itu bukan datang dari Radit tapi justru dari tangan Nathan yang sudah berwajah geram. Radit membulatkan matanya terkejut.

Meski niatnya sudah terwakilkan tanpa perlu lagi mengotori tangannya sendiri, tapi ada hal lain yang membuat Radit terganggu. Reaksi Rino yang seolah mengenali anak yang meninjunya tadi. Dan anak itu juga yang tampak lebih murka mendengar ibunya diejek.

Orang ini kah yang Rino dan Fathir maksud? Alasan yang menyebabkan kata ‘lac*r’ kembali dibahas lagi oleh mereka.

Seorang anak SMA berteman dekat dengan ibu-ibu, atau ibunya yang punya kenalan seorang berondong, Radit tak tahu mana yang terdengar lebih gila. Ia tak melepaskan tatapannya dari Nathan. Dalam hati ia membenci orang ini. Karena perilaku Nathan barusan, ibunya jadi benar-benar terlihat seperti kata-kata keji yang diucapkan dua makhluk tengik itu.

Setelah perkelahian itu mereka dipanggil ke ruang BP. Lalu berakhir dengan lipatan surat yang ditemukan oleh ibu Radit waktu itu. 


*****  


Radit mengusap matanya yang mulai berair. 

“Kamu mungkin lupa satu hal, kalau bagi seorang ibu, perasaan anaknya terhadapnya jauh lebih penting dibanding omongan buruk apapun yang orang-orang bicarakan tentangnya.”

Benar yang Nathan bilang. Lantas mengapa ia mendadak menjadi bodoh dan melukai perasaan ibunya?

Radit berlari ke luar sekolah. Nathan bilang ibunya baru saja pergi. Tapi kalau ia mengejarnya sekarang, mungkin masih sempat.

Matanya sibuk mencari ke segala arah guna menemukan sosok wanita paling cantik di muka bumi ini menurut teori hati dan pikirannya.

Napasnya yang tersengal mulai menghela lega. Ibunya ada di pinggir jalan, belum sempat naik kendaraan umum.

Lagi-lagi Radit berlari menyusul ibunya. Ibunya menoleh, terkejut melihat putranya yang sampai harus berlari seperti itu.

"Radit?!"

Radit sedikit membungkuk, berupaya mengatur napasnya agar secepatnya kembali teratur, agar bisa segera bicara pada ibunya dengan benar.

“Saya ngga mau Ibu dateng ke sekolah bukan karena saya malu punya Ibu tukang gorengan. Saya cuma ngga mau Ibu denger temen-temen saya ngomongin yang aneh-aneh soal Ibu. Ngomong ini itu, atau kata-kata bangsat apalah. Saya bangga sama Ibu, yang udah nyekolahin saya, nyekolahin Rani. Saya bangga sama Ibu,” Radit bicara di tengah napasnya yang masih naik-turun, sementara matanya sudah mulai kembali lembab.

Ibunya tampak terenyuh. Ia langsung mendekap Radit dengan pelukan hangat. Membuat Radit kian seperti bocah kecil yang terjebak dalam tubuh bongsor mengalahkan tinggi sang ibu.

“Ibu ngga tahu kamu segitu bangganya sama Ibu. Ahh, Radit anak kesayangan Ibu.…” Ibu Radit menengadahkan kepalanya ke atas, melancarkan pernapasannya yang mulai tersumbat akibat pilek yang tiba-tiba karena menangis haru.


***** 


Ada seseorang yang menagih kata maaf. Bukan untuknya, tapi untuk temannya. Nathan menghampiri Fathir yang sedang bermain gitar seorang diri di salah satu sudut sekolah yang sepi saat jam istirahat.

"Kamu mending minta maaf sama Radit sebelum terlambat."

Fathir yang duduk di bangku di balik pohon besar itu dibuat menghentikan permainan gitarnya. Ia menoleh pada Nathan dengan mendelik.

“Ngapain kamu belain dia? Kamu pembantunya dia? Saya baru tahu orang yang miskin kaya dia gitu bisa bayar kamu.”

Sungguh kata-kata jahat itu keluar. Tapi yang tak biasa, Nathan tak tampak geram temannya habis dikatai sedemikian rupa.

"Saya liat wajah kesel kamu pas temen kamu si Rino itu ngejelek-jelekin ibunya Radit waktu kalian lagi berdua. Itu bukan wajah orang yang sama dengan yang ngelekin Radit pas di bangku taman waktu itu."

Nathan mengerti Fathir tak seburuk kelihatannya. Meski sampai saat ini ia masih menunjukan sisi jahatnya, itu hanya semacam jubah hitam yang sengaja ia kenakan. Mungkin kepalang tanggung baginya, biar sekalian saja ia tampak buruk sekalian.

Fathir sedikit terkejut. Ia sempat membuang muka sebelum kembali bicara dengan ketus.

"Kamu mau ngomong apa sebenernya?"

"Kamu beda sama Rino. Kamu ngga menikmati waktu ngeledekin Radit waktu itu, saya bisa liat. Jadi mendingan kamu minta maaf sama dia. Sebelum nyesel."

"Kenapa saya harus minta maaf? Yang saya omongin bener. Dia miskin, ibunya tukang gorengan."

"Termasuk Ibunya lac*r kaya yang dibilang Rino?"

Fathir membulatkan matanya. Kali ini ia hanya diam dan tak mengatakan apa-apa lagi. Sampai kemudian Nathan mengambil duduk sedikit jauh di sisi kosong dari bangku panjang yang didudukinya. Fathir langsung melirik.

"Kamu tau kenapa saya bisa deket sama ibunya Radit sementara Radit sendiri kaya ngga kenal sama saya?"

Lalu Nathan menceritakan sebuah kisah yang tak pernah ia lupakan 3 tahun lalu. Saat ia dan ibunya baru saja pindah rumah. Saat ibunya yang introvert kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Terlebih begitu mengetahui kalau ibu-ibu di lingkungan tempatnya kini tinggal tergabung ke dalam sebuah kelompok pengajian.

“Ibu saya yang nasrani bisa apa?” tanya Nathan di sela-sela ceritanya. 

Ibu Nathan menjadi kian sungkan untuk berbaur. Nathan sadar, sebaik apapun ia menemani, pada akhirnya interaksi dengan orang lain tetap saja dibutuhkan. Ia merasakan aura kesepian ibunya, meski selalu ditutupi dengan senyuman tiap kali di depannya.

Sebuah ketukan pintu oleh ibu Radit siang itu bagaikan sebuah pertolongan. Ia membawa ketan kelapa untuk dibagikan pada tetangga barunya itu. Dan secara alami keduanya mulai menjadi dekat.

Sayang kurang dari setahun setelahnya, giliran Radit sekeluarga yang harus pindah rumah ke tempat yang lebih kecil. Kabarnya karena kondisi keuangan mereka yang kurang baik karena ayah Radit yang sudah beberapa tahun lalu mengidap penyakit komplikasi. Mereka menjual rumah di sana untuk membantu biaya pengobatan yang terus membengkak. Sementara, Ibu Radit harus lebih bekerja keras menggantikan peran sang suami sebagai pencari nafkah dengan berjualan nasi kuning dan gorengan di depan rumah sambil merawat suaminya. Sampai ayah Radit kemudian meninggal.

Seperti itu perjuangan ibu Radit menjadi tulang punggung keluarga selama 4 tahun terakhir. Radit ingin membantu dengan mencari kerja. Ia bahkan sempat berpikir untuk berhenti sekolah. Tapi ibunya terang-terangan menolak. Ia ingin Radit yang saat itu masih SMP hanya fokus pada pendidikannya. 


***** 


Tak pernah ada kebaikan yang kedaluwarsa. Kau akan memetik buahnya bahkan tanpa pernah kau berpikir itu akan datang.

Entah secuek apa Radit sampai dirinya tak sadar pernah punya tetangga seusianya bernama Nathan. Biarpun itu hanya dalam kurun waktu kurang dari setahun. Letak rumah mereka yang memang tak langsung bersebelahan, juga kesibukan masing-masing yang tak satu sekolah, menjadikan tak adanya interaksi khusus.

Radit bertanya pada Nathan sepulang sekolah, bagaimana ceritanya ia bisa sampai kenal dengan ibunya. Interaksi yang jelas tak biasa.

"Kita ke kantin, ceritanya bakal panjang," sebut Nathan sambil tersenyum.

Radit seperti terdiam.

"Biar saya yang traktir."

"Saya bisa bayar sendiri."

"Bukannya uang bekel kamu selama ini sengaja ngga pernah kamu pake buat bantu ibu kamu?"

Nathan seperti tahu segalanya. Tebakannya memang tepat sasaran, Radit hanya berhemat, sibuk menabung untuk membantu ibunya.

"Anggap aja saya lagi bayar hutang."

"Hutang?"

Nathan hanya membalas dengan senyuman.

Ia akhirnya menceritakan semua yang dirinya ingat. Termasuk saat Radit sempat mampir ke rumahnya membawa titipan kue dari ibunya. Radit terkejut, karena ia rupanya pernah berpapasan dengan Nathan sebelumnya. Di rumah Nathan pula.

Karena pertemuan sekali dan begitu singkat itu ia sama sekali tak mengingatnya.

"Saya bener-bener bersyukur, berkat kamu sama ibu kamu, ibu saya jadi punya temen."

 Radit tersenyum seadanya. Ia mengerti perasaan itu, rasa terima kasih Nathan pada dirinya juga pada ibunya. Hanya saja perasaan itu sedikit mengganggunya, kalau saja Nathan ingin tahu. 

“Waktu saya bersikap baik sama ibu kamu dulu, itu bukan karena tanpa pamrih. Saya mengharapkan balasan kalau Allah akan mengangkat penyakit ayah saya. Membuatnya sembuh. Saya pikir itu akan bekerja. Tapi ayah saya tetep dipanggil juga,” kepala Radit tertunduk lirih.

Mungkin karena alasan itulah doanya tak sampai, Radit berpikir seperti itu. “Saya cuma pengen kamu tahu kalau saya ngga setulus itu.”

Nathan berdeham mendengar pengakuannya. Siapa juga anak muda yang senang menghabiskan waktunya untuk mengobrol dengan emak-emak? Ia hanya ingat, senyum Radit saat mengobrol dengan ibunya waktu itu bukanlah senyuman palsu. 

“Makasih karena kamu udah mengakuinya. Tapi rasa terimah kasih saya sama sekali ngga berkurang hanya karena alasan itu.” 

Bila apa yang dilakukan Radit salah, maka dirinya adalah si bajingan itu juga, tutur Nathan. Bukankah ia datang membela Radit waktu itu karena alasan hutang budinya pada Radit dan ibunya sebelumnya? Bukan semata-mata karena ketulusan.

Radit tak banyak membuat ekspresi, hanya batinnya yang justru bergemuruh. Bahkan perbuatan baik yang ada maunya itu masih Allah ganjarkan hadiah untuknya. Seorang teman baik seperti Nathan. Kali ini biarkan ia yang bersyukur.


***** 


Dan wajah yang belakangan begitu sering Radit sumpah serapahi dalam hati itu datang ke hadapannya dengan kepala tertunduk. Bersama Nathan di tengah-tengah mereka.

Semua orang punya caranya sendiri dalam menangani masalah. Radit bukan satu-satunya yang teluka karena fitnah. Gosip buruk yang sebelumnya sayup berembus di sekolah, itu adalah tentang ayah Fathir. Seperti bagaimana Radit ingin melindungi ibunya, Fathir pun ingin melindungi ayahnya. Tak akan ia biarkan fitnah keji itu beredar luas di sekolahnya. 

“Kalau dalam politik ada pengalihan isu, saya cuma nerapin ilmu itu.”

Cih, mata Radit sudah menyalak, ingin menelan Fathir hidup-hidup. 

Meski dengan salah satunya yang masih sibuk mencibir, dua lengan itu berjabat tangan.


*****


Televisi masih menyala, sementara waktu sudah menunjukan jam 22.07. Tampak beberapa bungkus snack yang sudah terbuka di atas meja.

Radit tersenyum melihat dua orang anak absurd yang sedang tertidur di sofa rumahnya saat ini.



Note : A (bahasa Sunda) = panggilan untuk kakak laki-laki


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)